Pada Tahun 1409 Ki Gedeng Tapa dan anaknya nyai Subang
Larang,penguasan Syahbandar Muara Jati Cirebon, menyambut kedatangan
pasukan angkatan laut Tiongkok pimpinan Laksamana Muslim Cheng Ho
ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo (Dinasti Ming 1363-1644) memimpin misi
muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara
(1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal.
Misi
muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan.
Bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah
yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena
itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa
sebagai Syahbandar Cirebon. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho membangun
mercusuar.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu, rupanya juga diikutsertakan
seorang ulama Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar
Perguruan Islam di Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada
garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin, ulama
besar Makkah masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali
Ra.dan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW. Syeh Hasanuddin, seorang ulama
yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya
untuk mengajar Agama Islam di Kesultanan Malaka,
Dikisahkan pula bahwa setelah Syekh Hasanuddin menunaikan tugasnya di
Malaka, selanjutnya beliau pulang ke Campa dengan menempuh perjalanan
melewati ke daerah Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura hingga melalui
pelabuhan Muara Jati. Di Muara Jati Syeh Hasanuddin berkunjung kembali
ke Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Cerbon yang dulu pernah dikunjunginya
bersama Laksamana Cheng Ho.
Kedatangan ulama besar yag ahli Qiro’at tersebut, disamping karena
perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam
seperti sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan
Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina
Islam. memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai
Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Karenanya kedatangan Syekh Hasanuddin
disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang
memperoleh kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat.
Ketika kunjungan yang cukup lama itu berlangsung, Ki Gedeng Tapa dan
anaknya Nyai Subang Larang serta masyarakat Syahbandar Muara Jati merasa
tertarik dengan Suara lantunan ayat Qur’an serta ajarannya yang dibawa
Syekh Hasanuddin, hingga akhirnya banyak warga yang memeluk Islam.
Penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Hasanuddin di
Muara Jati Cirebon, yang merupakan bawahan dari Kerajaan Pajajaran,
rupanya sangat mencemaskan raja Pajaran Prabu Anggalarang, sehingga pada
waktu itu,penyebaran agama Islam dperintahkan agar dihentikan. Perintah
dari Raja Negeri Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syekh Hasanuddin.
Beberapa saat kemudian Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng
Tapa. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri sangat prihatin atas
peristiwa yang menimpa ulama besar itu, Sebab ia pun sebenarnya masih
ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam. Oleh karena itu,
sebagai wujud kesungguhannya terhadap agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa
yang bernama Nyai Subang Karancang atau Nyai Subang Larang dititipkan
ikut bersama ulama besar ini untuk belajar mengaji dan Agama Islam di
Campa.
Beberapa waktu lamanya berada di Campa, kemudian Syekh Hasanuddin
membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah negeri Pajajaran. Dan
untuk keperluan tersebut, maka telah disiapkan dua perahu dagang yang
memuat rombongan para santrinya adalah Syekh Abdul Rahman.Syekh Maulana
Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.termasuk Nyai Subang Larang.
Sekitar tahun 1416 Masehi, setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa,
dan Sunda Kelapa lalu memasuki Kali Citarum,yang waktu itu di Kali
tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Negeri Pajajaran,
akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.
dimana kegiatan Pemerintaahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem. Karena
rombongan tersebut,sangat menjunjung tinggi peraturan kota
Pelabuhan,sehingga aparat setempat sangat menghormati dan,memberikan
izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah
sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di
pelabuahan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan Dakwah-dakwahnya di
Mushola yang dibangunya ( sekarang Mesjid Agung Karawang ).dari urainnya
mudah dipahami dan mudah diamalkan,ia beserta santrinya juga memberikan
contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar
karawang.
Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu
bersama murid-muridnya,Nyi Subang Larang,Syekh Abdul Rohman,Syekh
Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti ,Syekh Abdiulah Dargom alias
Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan
dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).karena ulama besar ini
memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari
banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin yang kemudian masyarakat
Pelabuhan Karawang memanggilnya dengan Syekh Quro, rupanya telah
terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang
Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan
Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin
oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup
Pesantren Syekh Quro.
Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya
hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang
dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah
dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu
Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro,
dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang
Larang yang cantik dan halus budinya.
Pinangan tersebut diterima tapi,dengan syarat mas kawinnya yaitu
Lintang Kerti Jejer Seratus yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh
yang merupakan alat untuk berwirid yang berada di Mekkah. permohonan
Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa.Atas petunjuk Syekh
Quro,Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.
Di tanah suci Mekkah,Prabu Pamanah Rasa disambut oleh Syekh Maulana
Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa keget,ketika namanya di ketahui
oleh seorang syekh. Dan Syekh itu, bersedia membantu untuk mencarikan
Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah
Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa mengucapkan Dua Kalimah Syahadat.yang
makna pengakuan pada Allah SWT,sabagai satu-satunya Tuhan yang harus
disembah dan, Muhammad adalah utusannya. Semenjak itulah, Prabu Pamanah
Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau
Tasbeh, mulai dari itu,Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama
islam yang sebenarnya.Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Pajajaran
untuk melangsungkan pernikahannya keduanya dengan Nyi Subang Larang
waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M,pernikahan di langsungkan di
Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Beberapa
lama setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dinobatkan sebagai Raja Pakuan
Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.
Kerajaan Pakuan Pajajaran biasa disebut kerajaan Pajajaran saja (1482
– 1579 M). Pada masa kejayaannya kerajaan Prabu Pamanah Rasa terkenal
dengan sebutan Sri Baduga Maharaja dengan gelar Prabu Siliwangi
dinobatkan sebagai raja pada usia 18 tahun. Meski sudah masuk agama
Islam ternyata Prabu Siliwangi tetap menjadikan agama “resmi” kerajaan
yang dianut saat itu tetap “Sunda Wiwitan” yakni “ajaran dari leluhur
yang dijunjung tinggi yang mengejar kesejahteraan”. Konon agama Sunda
memang tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus,
oleh karena itu maka sisa-sisa peninggalan yang berupa bangunan candi
hampir tidak ditemukan di Jawa Barat.
Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari
Prabu Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau
Kraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa.
Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, sepupunya sendiri, yang merupakan
putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastu Kancana dari
Mayangsari, yang menjadi raja muda di Surantaka (Sekitar Majalengka
sekarang). Dengan pernikahan ini dia ditunjuk menjadi pengganti Ki
Gedeng Sindangkasih sebagai raja muda Surantaka. Dari Ambetkasih dia
tidak mendapat keturunan. Istri kedua,Nyai Subang Larang putri dari Ki
Gedeng Tapa. Istri Ketiga, adalah Kentring Manik Mayang Sunda, adik dari
Amuk Murugul. Kentring Manik Mayang Sunda, dinikahkan kepadanya untuk
menyatukan kembali kekuasaan Sunda-Galuh yang sempat terpecah menjadi
dua. Keturunan Kentring Manik Mayang Sunda dan Prabu Siliwangi inilah
yang dianggap paling sah menduduki tahta Pajajaran. Istri keempatnya
Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang, seorang panglima perang dari Cina
yang menjadi nakhoda kapal Laksamana Cheng Ho.
Pernikahan kedua di Musholla yang senantiasa mengagungkan alunan
suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai
Subang Larang. memang telah membawa hikmah yang besar, dan Syekh Quro
memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke
keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri yang dikandung
oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan
ISLAM bagi umat di Negeri Pajajaran. Nyai Subang Larang sebagai isteri
kedua seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran,
dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya.
Perbedaan yang mencolok antara Ibu Subang Larang dengan istri-istri
Prabu Siliwangi lainnya adalah keunggulan mendidik anak-anaknya yang
mencerminkan sosok ibu yang idealnya seperti seorang ibu bahkan bagi
sebagian orang Bogor, Ibu Subang Larang-lah yang biasa disebut dengan
nama Ibu Ratu bukan Nyai Roro Kidul seperti yang diyakini sebagian
masyarakat. Hasil dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang
tersebut mereka dikarunai tiga anak Ideal yaitu: 1.Raden Walangsungsang
( 1423 Masehi) ; 2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi) ; 3.Raja Sangara
( 1428 Masehi).
Melihat kondisi Pakuan Pajajaran yang menganut keyakinan “Sunda
Wiwitan” Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya
sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan Putra pertama yang
laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja,
maka bersama adiknya yang bernama Nyimas Rara Santang, meninggalkan
Istana Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama Syekh nur
Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih pengajian di pelabuhan Muara
Jati, yaitu Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. Setelah kakak beradik
ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang, dengan restu
Prabu Siliwangi menjadi Pangeran Cakrabuana mendirikan kerajaan dibawah
Pajajaran dan memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon.
Sedangkan Nyi Mas Rara Santang Di tempat pengajian Gunung Jati
Cirebon tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan
Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka
menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati. Penerus raja Caruban Larang yang menurut
cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan asal muasal kota Cirebon.
Sedangkan Raja Sangara menuntut ilmu Islam mengembara hingga ke Timur
Tengah. Kemudian menyebarkan agama Islam di tatar selatan dengan
sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog
Suci Garut.
Adapun kegiatan Pesantren Quro, Kemudian para santri yang telah
berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama
Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan.
Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa
Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Setelah wafat, Syekh Quro dimakamkan di Dusun Pulobata, Desa
Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar agama Islam
tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo tersebut, berada
sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Lumbung Padi
di Jawa Barat itu.
Silsilah Prabu Siliwangi ;
(12) Prabu Siliwangi (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati
(9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal (6) Prabu
Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu
Purbasari (2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia.
Sumber ;
Sumber ;
http://cainusantara.wordpress.com/2011/02/07/alunan-suara-nyai-subang-larang-yang-meluluhkan-keras-hatinya-prabu-siliwangi/
http://groups.yahoo.com/group/bmg2006_sukses/message/3107
http://www.pelitakarawang.com/2010/03/sekilas-sejarah-makam-syekh-quro.html
http://indo.hadhramaut.info/view/1941.aspx
http://su.wikipedia.org/wiki/Obrolan:Prabu_Siliwangi
http://www.forumbebas.com/printthread.php?tid=20951
http://www.asalcageur.co.cc/2009/06/sejarah-sunda-bagian-6.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar