Jumat, 17 Juni 2016

Kerajaan Pajajaran


A.   Sejarah Awal Pajajaran
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.

B. Pakuan Pajajaran
1)      AwalPakuanPajajaran
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah ibu kotaKerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan. Lokasi Pajajaran pada abad ke 15 dan abad ke-16 bisa dilihat pada peta Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 yang dapat dilihat pada link http://www.themapdatabase.com/category/location/asia/indonesia/. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.

Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.

Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.

Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.

Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.

Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.

Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.

Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.
2)      KehancuranPakuanpajajaran
Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan pecahan kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
3)      PenelitianLokasibekasPajajaran

Naskah kuno


Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran Jilid 2, (2005)
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".

C.   Berita-berita VOC

Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.

Laporan Scipio

Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
·         Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
·         Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

Laporan Adolf Winkler (1690)

Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut : Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu. Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai. Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuna yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
·         Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.
·         Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.
·         Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
·         Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.
·         Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)

Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu. Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru). Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703. Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan. Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan. Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
·         Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
·         Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
·         Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
·         Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
D. SumberSejarahdanhasilPenelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu. Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota. Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis. Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh". Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama. Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung. Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).

Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)

Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :

Daftar raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.

E. Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.

Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.

Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

F.  Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

G. Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

H. Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

IKehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.

Kesimpulan
• Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan berita asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahiim..
Puji dan Syukur penulis sampaikan karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas mata pelajaran Sejarah yang bertemakan Sejarah Lokal, Sejarah Nasional, Sejarah Dunia, dan Sejarah Romawi. Kami selaku penulis memilih Sejarah Nasional sebagai bahan ajar kami.
Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rd. Heri Heryana S.Pd. selaku guru mata pelajaran tersebut, semoga Kami selaku penulis mendapatkan nilai yang memuaskan. Amiin J
Kami menyadari dalam pembuatan buku ini terdapat berbagai macam kesalahan, maka dari itu penulis minta maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang tercantum dalam buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar