
Beberapa
cerita rakyat tentang lahirnya beberapa nama-nama desa atau daerah
Bogor memang ada, seperti Rancamaya, Bantarjati, Ciaruteun, Cikeas,
Kedunghalang, dan sebagainya. Untuk wilayah Bogor bagian barat terdapat
nama-nama daerah yang cukup tua seperti Ciaruteun, Argapura (Rengganis)
dan Jasinga.
Pada masa lalu, Jasinga meliputi batas-batas Sajira di sebelah Barat,
Tangerang di sebelah Utara, Bayah di sebelah Selatan dan Cikaniki di
sebelah Timur. Berlalunya waktu, Jasinga kini meliputi daerah Cigudeg,
Tenjo, Nanggung, Parungpanjang dan Jasinga sebagai titik pusatnya.
Oleh orang-orang tua dulu Jasinga disebut juga Bogor-Banten, bahkan
juru pantun terkenal Sunda yaitu Aki Buyut Baju Rambeng berasal dari
daerah Bogor-Banten atau yang tinggal di daerah Pegunungan Tonggoheun
Jasinga. Disebut Bogor-Banten karena posisiya berbatasan langsung dengan
wilayah Banten. Tidak hanya batas wilayah tetapi ditinjau dari budaya,
perilaku serta dialek bahasa mirip sekali dengan masyarakat Banten yang
sebagian tidak terpengaruh dengan budaya Priangan. Kini Jasinga termasuk
wilayah administrasi Kabupaten Bogor.
Mengenai asal usul nama Jasinga sendiri hingga kini masih terdapat
berbagai versi. Kebanyakan versi yang melekat dan diyakini masyarakat
yaitu cerita yang didapat dari penuturan turun temurun dari mulut ke
mulut para sesepuh setempat. Hanya orang-orang tertentu saja yang
merujuk kepada sumber autentik dan masih dijadikan bahan kajian bagi
masyarakat Jasinga untuk menambah versi.
Ada beberapa versi mengenai asal usul nama Jasinga antara lain :
1. Mitos seekor Singa yang melegenda, jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga.
2. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga.
3. Jayasingharwarman (358-382 M) Raja Tarumanagara I yang mendirikan Ibukota dengan nama Jayasinghapura.
4. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah lumejang dan Singa bapang yang digabungkan menjadi Jasinga.
1. Mitos seekor Singa yang melegenda, jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga.
2. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga.
3. Jayasingharwarman (358-382 M) Raja Tarumanagara I yang mendirikan Ibukota dengan nama Jayasinghapura.
4. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah lumejang dan Singa bapang yang digabungkan menjadi Jasinga.
Pendapat pertama, bahwa nama Jasinga dikaitkan dengan riwayat atau
cerita yang dituturkan oleh para sesepuh Jasinga seperti Wirasinga,
Sanghyang Mandiri dan Pangeran Arya Purbaya dari Banten. Dalam setiap
hidupnya serta perjuangannya mempunyai wibawa seperti seekor singa.
Bahkan sempat berwujud menjadi seekor Singa. Perwujudan Singa tersebut
membuat orang disekitar yang melihatnya menjadi terkejut dan kagum, dan
setiap orang yang melihat akan mengucapkan : “Eeh.. Ja.. Singa eta mah”.
Kata “Ja” menjadi kata identitas tersendiri di Jasinga yang berguna
untuk memperjelas kalimat berikutnya, seperti ”Da” di daerah Priangan.
Pendapat kedua meyakini bahwa Wirasinga keturunan Sanghyang Mandiri
(Sunan Kanduruan Luwih) membuka lahan di Pakuan bagian barat (Ngababakan
lembur anyar). Nama daerah tersebut dinamakan Jasinga oleh Sanghyang
Mandiri serta menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru Jasinga atau
sebagai Jaya Singa sebuah daerah yang makmur yang dipimpin oleh
Wirasinga, seperti Jakarta yang berasal dari daerah yang bernama Jaya
Karta dengan salah satu pemimpinnya yaitu Pangeran Jaya Wikarta.
Pendapat ketiga cukup menarik karena mengacu pada sejarah autentik
bahwa Jasinga berasal dari kata Jayasingha. Diceritakan bahwa seorang
Reshi Salakayana dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh
Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke
Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan
Dewawarman VIII (340-362 M) sebagai raja dari kerajaan Salakanagara.
Jayasingharwarman menikah dengan Putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari
Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura.
Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa wafat
di tepi kali Gomati (Bekasi) Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh
Purnawarman Raja Taruma III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama
Sundapura.
Satu tambahan sebagai pendapat keempat bahwa Jasinga berasal dari
kata Gajah Lumejang Singa Bapang. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda
sekaligus menetapkannya sebagai suatu tempat komunitas Sunda. Tujuh
ajaran tersebut yaitu : Pangawinan (Pedalaman Banten), Parahyang (Lebak
Parahyang), Bongbang (Sajira), Gajah Lumejang (Parung Kujang-Gn.
Kancana), Singa Bapang (Jasinga), Sungsang Girang (Bayah), Sungsang
Hilir (Jampang-Pelabuhan Ratu).
Tujuh ajaran tersebut mempengaruhi Purnawarman sebagai Raja Taruma
III (395-434 M), sehingga ia mendirikan ibukota dengan nama Sundapura.
Keruntuhan Taruma terjadi pada masa Linggawarman (669-732 M) sebagai
Raja Taruma XII karena begitu kuatnya pengaruh Sunda. Putri Linggawarman
yaitu Dewi Manasih (Minawati) dinikahkan dengan Tarusbawa putra Rakyan
Sunda Sembawa. Tarusbawa menjadi Raja Sunda (669-732 M) dan Taruma pun
runtuh. Pengaruh Hindu pun akhirnya melemah dan menjadi ajaran leluhur
ajaran Sanghyang Sunda.
Dua titik wilayah yang merupakan Sanghyang Sunda yaitu Gajah
Lumejang-Singa Bapang dijadikan tempat laskar bagi Kerajaan Sunda. Dan
kedua nama tersebut disatukan menjadi Gajah Lumejang Singa Bapang
kemudian menjadi nama Jasinga (Ja=Gajah Lumejang, Singa=Singa Bapang).
Perpaduan dua Filosofi Gajah dan Singa.
Tujuh ajaran Sanghyang Sunda tersebut tercantum dalam Kitab Aboga
yang diperkirakan dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran seperti
dituturkan oleh narasumber bahwa kitab tersebut di bawa ke Leiden pada
akhir abad 19.
Dengan memaknai baik secara kosakata (etimologi) maupun perlambangan
(Hermeneutika), Jasinga mempunyai makna yang berarti. Dengan nama
Jasinga lahirlah sebuah cerita rakyat melegenda hingga kini bagi
masyarakat Jasinga. Di samping itu, adanya sosok Singa sebagai mitos
merupakan wujud kewibawaan para penghulu Jasinga.
Nama Jasinga ditinjau secara autentik yaitu menunjuk pada naskah-naskah kuno atau kajian sejarah Sunda terdapat Jayasinghapura yang berarti gerbang kemenangan yang didirikan oleh Raja Taruma I (Jayasinghawarman).
Nama Jasinga ditinjau secara autentik yaitu menunjuk pada naskah-naskah kuno atau kajian sejarah Sunda terdapat Jayasinghapura yang berarti gerbang kemenangan yang didirikan oleh Raja Taruma I (Jayasinghawarman).
Dalam naskah sejarah yang ditulis dan dirangkum oleh Panitia
Wangsakerta Panembahan Cirebon, nama Jasinga terdapat dalam sejarah
Lontar sebagai tempat rujukan untuk melengkapi Kitab Negara Kretabhumi
yang disusun untuk pedoman bagi raja-raja nusantara. Kitab itu disusun
selama 21 tahun (1677-1698 M) pada masa-masa genting yaitu beralihnya
raja-raja di Nusantara ke dalam penjajahan Belanda. Lontar itu berjudul
”Akuwu Desa Jasinga”. Perlu dikaji bila naskah itu masih ada.
Dari mitos seekor Singa, diyakini bahwa sampai saat ini masi ada
beberapa ekor Singa yang menjaga wilayah Jasinga walaupun dalam bentuk
gaib. Padahal di Jawa Barat tidak ditemukan habitat singa walaupun di
Indonesia sekalipun. Jika dikaitkan dengan datangnya raja-raja pendahulu
dari India, maka perlambang Singa berasal dari India pula, bisa saja
wujud nyata seekor Singa pernah dibawa oleh pembesar yang datang dari
India.
Jasinga tidak layaknya seperti legenda-legenda di Jawa Barat lainnya
yang begitu percaya adanya Harimau Pajajaran serta dijadikan lambang
atau filosofi tertentu. Masyarakat Jasinga meyakini adanya seekor Singa,
hingga pusat kecamatan dilambangkan sebuah Tugu Singa.
Nama singa juga terdapat pada sebuah tanaman yang bernama Singadepa
yang tumbuh di hutan-hutan. Daun Singadepa berguna untuk memandikan bayi
yang baru lahir, pengharum badan, serta sebagai pencuci darah. Tumbuhan
Singadepa mempunyai tinggi + 30 cm, hidup di daerah yang lembab dan
tertutup oleh pohon-pohon yang lebih tinggi. Di Jasinga tanaman
Singadepa sangat sedikit dan ada di hutan-hutan tertentu, kecuali di
hutan pedalaman Baduy hingga ke Lebaksibedug (Citorek) di dekat Gunung
Bapang.
Itulah beberapa pendapat mengenai asal usul nama Jasinga yang masih
perlu diteliti lebih lanjut keberadaannya, dan diperlukan penelitian
Sejarawan. Kitapun masih bertanya-tanya benarkah hewan-hewan Singa itu
ada di Jawa Barat bahkan di Indonesia sekalipun.
Terlepas dari itu, orang sependapat bahwa Singa adalah suatu
perlambang (hermeneutika) kewibawaan, kejujuran, ketegasan, kemenangan
walaupun hanya diceritakan dalam mitos dan legenda. Wallahu’alam.....
Sumber :
1. Sejarah Bogor 1, Saleh Danasasmita, 1983.
Pemerintah Kota Madya DT. II Bogor.
2. Drs. Moh. Amir Sutaarga, Prabu Siliwangi atau Prabu Purana Guru Dewata
Prana Sir Baduga Maharaja Ratu Hadji di Pakuan Padjadjaran. 1473-1513 M.
Bandung. PT. Duta Rakjat, 1965.
3. Prof. Dr. Ayat Rohaedi, SUNDAKALA Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Cirebon.
Jakarta, Pustaka Jaya, 2005.
4. Atca & Negara Krethabumi 1.5
Ayat Rohaedi Karya Kelompok kerja di bawah tanggung jawab Pangeran Wangsakerta (Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Bandung, 1986.
5. Drs. Yosep Iskandar, SAWALI.
Komunitas Urang Sunda Internet (KUSNET)
6. Para Sesepuh Jasinga.
7. Kang Yasid dan kang Subani, Warga Cibeo-Kanekes.
8. T. A. Subrata Wiriamiharja, SH. (TASWIR), Muara Seni Bogor Selatan.
1. Sejarah Bogor 1, Saleh Danasasmita, 1983.
Pemerintah Kota Madya DT. II Bogor.
2. Drs. Moh. Amir Sutaarga, Prabu Siliwangi atau Prabu Purana Guru Dewata
Prana Sir Baduga Maharaja Ratu Hadji di Pakuan Padjadjaran. 1473-1513 M.
Bandung. PT. Duta Rakjat, 1965.
3. Prof. Dr. Ayat Rohaedi, SUNDAKALA Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Cirebon.
Jakarta, Pustaka Jaya, 2005.
4. Atca & Negara Krethabumi 1.5
Ayat Rohaedi Karya Kelompok kerja di bawah tanggung jawab Pangeran Wangsakerta (Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Bandung, 1986.
5. Drs. Yosep Iskandar, SAWALI.
Komunitas Urang Sunda Internet (KUSNET)
6. Para Sesepuh Jasinga.
7. Kang Yasid dan kang Subani, Warga Cibeo-Kanekes.
8. T. A. Subrata Wiriamiharja, SH. (TASWIR), Muara Seni Bogor Selatan.
Sumber : Kalakay Jasinga (kalakayjasinga.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar