Pura
Parahyangan Agung Jagatkarta ("alam dewata suci sempurna") atau sering
disebut hanya Pura Jagatkarta adalah pura agama Hindu Nusantara yang
terletak di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pura Jagatkarta adalah pura
terbesar di Jawa Barat dan terbesar ke-2 di Indonesia setelah Pura
Besakih di Bali, dianggap sebagai tempat persemayaman dan pemujaan
terhadap Prabu Siliwangi dan para hyang (leluhur) dari Pakuan Pajajaran
yang pernah berdiri di wilayah Parahyangan.
Pura Jagatkarta terletak di kaki Gunung Salak, di Ciapus, Kecamatan Tamansari di Kabupaten Bogor. Pura Jagatkarta dibangun di lokasi unik di Gunung Salak karena konon Pakuan Pajajaran Sunda pernah berdiri di lokasi tersebut. Pakuan Pajajaran adalah wilayah ibukota Kerajaan Sunda Galuh,
Tata letak Pura Jagatkarta juga berdasarkan legenda bahwa titik tersebut adalah tempat di mana Prabu Siliwangi mencapai moksa bersama para prajuritnya, sehingga sebelum dibangun, sebuah Candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam (lambang Prabu Siliwangi) didirikan sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Sebagian peninggalan Pajajaran kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Jejak kaki Prabu Siliwangi tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai Prasasti Ciaruteun.
Akses jalan dari kaki Gunung Salak menuju Pura Jagatkarta telah diperlebar sejak pembangunannya dirintis pada tahun 1995, sehingga kendaraan bisa mencapai Pura dengan mudah. Kini pura ini resmi menyandang nama Pura Parahyangan Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak. Orang menamakannya sebagai kuil Prabu Siliwangi . Mengapa begitu sebab orang hindu dari bali sengaja membangun kuil itu sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang dianggap telah berjasa mengembangkan agama hindu.
Inilah pura terbesar di luar Bali, setelah Pura Besakih di Pulau Bali. Dibangun diatas tanah sekitar 15 ha letaknya dikawasan lereng Gunung Salak, tepatnya di kec. Taman Sari, Kab. Bogor, daerah Ciapus. PURA terbesar secara fisik dan konsep berada di bumi suci, Parahyangan (Para Hyangan), Bogor. Di sinilah tempat petilasan Prabu Siliwangi — raja paling masyhur dan paling dipuja. Konon, pura ini merupakann istana dari Prabu Siliwangi dan seluruh leluhur Jawa Barat. Pura ini setiap minggunya banyak dikunjungi oleh peziarah baik dari Bogor, luar Bogor bahkan dari luar Provinsi Jawa Barat (terutama dari Bali).
Penyebab kuil itu dibangun di kaki gunung Salak, tepatnya di kampung warunglobok, Bogor adalah karena di tempat itu dianggap punya kekuatan magis. Nyoman radeg ,mengatakan, bahwa secara gaib, tergambarkan di tempat itu dulu berdiri sebuah bangunan kuil. Bentuknya seperti yang kini berdiri di kaki bukit itu. "Bentuk kuil itu kerap terbawa mimpi. Maka kami bikin kuil disini dengan arsitektur persis sperti di dalam mimpi," demikian tutur nyoman radeg.
Kata Nyoman ada amanat dari Prabu Siliwangi yang dia tidak boleh lupa. Apakah itu ? "Beliau memberikan amanat pada saya, bahwa seluruh keturunannya jangan dilarang bila ingin datang ke kuil ini, apapun agama dan keyakinannya," kata Nyoman radeg. Apakah itu karena himbauan Prabu Siliwangi atau bukan, yang jelas setiap hari minggu ke bukit itu banyak orang datang terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. "Tidak semua bermaksud ingin menghormati Prabu Siliwangi, Bahkan yang hanya datang karena berwisata pun kami tak larang." Ulas Nyoman radeg.
================================================
Setelah ane datang ke tempat ini, ane dan rombongan kecewa berat. Ternyata tempat ini tak lain tak bukan adalah tempat untuk ibadah agama Hindu, jadi bukan tempat yang ada hubungannya dengan sejarah Pajajaran, seperti yang selama ini disebut-sebut agar pembangunan pura ini bisa diterima oleh warga sekitar. Tidak ada nuansa Sunda Wiwitan ataupun nuansa sejarah disana, apalagi bukti sejarah. Yang ada hanya cerita dari dongeng ke dongeng yang didapat dari alam mimpi. Yang ada hanya patung macan berwarna putih dan hitam yang dimaksudkan menghormati Siliwangi, dengan cara mendompleng nama besarnya.
Teman ane yang masih ada keturunan dari Prabu Siliwangi kecewa berat, karena maksud kedatangannya ke tempat ini adalah bukan untuk ngikutin ibadah agama Hindu, melainkan menyusuri tapak sejarah leluhurnya yang katanya ada hubungannya dengan pura ini. Melalui promosi, pura ini disebut-sebut tempat petilasan Prabu Siliwangi, pernah disinggahi Prabu Siliwangi, pernah ada istana di atasnya, ada batu menyan, bahkan di titik inilah Prabu Siliwangi moksa. Ternyata, tanah disekitar situ dibeli dan dibangun oleh orang luar (Bali) untuk dibangun pura Bali. Jadi memang bukan tempat petilasan Prabu Siliwangi, bahkan TIDAK ADA KAITANNYA SAMA SEKALI DENGAN PRABU SILIWANGI yang menganut Sunda Wiwitan. Yang terkesan justru mendompleng dan bisa mengeruhkan sejarah, yang hanya jadi dianggap sebagai penghinaan secara halus.
Alangkah bijak apabila pura itu tidak lagi mengaitkan keberadaannya dengan dengan sejarah, dengan Sunda Wiwitan maupun Pajajaran, dan juga dengan situs-situs bersejarah lainnya yang tersebar di sekitar Gunung Salak, untuk dalih/alasan apapun. Pura ini pura hindu Bali. Ini bukan Sunda Wiwitan. Periksa saja nama-nama pengelolanya/pemangkunya, itu semuanya nama Bali. Jadi ini Bali, bukan Sunda Wiwitan. Atau mungkin maksud Hindu Bali mengait2kan dengan sejarah Prabu Siliwangi agar mendapatkan hati sehingga maksud untuk mendirikan pura itu bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat termasuk masyarakat Sunda Wiwitan? Sunda Wiwitan itu kan bukan Majapahit.
Orang-orang non Hindu yg datang kemari tentunya karena tertarik, karena disebut-sebut sebagai tempat bersejarah apalagi yg ada kaitannya dengan Pajajaran, dengan Prabu Siliwangi, dsb, karena ada rasa bangga dan menghormati leluhur orang Sunda. Tapi apa yg ditemui, jauh dari harapan. Entah ada maksud apa dibalik itu semua, yg pasti sejarah janganlah diubah-ubah.
Hanya karena tempat itu dibeli dan berdiri di kaki Gunung Salak, bukan berarti tempat itu adalah bukti sejarah yang boleh dipelihara dan dilestarikan.
Gimana menurut ente?
Thread ini ane buat bukan untuk membahas masalah agama tertentu ataupun suku tertentu, melainkan meletakkannya pada bingkai SEJARAH dan meletakkannya lagi pada tempatnya. Jika ini murni sebagai tempat ibadah umat Hindu Bali, yang memang sengaja dibangun sebagai rumah ibadah , akan sangat bisa diterima kalau tidak mencampur adukkan dengan sejarah dan kepercayaan leluhur Sunda, yang tak lain hanya akan diterima sebagai bentuk dari mendompleng dan merekayasa sejarah orang lain. Kita bisa liat di Bali, bahwa budaya Hindu Bali yang bila diletakkan pada tempatnya, berhasil terjaga kelestariannya, karena mereka berdiri di atas identitas mereka sendiri. Salut.
Pura Jagatkarta terletak di kaki Gunung Salak, di Ciapus, Kecamatan Tamansari di Kabupaten Bogor. Pura Jagatkarta dibangun di lokasi unik di Gunung Salak karena konon Pakuan Pajajaran Sunda pernah berdiri di lokasi tersebut. Pakuan Pajajaran adalah wilayah ibukota Kerajaan Sunda Galuh,
Tata letak Pura Jagatkarta juga berdasarkan legenda bahwa titik tersebut adalah tempat di mana Prabu Siliwangi mencapai moksa bersama para prajuritnya, sehingga sebelum dibangun, sebuah Candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam (lambang Prabu Siliwangi) didirikan sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Sebagian peninggalan Pajajaran kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Jejak kaki Prabu Siliwangi tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai Prasasti Ciaruteun.
Akses jalan dari kaki Gunung Salak menuju Pura Jagatkarta telah diperlebar sejak pembangunannya dirintis pada tahun 1995, sehingga kendaraan bisa mencapai Pura dengan mudah. Kini pura ini resmi menyandang nama Pura Parahyangan Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak. Orang menamakannya sebagai kuil Prabu Siliwangi . Mengapa begitu sebab orang hindu dari bali sengaja membangun kuil itu sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang dianggap telah berjasa mengembangkan agama hindu.
Inilah pura terbesar di luar Bali, setelah Pura Besakih di Pulau Bali. Dibangun diatas tanah sekitar 15 ha letaknya dikawasan lereng Gunung Salak, tepatnya di kec. Taman Sari, Kab. Bogor, daerah Ciapus. PURA terbesar secara fisik dan konsep berada di bumi suci, Parahyangan (Para Hyangan), Bogor. Di sinilah tempat petilasan Prabu Siliwangi — raja paling masyhur dan paling dipuja. Konon, pura ini merupakann istana dari Prabu Siliwangi dan seluruh leluhur Jawa Barat. Pura ini setiap minggunya banyak dikunjungi oleh peziarah baik dari Bogor, luar Bogor bahkan dari luar Provinsi Jawa Barat (terutama dari Bali).
Penyebab kuil itu dibangun di kaki gunung Salak, tepatnya di kampung warunglobok, Bogor adalah karena di tempat itu dianggap punya kekuatan magis. Nyoman radeg ,mengatakan, bahwa secara gaib, tergambarkan di tempat itu dulu berdiri sebuah bangunan kuil. Bentuknya seperti yang kini berdiri di kaki bukit itu. "Bentuk kuil itu kerap terbawa mimpi. Maka kami bikin kuil disini dengan arsitektur persis sperti di dalam mimpi," demikian tutur nyoman radeg.
Kata Nyoman ada amanat dari Prabu Siliwangi yang dia tidak boleh lupa. Apakah itu ? "Beliau memberikan amanat pada saya, bahwa seluruh keturunannya jangan dilarang bila ingin datang ke kuil ini, apapun agama dan keyakinannya," kata Nyoman radeg. Apakah itu karena himbauan Prabu Siliwangi atau bukan, yang jelas setiap hari minggu ke bukit itu banyak orang datang terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. "Tidak semua bermaksud ingin menghormati Prabu Siliwangi, Bahkan yang hanya datang karena berwisata pun kami tak larang." Ulas Nyoman radeg.
================================================
Setelah ane datang ke tempat ini, ane dan rombongan kecewa berat. Ternyata tempat ini tak lain tak bukan adalah tempat untuk ibadah agama Hindu, jadi bukan tempat yang ada hubungannya dengan sejarah Pajajaran, seperti yang selama ini disebut-sebut agar pembangunan pura ini bisa diterima oleh warga sekitar. Tidak ada nuansa Sunda Wiwitan ataupun nuansa sejarah disana, apalagi bukti sejarah. Yang ada hanya cerita dari dongeng ke dongeng yang didapat dari alam mimpi. Yang ada hanya patung macan berwarna putih dan hitam yang dimaksudkan menghormati Siliwangi, dengan cara mendompleng nama besarnya.
Teman ane yang masih ada keturunan dari Prabu Siliwangi kecewa berat, karena maksud kedatangannya ke tempat ini adalah bukan untuk ngikutin ibadah agama Hindu, melainkan menyusuri tapak sejarah leluhurnya yang katanya ada hubungannya dengan pura ini. Melalui promosi, pura ini disebut-sebut tempat petilasan Prabu Siliwangi, pernah disinggahi Prabu Siliwangi, pernah ada istana di atasnya, ada batu menyan, bahkan di titik inilah Prabu Siliwangi moksa. Ternyata, tanah disekitar situ dibeli dan dibangun oleh orang luar (Bali) untuk dibangun pura Bali. Jadi memang bukan tempat petilasan Prabu Siliwangi, bahkan TIDAK ADA KAITANNYA SAMA SEKALI DENGAN PRABU SILIWANGI yang menganut Sunda Wiwitan. Yang terkesan justru mendompleng dan bisa mengeruhkan sejarah, yang hanya jadi dianggap sebagai penghinaan secara halus.
Alangkah bijak apabila pura itu tidak lagi mengaitkan keberadaannya dengan dengan sejarah, dengan Sunda Wiwitan maupun Pajajaran, dan juga dengan situs-situs bersejarah lainnya yang tersebar di sekitar Gunung Salak, untuk dalih/alasan apapun. Pura ini pura hindu Bali. Ini bukan Sunda Wiwitan. Periksa saja nama-nama pengelolanya/pemangkunya, itu semuanya nama Bali. Jadi ini Bali, bukan Sunda Wiwitan. Atau mungkin maksud Hindu Bali mengait2kan dengan sejarah Prabu Siliwangi agar mendapatkan hati sehingga maksud untuk mendirikan pura itu bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat termasuk masyarakat Sunda Wiwitan? Sunda Wiwitan itu kan bukan Majapahit.
Orang-orang non Hindu yg datang kemari tentunya karena tertarik, karena disebut-sebut sebagai tempat bersejarah apalagi yg ada kaitannya dengan Pajajaran, dengan Prabu Siliwangi, dsb, karena ada rasa bangga dan menghormati leluhur orang Sunda. Tapi apa yg ditemui, jauh dari harapan. Entah ada maksud apa dibalik itu semua, yg pasti sejarah janganlah diubah-ubah.
Hanya karena tempat itu dibeli dan berdiri di kaki Gunung Salak, bukan berarti tempat itu adalah bukti sejarah yang boleh dipelihara dan dilestarikan.
Gimana menurut ente?
Thread ini ane buat bukan untuk membahas masalah agama tertentu ataupun suku tertentu, melainkan meletakkannya pada bingkai SEJARAH dan meletakkannya lagi pada tempatnya. Jika ini murni sebagai tempat ibadah umat Hindu Bali, yang memang sengaja dibangun sebagai rumah ibadah , akan sangat bisa diterima kalau tidak mencampur adukkan dengan sejarah dan kepercayaan leluhur Sunda, yang tak lain hanya akan diterima sebagai bentuk dari mendompleng dan merekayasa sejarah orang lain. Kita bisa liat di Bali, bahwa budaya Hindu Bali yang bila diletakkan pada tempatnya, berhasil terjaga kelestariannya, karena mereka berdiri di atas identitas mereka sendiri. Salut.
Pajajaran, sebuah kerajaan yang pernah eksis di tatar Sunda, dikenal oleh khalayak sebagai kerajaan Hindu. Bila merujuk pada buku-buku pelajaran Sejarah yang digunakan di sekolah maupun instansi pendidikan umumnya, maka Pajajaran akan diletakkan dalam kategori kerajaan Hindu-Budha yang pernah berjaya di bumi nusantara. Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa sejarah resmi yang diyakini oleh mainstream masyarakat tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan hingga kini.
Sebagian masyarakat Sunda yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama asli Sunda) justru meyakini bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Sunda Pajajaran maupun Galuh (kerajaan yang ada sebelum Pajajaran muncul) adalah agama Sunda Wiwitan, bukan agama Hindu. Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda pun berpendapat sama, yakni ada kesalahan interpretasi sejarah dengan menyebut Pajajaran sebagai kerajaan Hindu. Pendapat yang tentunya disertai argumentasi rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pajajaran dan Agama Sunda
Sumber-sumber sejarah yang penulis ketahui memang menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Sunda pra maupun pasca Pajajaran terbentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan, misalnya, mendeskripsikan adanya kaum pendeta Sunda yang menganut agama asli Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Mereka juga disebut mempunyai semacam tempat suci yang bernama kabuyutan parahyangan, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama Hindu.
Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah sewabakti ring batara upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.[2] Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episode “Curug Si Pada Weruh.” Dalam pantun tersebut diberitakan begini:
“Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..”
Artinya : “Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.”
Yang dimaksud dengan “urang Hindi” dalam pantun tersebut adalah orang Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo). Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut. Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.
Konon, kota yang kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan ini terletak di daerah Pandeglang, Banten. Kerajaan Salakanagara yang pusat pemerintahannya terletak di Rajatapura telah ada sejak abad 2 Masehi. Aki Tirem merupakan penguasa pertama daerah ini. Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Dewawarman, imigran sekaligus pedagang dari India yang kemudian menjadi menantu Aki Tirem.[3] Dewawarman inilah yang dimaksud sebagai “urang Hindi” oleh Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan Dewawarman dan rombongannya ke Salakanagara, penduduk Rajatapura telah memiliki agama sendiri, yakni agama Sunda. Dewawarman sendiri bertahta di Salakanagara dari tahun 130-168 M. Sedangkan dinastinya tetap berkuasa hingga akhirnya pusat kekuasaan dipindahkan ke Tarumanagara pada tahun 362 M oleh Jayasingawarman, keturunan ke-10 Dewawarman.[4]
Masih menurut naskah Pustaka Wangsakerta, agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa di tatar Sunda pada periode 1175-1297 M.[5] Menarik untuk disimak, bahwa agama Sunda yang telah berumur sekitar 1000 tahun atau 1 Milenium, baru mempunyai kitab suci tertulis pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Wisnu. Penulis berasumsi, mungkin selama era sebelum Prabu Sanghyang Wisnu berkuasa, kehidupan beragama di tanah Sunda belum mendapat perhatian yang serius dari penguasa kerajaan. Setelah masa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah agama Sunda menjadi agama resmi kerajaan.
Beberapa bukti sejarah itu menunjukkan keberadaan agama Sunda asli atau Sunda Wiwitan sebagai sebuah agama yang dianut oleh masyarakat maupun penguasa Sunda kuno adalah fakta tak terbantahkan. Lalu bagaimanakah kedudukan agama Hindu di era Sunda kuno atau Sunda Pajajaran? Bukankah cikal bakal kerajaan Sunda kuno berasal dari orang-orang
India yang notabene beragama Hindu? Bagaimana pula perbedaan mendasar antara agama Hindu dan agama Sunda Wiwitan?
Perbedaan Hindu dan Sunda Wiwitan
Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme atau percaya akan adanya satu Tuhan yang dikenal sebagai Sanghyang Keresa atau biasa juga disebut Batara Tunggal. Dalam menjalankan “tugasnya” mengatur semesta alam, Sanghyang Keresa dibantu oleh para Sang Hyang lainnya seperti Sanghyang Guru Bumi, Sanghyang Kala, Sanghyang Ambu Jati, Sunan Ambu, dan lainnya.
Agama Sunda Wiwitan juga mengenal klasifikasi semesta alam menjadi tiga bagian, yakni Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa), Buana Panca Tengah (tempat hidup manusia dan mahluk hidupnya) dan Buana Larang (neraka). Selain itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan juga dikenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan mandala di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala yang harus dilalui manusia tersebut adalah (secara vertikal): Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar dan Mandala Agung.
Bila kita merujuk pada ajaran Hindu, akan ditemukan perbedaan mendasar dengan ajaran agama Sunda terutama menyangkut konsep teologis. Hindu merupakan agama yang memiliki karakteristik Politeisme atau meyakini adanya lebih dari satu Tuhan atau Dewa. Dalam agama Hindu dikenal banyak dewa, diantaranya tiga dewa yang paling utama (Trimurti) yakni dewa Wisnu (pelindung), Brahma (pencipta) dan Siwa (perusak). Tidak dikenal istilah Sanghyang Keresa dalam ajaran Hindu.
Perbedaan lainnya adalah mengenai sarana peribadatan dari kedua agama. Pada era Sunda Pajajaran, agama Sunda Wiwitan mengenal beberapa tempat suci yang juga dijadikan sarana peribadatan seperti Balay Pamunjungan, Babalayan Pamujan serta Saung Sajen. Hampir semua tempat ibadah tersebut berbentuk punden berundak yang terdiri dari kumpulan batu-batu besar dan arca.[6] Sementara pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sarana peribadatan yang banyak didirikan justru candi yang hingga kini masih dapat kita temui peninggalannya. Bahkan candi juga terkait dengan simbol kekuasaan penguasa tertentu.
Sedangkan budaya keberagamaan masyarakat Sunda yang menganut Sunda Wiwitan pada masa Sunda kuno sungguh berbeda. Mereka tidak mendirikan candi untuk beribadah, melainkan memusatkan kegiatan keagamaannya pada beberapa punden berundak yang dikenal sebagai kabuyutan. Di punden berundak inilah ritual atau prosesi keagamaan khas Sunda Wiwitan dilakukan oleh masyarakat Sunda. Beberapa peninggalan tempat ibadah era Pajajaran yang masih dapat kita temukan kini adalah kabuyutan Sindang Barang (kini menjadi kampung budaya Sindang Barang, Bogor) dan Mandala Parakan Jati di kaki Gunung Salak.
Hal inilah yang juga dapat menjawab pertanyaan sebagian orang mengenai “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat penganut Sunda Wiwitan memang tidak membutuhkan candi sebagai sarana peribadatan, melainkan kabuyutan yang masih kental tradisi megalitiknya. Jadi sedikitnya candi di tanah Sunda bukan karena “kemiskinan” peradaban Sunda di masa lampau, melainkan kondisi sosio-religiusnya yang berbeda dengan masyarakat Jawa-Hindu.
Bukti lainnya yang juga menunjukkan kelemahan klaim sejarah yang berhubungan dengan ke-Hindu-an kerajaan Sunda Pajajaran adalah tidak ditemukannya stratifikasi sosial khas masyarakat Hindu atau kasta pada masyarakat Sunda Kuno. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian serta sumber-sumber sejarah lainnya tidak menunjukkan adanya strata sosial yang didalamnya terdapat kasta Waisya, brahmana atau Sudra sebagaimana masyarakat Hindu di Jawa dan Bali.
Disamping itu, tidak ditemukan pula konsep raja adalah titisan Tuhan
atau Dewa (God-King) pada sistem pemerintahan Sunda Pajajaran atau Galuh
sebagaimana dijumpai dalam sistem kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah
dan Timur.
Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unsur kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak). Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan perilaku, itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang menjurus pada sinkretisme.
+bersambung..
Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unsur kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak). Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan perilaku, itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang menjurus pada sinkretisme.
+bersambung..
lanjutan++
....
Sunda Wiwitan di Masa Kini
Sudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.
Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten. Selain itu, penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi.
Masing-masing komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.
Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh negara.[7] Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini.
Jangan-jangan, penulisan buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang orientasinya ingin menghapukan jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah? Wallahualam
HISKI DARMAYANA, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni Antropologi FISIP Universitas Padjajaran.
[1] Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul, kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang berdiri sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun 669 M.
[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.
[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.
[5] Dalam beberapa cerita Pantun, beliau dijuluki Prabu Resi Wisnu Brata. Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.
[6] Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.
[7] Melalui UU No.1/1965 beserta aturan turunannya, Negara hanya mengakui 6 agama yang berhak hidup di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu ,Budha dan KongHuChu.
=========================================
....
Sunda Wiwitan di Masa Kini
Sudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.
Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten. Selain itu, penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi.
Masing-masing komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.
Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh negara.[7] Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini.
Jangan-jangan, penulisan buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang orientasinya ingin menghapukan jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah? Wallahualam
HISKI DARMAYANA, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni Antropologi FISIP Universitas Padjajaran.
[1] Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul, kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang berdiri sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun 669 M.
[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.
[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.
[5] Dalam beberapa cerita Pantun, beliau dijuluki Prabu Resi Wisnu Brata. Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.
[6] Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.
[7] Melalui UU No.1/1965 beserta aturan turunannya, Negara hanya mengakui 6 agama yang berhak hidup di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu ,Budha dan KongHuChu.
=========================================
Sebagai oleh – oleh dari Tirta yatra ke Pura Gunung Salak saya mencoba untuk menulis tentang sejarah Pura Gunung Salak , semoga apa yang saya tulis bisa menambah pengetahuan serta dapat dijadikan refrensi yang berharga buat anda. Tulisan yang saya buat ini berasal dari beberapa sumber yang dapat dipercaya . berbicara tentang keberadaan Pura Gunung salak dapat ditinjau dari berapa segi yang antara lain adalah sebagai berikut :
Dari Segi Letak Geografis :
Dilihat dari segi letak geografis Gunung Salak merupakan sebuah gunung berapi yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Gunung ini mempunyai beberapa puncak, di antaranya Puncak Salak I dan Salak II. Letak geografis puncak gunung ini ialah pada 6°43′ LS dan 106°44′ BT. Tinggi puncak Salak I 2.211 m dan Salak II 2.180 m dpl. Ada satu puncak lagi bernama Puncak Sumbul dengan ketinggian 1.926 m di atas permukaan laut.
Dari segi bentuk dan tata ruang bangunan :
Ditinjau dari segi tata bangun ruang Pura Gunung Salak dibangun berdasarkan konsep Tri Mandala yang mana Pura Gunung Salak dirancang sebagai tempat ibadah di ruang terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura Gunung Salak mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula terletak di Nista mandala.
Ditinjau dari segi mitologi :
Belum ada literatur yang bisa memastikan kapan agama Hindu masuk ke wilayah Jawa Barat. Tapi setidaknya telah ditemukan sejumlah bukti peninggalan Kerajaan Hindu di Jawa Barat yakni Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal Purnawarman.
Sebagian peninggalan itu diantaranya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jejak kaki sang raja bahkan tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai prasasti Ciaruteun.
Jejak kaki Raja Purnawarman ini diibaratkan seperti telapak kaki Dewa Wisnu, salah satu dewa umat Hindu. Di Museum Nasional juga terdapat prasasti Tugu. Prasasti Hindu tertua yang ditemukan di Pulau Jawa.
Dalam prasasti Tugu yang diperkirakan berasal dari tahun 450 Masehi ini misalnya, penunjukkan Prabu Purnawarman dari Tarumanegara pernah memerintahkan penggalian saluran terusan sungai dari Bekasi ke Pelabuhan Sunda Kelapa untuk sistem pengairan dan membuka jalur pelayaran ke pedalaman.
Pada akhir abad ke VII, Kerajaan Tarumanegara diduga hancur takluk pada Kerajaan Sri Wijaya. Baru pada awal abad ke 14 hadir kembali Kerajaan Hindu Sunda yang cukup kuat dibawah kepemimpinan Prabu Siliwangi. Yakni Kerajaan Padjadjaran dengan ibukotanya terletak disekitar Pakuan yang kini dikenal sebagai kota Bogor.
Sayangnya, tidak banyak yang ditinggalkan sang Prabu Sri Paduga Maharaja. Kebanyakan justru tentang mitos yang masih dipercaya hingga kini walau ratusan tahun sudah berlalu. Seperti kemampuannya untuk menghilang atau muksa. Berbagai kesaktian sang prabu ini pula yang jadi latarbelakang berdirinya pura di Gunung Salak.
Dari segi mitologinya Berdirinya pura di Gunung Salak ini bukan tanpa alasan. Karena di sinilah konon kerajaan Hindu tanah Sunda yang termasyur pernah berdiri. Kerajaan Padjadjaran dibawah pemerintahan Prabu Siliwangi. Konon di tanah inilah Prabu Siliwangi sang Raja Padjadjaran yang membawa kemasyuran bagi tanah Sunda pernah berdiam. Bahkan ada yang percaya di tempat ini Prabu Siliwangi menghilang bersama para prajuritnya. Hingga akhirnya sebelum membangun pura, umat Hindu lalu memutuskan untuk membangun terlebih dulu candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.
Konon, dulu sering ada hal-hal gaib yang terjadi di wilayah ini yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi, raja masyur dari Kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat. Pendirian pura di Gunung Salak yang dipercaya sebagai petilasan Sri Paduga Maharaja Prabu Siliwangi
Tahun 1984 merupakan Tonggak sejarah dimulainya ide pembangunan Pura Gunung Salak, hal ini bermula dari sebuah perasaan mistik seorang tokoh Hindu di Bali bernama Anggawijaya. Ketika itu Angga tengah sembahyang di lereng Gunung Salak ini. Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang lain. Aneh, ada daya tarik yang khas begitu terasa. Sulit dikatakan dengan lisan. Dan itu menyebabkan Angga yakin bila di situ cocok menjadi tempat ibadah.
Sejak itu, Angga berangkat ke Bali dan Jakarta. Ia temui sejumlah rekan, baik pemangku (pelayan pura), Pedanda, dan mereka yang bisa merasakan adanya energi di suatu tempat. Akhirnya terkumpul 20 orang tokoh, termasuk Dewa Brata, Gubernur Bali yang waktu itu masih menjabat Sekwilda Bali. Setelah disepakati, mereka berangkat ke tempat Angga dahulu melakukan sembahyang.
Dan benar saja, baru selangkah memasuki lokasi, mereka sudah merasakan adanya energi aneh itu. Mereka pun segera memulai sembahyang dengan posisi setengah lingkaran. Pada tahap inilah mereka baru merasakan energi yang kuat itu benar-benar ada. Setelah itu mereka istirahat. Pukul 00.00, mereka kembali bersembahyang. Mereka berdoa kepada Sang Hyang Widi untuk diberikan tanda yang nyata bila di tempat ini bisa dibangun pura.
Tak berapa lama, keheningan yang tengah berlangsung itu buyar seketika. Sebab tiba-tiba terdengar suara denting besi yang beradu dengan batu. Komang Agung, salah seorang peserta sembahyang, menemukan sebuah keris berukuran sekitar 7 Cm, disisi kiri tempatnya bersila. Menyusul kemudian ditemukan lagi tiga buah permata yang besarnya mencapai satu ruas ibu jari orang dewasa. Warnanya ada yang hijau, merah dan kecoklat-coklatan. Benda-benda gaib itu semua dikubur di tempat berdirinya pura.
Belakangan, panitia pelaksana penyucian leluhur umat Hindu sebumi Parahyangan itu baru tahu bila lokasi mereka semadi tempo hari bukan tempat sembarangan. Masyarakat di sana, maupun tokoh-tokoh spiritual di Bogor juga mengungkap bila tempat itu merupakan petilasan Prabu Siliwangi. Menurut keterangan, di tempat itulah sang prabu dan bala tentaranya moksa. Petilasannya berbentuk batu-batuan hingga kini masih ada di lokasi itu. Konon, pada tahun 1981 silam, tempat tersebut dikenal sebagai Batu Menyan. Batu menyan ini setiap harinya mengeluarkan asap. Konon masyarakat sekitar setiap hari melihat cahaya putih, dan sinar terang dari angkasa, kemudian turun ke batu.
Setelah rangkaian proses yang panjang, disepakatilah di tempat itu untuk didirikan pura. Pemangku pura Gunung Salak, I Nyoman Randeg
Pada Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, Raja Termasyur dan sangat dipuja.Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Pemerintahan beliau dengan sesanti : “Tata Tentram Kerja Raharja”, telah membawa jaman keemasan bagi Padjadjaran, kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan kepada penghormatan ajaran leluhur “Sanghyang Dharma dan Sanghyang Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama masa pemerintahan beliau tahun 1482 -1521, dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535. Semua ini tertera pada prasasti batu bertulis di jalan batu tulis Bogor, yang dibuat Tahun Saka 1455 atau 1533 SM.
Selama proses pembangunan, untuk sementara pura disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga tahun 2005, atas partisifasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga, panitia berhasil menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama mandala berupa Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale Reringgitan, Bale Panjang dan Panggunan. Demikian juga pelinggih Betari Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara, untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya dan Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung yadnya maupun operasional pura selanjutnya.
Dari sejak dirintis pembangunan pura ini merupakan hasil kerja gotong royong umat. Memang belum semua bagian selesai dikerjakan. Namun bangunan pura utama, seperti Pura Padmesana dan Balai Pasamuan Agung dan Mandala Utama segera selesai.
Rencananya pura Gunung Salak ini akan terdiri dari empat area. Misalnya area utama Ning Mandala yang merupakan area suci hingga hanya para pemangku agama yang bisa menjejakan kakinya.Bangunan penting lain adalah Padmesana yang merupakan tempat persemayaman Tuhan serta Balai Pasamuan Agung.
Ditinjau dari segi Pemberian Nama Pura
Paruman Sulinggih
Hari minggu, 11 Juni 2005 disebelah kiri belakang padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih. Beliau adalah para sulinggih yang tinggal menetap di Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan Jakarta termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama.
Pertama, pura yang telah dibangun disepakati dengan nama “Parahyangan Agung Jagat Karta”. Ini diambil dari philosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta, (lontar Widhi Sastra Catur Yugo-Griya Aan Klungkung), Jawa Barat semasa pemerintahan raja-raja Siliwangi khususnya (tabe pakulun) Prabhu Sri Baduga Maharaja; agama Veda (Hindu) adalah agama kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat adalah tempat pertama masuknya ajaran Veda/agama Hindu di Pulau Jawa. Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selanjutnya terus ke Bali. Untuk Jawa Timur juga ada penyebaran Ajaran Veda/Agama Hindu langsung dari India yang terjadi pada kurun waktu berikutnya. Dikaitkan dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng Gunung Salak, dimana didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang Prabhu Siliwangi Shri Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat Kartta”. Wilayah tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan sekaligus kecamatan Tamansari di lereng Gunung Salak. Kemudian kata “Tamansari gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat dengan nama pura, sehingga secara lengkap disebut sebagai
“PARAHYANGAN AGUNG JAGAT KARTTA TAMANSARI
GUNUNG SALAK”.
Parahyangan berarti tempat Sanghyang Widhi;
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.
Ditinjau dari segi Upacara/pujawali Di Pura Gunung Salak
Ngenteg Linggih dan Piodalan/Pujawali Pura.
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik, disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yaitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005. Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dari Griya Aan, Klungkung, Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.
Ditinjau dari segi Upacara/pujawali Di Pura Gunung Salak
Ngenteg Linggih dan Piodalan/Pujawali Pura.
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik, disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yaitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005. Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dari Griya Aan, Klungkung, Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.
Sumber: http://ronentalmedia.blogspot.com/20...ung-salak.html
==========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar