Minggu, 19 Juni 2016

Ratu Sumedang


akang eteh.. khususna aa asep. tah geuning ngagorehel hasil kokoreh teh.
ngeunaan sumedang larang versi bayu surianingrat. di ieu tulisan cenah ratu
pucuk umun teh anak nyi mas ratu istri patuakan. ngan hanjakal ketak
kapamingpinan ieu dua indung-anak teh teu kacatur geuning...
d
--
Kerajaan Sumedang Larang Naskah ini dimulai dengan kerajaan Sumedang Larang.
Meskipun dalam nama tersebut tersimpul kata "Sumedang" namun tidak berarti
bahwa Sumedang Larang sama benar atau serupa dengan Sumedang. Sumedang
Larang adalah suatu kerajaan sedangkan Sumedang adalah nama nagari induk,
suatu kabupatian inti kerajaan Sumedang Larang. Jadi, kerajaan Sumedang
Larang mencakup Sumedang dan nagari-nagari lainnya seperti Karawang, Ciasem,
Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Bandung, Parakan Muncang dsb. Pada permulaan
abad ke-16 jaman jayanya kerajaan Pakuan Pajajaran, Sumedang Larang
merupakan kerajaan daerah atau kerajaan bawahan. Kemudian +_ 1575 menjadi
kerajaan yang merdeka secara *"de facto" *karena kekuasana kerajaan
Pajajaran sudah tidak nampak lagi di Sumedang Larang.

Sejak kehadirannya di dunia ini Sumedang Larang ada di bawah kekuasana
kerajaan "Pajajaran", yaitu kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, yang
pusat pemerintahannya ada di Pakuan Pajajaran (kota Bogor sekarang).
Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan daerah negara "Pajajaran".

Sementara ahli dan peminat sejarah berpendapat bahwa "Pajajaran" itu bukan
nama negara dan Pakuan Pajajaran adalah nama dayeuh atau tempat tinggal
raja. Jika demikian apa nama negara yang membawahi Sumedang Larang?
Sebenarnya pusat pemerintahan yang ada di Pakuan Pajajaran adalah pusat
pemerintahan negara Galuh, yang dipindahkan ke Pakuan Pajajaran untuk
menjauhi dan menghindarkan perkembangan agama Islam yang berpusat di
Cirebon, yang ketika itu berkembang pusat ke arah Galuh (sekitar Kawali,
kabupaten Ciamis). Oleh karena itu, ada yang menamakan negara Galuh menjadi
sebagai Galuh Pakuan atau Galih Pakuan setelah bobot pemerintahannya
dipindahkan ke Pakuan Pajajaran. Naskah ini tidak akan mengupas nama
"Pajajaran" karena masalahnya ada di luar sasaran naskah. Selain daripada
itu, dalam naskah-naskah di Cirebon tercantum nama Pajajaran sebagai nama
negara. Pajajaran sebagai nama negara kiranya seudah memasyarakat tidak saja
pada masyarakat Jawa Barat tetapi juga pada masyarakat di luar Jawa Barat,
bahkan orang asing, khususnya Belanda, Inggris, mempergunakan "Pajajaran"
sebagai nama negara. Hampir dalam semua naskah sejarah, istilah "Pajajaran"
diartikan sebagai nama negara, yaitu negara Hindu terbesar dan terakhir di
Jawa Barat, yang kebesaran, keagungan dan kejayaannya menjadi kebanggaan
masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda.

Sampai tahun 1526 kerajaan Pajajaran meliputi sejumlah kerajaan daerah:

   1. Cirebon-larang, Prabu?
   2. Cirebon-girang, Prabu Kasmaya;
   3. Sindang-barang, Panji Wirajaya;
   4. Suka Pura, Lembu Jaya;
   5. Kidang Lumutan, Menah Dermawangi;
   6. Galuh, Nara Wingkang atau Larang Tapa;
   7. Astan-larang, Nara Wingkang;
   8. Tajuknasing, Aji Narma;
   9. Sumedang-larang, Lembu Peteng Aji;
   10. Ujang Ngumbara, Limar Kancana;
   11. Ujung-kidul, Prabu Gantangan;
   12. Kamuning-gading, Prabu Silihwangi;
   13. Pancakaki, Niti Muda Aji;
   14. Tanjung-sanguru, Lembu Wulung;
   15. Jakarta-Nusa-Kalapa, Pangeran Rangsang Jiwa;
   16. Banten-girang, Mas Jongjo;
   17. Pulosari, Ajar Domas;
   18. Ujung Kulon, Prabu?

Para raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran biasanya disebut Prabu
Silihwangi, tetapi yang terkenal dan dikenal sebagai Prabu Silihwangi hanya
Prabu Guru Dewataprana, yang dinobatkan sebagai Sri Baduga Maharaja ratu
haji di Pakuan Pajajaran. Sri Baduga Ratu Dewata, sebagaimana tercantum
dalam prasasti Batutulis, seolah-olah hanya dia yang bergelar Silihwangi.
Mungkin karena Prabu Sri Baduga Maharaja adalah pengganti (snd=silih) dari
Prabu Wangi alias Prabu Niskala Watu Kancana, yaitu kakek Prabu Sri Baduga
Maharaja atau mungkin karena karena Prabu Sri Baduga Maharaja adalah raja
pertama di Pakuan Pajajaran, sehingga dianggap sebagai pendiri negara
Pajajaran atau mungkin juga karena wajah dan perbuatannya mirip dengan Prabu
Wangi, maka ia diberi gelar Silihwangi. Mungkin pula karena Prabu Sri Baduga
Maharaja mengalami ganti nama (snd= silih wawangi) ketika ia dinobatkan,
maka ia disebut Prabu Silihwangi. Demikian juga dalam naskah-naskah Cirebon
dan dalam catatan Adolf Winckler tercantum nama Prabu Silihwangi (Winckler:
Praboe Striwangi).

Rangkaian raja-raja di Pakuan Pajajaran adalah:

   1. Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja ratu haji di Pakuan
   Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata (kurang lebih 1498-1521)
   2. Prabu Surawisesa (1521-1535)
   3. Prabu Ratudewata (1535-1543)
   4. Prabu Sang Mangabatan (1543-1551)
   5. Prabu Sang Nilakendra (1551-1567)
   6. Prabu Nusiya Mulya (1567-1579), Prabu Silihwangi terakhir,
   "ngahiyang" ketika tentara Surasowan, Banten, Merebut Pakuan Pajajaran
   kira-kira 8 Mei 1579).

Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Silihwangi I, yang dalam Carita Parahyangan
disebut pula Prabu Premana, mempunyai saudara bernama Prabu Aji Putih,
Tembong Agung (kurang lebih 1500). Prabu Aji Putih mempunyai putra bernama
Prabu Taji Malela, yang menjadi cakal bakal kerajaan Sumedang Larang.
Sumedang Larang merupakan kerajaan daerah Pajajaran. Pusat pemerintahannya
di Leuwihideung, kecamatan Darmaraja.

Prabu Taji Malela mempunyai putra kembar, kakaknya bernama Prabu Lembu Agung
(dalam daftar kerajaan daerah di atas disebut Prabu Lembu Peteng Aji) dan
adiknya bernama Prabu Gajah Agung. Yang mengganti Prabu Taji Malela
mula-mula adalah Prabu Lembu Peteng Aji, tetapi karena Prabu Lembu Peteng
Aji menjadi resi, maka yang menjadi raja adalah Prabu Gajah Agung.

Tapi disini nampaknya ada kekeliruan, karena Prabu Gajah Agung adalah cucu
Prabu Aji Putih, yang hidup sejaman bahkan saudaranya Prabu Sri Baduga
Maharaja. Jadi, Prabu Aji Putih hidup pada tahun 1500-an. Dengan demikian
Prabu Gajah Agung bertahta kira-kira pada tahun 1535-an (sejaman dengan
Prabu Ratudewata, raja Pakuan Pajajaran). Prabu Geusan Ulun, keturunan ke-6
dari Prabu Gajah Agung mulai bertahta menjadi raja Sumedang Larang pada
tahun 1578. Antara Prabu Gajah Agung sampai Prabu Geusan Ulun terbentang
waktu kurang lebih 50 tahun, sedangkan dalam kurun waktu tersebut terdapat 6
keturunan yang semuanya menjadi raja Sumedang Larang. Jelas kiranya bahwa
Prabu Gajah Agung tidak mungkin bertahta selama 100 tahun lebih, karena
waktu sampai Prabu Geusan Ulun untuk ditempuh oleh 6 keturunan hanya selama
50 tahunan. Ini membuktikan kelemahan babad dibandingkan dengan sejarah
dalam pengertian ilmu pengetahuan.

Prabu Gajah Agung memindahkan ibu kota dari Leuwihideung ke Ciguling, Desa
Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Oleh karena itu ia disebut pula
Prabu Pagulingan. Ia mempunyai keris yang sangat ampuh yang dinamakan Ki
Dukun, Keris ini sampai sekarang masih ada di Musium Prabu Geusan Ulun
"kepunyaan Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), Sumedang." Prabu Gajah Agung
wafat dan dimakamkan di Cicanting, sekarang desa Sukamenak, kecamatan
Darmaraja. Prabu Gajah Agung mempunyai putra:

   1. Ratu Istri Rajamantri, yang menikah dengan Prabu Silihwangi (Prabu
   Ratudewata-?, Putera Prabu Surawisesa) dan tidak menjadi ratu karena
   mengikuti suami ke Pakuan Pajajaran.
   2. Sunan Guling, yang mengganti ayahnya menjadi raja Sumedang Larang,
   pusat kerajaan tetap di Ciguling. Ia wafat dan dimakamkan di Ciguling, desa
   Pasanggrahan.

Sunan Guling diganti oleh puteranya bernama Sunan Tuakan, yang wafat dan
dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang, kecamatan Sumedang Selatan.
Ia diganti oleh puterinya bernama Nyi Mas Ratu Istri Patuakan, yang menikah
dengan Sunan Corendra, cucu Prabu Silihwangi (Prabu Ratudewata?).

Nyi Mas Ratu Istri Patuakan diganti oleh puterinya bernama Nyi Mas Ratu
Inten Dewata, yang telah menjadi ratu Sumedang Larang memakai gelar Ratu
Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan pangeran Santri dari Cirebon,
seorang pangeran ulama agama Islam. Ini berarti bahwa agama Islam sudah
mulai merembes ke Sumedang. Pada waktu Ratu Pucuk Umun bertahta kekuatan dan
kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran sudah sangat menurun dan tidak terasa di
daerah dan tidak nampak lagi di Sumedang Larang, yang terletak cukup jauh
dari Pakuan Pajajaran. Dengan demikian kerajaan Sumedang Larang praktis
merupakan kerajaan penuh, secara *"de facto"* Sumedang Larang adalah
merdeka.

Pada tahun 1526, Banten yang mencakup kerajaan-kerajaan kecil Ujing-kulon,
Ujung-kidul, pulasari, Banten-girang dan sebagainya direbut oleh tentara
Cirebon-Demak, kemudian dijadikan kesultanan Banten. Pada tahun berikutnya,
Sunda (Nusa)- Kalapa direbut juga oleh tentara Cirebon-Demak, namanya
kemudian diganti menjadi Jayakarta (1527) dan menjadi kerajaan di bawah
kekuasaan Banten. Turunnya kekuasaan Pakuan Pajajaran di daerah kekuasaannya
yang terletak jauh dari Pakuan Pajajaran seperti Karawang, Ciasem,
Pamanukan, Indramayu menyebabkan seolah-olah daerah tersebut menjadi bebas
pula, secara *"de facto"* daerah-daerah tersebut adalah merdeka dan memilih
rajanya sendiri. Puncak kemunduran kekuasaan Pakuan Pajajaran oleh tentara
Surasowan (Banten) kira-kira tanggal 8 Mei 1579. Meskipun runtuhnya negara
Pajajaran merupakan suatu proses, namun tanggal 8 Mei 1579 dipandang sebagai
saat yang menentukan Pajajaran tinggal nama, Silihwangi tinggal "wawangi".
Di dalam berbagai naskah keadaan dimaksud disebut "Pajajaran Burak",
Pajajaran tenggelam untuk tidak muncul lagi. Kebesaran dan keagungan
Pajajaran tetap menjadi kebanggaan sebagian besar masyarakat di Jawa Barat,
bahkan para bupati tempo dulu mengaku sebagai keturunan langsung dari Prabu
Silihwangi meskipun tanpa menerangkan yang mana dan yang keberapa.

(Sejarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950, Drs Bayu Surianingrat hal
1-5)

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar