1. Sri Baduga Maharaja
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja
(RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada
masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua
kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari
ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar PRABU GURU
DEWAPRANATA. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari
mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa
Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI di
PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk
terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali
menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari
timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama PRABU SILIWANGI.
Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun.
Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu
Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi
raja di Pakuan.
Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai
kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu
Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama.
orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka
juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia
dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa
Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan
ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira” (Hanya orang
Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut
Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti
yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta
(penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh
Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan
penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana
(kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana disebut juga PRABU
WANGSISUTAH).
Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam
Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah
“seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?.
Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam
hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu
Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan
mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU,
sedangkan Jayadewata bergelar MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu
Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu
dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh
Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu
Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh
pujangga bernama KAI RAGA di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya
ditulis dalam gaya pantun dan dinamai CARITA RATU PAKUAN (diperkirakan
ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18).
Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410 . Isinya adalah sebagai
berikut (hanya terjemahannya saja):
Tersebutlah Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran
melintas tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari
keraton di timur halaman cahaya putih induk permata
cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan
alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup. Bergerak
barisan depan disusul yang kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul
kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat
sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan.
Bergerak tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama
lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang
bercungap Singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang
gading berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan benang tapok
terongnya emas berlekuk berayun panjang langkahnya terkedip sambil
menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya tingkahnya seperti semut
beralih. Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di
awang-awang
pembawa gendi di belakang pembawa kandaga di depandan ayam-ayaman emas
kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengahsiapa diusun di singa barong
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi
Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri
Sri BAduga yang pertama (puteri Ki Gedng Sindang Kasih, putera Wastu
Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke
Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan
jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang
disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu
prasasti peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut
(artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana.
Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan
sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan
ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”,
“calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea.
Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda
Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu
“dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif),
“kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan).
Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”,
“panggeureus reuma”. Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah
Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh
carangka” (10 carangka= 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1
caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti.
Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada
penguasa setempat.
“Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi
yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke-
mudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja
atau penguasa setempat (tohaan).
Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang
diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang
harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong
selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus
dipaka untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih
bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan
“calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya:
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di
ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk
kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin
calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman
kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini
memanfaatkanna untuk “rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten”
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah
menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas
Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa
imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan
makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa
sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakongawe” dan berlaku
untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang
melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga
tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau
dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung.
Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti
tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum
atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong.
Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk
tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut KARYABHAKTI dan sudah dikenal
pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung
merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga
penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya
yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga DESA PERDIKAN
(desa bebas pajak).
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga,
marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka
kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi
dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa” (Ajaran dari leluhur
dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan
timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak
yang serakah akan ajaran agama)
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Mereka disebut “loba” (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama
yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan
Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti
yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat
masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya
(Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi
Sunda (Jawa Barat).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya
di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak
yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan
datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari
Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana.
Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang
jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera
disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu
dapat dicegah oleh PUROHITA (pendeta tertinggi) keraton KI PURWA GALIH.
Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya
(Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng
Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena
Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh
penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa
pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada
pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang,
membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). Pajajaran adalah
negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki
kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak
40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah JUNG (adakah yang
tahu artinya?) dari 150 ton dan beberala LANKARAS (?) untuk kepentingan
perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman
mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan
dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan
yang dijodohkan, yaitu
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
Perkawinan Sabrang Lor (YUNUS ABDUL KADIR) dengan Ratu Ayu terjadi 1511.
Sebagai SENAPATI SARJAWALA (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, ia
untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di
Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis ALFONSO d’ALBUQUERQUE di Malaka (ketika itu baru saja
merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula
meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh
karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang
ke arah ketegangan yang melumpuhkan SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAHAN. Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,
bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah
muslimah dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara
Santang dan Raja Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya
(Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka
masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan
jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil;
mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan
Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah
merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan
hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000
kapal.
Naskah KITAB WARUGA JAGAT dari Sumedang dan PANCAKAKI MASALAH KARUHUN
KABEH dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan
huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan
masa GEMUH PAKUAN (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila
hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja
penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut SUSUHUNAN di PAKUAN PAJAJARAN, memerintah selama 39
tahun (1482 – 1521). Ia disebut SECARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG
MOKTENG) RANCAMAYA karena ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai
khusus Rancamaya). Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara
Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun
1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan
pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan
dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat
Pohon Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah “dihancurkan” orang. Pelatarannya
ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi
saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam
kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk
peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal
sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai
MAKAM WALI.
Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang
yang terdapat di Kebun Raya yang “dijual” orang sebagai “makam Raja
Galuh”.
Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena
Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut
naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian
dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). “Talaga”
(Sangsakerta “tadaga”) mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya
menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi.
Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti
bendungan.
Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu
telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul
di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan
Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang,
tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.
Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang
unik. Bukit itu hampir “gersang” dengan bentuk parabola sempurna dan
tampak seperti “katel” (wajan) terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak
subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga
bukit ini dulu “dikerok” sampai mencapai bentuk parabola. Akibat
pengerokan itu tanah suburnya habis.
Bagidul kemungkinan waktu itu dijadikan “bukit punden” (bukit pemujaan)
yaitu bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang=tabur
bunga). Kemungkinan yang dimaksud dalam “rajah Waruga Pakuan” dengan
Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa
Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan
upacara mandi suci di Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam
istana Kerajaan Indraprahasta (di Cirebon Girang). Setelah bermandi-
mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat
sungai.
Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya
adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula SUNDA-GALUH.
2. Surawisesa (1521 – 1535)
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang
Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita
Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan
“kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali
pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa
pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana
Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil
kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun
1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua
adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme
(ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan.
Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis
mengenai perdagangan dan keamanan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian
itu hanya lisan, akan tetapi sumber portugis yang kemudian dikutip
Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt
in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat
tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu)
Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng
di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan
diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan
yang diminta oleh pihak Sunda.
Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan
1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua
“costumodos” (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan TRENGGANA (Sultan
Demak III). Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara
sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila
Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga
dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi
kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan FADILLAH KHAN yang
menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda
Pangeran Jayakelana.
Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak
II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus
menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih
terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya BARKAT ZAINAL ABIDIN
adalah adik NURUL AMIN (kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah). Selain
itu Fadillah masih terhitung cucu SUNAN AMPEL (ALI RAKHMATULLAH) sebab
buyutnya adalah kakak IBRAHIN ZAINAL AKBAR ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel
sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan FALETEHAN. Ini barangkali lafal orang
Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya TAGARIL untuk KI
FADIL (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga WONG
AGUNG PASE) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah
timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913)
menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri
baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950).
Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan ARYA BURAH.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah
1967 orang.
Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan
pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan
oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan
Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta
keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten
(1526).
Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan
merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para
menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari
Pakuan pun dapat dipukul mundur.
Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan MERIAM yang justru
tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi
membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan
ke Sunda dipersipakan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki
De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan
karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala.
Setiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka.
Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai
Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara
Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan
memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa
memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang
langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu
dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan
kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil
meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal
untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang
menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di
ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi
yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi
dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama
pula HAJI ABDULLAH IMAN). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau
wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat
kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon
pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak
berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut.
Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di
bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran
Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan PASUKAN MERIAM
Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh
tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus
ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak
dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh.
Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan
Galuh.
SUMEDANG masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya
PANGERAN SANTRI menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530.
Pangeran Santri adalah cucu PANGERAN PANJUNAN, kakak ipar Syarif
Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah SYEKH DATUK KAHFI pendiri
pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya
dengan SATYASIH, Pucuk Umum Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang
menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa
kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan
terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531
tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing
pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut
menandatangani naskah perjanjian, Pangeran PASAREAN (Putera Mahkota
Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa
untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan
kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun
tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan
lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia
kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk
menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga
sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan
keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya.
Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat
SAKAKALA (tanda peringatan buat ayahnya). Ditampilkannya di situ
karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. ITULAH
PRASASTI BATUTULIS yang diletakkannya di KABUYUTAN tempat tanda
kekuasaan Sri Baduga yang berupa LINGGA BATU ditanamkan. Penempatannya
sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah
terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan
mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri
sejajar dengan si ayah. Demikianlah, BATUTULIS itu diletakkan agak ke
belakang di samping kiri LINGGA BATU.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan
dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi ASTATALA ukiran jejak
tangan, yang lainnya berisi PADATALA ukiran jejak kaki. Mungkin
pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara SRADA yaitu
“penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja
wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah
lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan GURU
GANTANGAN atau MUNDING LAYA DIKUSUMA. Permaisurinya, KINAWATI, berasal
dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah PASAR MINGGU
sekarang. Kinawati adalah puteri MENTAL BUANA, cicit MUNDING KAWATI yang
kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua
kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan
(dahulu KAUNG PANDAK). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari
Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari
Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman
dahulu merupakan titik silang.
Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara
Ciliwung dan disebut JALAN BANTEN LAMA (“oude Bantamsche weg”).
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai SAKAKALA untuk ayahnya, ia wafat dan
dipusarakan di PADAREN. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babadd maupun
pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan
“petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji.
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
Surawisesa digantikan oleh puteranya (RATU DEWATA). Berbeda dengan
Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa
dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia
melakukan upacara SUNATAN (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa
PWAH-SUSU (hanya makan buah-buahan dan minum susu). Menurut istilah
kiwari VEGETARIAN.
Resminya perjanjian perdamaian PAJAJARAN – CIREBON masih berlaku. Tetapi
Ratu Dewata lupa bahwa sebagai TUNGGUL NEGARA ia harus tetap bersiaga.
Ia kurang mengenal seluk-beluk POLITIK.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian
perdamaian Pajajaran – Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena
kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan jati) yang melihat
kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi
Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah
kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam
ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak
cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah
dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda,
terutama gerakan pasukan SYEKH YUSUF. Menurut Carita Parahiyangan, pada
masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota
Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah
mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang,
para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu,
ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan
kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus
gerbang Pakuan. Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi RANAMANDALA
(medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang
diwariskan kepada cucunya. Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan
kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu TOHAAN RATU
SANGIANG dan TOHAAN SARENDET.
Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada
tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia
ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh.
Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di
awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan
ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada
Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja)
“Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang
bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan
jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan)
kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama
yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat KAPUTREN
(tempat isteri-isteri-nya), KESATRIAN (asrama prajurit), satuan-satuan
tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan memperkuat angkatan perang,
memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan
menyusun
Undang-undang Kerajaan Pajajaran”
AMATEGUH KEDATWAN (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat
parit” (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan
mempunyai arti pokok keraton atai kedatuan, melainkan kata amateguh
menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini KOTA RAJA. Jadi sama
dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang
disebut LEMAH DUWUR atau LEMAH LUHUR (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck
disebut “bovenvlakte”). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di
balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di
Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3
batang sungai pernah dijadikan pemukiman “lemah duwur” sejak beberapa
ratus tahun sebelum masehi} Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur
yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing
Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. {Tipe Lemah
Duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan
LADANG. Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan
pengembangan PERKEBUNAN. Tipe lain adalah apa yang disebut GARUDA
NGUPUK. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar
belakang KEBUDAYAAN SAWAH. Mereka menganggap bahwa lahanyang ideal untuk
pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan
berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak
ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua
persyaratan tipe ini.
Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme PESISIR CIREBON
karena ia orang SINDANGKASIH (MAJALENGKA) yang selalu hilir mudik ke
Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola Garuda
Ngupuk pada lokasi Pusat Kota Sumedang yang sekarang.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak
ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang
dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa Kawikuan yang
dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan
jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”.
Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah
turun tahta dan menempuh kehidupan MANURAJASUNIYA seperti yang telah
dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh
penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca) “Nya
iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka
berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin
puasa)
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata
itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis
kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman
susah).
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang
ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras
bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih
dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan
keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala
yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang
sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap
ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan
dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar
pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana
menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti
dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran
yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan
frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan
memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan
pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang
bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa
kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang
mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat
telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran
keagamaan TANTRA. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus
menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa
bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan
tidak sadar itu, digunakan meinuman keras yang didahului dengan pesta
pora makanan enak. “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan
kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar” (Karena
terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenaginya
kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan
jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian
membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi
bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra
yang setia, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang
Panji”).
Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini
tak ada gunanya dalam menghadapi Laskar Banten karena mereka tidak takut
karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan
“alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia
tidak tinggal di keraton)
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila
diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang
ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah
disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera
Mahkota Yusuf.
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih
hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian.
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja
dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita
Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut RAGA MULYA
alias PRABU SURYAKANCANA. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi
di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun
(=Panembahan) Pulasari. Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, “Pajajaran sirna ing
ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang
Cakakala” (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka
tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan
melakukan penyerangan ke Pakuan dalam PUPUH KINANTI (artinya saja)
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu” Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan
Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun
kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang
keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam
tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa
benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”.
Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh
kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo (seorang kepercayaan
Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus
menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan
oleh saudaranya itu. Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas
justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat
Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan
Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya
PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari
Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran
200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi
politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya
Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri
Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut:
“Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta
Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu
penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja
berarti Tahta. Dalam hal ini adalah TAHTA NOBAT yaitu tempat duduk
khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka
itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada
di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi,
tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap.
Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan
atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti
balai-balai biasa). Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam
kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja,
Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis.
Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu
Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang
terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas
Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya
WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama
artinya dengan kata Sriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar