Kesejarahan
Indonesia mempunyai banyak sisi yang belum di eksplorasi, termasuk
penelusuran berbagai kerajaan yang pernah ada di nusantara. Selama ini,
proses mencari jejak kerajaan-kerajaan di nusantara banyak menghasilkan
informasi baik yang lama maupun yang baru; bahkan tidak jarang
menimbulkan pertanyaan yang menggugah keinginan untuk menggali serta
menemukan bukti historis yang bisa melengkapi mata rantai kesejarahan
nusantara.
Kerajaan Salaka Nagara
merupakan salah satu mata rantai kerajaan di nusantara. Penelusuran
jejak Salaka Nagara pernah dilakukan berbagai pihak dan dari berbagai
perspektif – seperti yang dapat di baca pada artikel ini. Keberadaan
kerajaan ini pernah tercatat di tahun 150 oleh seorang ahli ilmu bumi
Yunani, Claudius Ptolemaeus dalam bukunya Geographike Hypergesis.
Ptolemaeus menyebutnya sebagai Argyre, atau perak yang terletak di ujung
barat Pulau Iabadious (Dalam mitologi Roma dan Yunani, Argyre dikatakan
mythical island of silver ). Nama Iabadiou disamakan dengan nama dalam
bahasa sansekerta, Yawadwipa, yang artinya Pulau Jelai atau Pulau Jawa.
Hingga kini, terbatasnya
informasi mengenai Salaka Nagara menimbulkan berbagai pertanyaan yang
hanya bisa di jawab dengan terus melakukan penggalian sejarah, mencari
kaitan-kaitan historis yang akhirnya bisa semakin memperjelas latar
belakang kerajaan Salaka Nagara ini.
LOKASI
Kerajaan ini berada di
wilayah Pandeglang yang kini bagian dari Propinsi Banten yang dulunya
merupakan kerajaan yang sangat besar bernama Kerajaan Gilingaya, atau
Salaka Nagara. Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”,
Salaka Nagara di dirikan tahun 52 Saka, atau 130/131 Masehi (2). Lokasi
di perkirakan ada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal
hasil logamnya. Di kabupaten Lebak dan Pandeglang serta Serang memang
sejak dulu terkenal dengan tambang logam mulia. Sementara wilayah
Cikotok dan sekitarnya sejak jaman penjajahan Belanda sudah menjadi
wilayah pertambangan emas dan bahan galian lain seperti perak. Di sana
juga di temukan bahan galian logam seperti galena (biji timah hitam
/Pb), serta berbagai bahan non-logam seperti andesit, basalt, tras,
zeolit, feldspar, bentonit, pasir kuarsa, batu sempur, batu mulia dan
batubara, serta minyak bumi dan gas di daerah Ujung Kulon. Tidak
mengherankan jika sejak jaman dulu Salaka Nagara sudah di kenal sebagai
Negeri Perak karena hasil buminya.
Perjalanan sejarah
kerajaan Salaka Nagara memiliki riwayat perjalanan yang cukup panjang.
Ada sumber yang mengatakan bahwa Salaka Nagara, atau nama lainnya
Gilingaya sudah ada sejak jaman Kala Brawa (1). Nama Salaka Nagara juga
muncul pada penelitian sejarah kerajaan awal nusantara (2), dan di sebut
sebagai cikal bakal kerajaan Tarumanegara. (2)
KERAJAAN GILINGAYA atau SALAKA NAGARA
Pendiri Kerajaan
Gilingaya adalah Sang Prabu Budawaka yang merupakan titisan dari Sang
Hyang Batara Ismaya. Setelah masanya berakhir, Sang Prabu Budawaka moksa
di Gunung Karang di candi yang berada diatas Gunung Karang di daerah
Watu Lawang.
Setelah itu dilanjutkan oleh Sang Prabu Bramakadi yang merupakan titisan dari Sang Hyang Batara
Brama. Setelah lengser
keprabon, sang prabu menjadi pertapa di puncak Gunung Krakatau dan
digantikan oleh putranya yang bernama Sang Prabu Dewaesa yang merupakan
titisan dari Sang Hyang Batara Bayu. Prabu Dewaesa adalah raja terakhir
dari Kerajaan Gilingaya ketika keraton tersebut masih menjadi pusat
kerajaan. Karena sesudah sang prabu dan ayahandanya – Prabu Bramakadi
moksha, terjadi goncangan alam yang sangat besar, sehingga mayoritas
bumi terendam air. Air baru surut pada masa akhir Kerajaan Medang
Galungan di Kuningan saat di perintah oleh Prabu Satmata. Kerajaan
Gilingaya yang menguasai jagad pada jaman Kala Brawa di jaman besar Kali
Tirtha, di kenal juga dengan nama Salakanagri atau Salaka Nagara.
Setelah surut dari kerjaan induk, sampai di jaman masa surutnya
Majapahit, tetap bernama Gilingaya atau Salaka Nagara, tetapi statusnya
sudah menjadi Kadipaten. (1)
Perjalanan Salaka Nagara
dari masa ke masa selanjutnya mengalami pasang surut sejalan dengan
berkembangnya kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Mengingat bahwa
kerajaan ini termasuk yang tertua di nusantara, maka hingga kini belum
banyak penemuan yang bisa mengungkapkan secara lebih jelas lagi tentang
Salaka Nagara. Namun demikian di tahun 1677, Pangeran Wangsakerta –
salah satu anggota keluarga Keraton Cirebon bersama-sama dengan tim nya,
menyusun naskah Pustaka Rajya Rajya Bhumi Nusantara yang menjelaskan
sejarah kepulauan nusantara, Pulau Jawa dan Tatar Sunda. Dalam salah
satu naskah itu lah nama Salaka Nagara muncul dan disebut sebagai cikal
bakal kerajaan Tarumanegara.
CIKAL BAKAL TARUMANEGARA
Dalam naskah Wangsakerta,
diceritakan bahwa Salaka Nagara merupakan sebuah wilayah di Teluk Lada.
Masyarakat Salaka Nagara di masa itu memiliki sistem religi Pitarapuja,
atau pemujaan roh leluhur dan Aki Tirem adalah tokoh pemimpin
masyarakatnya. Di katakana pula, Dewawarman – yang kelak menjadi Raja
Salaka Nagara, adalah seorang duta keliling, pedagang dan perantau dari
India yang tiba di Teluk Lada hingga menetap dengan Dewi Pwahaci
Larasati, putri Aki Tirem, sang penguasa setempat.
Hubungan antara Aki Tirem
dengan Demawarman sudah terjalin jauh sebelum Demawaman menetap di
Teluk Lada. Mereka berdua telah bekerja sama mengatasi perompak yang
mengganggu wilayah sekitar perairan Salaka Nagara dan sekitarnya. Aki
Tirem mempunyai putri yang kemudian di nikahkan dengan Demawaman. Kelak
Aki Tirem menyerahkan kekuasaan pada Demawarman.
Kerajaan Salaka Nagara
baru berdiri setelah meninggalnya Aki Tirem, yakni pada kisaran tahun
130 Masehi. Demawarman mendirikan kerajaan Salaka Nagara dengan ibu kota
Rajatapura dan menjadi Raja Salaka Nagara pertama, bergelar Prabu
Dharmaloka Demawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Wilayah-wilayah di
sekitarnya menjadi daerah kekuasaan Raja Dermawarman, termasuk kerajaan
Agnynusa (Negeri Api) di Pulau Krakatau. Jaman sekarang ini wilayah kuno
Salaka Nagara mencakup Banten, Jawa Barat bagian barat, pesisir Jawa
Barat, Nusa Mandala atau Pulau Sangiang dan pesisir Sumatera bagian
selatan. Demawarman membuka hubungan diplomatic dengan Cina dan India;
dan ketika kerajaan itu menggalang kerja sama mengatasi gangguan
perompak, termasuk para perompak dari Cina.
Raja Dewawarman I
berkuasa selama 38 tahun, dan pada kisaran tahun 168 masehi di gantikan
puteranya Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Senapati Bahadur harigana
Jayasakti, adik Prabu Dewawarman I menjadi raja di daerah Mandala Ujung
Kulon. Sedangkan Sweta Liman Sakti, adiknya yang lain dijadikan raja di
daerah Cianjur selatan
Tahun 363 M (akhir Kerajaan Salaka Nagara)
Kerajaan Salaka Nagara
hanya sampai + tahun 363 dengan Prabu Dharmawirya sebagai Prabu
Dewawarman VIII / terakhir karena Salaka Nagara sudah menjadi bagian
dari wilayah Kerajaan Tarumanegara. Kehidupan masyarakat Salaka Nagara
sangat harmonis, makmur dan sentosa, perekonomian berjalan baik.
Prabu Darmawirya
Dewawarman VIII, mempunyai menantu Jayasinghawarman, seorang maharesi
dari Calankayana di India. Jayasanghawarman mengungsi ke Nusantara
setelah daerahnya di serang Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Setelah Jayasinghawarman mendirikan Kerajaan Tarumanagara, pusat
pemerintahan beralhi dari Rajatapura ke Tarumanagara, dan setelah itu
Salaka Nagara statusnya berubah menjadi Kerajaan Daerah. Hingga saat
ini, belum di temukan prasasti atau bukti sejarah yang bisa membuktikan
keberadaan Kerajaan Salaka Nagara sebelum era Tarumanagara ini. Oleh
karena itu, hingga kini banyak pihak masih meragukan dan memperdebatkan
soal Kerajaan Salaka Nagara sebagai cikal bakal Tarumanagara. (2)
Peninggalan Salaka Nagara
Posisi Kerajaan Gilingaya
kira-kira terdapat di kecamatan Mandalawangi yang di kelilingi oleh 4
(empat) gunung, yakni Gunung Pulosari (stratovolcano), Gunung Karang
(stratovolvano) dan Gunung Aseupan, serta Gunung Parakasak (volcano).
Oleh karena itu beberapa peninggalan dapat di jumpai lokasi sekitar
bekas kerajaan Salaka Nagara. Beberapa literatur penelitian ( (Yoseph
Iskandar , 1997, Sejarah Jawa Barat), Ayat Rohaedi,2005,Sundakala :
Cuplikan Sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panita Wangsakerta”
Cirebon) mengungkap adanya bukti-bukti peninggalan kerajaan, tersebar di
sekitar Gunung Pulosari dan Pulau Panaitan.
Berdasarkan naskah
Pustaka Raja Raja I Bhumi Nusantara, situs Cihunjuran adalah salah satu
bukti peninggalan kerajaan Salaka Nagara. Ada pula batu menhir dan
dolmen yang oleh masyarakat setempat di sebut Batu Alami. Ada pula batu
berlubang, pada jaman itu digunakan sebagai tempat membuat ramuan
obat-obatan.
Situs Batu Goong Citaman,
Batu goong, peninggalan megalitik Salaka Nagara bentuknya menhir yang
di kelilingi batu-batu berbentuk gamelan atau gong dan batu pelinggih.
Situs ini terletak di atas bukit tidak jauh dari pemandian Citaman. (3)
Konon, situs citaman
dulunya adalah situs tempat Sang Prabu Budawaka menerima wahyu sehingga
dibangun menjadi Taman Punakawan, karena di situ tempat beliau bertemu
untuk pertama kalinya dengan Ki Lurah Semar yang waktu itu bernama Ki
Lurah Lengser. (1)
Situs Batu Ranjang, salah satu
peninggalan yang masih terletak di kawasan Pulosari. Bentuknya rata di
bagian atas sehingga disebut batu ranjang. Batu yang di perkirakan dari
jaman logam, diperkuat dengan 4 tiang penyangga yang berukir (3). Konon
kabarnya, dahulu Situs Batu Ranjang merupakan situs dari pesanggrahan
Sang Prabu Dewaesa saat memanggil Pangeran Makukuhan dan menobatkan
Pangeran Makukuhan menjadi Mahaprabu dan terkenal dengan gelar Sang
Mahaprabu Kano yang merupakan titisan dari Sang Hyang Batara Indra yang
lalu memindahkan pusat pemerintahannya ke Gunung Mahendra. (1)
Situs Batu Tumbung merupakan sebuah batu besar yang terdapat banyak guratan-guratan.
Guratan pada batu menggambarkan
tentang gunung yang meletus pada masa itu, jumlah guratan menandakan
sejumlah itu pula gunung-gunung di pulau Jawa yang meletus secara
bersamaan di sekitar masa pergantian jaman dari Kala Brawa ke Kala
Tirtha.
Asal usul Batu Tumbung
Pada saat itu Pangeran
Makukuhan putra Sang Prabu Dewaesa yang menjadi Adipati di Purwacarita
(Purwacarita di daerah Magetan di lereng Gunung Mahendra – red sekarang
Gunung Lawu) dipanggil datang ke pesanggrahan yang ada di Situs Batu
Ranjang. Saat itu Prabu Dewaesa berkeinginan untuk lengser keprabon dan
menghendaki Pangeran Makukuhan yang akan menggantikan beliau menjadi
Raja. Tapi Pangeran Makukuhan tidak mau menerima karena kawatir dengan
banyaknya Kadipaten yang akan memberontak ketika dia menjadi Mahaprabu.
Maka Pangeran Makukuhan mencari cara agar prabu Dewaesa tidak lengser keprabon dengan
mengatakan “Dumateng
Arcapada menika pukulun mboya wonten bagaskara kembar”. Pernyataan itu
membuat marah Prabu Dewaesa dan mengatakan kalau begitu yang kamu
inginkan maka Prabu
Dewaesa dan Mpu Bramakadi
akan moksa dan menghancurkan semua Kadipaten yang berpotensi mbalelo.
Maka diperintahkanlah untuk membuat perahu dan memperbesar istana
Balekambang untuk menyelamatkan rakyat. Tertegun dan sedih mendapat
jawaban tersebut maka Pangeran Makukuhan meminta rakyat membuat apa yang
diinginkan Prabu Dewaesa. Kemudian setelah semua selesai Prabu Dewaesa
dan Mpu Bramakadi moksa di Gunung Krakatau dibarengi dengan datangnya
meteor yang menghantam Bumi dan meletusnya sejumlah gunung serta naiknya
air laut sampai sepertiga Gunung Karang. Air laut baru surut pada saat
penobatan Prabu Satmata di jaman Kerajaan Medang Galungan.
Gelar dari Pangeran
Makukuhan adalah Sang Mahaprabu Kano. Nama Kano, mempunyai arti “perahu”
itu melekat karena pada saat moksanya ayahanda dan kakek dari Pangeran
Makukuhan, siti hinggil kraton dipindah sementara ke dalam sebuah perahu
besar yang dibangun di Istana Balekambang Gilingaya.
Peristiwa moksanya Sang
Prabu Dewaesa dan Mpu Bramakadi, mengakibatkan terpisahnya daratan
Sumatera dengan daratan Jawa, akibat meletusnya gunung-gunung juga
gunung yang berada di kutub selatan sehingga es mencair dan air laut
naik dan menenggelamkan hampir sebagian besar daratan di bumi pada saat
itu. (1)
Arca Ki Lurah Lengser dan Batu Lumpang
Di kediaman Bapak Nurdin
yang berjarak sekitar 2km dari Situs Batu Tumbung, terdapat arca Ki
Lurah Lengser dan Batu Lumpang serta ada patung lingga yang dipakai
sebagai ganjal rumah. (1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar