Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di
Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang
kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P‘o Chie (Kerajaan Sriwijaya)
berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar.
Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada
seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika melakukan
pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di sebuah
kerajaan bernama To-Lang P‘o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di
pedalaman Chrqse (Sumatera).
Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama
I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang
disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika
itu, ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama
daerah itu dengan istilahTola P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil
dari ejaan Sela-pun. Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga
menjadi berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya berasal dari daerah
Ke‘. I-Tsing, yang merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya
tidak bisa menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To.
Sehingga, kata solapun atau selapon disebutkan dengan sebutan Tola
P‘ohwang. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian
menjadi Tulang Bawang.
Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan
Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan
Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang
tidak dapat menerima ajaran tersebut, sehingga mereka kemudian
menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap
di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih
eksis. Pada abad ke-7, nama Tola P‘ohwang diberi nama lain, yaitu
Selampung, yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.
Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di mana
pusat Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W.
Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang,
yaitu antara Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20
km dari pusat Kota Menggala. Jika ditilik secara geografis masa kini,
kerajaan ini terletak di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung,
Indonesia.
Sekitar abad ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal
sebagai pusat perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan
komoditi pertanian lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan
kepada serikat dagang kolonial Belanda atau VOC (Oost–indische
Compagnie) lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan kepada
pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya, komoditi ini amat terkenal di
Eropa. Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang menjadi
dermaga “Boom” atau tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai
penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang kemajuan komoditi yang satu
ini hanya tinggal rekaman sejarah saja.
Kerajaan Tulang Bawang tidak terwariskan menjadi sistem pemerintahan
yang masih berkembang hingga kini. Nama kerajaan ini kemudian menjadi
nama Kabupaten Tulang Bawang, namun sistem dan struktur pemerintahannya
disesuaikan dengan perkembangan politik modern.
Silsilah
(dalam proses pengumpulan data)
Periode Pemerintahan
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4
masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama
Mulonou Jadi. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan
Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou=
Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya
oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.
Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar bin Affan,
yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di
negeri Cina dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke
negeri Cina dalam abad ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung
kala itu belum beragama Islam.
Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan
oleh putra mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga
Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9
masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau yang lebih di kenal dengan
Minak Tabu Gayaw.
Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki 3 putra mahkota, masing-masing
bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak. Tuan
Rio Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagardewa, dengan
hulubalang Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan Rio Tengah
mempertahankan wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak
mempertahankan wilayah daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak
Indah).
Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah perbatasan,
seperti Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang Mersou,
Gedung Aji, Bakung dan Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga
oleh para panglimanya guna mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik
dari luar maupun dalam negeri sendiri.
Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi) terlihat benar susunan
struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh
panglima-panglimanya. Seperti di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima
Batu Tembus dan Minak Rajawali, dengan tugas pos pertahanan pertama dari
laut.
Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota Karang, dengan
panglimanya bernama Minak Muli dan Minak Pedokou. Untuk pertahanan,
tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara, Kampung Meresou
atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan Minak Patih
Baitullah, yang bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.
Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja
Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat
pada abad ke 16 masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama
Islam di Lampung dan keturunan ke sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi,
raja terakhir yang masih beragama Hindu.
Haji Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala Bumi mendalami
ajaran agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu ia
memperistri putri Prabu Siliwangi bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak
cucu dari keturunan mereka selanjutnya menurunkan Suku Bujung dan
Berirung.
Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang Bawang,
diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang
dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan
Rio Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula
makam para panglima yang berada di sejumlah tempat.
Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan Tulang Bawang bernama
Kumala Tungga. Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan tahun
memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala Tungga memerintah kerajaan
sekitar abad ke 4 dan 5 Masehi.
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang
Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat
kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala
dan Pagardewa, kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota
kabupaten, Kota Menggala.
Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini,
namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya
diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa.
Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang
sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang
Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang.
Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar tahun 1960
terjadi peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung
Pagardewa bernama Murod. Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi
sebuah ‘petunjuk’ akan keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat
pemerintahannya belum juga ditemukan secara pasti.
Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan. Kemudian ia
‘tersesat’ ke sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat
tersebut, Murod melihat rumah yang atapnya terbuat dari ijuk dan
dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah itu, dilihatnya ada kursi
kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya.
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi,
di sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki
Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa
pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun
di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai
meningkatkan kekuasaannya.
Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya
untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh
karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah
dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di
pantai timur Lampung.
Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya),
nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin
pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di
sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas,
sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan
sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau
gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung).
Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat.
Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke
Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo
dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis.
Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu
Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.
Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Tulang Bawang mencakup wilayah yang kini lebih dikenal dengan Provinsi Lampung.
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat datanya.
Berikut ini akan dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan daerah
Tulang Bawang pada masa pra-kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi
bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 22 November 1808,
pemerintahan Kesiden Lampung ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
berada di bawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal
ini berakibat pada penataan ulang pemerintahan adat yang kemudian
dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat. Pemerintah Hindia
Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Wiliam kemudian
membentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan).
Wilayah Tulang Bawang dibagi ke dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan,
Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan baru,
yaitu Buay Aji.
Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai
dibentuk sistem Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden
Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan
berbagai fasilitas yang menguntungkan kepentingan Hindia Belanda mulai
dibangun, termasuk di Tulang Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh
Jepang, tidak banyak hal yang berubah. Setelah Indonesia merdeka,
Lampung ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah Provinsi Sumatera
Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan sistem
pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak
terjadi di era otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah
provinsi yang terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu,
status Menggala ditetapkan sebagai Kecamatan Menggala di bawah naungan
Provinsi Lampung Utara.
Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan
melalui proses pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat
bersama dengan pemerintah yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan
tersebut merencanakan pembentukan Provinsi Lampung menjadi sepuluh
kabupaten/kota. Pada tahun 1981, Pemerintah Provinsi Lampung kemudian
membentuk delapan Lembaga Pembantu Bupati, yang salah satunya adalah
Bupati Lampung Utara Wilayah Menggala. Berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal 8 Juni 1981, dibentuk wilayah kerja
Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara
Wilayah Provinsi Lampung.
Melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keberadaan Kabupaten Tulang
Bawang diputuskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal
20 Maret 1997. Sebagai tindak lanjutnya, keputusan tersebut dikembangkan
dalam UU No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tulang
Bawang dan Kabupaten Tingkat II Tagamus.
Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat
Tulang Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai
membuat kerajinan tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam
perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih
ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15,
daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di
Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk pertanian
yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya
masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses pengumpulan data.