HAKIKAT "MESIANISME" (KE-ALMASIH-AN) DALAM AL-QURAN & MAKNA "NAGARA PAJAJARAN ANYAR" DAN "URANG SUNDA" DALAM
UGA WANGSIT
PRABU SILIWANGI
BAB XV
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Tafsir Uga Wangsit Prabu Siliwangi
1. Pangapunten jisim abdi ka sadaya para wargi, hususnya para karuhun, neda hapunten ka para dewata, ka sangiang, ka dangiang, ka LULUHUR GALUH PAKUAN.
2. putra-putri PAJAJARAN, di kawit GALUH PAKUAN, dugi ka kiwari pisan nu katelah PUTRA SUNDA, mugi dijaga diriksa, dilanglangan saraosna.
3. Ti abdi saparakanca mung sakadar ngawakilan, wawakil panyambung lisan mengdugikeun WEJANGANANA TI EYANG PRABU SILIWANGI tina samemeh ngahiyang.
4. Mangga geura darangukeun, regepkeun dugi kaharti UGA WANGSIT SILIWANGI, supados jadi panggeuing ka sadaya putra-putri nyandang KAWILUJENGAN.
5. Saur EYANG PRABU pokna ka sadaya balad PAJAJARAN anu parantos malundur, sateuacanna ngahiyang:"LALAKON URANG TEH NGAN NEPI KA POE IEU PISAN UGANA.
6. SANAJAN DIA KABEHAN KA NGAING PADA SATIA, TAPI NGAING HENTEU MEUNANG MAWA PIPILUEUN NGILU HIRUP BALANGSAK, NGILU RUDIN BARI LAPAR.
7. Daria KUDU MARILIH, supaya engke jagana pikeun HIRUP KA HAREUPNA, sangkan JEMBAR SUGIH-MUKTI bisana NGADEGNA DEUI nya NAGARA PAJAJARAN.
8. Tapi lain PAJAJARAN, PAJAJARAN nu KIWARI, pasti PAJAJARAN ANYAR, ANYAR DIADEGKEUNANA, nu NGADEGNA digeuingkeun, pasti ku OBAHNA JAMAN."
9. Lajeng EYANG PRABU mitutur: "GEURA PARILIH KU DARIA, NGAING MO REK NGAHALANG-HALANG PIKEUN NGAING MAH, sababna HENTEU PANTES JADI RAJA mun SOMAH LAPAR BALANGSAK."
Terjemahnya:
1. Saya meminta maaf kepada semua keluarga (saudara-saudara), khususnya para karuhun (leluhur), minta maaf kepada para dewata, kepada para sangiang, kepada dangiang, kepada LELUHUR GALUH PAKUAN,
2. putra-putri PAJAJARAN dari mulai GALUH PAKUAN sampai kepada saat (waktu) ini yang disebut PUTRA SUNDA, harap dijaga dan diayomi, dikunjungi secara diam-diam sekehendak hati.
3. Dari saya dan kawan-kawan hanya sekedar mewakili, sebagai wakil penyambung ucapan (perkataan) menyampaikan nasihatnya dari eyang PRABU SILIWANGI sebelum menghiyang (wafat).
4. Silakan dengarkanlah, perhatikan sampai mengerti UGA WANGSIT SILIWANGI (ucapan ilhami Siliwangi) supaya menjadi PEMBERI INGAT (mengingatkan) kepada semua putra-putri mendapat KESELAMATAN.
5. Kata EYANG PRABU kepada rakyat (pasukan) PAJAJARAN yang sudah mengundurkan diri sebelum "ngahiyang" (menghilang/meninggal): "KISAH kita semua HANYA SAMPAI HARI INI SAJA ugana (perjalanan sejarah yang telah ditakdirkan).
6. Walau pun kalian semua BERLAKU SETIA KEPADAKU akan tetapi AKU TIDAK BOLEH MEMBAWA KALIAN IKUT SERTA MENGALAMI HIDUP SUSAH, BERPAKAIAN COMPANG-CAMPING, DAN KELAPARAN.
7. Kalian harus MEMILIH supaya nanti di masa depan UNTUK KEHIDUPAN KE DEPANNYA, supaya "JEMBAR SUGIH MUKTI" (meraih kejayaan dan tidak kekurangan sesuatu apapun) DALAM RANGKA BERDIRINYA KEMBALI NEGARA PAJAJARAN.
8. Akan tetapi bukan PAJAJARAN, PAJAJARAN yang sekarang, pasti PAJAJARAN YANG BARU, BARU DIDIRIKANNYA, yang BERDIRINYA diperingatkan pasti oleh BERUBAHNYA JAMAN."
9. Selanjutnya EYANG PRABU berkata: "Hendaknya kalian secepatnya MENENTUKAN PILIHAN, sebab bagiku AKU TIDAK AKAN MENGHALANG-HALANGI, sebabnya TIDAK PANTAS MENJADI RAJA kalau RAKYAT MENDERITA KELAPARAN dan MENGALAMI KESUSAHAN HIDUP."
Kebebasan Beragama
Dari Uga Wangit Prabu Siliwangi tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan di antaranya adalah:
a. Ketinggian akhlak dan ruhani Raja "URANG SUNDA" tersebut, beliau memberikan kebebasan kepada seluruh rakyatnya dalam menentukan sikap -- termasuk kebebasan beragama -- demikian juga mengenai rasa tanggungjawabnya sebagai raja terhadap keselamatan dan kesejahteraan kehidupan rakyatnya.
Mengenai hal tersebut dalam Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain dijelaskan:
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pagelaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran."
Sikap terpuji Prabu Siliwangi tersebut -- khususnya dalam masalah kebebasan beragama -- sesuai dengan ajaran Islam (Al-Quran) sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (Qs.2:257; Qs.10:100; Qs.11:119; Qs.18:30; Qs.76:4). Kepedulian besar Prabu Siliwangi terhadap masalah agama tercermin dalam penjelasan sebelum ini:
"Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Niskala Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Dewa Niskala/Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
"Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran.
Harus menitipkan dayeuhan (ibukota) di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea, karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa."
1. Perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat yang berpegang teguh kepada "agama-agama" atau "kepercayaan-kepercayaan" yang datang sebelum "agama Islam" berakhir dengan lenyapnya "istana kerajaan Pajajaran" di Bogor, oleh penyerbuan kedua kali pasukan rahasia dari kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Banten I, Maulana Hasanuddin. Pada peristiwa penyerbuan kedua tersebut Istana kerajaan Pajajaran -- yang umumnya terbuat dari kayu -- dibakar habis.
Peristiwa penghancuran keraton Pakuan Pajajaran tersebut terjadi pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra atau Tohaan di Majaya (1551-1567), raja Pajajaran kelima. Dalam penyerbuan-penyerbuan tersebut ikut berperan putra mahkota Kesultanan Banten, Maulana Yusuf.
Sebenarnya penyerbuan pasukan rahasia Kesultanan Banten terhadap pusat kerajaan Pajajaran tersebut telah dimulai pada masa pemerintahan Ratu Dewata (1535-1543), raja Pajajaran ketiga, yang menggantikan kedudukan ayahnya, Prabu Surawisesa (Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma), raja Pajajaran kedua, yang menggantikan Prabu Siliwangi (Shri Baduga Maharaja). Namun penyerbuan ketika itu dapat digagalkan berkat kokohnya benteng pertahanan keraton Pakuan Pajajaran. Pada peristiwa penyerbuan pasukan Banten yang pertama tersebut 2 orang Senapati kerajaan Pajajaran yaitu, Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet gugur.
Prabu Surawisesa adalah putra Prabu Siliwangi dari istri beliau yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda, puteri Prabu Susuk Tunggal (sang Haliwungan). Prabu Susuk Tunggal adalah putra dari Maharaja Niskala Wastukancana dari kerajaan Kawali, dari istri beliau yang berasal dari Lampung, Dewi Sarkati, putri Resi Susuk Lampung. Putra lainnya dari Maharaja Niskala Wastu Kancana adalah Dewa Niskala, ayah Prabu Siliwangi.
Gagal memasuki benteng kota Pakuan Pajajaran, pasukan penyerbu dari Banten tersebut dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, yang dalam jaman pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Terlepas dari adanya manfaat berupa tersebarnya agama Islam di wilayah Jawa Barat -- sehingga umumnya penduduk Jawa Barat menjadi pemeluk agama Islam -- namun penyerbuan yang dilakukan pasukan Banten terhadap desa-desa kawikuan tersebut bertentangan dengan ajaran Al-Quran, kecuali jika benar-benar terbukti bahwa tempat-tempat yang dilarang oleh ajaran Islam (Al-Quran) dijadikan sasaran penyerbuan tersebut dipergunakan pihak musuh sebagai tempat pertahanan atau dipergunakan sebagai tempat untuk melakukan penyerangan (Qs. 2:191-195 & 218; Qs.8:40; Qs.9:7-15; Qs.22:40-41; Qs.60:8-10).
Berikut adalah ajaran Islam (Al-Quran) berkenaan dengan izin melakukan peperangan, firman-Nya:
اُذِنَ لِلَّذِیۡنَ یُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّہُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی نَصۡرِہِمۡ لَقَدِیۡرُۨ ﴿ۙ۴۰﴾ الَّذِیۡنَ اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ بِغَیۡرِ حَقٍّ اِلَّاۤ اَنۡ
یَّقُوۡلُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ؕ وَ لَوۡ لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ
بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ صَوَامِعُ وَ بِیَعٌ وَّ صَلَوٰتٌ وَّ
مَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ کَثِیۡرًا ؕ وَ لَیَنۡصُرَنَّ
اللّٰہُ مَنۡ یَّنۡصُرُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿۴۱۰﴾
Telah diizinkan bagi mereka yang telah diperangi untuk berperang disebabkan mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang diusir dari rumah-rumah mereka tanpa haq, hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami ialah Allah." Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain maka akan
hancur biara-biara dan gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah
Yahudi dan masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesunguhnya Allah maha Kuasa, Maha Perkasa (Al-Hajj, 40-41).
Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan ajaran Islam sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para Khulafa-ur-Rasyidah bahwa:
Perang hanya ditujukan terhadap mereka yang terlebih dahulu mengangkat senjata melawan kaum Muslimin. Dengan demikian perang yang dilakukan oleh kaum Muslimin bersifat untuk melakukan pembelaan diri, dengan tujuan untuk melenyapkan rintangan-rintangan yang diletakkan pihak lawan di jalan Allah Ta'ala, sehingga terjamin kebebasan menganut kepercayaan dan melaksanakan ibadah bagi semua umat beragama (Qs.4:76-77; Qs.22:40).
Perang yang dilancarkan oleh umat Islam sama sekali bukan untuk tujuan (1) merampas hak orang-orang lain atas rumah dan milik mereka, atau (2) merampas kemerdekaan mereka serta memaksa mereka tuntuk kepada kekuasaan asing, atau (3) untuk tujuan menjajagi pasar-pasar yang baru, atau untuk memperoleh tanah-tanah jajahan baru – seperti yang telah diusahakan oleh kekuasaan negara-negara Kristen dari Barat – melainkan semata-mata untuk membela diri dan untuk menyelamatkan Islam dari kemusnahan dan untuk menegakkan kebebasan berpikir, begitu juga untuk membela tempat-tempat peribadatan yang dimiliki oleh agama-agama lain – gereja-gereja, rumah-rumah peribadatan prang-orang Yahudi, kuil-kuil, biara-biara, dan sebagainya (Qs.2:194 & 257; Qs.8:40 & 73; Qs,22:40-41).
Kaum Muslimin harus meletakkan senjata segera sesudah musuh menghentikan peperangan. (Qs.2:191-193; Qs.8:40).
Pasukan rahasia dari Kesultanan Banten baru berhasil memasuki benteng pertahanan keraton Pakuan Pajajaran pada masa pemerintahan raja Pajajaran kelima, Prabu Nilakendra atau Tohaan Di Majaya (1551-1567), akibat penghianatan salah seorang prajurit kerajaan Pajajaran, saudara dari salah seorang anggota pasukan rahasia Kesultanan Banten, Ki Jongjo, yang secara diam-diam di malam hari telah membukakan pintu gerbang benteng pertahanan keraton Pakuan Pajajaran. Sumber lain menceritakan bahwa justru Ki Jongjo itulah yang melakukan pemberontakan (pengkhianatan) di Pakuan Pajajaran tersebut
Dengan jatuhnya kota Pakuan – Pusat Kerajaan Pajajaran -- pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra ke dalam kekuasaan para penyerbu dari Kesultanan Banten, maka ketika Prabu Raga Mulya menggantikan kedudukan Prabu Nilakendra sebagai raja Kerajaan Pajajaran, ia tidak lagi berkedudukan di Pakuan Pajajaran melainkan di tempat pengungsian, yang terletak di lereng gunung Pulasari, di Kadu Hejo, Kecamatan Menes - Paneglang (Pandeglang).
Berdasarkan sumber lain raja terakhir Kerajaan Pajajaran (Prabu Raga Mulya) tersebut dikenal pula dengan sebutan Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari. Prabu Raga Mulya mengungsi ke daerah Banten Girang (Pasirbatang Kulon) bersama dengan 800 orang anggota keluarga kerajaan Pajajaran ke lereng gunung Cibodas dan lereng gunung Pulasari.
Mereka inilah yang disebut dalam Uga Wangsit Prabu Siliwangi sebagai orang-orang yang memisahkan diri ke sebelah barat:
11. .................. nu MAWA KAREP SORANGAN marisah ka beulah KULON............
14. Dia nu ti beulah KULON, papay ku dia lacaknya ti LACAK KI SANTANG, sabab, ENGKE TURUNAN DIA JADI PANGGEUING KA DULUR SARTA NGAGEUING KA BATUR,
15. ka BATUR URUT SALEMBUR, ka DULUR NU SAUYUNAN, ka nu RANCAGE HATENA. Ke jaga mun TENGAH PEUTING ti GUNUNG HALIMUN aya SORA TUTULUNGAN.
16. tah eta TANDANA PISAN SATURUNAN DIA DISAMBAT ku nu DEK KAWIN TI LEBAK, kawin ti LEBAK CAWENE, ulah rek TALANGKE deui sabab TALAGA BAKAL BEDAH.
Terjemah:
11. ........... yang MENGIKUTI KEINGINANNYA SENDIRI hendaknya memisahkan diri ke sebelah BARAT...........
14. DIA YANG DI SEBELAH BARAT hendaknya CARI OLEHNYA DARI LACAK [jejak perjalanan] Ki SANTANG, sebab nanti KETURUNANNYA AKAN MENJADI PEMBERI INGAT KEPADA SAUDARA dan PEMBERI INGAT KEPADA ORANG LAIN,
15. kepada TEMAN SEKAMPUNG (sedaerah), kepada SAUDARA YANG SEIA-SEKATA, kepada yang "RANCAGE" (gesit/kreatif/trampil) HATINYA. Kelak nanti kalau TENGAH MALAM dari GUNUNG HALIMUN ada SUARA MINTA TOLONG,
16. nah, itulah TANDANYA SEKETURUNAN DIA "DISAMBAT" (diminta datang) oleh ORANG YANG AKAN MENIKAH di "LEBAK CAWENE" (lembah perawan), JANGAN HENDAKNYA BERSIKAP LAMBAT (ogah-ogahan) lagi, sebab DANAU BAKAL JEBOL.
"Penghancuran Istana Surasowan" Oleh VOC
Merupakan Bahan Renungan
Satu hal yang perlu menjadi bahan renungan bagi umat Islam, bahwa sebagaimana halnya keraton Pakuan Pajajaran mengalami kehancuran (musnah) akibat dibakar oleh pasukan rahasia kesultanan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, demikian pula keraton Surasowan (Kuta Inten) di Banten pun mengalami nasib yang sama, yakni tgl. 21 November 1808 -- pada masa pemerintahan Sultan Banten ke XIV -- Sultan Abu Nasir Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1805-1808) – diserang oleh 1000 orang tentara tentara VOC, dan pada bulan Desember 1808 benteng keraton Surasowan (Kuta Inten) dihancurkan, atas perintah Gubernur Jenderal Deandels, akibat terbunuhnya Komisaris Du Puy, utusan Deandels.
Pembunuhan utusan Deandels tersebut berkaitan dengan penolakan Sultan Banten -- Sultan Abu Nasir Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin -- atas tindakan aniaya yang dilakukan Deandels melakukan kerja-paksa, berupa pembuatan pangkalan angkatan laut di Jungkulan (Ujung Kulon) dan "jalan jajahan" Anyer – Panarukan", sehingga banyak rakyat Banten yang menjadi pekerja paksa menjadi korban dan yang masih bertahan hidup banyak yang melarikan diri.
Peristiwa penghancuran benteng keraton Surasowan (Kuta Inten) tersebut sekaligus mengakhiri kekuasaan Kesultanan Banten, sebab Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin II (1808-1810) pengganti Sultan Abu Nasir Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin, Sultan Banten ke XIV – yang kemudian dibuang oleh Deandels ke Ambon -- walaupun dinobatkan sebagai Sultan Banten ke XV akan tetapi kekuasaannya hanya sebagai bupati.
Dengan demikian dalam peristiwa penghancuran "istana Surasowan" tersebut perlu dijadikan bahan renungan, sebabnya adalah Prabu Siliwangi pada masa pemerintahannya memberi kebebasan kepada seluruh rakyat kerajaan Pajajaran untuk menentukan sikap dan memilih jalan hidup mereka masing-masing, termasuk kebebasan dalam masalah agama.
Bahkan, salah seorang istri Prabu Siliwangi yang menganut agama Islam adalah Ratu Subanglarang atau Ratu Subangkarancang, ibu Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) dan nenek Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) penguasa Kesultanan Cirebon. Ratu Subanglarang adalah murid Maulana Hasanuddin -- yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro -- pendiri Pesantren Quro di pesisir pantai Karawang.
Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan ajaran Islam sebagaimana yang disunnahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para Khulafa-ur-Rasyidah bahwa:
Perang hanya ditujukan terhadap mereka yang terlebih dahulu mengangkat senjata melawan kaum Muslimin. Dengan demikian perang yang dilakukan oleh kaum Muslimin bersifat untuk melakukan pembelaan diri, dengan tujuan untuk melenyapkan rintangan-rintangan yang diletakkan pihak lawan di jalan Allah Ta'ala, sehingga terjamin kebebasan menganut kepercayaan dan melaksanakan ibadah bagi semua umat beragama (Qs.4:76-77; Qs.22:40).
Perang yang dilancarkan oleh umat Islam sama sekali bukan untuk tujuan (1) merampas hak orang-orang lain atas rumah dan milik mereka, atau (2) merampas kemerdekaan mereka serta memaksa mereka tuntuk kepada kekuasaan asing, atau (3) untuk tujuan menjajagi pasar-pasar yang baru, atau untuk memperoleh tanah-tanah jajahan baru – seperti yang telah diusahakan oleh kekuasaan negara-negara Kristen dari Barat – melainkan semata-mata untuk membela diri dan untuk menyelamatkan Islam dari kemusnahan dan untuk menegakkan kebebasan berpikir, begitu juga untuk membela tempat-tempat peribadatan yang dimiliki oleh agama-agama lain – gereja-gereja, rumah-rumah peribadatan prang-orang Yahudi, kuil-kuil, biara-biara, dan sebagainya (Qs.2:194 & 257; Qs.8:40 & 73; Qs,22:40-41).
Kaum Muslimin harus meletakkan senjata segera sesudah musuh menghentikan peperangan. (Qs.2:191-193; Qs.8:40).
Pasukan rahasia dari Kesultanan Banten baru berhasil memasuki benteng pertahanan keraton Pakuan Pajajaran pada masa pemerintahan raja Pajajaran kelima, Prabu Nilakendra atau Tohaan Di Majaya (1551-1567), akibat penghianatan salah seorang prajurit kerajaan Pajajaran, saudara dari salah seorang anggota pasukan rahasia Kesultanan Banten, Ki Jongjo, yang secara diam-diam di malam hari telah membukakan pintu gerbang benteng pertahanan keraton Pakuan Pajajaran. Sumber lain menceritakan bahwa justru Ki Jongjo itulah yang melakukan pemberontakan (pengkhianatan) di Pakuan Pajajaran tersebut
Dengan jatuhnya kota Pakuan – Pusat Kerajaan Pajajaran -- pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra ke dalam kekuasaan para penyerbu dari Kesultanan Banten, maka ketika Prabu Raga Mulya menggantikan kedudukan Prabu Nilakendra sebagai raja Kerajaan Pajajaran, ia tidak lagi berkedudukan di Pakuan Pajajaran melainkan di tempat pengungsian, yang terletak di lereng gunung Pulasari, di Kadu Hejo, Kecamatan Menes - Paneglang (Pandeglang).
Berdasarkan sumber lain raja terakhir Kerajaan Pajajaran (Prabu Raga Mulya) tersebut dikenal pula dengan sebutan Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari. Prabu Raga Mulya mengungsi ke daerah Banten Girang (Pasirbatang Kulon) bersama dengan 800 orang anggota keluarga kerajaan Pajajaran ke lereng gunung Cibodas dan lereng gunung Pulasari.
Mereka inilah yang disebut dalam Uga Wangsit Prabu Siliwangi sebagai orang-orang yang memisahkan diri ke sebelah barat:
11. .................. nu MAWA KAREP SORANGAN marisah ka beulah KULON............
14. Dia nu ti beulah KULON, papay ku dia lacaknya ti LACAK KI SANTANG, sabab, ENGKE TURUNAN DIA JADI PANGGEUING KA DULUR SARTA NGAGEUING KA BATUR,
15. ka BATUR URUT SALEMBUR, ka DULUR NU SAUYUNAN, ka nu RANCAGE HATENA. Ke jaga mun TENGAH PEUTING ti GUNUNG HALIMUN aya SORA TUTULUNGAN.
16. tah eta TANDANA PISAN SATURUNAN DIA DISAMBAT ku nu DEK KAWIN TI LEBAK, kawin ti LEBAK CAWENE, ulah rek TALANGKE deui sabab TALAGA BAKAL BEDAH.
Terjemah:
11. ........... yang MENGIKUTI KEINGINANNYA SENDIRI hendaknya memisahkan diri ke sebelah BARAT...........
14. DIA YANG DI SEBELAH BARAT hendaknya CARI OLEHNYA DARI LACAK [jejak perjalanan] Ki SANTANG, sebab nanti KETURUNANNYA AKAN MENJADI PEMBERI INGAT KEPADA SAUDARA dan PEMBERI INGAT KEPADA ORANG LAIN,
15. kepada TEMAN SEKAMPUNG (sedaerah), kepada SAUDARA YANG SEIA-SEKATA, kepada yang "RANCAGE" (gesit/kreatif/trampil) HATINYA. Kelak nanti kalau TENGAH MALAM dari GUNUNG HALIMUN ada SUARA MINTA TOLONG,
16. nah, itulah TANDANYA SEKETURUNAN DIA "DISAMBAT" (diminta datang) oleh ORANG YANG AKAN MENIKAH di "LEBAK CAWENE" (lembah perawan), JANGAN HENDAKNYA BERSIKAP LAMBAT (ogah-ogahan) lagi, sebab DANAU BAKAL JEBOL.
"Penghancuran Istana Surasowan" Oleh VOC
Merupakan Bahan Renungan
Satu hal yang perlu menjadi bahan renungan bagi umat Islam, bahwa sebagaimana halnya keraton Pakuan Pajajaran mengalami kehancuran (musnah) akibat dibakar oleh pasukan rahasia kesultanan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, demikian pula keraton Surasowan (Kuta Inten) di Banten pun mengalami nasib yang sama, yakni tgl. 21 November 1808 -- pada masa pemerintahan Sultan Banten ke XIV -- Sultan Abu Nasir Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1805-1808) – diserang oleh 1000 orang tentara tentara VOC, dan pada bulan Desember 1808 benteng keraton Surasowan (Kuta Inten) dihancurkan, atas perintah Gubernur Jenderal Deandels, akibat terbunuhnya Komisaris Du Puy, utusan Deandels.
Pembunuhan utusan Deandels tersebut berkaitan dengan penolakan Sultan Banten -- Sultan Abu Nasir Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin -- atas tindakan aniaya yang dilakukan Deandels melakukan kerja-paksa, berupa pembuatan pangkalan angkatan laut di Jungkulan (Ujung Kulon) dan "jalan jajahan" Anyer – Panarukan", sehingga banyak rakyat Banten yang menjadi pekerja paksa menjadi korban dan yang masih bertahan hidup banyak yang melarikan diri.
Peristiwa penghancuran benteng keraton Surasowan (Kuta Inten) tersebut sekaligus mengakhiri kekuasaan Kesultanan Banten, sebab Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin II (1808-1810) pengganti Sultan Abu Nasir Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin, Sultan Banten ke XIV – yang kemudian dibuang oleh Deandels ke Ambon -- walaupun dinobatkan sebagai Sultan Banten ke XV akan tetapi kekuasaannya hanya sebagai bupati.
Dengan demikian dalam peristiwa penghancuran "istana Surasowan" tersebut perlu dijadikan bahan renungan, sebabnya adalah Prabu Siliwangi pada masa pemerintahannya memberi kebebasan kepada seluruh rakyat kerajaan Pajajaran untuk menentukan sikap dan memilih jalan hidup mereka masing-masing, termasuk kebebasan dalam masalah agama.
Bahkan, salah seorang istri Prabu Siliwangi yang menganut agama Islam adalah Ratu Subanglarang atau Ratu Subangkarancang, ibu Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) dan nenek Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) penguasa Kesultanan Cirebon. Ratu Subanglarang adalah murid Maulana Hasanuddin -- yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro -- pendiri Pesantren Quro di pesisir pantai Karawang.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar