KASUMEDANGAN
Kasumedangan merupakan muatan
local yang kini tengah dipakai untuk terwujudnya Sumedang sebagai puseur budaya
sunda dan pembentukan generasi muda berkarakter budaya lokal.
Pokok-pokok pembahasan
diantaranya :
- Asal mula nama Sumedang
Sumedang berasal dari kata “INSUN
MEDAL” yang berarti Aku Lahir dan “INSUN MADANGAN” yaitu Aku Menerangi . Di ikrarkan
oleh Prabu Tajimalela ketika melihat malela (selendang) menyerupai taji di
angkasa.
Batas-batas Sumedang :
1. Dari Barat yaitu sampai tangerang tepatnya
di sungai Cisadane
2. Dari Timur yaitu sampai brebes tepatnya di
sungai atau kali Cipamali.
3. Dari Utara yaitu Laut Jawa.
4. Dari selatan yaitu Samudra Hindia.
Tonggak sejarah bagi kerajaan Sumedang
Larang, sebagai kerajaan sunda terbesar, setelah kerajaan Padjadjaran runtuh
akibat serangan gabungan banten dan Cirebon, maka kerajaan Sumedang Larang
mencakup wilayah bekas kerajaan Padjadjaran.
Tonggak sejarah itulah menjadi dasar : Hari Jadi Sumedang.
Pada waktu itu di Kerajaan
Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan seorang raja, yang bernama Raden
Wijaya, di Padjadjaran sedang ditempa kekacauan karena mendapat serangan yang
mendadak dari Kerajaan Banten. Serangan tersebut bertujuan untuk menghancurkan
kekuasaan agama hindu dan digantikan oleh Dinul Islam. Pada penyerangan dari
Banten dipimpin oleh Syeh Maulana Yusuf.
Ketika mendapat serangan dari
Banten yang mendadak itu Padjadjaran tibak bisa berbuat banyak, kecuali
menerima kekalahan. Kerajaan Padjadjaran porak-poranda masyarakat banyak
mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu Siliwangi) berangkat meninggalkan
kerajaan. Hanya sebelum berangkat beliau memanggil dulu empat patih kepercayaan
Kerajaan (Kandaga Lante) , yang masing-masing ialah :
1. Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa)
2. Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan)
3. Sanghiyang Kondang Hapa
4. Batara Pancer Buana (Eyang Terong Peot)
Panggilan Sang Prabu Siliwangi
berisikan yang berupa amanat yaitu :
a. Memberikan
Mahkota Kerajaan Padjadjaran yang berupa :
-Mahkota Kerajaan yang dibuat
dari emas
-Siger tampekan kilat bahu
-Kalung bersusun dua dan
bersusun tiga
Semuanya dibuat dari emas dan
sekarang masih ada di Museum Sumedang.
b. Memohon perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang masih berada di wilayah Padjadjaran. Menurut bahasa Prabu Siliwangi ialah Geusan Ulun yang berarti Geusan Kumaula (Tempat Kumaula).
b. Memohon perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang masih berada di wilayah Padjadjaran. Menurut bahasa Prabu Siliwangi ialah Geusan Ulun yang berarti Geusan Kumaula (Tempat Kumaula).
Setelah menerima amanat tersebut
maka Kandaga Lante yang empat orang tadi sepakat bahwa yang pantas menjalankan
amanat tersebut tiada lain adalah Raden Angkawijaya. Ini berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diantaranya :
1. Karena Raden Angkawijaya adalah asli
keturunan Prabu Siliwangi .
2. Sangat
pantas sekali (payus tur pantes) wilayah kekuasaan Padjadjaran dijadikan
Kekuasaan Sumedang Larang.
SEJARAH SUMEDANG
Berikut Sejarah Sumedang yang di ambil dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten
Sumedang.
Ibukotanya adalah kecamatan Sumedang Utara, Sumedang, sekitar 45 km Timur Laut Kota Bandung.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di
Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di
Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas
26 kecamatan, yang
dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Sumedang,
ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari Kota Bandung. Kota
ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur
utama Bandung - Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah
Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri),
sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri),
serta Universitas Padjadjaran berlokasi di Kecamatan Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang
adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran
rendah. Gunung
Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.
Daftar
isi
Sejarah
Pada mulanya Kabupaten Sumedang
adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh. Didirikan
oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan
kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu
Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin
oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12.
Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang
berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun
Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan larang
berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Sumedang Larang mengalami masa
kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun
sekitar tahun 1578, dan dikenal
luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah
Selatan sampai dengan Samudera Hindia,
wilayah Utara sampai Laut Jawa,
wilayah Barat sampai dengan Cisadane,
dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi
vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram
inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal
istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu hingga
Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah
Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga
diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan.
Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar
kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang
adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono-I harus
memberikan konsesi kepada VOC,
wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah,
sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.
Sumedang mempunyai ciri khas
sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat
yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di
tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang
dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan
dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya dalam
mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr.
Dr. Dirk Fock Sampai
saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22
April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten
Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati
Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara, keturunan Sumedang. Lambang ini
diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
1.
Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama,
percaya kepada diri sendiri
2.
Sisi Merah : Melambangkan semangat
keberanian
3.
Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan
pertanian
4. Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus
Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
5.
Sinar Matahari : Melambangkan semangat
dalam mencapai kemajuan
6.
Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran
budi dan kebesaran jiwa
7. Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka
Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
8.
Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9. 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan
5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia Tahun 1945
10.
Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal
erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
· Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris
dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku,Medal :
Keluar).
· Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun;
Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua
pengertian ini bersifat mistik.
·
Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga,
Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang
(Su: bagus dan Medang: sejenis
kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan
pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut Bujangga Manik, di dekat
Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon
dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan
antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada saat Bujangga Manik
memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat
kerajaan yang disebut Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disbutkab,
Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia
berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula
asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tajimalela adalah
nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh
Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik
Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi
lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu
Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan
Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar
pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki
sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana,
dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam
tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang
Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih
melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis
sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di
sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan
dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan
cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut
riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra
Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410
Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan
tokoh Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan
sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela.
Namun demikian, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu
Resi Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang
dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih
dikenal dengan sebutan Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip
dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi Babat Tanah Jawi, antara Ki
Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah
kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya.
Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang
Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan
tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika
Prabu Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung.
Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang
putranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah
kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya.
"Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila harus
menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung.
Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling menunjuk siapa di antara
mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah
kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh
menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak
pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan
Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang
bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk
menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan
diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung
langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa
bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung
menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran
jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata:"Adinda, tampaknya suratan takdir
telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang
tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu
Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu
Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia
meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan
kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu
Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh
putranya , Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di
Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan,
kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan
Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang
Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda.
Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat
ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan
tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama
Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena
itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa
Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh
putranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang
Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Shintawati alias
Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai
gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Shintawati berjodoh dengan
Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa
Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua
permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningandan, Shintawati
dari Sumedang. Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu
Wulansari alias Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri
alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung.
Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun
1530 dan masuk Islam.
Dari Shintawati putri sulung
Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian
menjadi penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun Menikah
dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri.
Pangeran ini adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran
Palakaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan perkawinan antara Ratu
Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang
pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan
sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452
Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran
Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan
Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan
"syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan
sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa
Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri
adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama
yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk
pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu
Pucuk Umun alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran
Kusumahdinata-I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya
(Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan
Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan
Cikeruh dan Santowaan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober
1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umun),
yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya
bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun
dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan
di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun
dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol-III yang dikirimkan kepada Gubernur
Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun
Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal
31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol-III
(Pangeran Panembahan Kusumahdinata-VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan
kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol-III
mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang
terdiri dari 22 kandaga lante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan
Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1.
Timbanganten
2.
Batulayang
3.
Kahuripan
4.
Tarogong
5.
Curugagung
6.
Ukur
7.
Marunjung
8.
Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
1.
Selacau
2.
Daerah Ngabei Cucuk
3.
Manabaya
4.
Kadungora
5.
Kandangwesi (Bungbulang)
6.
Galunggung (Singaparna)
7.
Sindangkasih
8.
Cihaur
9.
Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1.
Karang
2.
Parung
3.
Panembong
4.
Batuwangi
5.
Saung Watang (Mangunreja)
6.
Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
7.
Suci
8.
Cipiniha
9.
Mandala
10.
Nagara (Pameungpeuk)
11.
Cidamar
12.
Parakan Tiga
13.
Muara
14.
Cisalak
15.
Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan
Rangga Gempol-III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis
Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum -
Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan
tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun
(1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan
Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi
meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga lante untuk menyerahkan Mahkota
serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan
Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus
menjadi penerus Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2
yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus
pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang
haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah
Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja
Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya
diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira
Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui
Pangeran Geusan Ulun).
Keempat orang bersaudara,
senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu
Jayaperkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar
Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2
menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira paniwi dening Prabu Ghesan
Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang
salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka
membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga
peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda
Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah
Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam
Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul
dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti
penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian
pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai Hari
Jadi Kabupaten Sumedang.
Jayaperkosa adalah bekas senapati
Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan.
Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri,
namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi
hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya
besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena
pengukuhan Geusan Ulun "nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam
proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten
dan Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah
pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut
kerajaan yang dibawa oleh senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu
Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, sama
halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan
Mataram.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah
baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi
Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten,
Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa
yang membuat Kerajaan Pajajaran Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu
itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut
runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk
Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang
Larang kian berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten
Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber sejarah
yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama : Kitab Waruga Jagat,
yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap
isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan
pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing
Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya:
Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah
yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: Pangeran
Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang
sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja
yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof. Dr.
Husein Djajadiningrat berjudul : Critise Beshuocing van de Sejarah
Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam
ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun
Alif.
Mengacu pada ketiga sumber
sejarah tadi, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang
dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir
Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil
menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi,
bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah
Tingkat-II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973,
Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi
Kabupaten Sumedang.
Bupati Sumedang dari Masa ke
Masa, berikut adalah nama-nama bupati
Sumedang:
1.
Saryasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umun : 1539 –
1578
(yang kemudian
digantikan oleh suaminya, Pangeran Kusumadinata–I / Pangerang Santri)
2.
Pangeran Koesoemahdinata-II (Pangeran Geusan
Ulun) : 1578-1601
3.
Pangeran Koesoemahdinata-III (Pangeran Rangga
Gempol-I) : 1601-1625
4.
Pangeran Koesoemahdinata-IV (Pangeran Rangga
Gede) : 1625-1633
5.
Raden Bagus Weruh (Pangeran Koesoemahdinata-V/Pangeran
Rangga Gempol-II) : 1633-1656
6.
Pangeran Koesoemahdinata-VI (Pangeran Panembahan/Pangeran
Rangga Gempol-III) : 1656-1706
7.
Dalem Adipati Tanoemadja : 1706-1709
8.
Raden Tumenggung Koesoemahdinata-VII (Pangeran
Rangga Gempol-IV/Pangeran Karuhun) : 1709- 1744
9.
Dalem Istri Radjaningrat : 1744-1759
10.
Dalem Adipati Koesoemahdinata-VIII (Dalem
Anom) : 1759-1761
11.
Dalem Adipati Soerianagara-II : 1761-1765
12.
Dalem Adipati Soerialaga : 1765-1773
13.
Dalem Adipati Partakoesoemah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) :
1773-1789
14.
Dalem Aria Satjapati-III : 1789-1791
15.
Raden Tumenggung Soerianagara (Pangeran
Koesoemahdinata-IX/Pangeran Kornel) : 1791-1828
16.
Dalem Adipati Koesoemahjoeda (Dalem
Ageung) : 1828-1833
17.
Dalem Adipati Koesoemahdinata (Dalem
Alit) : 1833-1834
18.
Raden Tumenggung Soeriadilaga : 1834-1836
19.
Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran
Sugih) : 1836-1882
20.
Pangeran Aria Soeriaatmadja (Pangeran
Mekkah) : 1882-1919
21.
Adipati Aria Koesoemadilaga : 1919-1937
22.
Tumenggung Aria Soeria Koesoema Adinata :
1937-1946
23.
Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1946-1947
24.
Tumenggung Mohamad Singer : 1947-1949
25.
Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1949-1950
26.
Raden Abdoerachman Kartadipoera : 1951-1958
27.
Sulaeman Soemitakoesoemah : 1951-1958
28.
Antam Sastradipura (Kepala Daerah) dan R. Enoh
Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati) : 1958-1960
29.
Mohamad Chafil : 1960-1966
30.
Adang Kartaman : 1966-1970
31.
Drs. Supian Iskandar (Pj. Bupati) : 1970-1972
32.
Drs. Supian Iskandar : 1972-1977
33.
Drs. Soeyoed (Pj. Bupati) : 1977-1978
34.
Drs. H. Kustandi Abdoerachman : 1978-1983
35.
Drs. H. Sutardja : 1983-1993
36.
Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra :
1993-1998
37.
Drs. H. Misbach : 1998-2003
39.
Drs. H. Endang Sukandar, M.Si : 2013 –
sekarang
I. MASA KERAJAAN.
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja
Tembong Agung), 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu
Tajimalela, 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung,
778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung,
893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan,
998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling, 1114
– 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan,
1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu
Patuakan, 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata
Pucuk Umun, 1530 – 1578
(kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran
Kusumadinata - I / Pangeran Santri)
10. Pangeran Kusumahdinata - II /
Prabu Geusan Ulun, 1578 – 1601
II. MASA BUPATI PENGARUH
MATARAM.
11. Pangeran Suriadiwangsa /
Rangga Gempol – I, 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede /
Kusumahdinata - IV, 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran
Rangga Gempol – II, 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga
Gempol – III, 1656 – 1706
III. MASA PENGARUH
KOMPENI VOC.
15. Dalem Adipati Tanumadja, 1706
– 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga
Gempol – IV, 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat, 1744
– 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata - VIII
/ Dalem Anom, 1759 – 1761
19. Dalem Adipati Surianagara – II,
1761 – 1765
20. Dalem Adipati Surialaga, 1765
– 1773
IV. MASA BUPATI PENYELANG /
SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya, 1773
– 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah,
1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati, 1789 –
1791
V. MASA PEMERINTAHAN
BELANDA.
Merupakan Bupati Keturunan
Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX /
Pangeran Kornel, 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda /
Dalem Ageung, 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X
/ Dalem Alit, 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga /
Dalem Sindangraja, 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah
Adinata / Pangeran Sugih, 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja /
Pangeran Mekkah, 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria
Kusumadilaga / Dalem Bintang, 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria
Kusumahdinata / Dalem Aria, 1937 – 1946
VI. MASA REPUBLIK
INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria
Kusumahdinata / Dalem Aria, 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah,
1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer,
1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah,
1949 – 1950
(Bupati terakhir keturunan langsung
leluhur Sumedang)
Pemerintahan berdaulat
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau
lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan
Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di
Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu
Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja,
Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan
Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya
(patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu
Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja.
Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung
Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa
muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau
membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan
harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah
ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di
Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng
Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan
Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung
menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di
Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan,
Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi
raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting
Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri
Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke
Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan
Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra
tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya
yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan
Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata
(1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan
gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan
Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra
Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas
Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran
Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang
dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut
berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai
menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16,
mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk
Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang
Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng
Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran
Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana
Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama
keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam
di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan
Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu
Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang
dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
· Pangeran Angkawijaya (yang
tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
· Kiyai Rangga Haji, yang
mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
· Kiyai Demang Watang di
Walakung.
· Santowaan Wirakusumah,
yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
· Santowaan Cikeruh.
· Santowaan Awiluar.
· Ratu Pucuk Umun dimakamkan
di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau
menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di
bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung,
Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada
masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya,
agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera
angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang
dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu
Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya
karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam
rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran
hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum
meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu
Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk
mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut
menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua
dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat
bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang).
Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau
Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang
Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat
penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota
kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu
Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi
bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang
menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya
Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah
utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang
Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan
tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu
Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan
Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada
masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram.
Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung
dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk
mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).
Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir
ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu
penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua
sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang
sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh
penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu
Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang
ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam
karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke
Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan
untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang
antaraCirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari
Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu
Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung
dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang
menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk
menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke
Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga
orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang
kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari
ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
· Pangeran Rangga Gede, yang
merupakan cikal bakal bupati Sumedang
· Raden Aria Wiraraja, di
Lemahbeureum, Darmawangi
· Kiyai Kadu Rangga Gede
· Kiyai Rangga Patra Kalasa,
di Cundukkayu
· Raden Aria Rangga Pati, di
Haurkuning
· Raden Ngabehi Watang
· Nyi Mas Demang Cipaku
· Raden Ngabehi Martayuda,
di Ciawi
· Rd. Rangga Wiratama, di
Cibeureum
· Rd. Rangga Nitinagara, di
Pagaden dan Pamanukan
· Nyi Mas Rangga Pamade
· Nyi Mas Dipati Ukur, di
Bandung
· Rd. Suridiwangsa, putra
Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
· Pangeran Tumenggung
Tegalkalong
· Rd. Kiyai Demang Cipaku,
di Dayeuh Luhur.
· Prabu Geusan Ulun
merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi
bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pangeran Kornel 'si Manusia Sunda'
Pangeran Kornel ialah nama sebutan bagi Pangeran Kusumah Dinata, karena dalam peperangan menghadapi
Pangeran Dipanegara (1925‑1930), dia oleh Belanda diangkat sebagai kolonel
tituler. Istilah “kolonel” yang masih jarang pada masa itu, berubah menjadi
“kornel”. Nama “Pangeran Kornel”
itu sendiri lebih termashur daripada namanya yang sebenarnya.
Ketika masih anak‑anak, namanya
ialah Raden Jamu. Dia putra
bupati Sumedang yang bernama Raden
Adipati Surianagara (1761‑1765). Ketika ayahnya meninggal, Jamu masih
kecil. Dia diasuh oleh bibinya, yaitu istri adik ayahnya yang menggantikan
ayahnya itu sebagai bupati Sumedang, bernama Raden Adipati Surialaga (1765‑1773). Adipati Surialaga pun
mempunyai seorang anak laki‑laki pula, yang lebih muda dari Jamu, ialah Raden Ema. Keduanya belum cukup dewasa
ketika Adipati Surialaga pun meninggal. Maka sebagai bupati Sumedang,
diangkatlah Tumenggung Tanubaya
yang sebelumnya menjadi bupati di Parakan-muncang.
Pada masa itu ada kebiasaan bahwa
yang diangkat sebagai pengganti bupati sesuatu daerah, haruslah keturunan
langsung daripada bupati yang sebelumnya, artinya harus keturunan bupati
setempat atau keluarga dekatnya.
Baru kalau dari antara keluarga
bupati setempat tidak ada yang layak diangkat sebagai pengganti, dicarilah
calon dari tempat lain yaitu yang sudah diketahui kecakapan dan kesetiaannya.
Dalam hal ini agaknya Tumenggung Tanubaya dianggap memenuhi syarat itu.
Walaupun dengan perasaan kurang
puas, namun keluarga menak Sumedang menerima pengangkatan itu karena memang
calon Sumedang yang berhak sendiri masih belum sampai umur. Tetapi ketika dua
tahun kemudian Tumenggung Tanubaya berhenti, ternyata yang diangkat bukanlah
Jamu yang ketika itu sudah dewasa, melainkan Tumenggung Patrakusumah menantu Tumenggung Tanubaya. Tindakan
pemerintah Belanda itu menimbulkan rasa tidak puas di kalangan keluarga menak
Sumedang, tetapi juga menimbulkan kecuripan di pihak TumenggungTatrakusumah sendiri.
Suasananya sedemikain rupa,
sehingga Jamu menganggap perlu untuk menghindar dari Sumedang. Plot ini telah
menyebabkan seorang pengarang Sunda yang terkemuka, Memed Sastrahadiprawira (1897 – 1932) menulis sebuah roman
berdasarkan riwayat hidup Jamu, berjudul Pangeran Kornel (1930) yang sudah pula
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Muis (1948). Di dalam roman itu Memed menampilkan seorang
tokoh (yang mungkin) fiktif, yaitu
Demang Dongkol, yang dilukiskan sebagai penghasut yang makin
rnengeruhkan hubungan antara Jamu dengan Tumenggung Patrakusumah, walaupun yang
terakhir itu telah mengambil Jamu sebagai menantu.
Jamu melarikan diri ke
Malangbong, kemudian ke daerah Cianjur. Di Cianjur dia mendapat perlindungan
dan kepercayaan dari Raden Aria Adipati
Wiratanudatar yang ketika itu menjadi bupati (1776-1781). Bupati
Wiratanudatar yang pernah mengenal ayah Jamu, bersimpati kepada anak muda itu.
Diberinya pekerjaan di lingkungan kabupaten, dan ketika terbuka lowongan Kepala Cutak Cikalong Wetan, maka
ditempatkannya di sana. Jamu pun dinikahkan dengan salah seorang kerabatnya.
Ketika Jamu duduk sebagai Kepala
Cutak Cikalong Wetan itulah datang Ema
Surialaga, adik sepupunya, yang juga merasa kurang aman hidup di tempat
kelahirannya sendiri (Sumedang). Ema pun mendapat simpati bupati
Wiratanudatar.
Dia diangkat sebagai jurutulis kabupaten,
kemudian ketika ada lowongan, diangkat sebagai mantri kudang kopi di
Bogor, bahkan kemudian menjadi bupati Bogor, bupati Karawang dan bupati
Sukapura. Ema mengundurkan diri dari jabatan terakhir itu atas
permintaannya sendiri.
Ketika ada lowongan sebagai patih di Sumedang, maka Jamu pun
diangkat untuk menjabat kedudukan itu dengan pangkat Demang. Setelah beberapa lama memangku jabatan itu, maka
pada tahun 1791, dia pun diangkat sebagai bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Surianagara.
Sebagai bupati dia terkenal
bijaksana. Pada masa pemerintahannya kehidupan rakyat berkembang dengan baik
dan sejahtera. Dia pun terkenal sebagai bupati yang cakap serta jujur.
Kebijaksanaannya sebagai bupati
yang bersih dan keberhasilannya meningkatkan kehidupan rakyat Sumedang, dapat
dibuktikan antara lain dari berbagai kesaksian para pejabat Belanda pada waktu
itu. Salah seorang di antaranya ialah yang bernama Nicolaas Engelhard yang dalam kesempatan memeriksa perkebunan kopi
di seluruh Priangan, sempat singgah di Sumedang. Tentang daerah Sumedang dia
menulis, bahwa setelah diperintah oleh Tumenggung Surianagara, daerah itu
mencapai banyak kemajuan, bahkan dikatakannya: daerah yang asalnya hutan telah
menjelma menjadi surga. Dipujinya Tumenggung Surianagara sebagai bupati yang
jujur. Walaupun dia bukan seorang yang kaya, namun tidaklah ia melakukan
perbuatan tercela mengumpulkan kekayaan pribadi berdasarkan jabatan dan
kekuasaannya sebagai bupati. Dia disebut hidup sederhana dan sering meninjau
keadaan rakyatnya yang hidup di pedalaman.
Karena jasa-jasanya itulah maka
dia kemudian diangkat menjadi Pangeran dan namanya bertukar menjadi Pangeran Kusumah Dinata. Di samping
itu ia pun memperoleh pula medali emas dengan ukiran kata-kata: “Atas nama Sri Maharaja, medali ini diberikan
oleh Komisaris Jenderal kepada Pangeran Kusurnah Dinata, bupati Sumedang,
sebagai ganjaran atas keberanian dan kesetiaannya.”
Keberanian dan kesetiaan itu
diperlihatkannya pula tatkala ia bersama-sama dengan bupati-bupati Karawang,
Subang dan Cirebon memimpin pasukan yang membantu pasukan Kompeni untuk
memadamkan pemberontakan yang terjadi di Jatitujuh, yang dipimpin oleh Bagus
Rangin sekitar tahun 1806. Pemberontakan itu meletus karena rakyat daerah
Cirebon tidak tahan lagi hidup dalam pemerasan orang-orang Cina yang memperoleh
hak-hak istimewa karena telah menyewa desa-desa sebagai tanah partikelir; dan
juga karena penangkapan atas Raja Kanoman yang dicintai rakyat. Penangkapan itu
dilakukan Belanda dengan suatu muslihat, setelah kerusuhan-kerusuhan timbul di
seluruh wilayah Cirebon sejak tahun 1802, karena Belanda mengangkat Pangeran
Surantaka yang tidak populer sebagai pengganti Sultan Kanoman yang meninggal
dunia pada tahun 1798. Pangeran Surianagara atau Raja Kanoman yang lebih berhak
atas kedudukan sultan tersingkir dari istana bersama dengan dua orang
saudaranya yang lain, yaitu Pangeran Kabupaten dan. Pangeran Lautan. Ketiganya
segera mendapat simpati rakyat yang sudah lama tertekan dan merasa tidak puas,
dan berperan sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1805 Belanda mengundang ketiganya
untuk berunding di Betawi. Tetapi ketika ketiganya tiba di sana, mereka
ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Pemberontakan Bagus Rangin merupakan
lanjutan dari perlawanan yang sebelumnya dipimpin oleh ketiga pangeran dari
Kanoman itu.
Pasukan Bagus Rangin yang
dikepung dari segala arah, dapat dikalahkan. Tetapi Belanda juga segera
mengembalikan Raja Kanoman dari pengasingan dan mengangkatnya sebagai sultan,
sedangkan orang-orang Cina tidak diperkenankan lagi tinggal di daerah
pedalaman.
Yang menarik di sini ialah karena menurut Pangeran Kusumah Dinata
sendiri, pemberontakan rakyat di daerah Cirebon yang merembet pula ke
perbatasan Sumedang itu, disebabkan karena terlalu kejamnya tindakan dan
kelakuan para penguasa kolonial sendiri. Di daerah Sumedang ada seorang
komisaris Belanda, Lawick van Pabst, yang menyiksa seorang cutak dari
Conggeang, sehingga cutak yang bernama Baen itu menggabungkan diri dengan para
pemberontak bersama. 77 orang pengikut.
Sinyalemen itu menunjukkan bahwa Pangeran Kusumah Dinata itu seorang yang
realistis, yang yakin bahwa rakyat tidaklah akan memberontak terhadap atasannya
kalau saja mereka diperlakukan dengan baik. Para pejabat seharusnya menjadi
pelindung dan pemimpin rakyat dan bukan menjadi pemeras atau penindasnya. Dia
sendiri sebagai bupati merasa berkewajiban untuk melindungi dan membela
rakyatnya dari perlakuan yang tidak senonoh. Hal itu dibuktikannya
sendiri pada peristiwa yang terjadi waktu pembuatan jalan raya
Anyer-Banyuwangi.
Jalan raya Anyer-Banyuwangi, yang
menjelusuri Pulau Jawa dari Barat ke Timur, dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels
(1807-1811). Dari Bandung jalan itu menuju ke Cirebon dan Semarang
dengan melalui kabupaten Sumedang. Tetapi pekerjaan pembuatan jalan di suatu
tempat di wilayah kabupaten Sumedang itu sangat lambat, sehingga terjadilah
suatu. peristiwa yang kemudian menjadi termashur dan mengharumkan nama Pangeran
Kusumah Dinata sebagai bupati yang mencintai dan melindungi rakyatnya, karena
berani membela rakyatnya itu di hadapan Gubernur Jenderal Daendels yang
terkenal galak dan pernarah.
Pembuatan jalan raya itu, yang
disebut juga sebagai jalan pos, sebenarnya lebih bermotifkan kepentingan
militer. Daendels sebelum diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda,
aktif dalam militer dan politik di negerinya. Sebagai gubernurjenderal, dia
terkenal keras, baik terhadap kaum pribumi maupun terhadap bangsa Belanda
sendiri. Dia melakukan berbagai tindakan yang tegas terhadap para pejabat Kompeni
yang korup, tetapi terlebih dahulu menaikkan gaji yang sebelumnya memang
sangat, rendah. Dia pun memperluas praktek tanam paksa yang sangat
menguntungkan Kompeni. Ketika
ia menerima jabatan itu dari Gubernur
Jenderal AT Wiese (1805‑1808), tugas utamanya ialah untuk menjaga
kepentingan Belanda dari ancaman Inggris yang kekuasaannya makin besar di
daerah‑daerah pengaruh Belanda. Jumlah tentara Kompeni ditambahnya dengan
sukarelawan‑sukarelawan pribumi, lalu ia pun mendirikan pabrik senjata di
Surabaya, mendirikan sekolah perwira di Semarang, pabrik cor besi meriam di
Jakarta, dan lain-lain. Dalarn pembuatan jalan raya Anyer‑Banyuwangi itu
kekejamannya sangat terkenal. Dia tidak mempedulikan berapa banyak kurban
manusia yang jatuh. Yang penting baginya pekerjaan itu harus selesai sesuai
dengan keinginannya.
Untuk pembuatan jalan itu
dikerahkan tenaga pribumi melalui pejabat‑pejabat setempat. Maka orang‑orang
didatangkan dari daerah-daerah yang jauh, meninggalkan anak istri dan
pekerjaannya sehari‑hari.
Di sebelah barat kota Sumedang,
ada gunung batu cadas yang sangat keras. Di situ pembuatan. jalan sangat
lambat, karena orang‑orang bekerja hanya dengan tangan dan dengan alat‑alat
yang sangat sederhana, seperti linggis dan cangkul. Berbulan‑bulan sudah
dikerjakan, namun hasilnya hampir tidak ada. Maka ketika Gubernur Jenderal
Daendels sendiri hendak datang mengontrol pembuatan jalan itu, orang‑orang
sudah diliputi kecemasan, karena mereka sudah mendengar tentang kegalakan dan
kekejamannya. Daendels sebelum berangkat ke Hindia Belanda diangkat
sebagai nurschalk yang oleh lidah orang Jawa disesuaikan
dengan sifatnya yang galak lantas terkenal sebagai Mas Galak. Orang‑orang
sudah dapat membayangkan betapa akan murkanya Tuan Besar Mas Galak kalau
melihat bahwa pembuatan jalan di gunung cadas itu belum ada hasilnya. Tetapi
Bupati Kusumah Dinata tidak memperlihatkan rasa cemas. Tatkala Gubernur
Jenderal Daendels tiba, disambutnya dengan langkah tetap sedang tangan kanannya
erat memegang hulu keris yang sudah digilirkannya ke depan (biasanya keris
diselipkan di belakang, kecuali dalam perang). Tatkala Gubernur Jenderal
menyodorkan tangan untuk bersalaman, Pangeran Kusumah Dinata menyambutnya
dengan tangan kiri.
Tentu saja perbuatan itu
mengejutkan Daendels. Tidaklah biasa orang menyambut uluran tangan dengan
tangan kiri, apalagi kalau tangan kanannya memegang hulu keris. Karena melihat
kelakuan yang luar biasa itu, Gubernur Jenderal Daendels tidak segera menegur
soal keterlambatan pekerjaan membuat jalan. Menurut imajinasi pengarang Memed
Sastrahadiprawira, di antara kedua pembesar itu terjadi percakapan sebagai
berikut:
Daendels: “Bupati, apa maksud Tuan menerima uluran tangan kami dengan
tangan kiri?”
Pangeran Kusumah Dinata: “Kanjeng Tuan Besar, saya tidak dapat melaksanakan
tugas yang Tuan Besar berikan, karena perintah itu tak mungkin dilaksanakan.
Bukan maksud saya mengelakkan perintah, bukan pula karena tidak mempunyai
keinginan bekerja dengan sungguh‑sungguh melainkan ingin mendapat pertimbangan
bahwa pekerjaan yang saya hadapi sangatlah beratnya, jauh lebih berat
dibandingkan dengan yang dihadapi oleh yang lain. Namun karena saya tidak
melihat kemungkinan akan memperoleh pertimbangan demikian dari Kanjeng Tuan,
maka saya ingin memperlihatkan bahwa bupati Sumedang yang bernama Pangeran
Kusumah Dinata lebih suka mati berkalang tanah daripada harus melaksanakan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan rasa keadilannya. Kalau terpaksa, saya lebih
suka disebut sebagai orang keras kepala daripada dituduh membunuh rakyat saya
sendiri yang tak berdosa.”
“Apa, yang menjadi keberatan Tuan, kalau kami boleh tahu?”
Maka Pangeran Kusumah Dinata pun menceritakan masalah yang dihadapinya.
Daerah itu jarang penghuninya, sehingga orang‑orang yang bekerja di situ
didatangkan dari daerah yang jauh, yang mengandung arti orang itu harus
meninggalkan anak istri atau,keluarganya, dan juga pekerjaannya sehari‑hari
yang menjadi sumber pengludupannya. Sedangkan alat‑alat yang dipergunakan
sangat sederhana pula.
Mendengar keterangan Bupati Kusumah Dinata, Gubernur Jenderal Daendels
pun menjadi maklum, bahwa keterlambatan pekerjaan di situ bukanlah karena
kesengajaan ataupun kelalaian. Dia memuji keberanian Pangeran Kusumah Dinata.
Kepada ajudannya dia memerintahkan agar ke situ dikirimkan pasukan zeni, untuk
menolong menghancurkan batu cadas yang tak mungkin dilinggis itu dengan
rnenggunakan dinamit.
Bagian jalan di gunung batu cadas itu, tempat Pangeran Kusumah Dinata
berhadapan dengan Gubernur Jenderal Daendels, sekarang terkenal dengan nama
“Cadas Pangeran” sebagai peringatan akan keberanian seorang pejabat dalam
membela rakyatnya. Walaupun jalan yang sekarang sesungguhnya bukanlah jalan
yang dibuat pada masa Pangeran Kusumah Dinata lagi (yang dikenal sebagai “jalan
heubeul” atau jalan lama yang letaknya di atas jalan yang sekarang
dipergunakan), namun nama “Cadas Pangeran” itu masih tetap melekat.
Peristiwa itu pun dapat pula,
dilihat sebagai pernyataan keberanian Pangeran Kusumah Dinata dalam
mengemukakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Kalau ia yakin akan
kebenaran itu, maka dia berani mengemukakannya di hadapan siapa pun juga,
meskipun untuk itu ia harus mempertaruhkan kedudukan dan keselamatan dirinya.
Kejadian yang berlangsung di
Istana Bogor pada tahun 1811, niscaya merupakan bukti akan sifatnya yang berani
mengemukakan keyakinannya sendiri, walaupun dia tahu bahwa hal itu mengandung
bahaya bagi dirinya pribadi.
Pada waktu itu Belanda, terpaksa
menyerahkan kedudukannya sebagai penguasa Jawa kepada Inggris, yang berlangsung
selama lima tahun (1811 ‑ 1816). Ketika Lord Minto sebagai Gubernur Jenderal
Inggris di India mengadakan kunjungan ke Jawa, di Istana Bogor diselenggarakan
resepsi yang dihadiri oleh para pejabat penting Eropa maupun priburni. Pangeran
Kusumah Dinata yang ketika itu usianya sudah lanjut, hadir juga dalam resepsi
itu. Tetapi berlainan dengan para pejabat pribumi lain yang tampak cerah,
memperlihatkan hati riang atas terjaclinya penggantian yang dipertuan, Pangeran
Kusumah Dinata kelihatan murung saja. Para bupati yang lain sudah banyak yang
mengucapkan janji setia dan pujian kepada yang dipertuan yang baru dan Pangeran
Kusumah Dinata sebagai salah seorang bupati yang terkemuka, akhirnya diminta
juga berbicara. Menurut pengarang Memed Sastrahadiprawira, inilah yang
diucapkan oleh Pangeran Kusumah Dinata pada waktu itu, “Di Sumedang, kalau ada
orang hendak meninggal dunia, ia memanggil anak‑anak dan cucu‑cucunya, untuk
menceritakan kebaikan nenek‑moyangnya secara turun‑temurun. Begitu juga saya
mendengar dari ayah saya almarhum, bahwa sudah lebih dari 200 tahun, nenek‑moyang
saya mengabdi kepada orang Belanda dan Kompeni yang sudah berbuat begitu baik
hati kepada nenek‑moyang saya. Karena itu saya mengucapkan beribu‑ribu terima
kasih atas kebaikan orang Belanda serta berharap, mudah‑mudahan kerajaan
Belanda akan terus selamat sejahtera!”
Ucapan itu menimbulkan kecemasan
karena setiap orang tahu bahwa pada waktu itu yang menjadi yang dipertuan ialah
Inggris yang telah mengalahkan Belanda. Memuji Belanda di depan musuh yang baru
saja menaklukkannya niscaya tidaklah bijaksana.Tetapi ternyata ucapan Pangeran
Kusumah Dinata itu mendapat pujian dari seorang perwira Inggris yang bernama
Gillepsie dan Lord Minto pun menyatakan penghargaan atau keberanian dan
kesetiaan Pangeran Kusumah Dinata terhadap Belanda. Dia berjanji akan
menyampaikan hal itu kepada pihak Belanda.
Tidaklah adil kalau kita pada
masa sekarang menilai ucapan itu dengan kacamata nasionalisme Indonesia. Pada
masa itu gagasan tentang nasionalisme Indonesia sendiri belum lahir. Dan Pangeran Kusumah Dinata ialah seorang
yang lahir dan dibesarkan dalam alam kolonial, dalam keluarga yang menjadi
aparat dari mesin kolonial itu sendiri. Ucapan itu harus kita terima
sebagai tanda kepatuhan seseorang terhadap apa yang diajarkan oleh orang tua
leluhurnya, karena yakin bahwa apa yang diajarkan oleh orang tua itu betul dan
harus dilaksanakan secara jujur, walaupun harus mempertaruhkan nyawa sendiri.
Dengan demikian maka kita akan melihat suatu kesejajaran antara kesetiaan
Pangeran Kusumah Dinata terhadap pemerintah Belanda itu dengan kepatuhan
Mundinglaya di Kusumah yang berangkat mencari Langlayangan Salaka
Domas ke Sajabaning Langit atas perintah ayahanda, Prabu Siliwangi.
Seperti juga Mundinglaya, Pangeran Kusumah Dinata tidak meragukan seujung
rambut pun kebenaran perintah ayahanda.
Tentu saja kepatuhan itu pun
mempunyai syarat. Ketika rasa tanggung jawabnya sebagai pemimpin, rakyat
tergugah dalam peristiwa pembuatan jalan Anyer‑Banyuwangi di Cadas Pangeran,
maka dengan mempertaruhkan kedudukan dan keselamatannya pribadi, dia dengan
berani menentang Gubernur Jenderal Daendels yang sudah kesohor galak. Penentangan
itu bukanlah tanda dari ketaksetiaan atau ketakpatuhan, melainkan karena dia
sebagai pejabat merasa bertanggung jawab atas keselamatan rakyat yang
dipimpinnya.
Pangeran Kusumah Dinata adalah
contoh yang hampir sempurna sebagai seorang pejabat pelaksana yang patuh,
bertanggung jawab dan jujur. Nilai‑nilai ini pula agaknya yang menyebabkan
Memed menulis biografinya karena nilai‑nilai itu pulalah yang digambarkannya
dalam tokoh Yogaswara dalam roman Mantri Jero yang ditulisnya
lebih dahulu.
Keterangan:
Seluruh postingan ini diambil
dari buku : Manusia Sunda, Sebuah
esai tentang tokoh-tokoh sastra dan sejarah, ‑‑ Cet. 1. ‑‑ Jakarta : Inti
Idayu Press, 1984. Oleh Ajip Rosidi, Halaman 108 – 115
di susun ulang berikut sedikit
suntingan oleh: R. Adam Firdaus (02 Agustus 2013).
PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA 1851-1919
Pangeran Aria Soeria Atmadja 1851 - 1919
Pangeran Aria Soeria Atmadja
lahir di Sumedang pada tanggal 11 januari 1851 pada hari kamis dengan nama
kecil Raden Sadeli. Ayahnya bernama Pangeran Aria Soeria Kusumah Dinata atau
Pangeran Sugih dan ibunya bernama Raden Ayu Ratna Diningrat . Pangeran Aria
Soeria Atmadja mempunyai karakrer terpuji , rajin cerdas dan penuh
inisiatif.
Beliau diangkat sebagai Kaliwon
di Sumedang pada usia 18 tahun pada tanggal 1 Agustus 1869. Pangeran Aria
Soeria Atmadja menikah dengan Rs.A.Radja Ningrum. Mempunyai putra bernama
Rd.A.Djanjainten Djoebaedah. Beliau diangkat sebagai bupati Sumedang pada
tanggal 30 desember 1882. Masa jabatan beliau sebagai bupati Sumedang dari
tahun 1882-1919, beliau banyak menerima gelar, diantaranya :
- Gelar Tumenggung.
- Anugerah Bintang Emas, De Groote Goulden Star.
- Gelar Adipati.
- Anugerah Bintang Officier Van De Orde Van Oranje Nassau.
- Anugerah Songsong Kuning.
- Mendapat Gelar Aria.
- Mendapatkan Gelar Pangeran Dengan Payung Emas.
- Anugerah Bintang Agung Ridder Der Orde Van Den Nederlanschen Leuw, merupakan pangeran tertinggi.
foto prosesi penganugerahan gelar/pangkat "Pangeran" kepada
R.A.A. Soeria Atmadja oleh Gubernur Jenderal De Fock pada tahun 1918. Beliau
meninggal di Tanah Suci Mekah pada tahun 1919 sehingga rakyat Sumedang
menjulukinya Pangeran Mekah.
foto bersama para Regent/Bupati² Prianger setelah selesai acara prosesi
penganugerahan gelar/pangkat "Pangeran" kepada R.A.A. Soeria Atmadja
oleh Gubernur Jenderal De Fock pada tahun 1918.
Selama masa jabatannyabeliau
memberikan perhatian pada bidang-bidang diantaranya :
Bidang keagamaan , bidang
pendidikan , bidang pertanian , bidang peternakan , bidang pelestarian hidup ,
bidang perekonomian dan bidang politik . untuk menghargai jasa Pangeran Aria
Soeria Atmadja maka dibuatlah monument lingga di tengah alun-alun.
Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja bersama keluarganya dan
beberapa pelayan anak-anak Eropa di tangga rumahnya.
Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja di dalam kereta api pada awal
berziarah ke Makkah.
Rumah bupati di Sumedang
Peresmian monumen ‘Lingga’, oleh Gubernur Jenderal Mr Fock
untuk
Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja, 25 April 1922,
WAFATNYA PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA
Oleh
: G.J Oudemans
Sumber : Buku Indie berbahasa
Belanda
..................................................
Dengan bisluit Gubernemen tgl. 30
Desember 1882, diangkatlah Rd. Tmg. Aria Soeria Atmadja (PASA) sebagai pengganti
Pangeran Soeria Koesoema Adinata IX ( Pangeran Sugih )
Pangeran Soeria Koesoema Adinata IX ( Pangeran Sugih ) |
Pangeran Aria Soeria Atmadja (PASA) merupakan keturunan garis lurus dari Rangga
Gempol (IV) baik dari ayah (generasi ke 8) dan dari pihak ibu (generasi ke 7)
kemudian PASA dalam masa kedinasan kebupatiannya dinilai termasuk seorang Bupati
diantara yang terbaik di pulau Jawa. Beliau teryata seorang yang setia dan
jujur, keras terhadap diri sendiri sangat taat kepada kewajiban ibadat agamanya
tetapi bertoleransi terhadap orang lain yang tidak begitu patuh dan disiplin,
sederhana, sopan dan penolong dengan perasaan harga diri yang tidak berlebihan,
bekerja keras, sorang "financier" yang baik, tidak banyak bicara
tetapi tidak kurang, banyak perhatian terhadap segala hal mengenai kedinasan.
Beliau sangat mengetahui tentang
keadaan daerahnya, dapat menjawab dengan tepat tanpa beratnaya dahulu kepada
para pembantunya.
Dari ayahnya beliau mewarisi
ketelitian dalam hal kedinasan, sedemikian rupa sehingga waktu beliau
sakit-sakitan karena lanjut usia beliau kerap melaksanakan berpergian
mengontrol daerah-daerah seperti yang biasanya beliau lakukan.
Setelah berkali-kali dari pihak
PASA mengajukan permohonan berhenti akhirnya pada bulan April 1919 dikabulkan oleh
Gubernemen dengan penghargaan yang tinggi.
Gelar dan Tanda-tanda penghargaan
beliau :
-
Predikat "ARIA"
-
Mendali Besar Emas
-
Payung Songsong Kuning
-
Mendali Perwira dari Oranye Nassau
-
Gelar "PANGERAN" akhirnya "De
Nederlanse Leeuw"
PASA adalah pendukung terkemuka gagasan "Indie Weerbaar / Ketahaanan Hindia" Karena beliau berpendapat bahwa orang sunda jika jadi prajurit dapat ditanamkan segala kebiasaan yang baik seperti : ketertiban, disiplin, usaha pelaksanaan kewajiban, keteraturan, kapatuhan, dsb.
............................
G. JOudemans
Mantan Residen Preanger Regent schappen (Daerah - daerah Kabupatian Priangan)
Den Haag, September 1921.
Disalin kembali oleh :
-
Nr. Annie Rufianie YAsin, SH. (01
Oktober 2005)
-
R. Adam Firdaus Slamet Natakusumah
(23 Agustus 2013).
Berikutnya : ‘NASEHAT PANGERAN ARIA SOERIA
ATMADJA’.
"PEPELING KASAGALA BAROEDAK SOENDA"
"BARIS KA
SAGALA BAROEDAK SOENDA AING NENEDA KA GOESTI NOE MAHA KAWASA, MOEGA-MOEGA ATI MARANEH DIBOEKAKEUN KANA
PANEMOE ELMOE LAMOEN MARANEH NGADENGE PAPATAH NOE HADE SOEPAYA TEREH NGAHARTI
SOEMAWONNA KANA PAPATAH-PAPATAH NOE GEUS SABABARAHATAOEN DIPAPATAHKEUN SOEPAYA
DIIMANKEUN WANTI-WANTI PISAN.
PANEDA AING KA GOESTI ALLAH SOEPAYA MARANEH PINARINGAN KABOENGAHAN DJEUNG REDJEKI DI DOENIA IEU TEPI KANA POE BOENGSOENA (ADJAL), SARTA MOEGA DIDJAOEHKEUN TINA BAHLA JEUNG PANARINGAN OEMOER PANDJANG.
KITOE DEUI MASING ROENTOET ROEKOEN DJENG BARAJA MARANEH.
MOEGA OELAH AJA SAOERANG OGE MARANEH NOE EUREUN MIKAHEMAN SAKABEHNA NOE MAPARIN GANDJARAN KA MARANEH.
TJEKEL PAPATAH AING IEU, SOEPAJA OELAH AJA SAOERANG OGE TINA ANTARA MARANEH NOE BOGA ATI BINGOENG LAMOEN MATAK MANGGIH BAHJA NOE KASEBOET DI DIEU, KARANA PAPATAH
AING IEU NJA ETA BOEKTINA NOE DIPAPARINKEUN KA OERANG SAREREA. SARTA LAMOEN AING NERANGKEUN KA MARANEH BOEKTINA TEA, NJA ETA SAESTOE-ESTOENA MAH DIDATANGKEUNNANA KOE NOE MAHA KAWASA.
POEGOEH MARANEH DIKAWASAKEUN PIKEUN BISA NARIMA ISARAT NOE DIDATANGKEUN KOE GOESTI ALLAH KA MARANEH.
MARANEH BISA MAKSA NGEUREUNKEUN KALAKOEAN NOE GORENG, KARANA GOESTI ALLAH NOE KAWASA NOEDOEHKEUN KANA DJALAN NOE MOELOES KA MARANEH DIPILAMPAH DI DOENIA IEU.
TANGTOE MARANEH DJADI TJONTO PIKEUN DITOEROETAN KOE SASAMA MARANEH DJENG TANGTOE SAKABEHNA MANOESA SAROEKAEUN KA MARANEH.
SARTA BEH DITOENA MARANEH NGARASA BAGDJA TEUPI KA ANAK INTJOE.
MARANEH SAREREA NOE SAENDENGNA PADA NGARIMANKEUN KANA MAKSOED AING TEA.
AING NJERENKEUN ETA PAPATAH AING NOE PANOENGTOENGAN SAKEDAH POLAH.
KARANA AING NGARASA GEUS KOLOT MOAL SABARAHA DEUI NJA OEMOER.
KOELANTARAN TOELISAN AING IEU, SOEPAJA MANGKE DIMANA OERANG GEUS PAPISAH, MOEGAMOEGA MARANEH DJADI DJALMA PINTER, BISA NGADJI DJEUNG NGINGET-NGINGETKEUN TJARITA IEU; DIPIKIR BEURANG DJEUNG PEUTING.
DJEUNG BEH DITOENA MOEGA-MOEGA MARANEH BISA NOEROETAN KAROEHOEN MARANEH MOEGA-MOEGA BISAEUN MINDAHKEUN NAON KAKOERANGAN DIRI MARANEH MOEGA SALAWASNA DIRAKSA.
LAMOEN MARANEH GEUS NGARASA KAPAPATENAN DOELOER TJARA AING KAPAPATENAN KOE KAROEHOEN AING POMA MARANEH OELAH REK POHO NGAHORMAT.
NOELOENGAN DJEUNG NOEROET NOE WADJIB PIKEUN MARANEH NARANDAKEUN DJALAN KABENERAN SANADJAN KOE DJALAN SEDJEN.
ETA PANGHORMAT AING NOE PANOENGTOENGAN KA MARANEH, SAMEMEHNA NJAWA AING DIPOENDOET KOE NOE KAGOENGAN.
KOE SABAB ETA NJAWA AIN
PANEDA AING KA GOESTI ALLAH SOEPAYA MARANEH PINARINGAN KABOENGAHAN DJEUNG REDJEKI DI DOENIA IEU TEPI KANA POE BOENGSOENA (ADJAL), SARTA MOEGA DIDJAOEHKEUN TINA BAHLA JEUNG PANARINGAN OEMOER PANDJANG.
KITOE DEUI MASING ROENTOET ROEKOEN DJENG BARAJA MARANEH.
MOEGA OELAH AJA SAOERANG OGE MARANEH NOE EUREUN MIKAHEMAN SAKABEHNA NOE MAPARIN GANDJARAN KA MARANEH.
TJEKEL PAPATAH AING IEU, SOEPAJA OELAH AJA SAOERANG OGE TINA ANTARA MARANEH NOE BOGA ATI BINGOENG LAMOEN MATAK MANGGIH BAHJA NOE KASEBOET DI DIEU, KARANA PAPATAH
AING IEU NJA ETA BOEKTINA NOE DIPAPARINKEUN KA OERANG SAREREA. SARTA LAMOEN AING NERANGKEUN KA MARANEH BOEKTINA TEA, NJA ETA SAESTOE-ESTOENA MAH DIDATANGKEUNNANA KOE NOE MAHA KAWASA.
POEGOEH MARANEH DIKAWASAKEUN PIKEUN BISA NARIMA ISARAT NOE DIDATANGKEUN KOE GOESTI ALLAH KA MARANEH.
MARANEH BISA MAKSA NGEUREUNKEUN KALAKOEAN NOE GORENG, KARANA GOESTI ALLAH NOE KAWASA NOEDOEHKEUN KANA DJALAN NOE MOELOES KA MARANEH DIPILAMPAH DI DOENIA IEU.
TANGTOE MARANEH DJADI TJONTO PIKEUN DITOEROETAN KOE SASAMA MARANEH DJENG TANGTOE SAKABEHNA MANOESA SAROEKAEUN KA MARANEH.
SARTA BEH DITOENA MARANEH NGARASA BAGDJA TEUPI KA ANAK INTJOE.
MARANEH SAREREA NOE SAENDENGNA PADA NGARIMANKEUN KANA MAKSOED AING TEA.
AING NJERENKEUN ETA PAPATAH AING NOE PANOENGTOENGAN SAKEDAH POLAH.
KARANA AING NGARASA GEUS KOLOT MOAL SABARAHA DEUI NJA OEMOER.
KOELANTARAN TOELISAN AING IEU, SOEPAJA MANGKE DIMANA OERANG GEUS PAPISAH, MOEGAMOEGA MARANEH DJADI DJALMA PINTER, BISA NGADJI DJEUNG NGINGET-NGINGETKEUN TJARITA IEU; DIPIKIR BEURANG DJEUNG PEUTING.
DJEUNG BEH DITOENA MOEGA-MOEGA MARANEH BISA NOEROETAN KAROEHOEN MARANEH MOEGA-MOEGA BISAEUN MINDAHKEUN NAON KAKOERANGAN DIRI MARANEH MOEGA SALAWASNA DIRAKSA.
LAMOEN MARANEH GEUS NGARASA KAPAPATENAN DOELOER TJARA AING KAPAPATENAN KOE KAROEHOEN AING POMA MARANEH OELAH REK POHO NGAHORMAT.
NOELOENGAN DJEUNG NOEROET NOE WADJIB PIKEUN MARANEH NARANDAKEUN DJALAN KABENERAN SANADJAN KOE DJALAN SEDJEN.
ETA PANGHORMAT AING NOE PANOENGTOENGAN KA MARANEH, SAMEMEHNA NJAWA AING DIPOENDOET KOE NOE KAGOENGAN.
KOE SABAB ETA NJAWA AIN
G DI AEHERAT MOAL ERA KOE BANGSA SASAMA AING.
JEN AING GEUS DITAKDIRKEUN KOE GOESTI ALLAH DILANTARANKEUN PITOELOENGNA KANGDJENG GOUVERNEMENT DIDJADIKEUN POERAH MAPATAHAN DJEUNG NGADJAK KA MARANEH SAREREA.
SAKITOE ETA PAMENTA AING KA MARANEH SAREREA SOEPAJA DITOEROET."
JEN AING GEUS DITAKDIRKEUN KOE GOESTI ALLAH DILANTARANKEUN PITOELOENGNA KANGDJENG GOUVERNEMENT DIDJADIKEUN POERAH MAPATAHAN DJEUNG NGADJAK KA MARANEH SAREREA.
SAKITOE ETA PAMENTA AING KA MARANEH SAREREA SOEPAJA DITOEROET."
(PANGERAN ARIA
SOERIA ATMADJA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar