Minggu, 19 Juni 2016

SEJARAH SUMEDANG LARANG

KASUMEDANGAN
Kasumedangan merupakan muatan local yang kini tengah dipakai untuk terwujudnya Sumedang sebagai puseur budaya sunda dan pembentukan generasi muda berkarakter budaya lokal.
Pokok-pokok pembahasan diantaranya :

  • Asal mula nama Sumedang
Sumedang berasal dari kata “INSUN MEDAL” yang berarti Aku Lahir dan “INSUN MADANGAN” yaitu Aku Menerangi . Di ikrarkan oleh Prabu Tajimalela ketika melihat malela (selendang) menyerupai taji di angkasa.
Batas-batas Sumedang :
1.    Dari Barat yaitu sampai tangerang tepatnya di sungai Cisadane
2.    Dari Timur yaitu sampai brebes tepatnya di sungai atau kali Cipamali.
3.    Dari Utara yaitu Laut Jawa.
4.    Dari selatan yaitu Samudra Hindia.
Tonggak sejarah bagi kerajaan Sumedang Larang, sebagai kerajaan sunda terbesar, setelah kerajaan Padjadjaran runtuh akibat serangan gabungan banten dan Cirebon, maka kerajaan Sumedang Larang mencakup wilayah bekas kerajaan Padjadjaran.  Tonggak sejarah itulah menjadi dasar : Hari Jadi Sumedang.
Pada waktu itu di Kerajaan Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan seorang raja, yang bernama Raden Wijaya, di Padjadjaran sedang ditempa kekacauan karena mendapat serangan yang mendadak dari Kerajaan Banten. Serangan tersebut bertujuan untuk menghancurkan kekuasaan agama hindu dan digantikan oleh Dinul Islam. Pada penyerangan dari Banten dipimpin oleh Syeh Maulana Yusuf.
Ketika mendapat serangan dari Banten yang mendadak itu Padjadjaran tibak bisa berbuat banyak, kecuali menerima kekalahan. Kerajaan Padjadjaran porak-poranda masyarakat banyak mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu Siliwangi) berangkat meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum berangkat beliau memanggil dulu empat patih kepercayaan Kerajaan (Kandaga Lante) , yang masing-masing ialah :
1.    Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa)
2.    Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan)
3.    Sanghiyang Kondang Hapa
4.    Batara Pancer Buana (Eyang Terong Peot)
Panggilan Sang Prabu Siliwangi berisikan yang berupa amanat yaitu :
   a.   Memberikan Mahkota Kerajaan Padjadjaran yang berupa :
                -Mahkota Kerajaan yang dibuat dari emas
                -Siger tampekan kilat bahu
                -Kalung bersusun dua dan bersusun tiga
         Semuanya dibuat dari emas dan sekarang masih ada di Museum Sumedang.
   b.     Memohon perlindungan untuk dirinya dan seluruh rakyatnya yang masih berada di wilayah Padjadjaran. Menurut bahasa Prabu Siliwangi ialah Geusan Ulun yang berarti Geusan Kumaula (Tempat Kumaula).
Setelah menerima amanat tersebut maka Kandaga Lante yang empat orang tadi sepakat bahwa yang pantas menjalankan amanat tersebut tiada lain adalah Raden Angkawijaya. Ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diantaranya :
1.  Karena Raden Angkawijaya adalah asli keturunan Prabu Siliwangi .
2.  Sangat pantas sekali (payus tur pantes) wilayah kekuasaan Padjadjaran dijadikan Kekuasaan Sumedang Larang.
SEJARAH SUMEDANG
Berikut Sejarah Sumedang yang di ambil dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Sumedang.
Kabupaten Sumedang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa BaratIndonesia.
Ibukotanya adalah kecamatan Sumedang Utara, Sumedang, sekitar 45 km Timur Laut Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari Kota Bandung. Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur utama Bandung - Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), serta Universitas Padjadjaran berlokasi di Kecamatan Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.
Daftar isi
·         1 Sejarah
·         3 Lihat pula
·         4 Referensi
·         5 Pranala luar

Sejarah
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan PajajaranBogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono-I harus memberikan konsesi kepada VOC, wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
1.       Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
2.       Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
3.       Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
4.     Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia  tidak ada yang sempurna
5.       Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
6.       Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
7.      Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik  Indonesia
8.       Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9.   19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
10.   Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung  arti:
·    Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku,Medal : Keluar).
·        Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.
·         Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang
(Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tajimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun demikian, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi Babat Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya. Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata:"Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya , Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Shintawati alias Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Shintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningandan, Shintawati dari Sumedang. Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Shintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umun alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata-I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan Cikeruh dan Santowaan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umun), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol-III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol-III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata-VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol-III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 22 kandaga lante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1.       Timbanganten
2.       Batulayang
3.       Kahuripan
4.       Tarogong
5.       Curugagung
6.       Ukur
7.       Marunjung
8.       Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
1.       Selacau
2.       Daerah Ngabei Cucuk
3.       Manabaya
4.       Kadungora
5.       Kandangwesi (Bungbulang)
6.       Galunggung (Singaparna)
7.       Sindangkasih
8.       Cihaur
9.       Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1.       Karang
2.       Parung
3.       Panembong
4.       Batuwangi
5.       Saung Watang (Mangunreja)
6.       Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
7.       Suci
8.       Cipiniha
9.       Mandala
10.   Nagara (Pameungpeuk)
11.   Cidamar
12.   Parakan Tiga
13.   Muara
14.   Cisalak
15.   Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol-III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jayaperkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
Jayaperkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun "nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber sejarah yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul : Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber sejarah tadi, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat-II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
Bupati Sumedang dari Masa ke Masa, berikut adalah nama-nama bupati Sumedang:
1.       Saryasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umun : 1539 – 1578
       (yang kemudian digantikan oleh suaminya, Pangeran Kusumadinata–I / Pangerang Santri)
2.       Pangeran Koesoemahdinata-II (Pangeran Geusan Ulun) : 1578-1601
3.       Pangeran Koesoemahdinata-III (Pangeran Rangga Gempol-I) : 1601-1625
4.       Pangeran Koesoemahdinata-IV (Pangeran Rangga Gede) : 1625-1633
5.       Raden Bagus Weruh (Pangeran Koesoemahdinata-V/Pangeran Rangga Gempol-II) : 1633-1656
6.       Pangeran Koesoemahdinata-VI (Pangeran Panembahan/Pangeran Rangga Gempol-III) : 1656-1706
7.       Dalem Adipati Tanoemadja : 1706-1709
8.       Raden Tumenggung Koesoemahdinata-VII (Pangeran Rangga Gempol-IV/Pangeran Karuhun) : 1709-         1744
9.       Dalem Istri Radjaningrat : 1744-1759
10.   Dalem Adipati Koesoemahdinata-VIII (Dalem Anom) : 1759-1761
11.   Dalem Adipati Soerianagara-II : 1761-1765
12.   Dalem Adipati Soerialaga : 1765-1773
13.   Dalem Adipati Partakoesoemah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) : 1773-1789
14.   Dalem Aria Satjapati-III : 1789-1791
15.   Raden Tumenggung Soerianagara (Pangeran Koesoemahdinata-IX/Pangeran Kornel) : 1791-1828
16.   Dalem Adipati Koesoemahjoeda (Dalem Ageung) : 1828-1833
17.   Dalem Adipati Koesoemahdinata (Dalem Alit) : 1833-1834
18.   Raden Tumenggung Soeriadilaga : 1834-1836
19.   Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Sugih) : 1836-1882
20.   Pangeran Aria Soeriaatmadja (Pangeran Mekkah) : 1882-1919
21.   Adipati Aria Koesoemadilaga : 1919-1937
22.   Tumenggung Aria Soeria Koesoema Adinata : 1937-1946
23.   Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1946-1947
24.   Tumenggung Mohamad Singer : 1947-1949
25.   Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1949-1950
26.   Raden Abdoerachman Kartadipoera : 1951-1958
27.   Sulaeman Soemitakoesoemah : 1951-1958
28.   Antam Sastradipura (Kepala Daerah) dan R. Enoh Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati) : 1958-1960
29.   Mohamad Chafil : 1960-1966
30.   Adang Kartaman : 1966-1970
31.   Drs. Supian Iskandar (Pj. Bupati) : 1970-1972
32.   Drs. Supian Iskandar : 1972-1977
33.   Drs. Soeyoed (Pj. Bupati) : 1977-1978
34.   Drs. H. Kustandi Abdoerachman : 1978-1983
35.   Drs. H. Sutardja : 1983-1993
36.   Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra : 1993-1998
37.   Drs. H. Misbach : 1998-2003
38.   H. Don Murdono, S.H., M.Si : 2003-2013
39.   Drs. H. Endang Sukandar, M.Si : 2013 – sekarang
I. MASA KERAJAAN.
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung), 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela, 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung, 778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung, 893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan, 998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling, 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan, 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan, 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umun, 1530 – 1578
    (kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata - I / Pangeran Santri)
10. Pangeran Kusumahdinata - II / Prabu Geusan Ulun, 1578 – 1601
II. MASA BUPATI PENGARUH MATARAM.
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol – I, 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata - IV, 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol – II, 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol – III, 1656 – 1706
III. MASA PENGARUH KOMPENI VOC.
15. Dalem Adipati Tanumadja, 1706 – 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol – IV, 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat, 1744 – 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata - VIII / Dalem Anom, 1759 – 1761
19. Dalem Adipati Surianagara – II, 1761 – 1765
20. Dalem Adipati Surialaga, 1765 – 1773
IV. MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya, 1773 – 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah, 1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati, 1789 – 1791
V. MASA PEMERINTAHAN BELANDA.
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel, 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung, 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit, 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja, 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih, 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah, 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang, 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria, 1937 – 1946
VI. MASA REPUBLIK INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria, 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah, 1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer, 1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah, 1949 – 1950
      (Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)

Pemerintahan berdaulat

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
· Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
· Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
· Kiyai Demang Watang di Walakung.
· Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
· Santowaan Cikeruh.
· Santowaan Awiluar.
· Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antaraCirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
· Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
· Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
· Kiyai Kadu Rangga Gede
· Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
· Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
· Raden Ngabehi Watang
· Nyi Mas Demang Cipaku
· Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
· Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
· Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
· Nyi Mas Rangga Pamade
· Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
· Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
· Pangeran Tumenggung Tegalkalong
· Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
· Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pangeran Kornel 'si Manusia Sunda'
Pangeran Kornel ialah nama sebutan bagi Pangeran Kusumah Dinata, karena dalam peperangan menghadapi Pangeran Dipanegara (1925‑1930), dia oleh Belanda diangkat sebagai kolonel tituler. Istilah “kolonel” yang masih jarang pada masa itu, berubah menjadi “kornel”. Nama “Pangeran Kornel” itu sendiri lebih termashur daripada namanya yang sebenarnya.
Ketika masih anak‑anak, namanya ialah Raden Jamu. Dia putra bupati Sumedang yang bernama Raden Adipati Surianagara (1761‑1765). Ketika ayahnya meninggal, Jamu masih kecil. Dia diasuh oleh bibinya, yaitu istri adik ayahnya yang menggantikan ayahnya itu sebagai bupati Sumedang, bernama Raden Adipati Surialaga (1765‑1773). Adipati Surialaga pun mempunyai seorang anak laki‑laki pula, yang lebih muda dari Jamu, ialah Raden Ema. Keduanya belum cukup dewasa ketika Adipati Surialaga pun meninggal. Maka sebagai bupati Sumedang, diangkatlah Tumenggung Tanubaya yang sebelumnya menjadi bupati di Parakan-muncang.
Pada masa itu ada kebiasaan bahwa yang diangkat sebagai pengganti bupati sesuatu daerah, haruslah keturunan langsung daripada bupati yang sebelumnya, artinya harus keturunan bupati setempat atau keluarga dekatnya. 
Baru kalau dari antara keluarga bupati setempat tidak ada yang layak diangkat sebagai pengganti, dicarilah calon dari tempat lain yaitu yang sudah diketahui kecakapan dan kesetiaannya. Dalam hal ini agaknya Tumenggung Tanubaya dianggap memenuhi syarat itu.
Walaupun dengan perasaan kurang puas, namun keluarga menak Sumedang menerima pengangkatan itu karena memang calon Sumedang yang berhak sendiri masih belum sampai umur. Tetapi ketika dua tahun kemudian Tumenggung Tanubaya berhenti, ternyata yang diangkat bukanlah Jamu yang ketika itu sudah dewasa, melainkan Tumenggung Patrakusumah menantu Tumenggung Tanubaya. Tindakan pemerintah Belanda itu menimbulkan rasa tidak puas di kalangan keluarga menak Sumedang, tetapi juga menimbulkan kecuripan di pihak TumenggungTatrakusumah sendiri.
Suasananya sedemikain rupa, sehingga Jamu menganggap perlu untuk menghindar dari Sumedang. Plot ini telah menyebabkan seorang pengarang Sunda yang terkemuka, Memed Sastrahadiprawira (1897 – 1932) menulis sebuah roman berdasarkan riwayat hidup Jamu, berjudul Pangeran Kornel (1930) yang sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Muis (1948). Di dalam roman itu Memed menampilkan seorang tokoh (yang mungkin) fiktif, yaitu Demang Dongkol, yang dilukiskan sebagai penghasut yang makin rnengeruhkan hubungan antara Jamu dengan Tumenggung Patrakusumah, walaupun yang terakhir itu telah mengambil Jamu sebagai menantu.
Jamu melarikan diri ke Malangbong, kemudian ke daerah Cianjur. Di Cianjur dia mendapat perlindungan dan kepercayaan dari Raden Aria Adipati Wiratanudatar yang ketika itu menjadi bupati (1776-1781). Bupati Wiratanudatar yang pernah mengenal ayah Jamu, bersimpati kepada anak muda itu. Diberinya pekerjaan di lingkungan kabupaten, dan ketika terbuka lowongan Kepala Cutak Cikalong Wetan, maka ditempatkannya di sana. Jamu pun dinikahkan dengan salah seorang kerabatnya.
Ketika Jamu duduk sebagai Kepala Cutak Cikalong Wetan itulah datang Ema Surialaga, adik sepupunya, yang juga merasa kurang aman hidup di tempat kelahirannya sendiri (Sumedang). Ema pun mendapat simpati bupati Wiratanudatar. Dia diangkat sebagai jurutulis kabupaten, kemudian ketika ada lowongan, diangkat sebagai mantri kudang kopi di Bogor, bahkan kemudian menjadi bupati Bogor, bupati Karawang dan bupati Sukapura. Ema mengundurkan diri dari jabatan terakhir itu atas permintaannya sendiri.
Ketika ada lowongan sebagai patih di Sumedang, maka Jamu pun diangkat untuk menjabat kedudukan itu dengan pangkat Demang. Setelah beberapa lama memangku jabatan itu, maka pada tahun 1791, dia pun diangkat sebagai bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Surianagara.
Sebagai bupati dia terkenal bijaksana. Pada masa pemerintahannya kehidupan rakyat berkembang dengan baik dan sejahtera. Dia pun terkenal sebagai bupati yang cakap serta jujur.
Kebijaksanaannya sebagai bupati yang bersih dan keberhasilannya meningkatkan kehidupan rakyat Sumedang, dapat dibuktikan antara lain dari berbagai kesaksian para pejabat Belanda pada waktu itu. Salah seorang di antaranya ialah yang bernama Nicolaas Engelhard yang dalam kesempatan memeriksa perkebunan kopi di seluruh Priangan, sempat singgah di Sumedang. Tentang daerah Sumedang dia menulis, bahwa setelah diperintah oleh Tumenggung Surianagara, daerah itu mencapai banyak kemajuan, bahkan dikatakannya: daerah yang asalnya hutan telah menjelma menjadi surga. Dipujinya Tumenggung Surianagara sebagai bupati yang jujur. Walaupun dia bukan seorang yang kaya, namun tidaklah ia melakukan perbuatan tercela mengumpulkan kekayaan pribadi berdasarkan jabatan dan kekuasaannya sebagai bupati. Dia disebut hidup sederhana dan sering meninjau keadaan rakyatnya yang hidup di pedalaman.
Karena jasa-jasanya itulah maka dia kemudian diangkat menjadi Pangeran dan namanya bertukar menjadi Pangeran Kusumah Dinata. Di samping itu ia pun memperoleh pula medali emas dengan ukiran kata-kata: “Atas nama Sri Maharaja, medali ini diberikan oleh Komisaris Jenderal kepada Pangeran Kusurnah Dinata, bupati Sumedang, sebagai ganjaran atas keberanian dan kesetiaannya.”
Keberanian dan kesetiaan itu diperlihatkannya pula tatkala ia bersama-sama dengan bupati-bupati Karawang, Subang dan Cirebon memimpin pasukan yang membantu pasukan Kompeni untuk memadamkan pemberontakan yang terjadi di Jatitujuh, yang dipimpin oleh Bagus Rangin sekitar tahun 1806. Pemberontakan itu meletus karena rakyat daerah Cirebon tidak tahan lagi hidup dalam pemerasan orang-orang Cina yang memperoleh hak-hak istimewa karena telah menyewa desa-desa sebagai tanah partikelir; dan juga karena penangkapan atas Raja Kanoman yang dicintai rakyat. Penangkapan itu dilakukan Belanda dengan suatu muslihat, setelah kerusuhan-kerusuhan timbul di seluruh wilayah Cirebon sejak tahun 1802, karena Belanda mengangkat Pangeran Surantaka yang tidak populer sebagai pengganti Sultan Kanoman yang meninggal dunia pada tahun 1798. Pangeran Surianagara atau Raja Kanoman yang lebih berhak atas kedudukan sultan tersingkir dari istana bersama dengan dua orang saudaranya yang lain, yaitu Pangeran Kabupaten dan. Pangeran Lautan. Ketiganya segera mendapat simpati rakyat yang sudah lama tertekan dan merasa tidak puas, dan berperan sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1805 Belanda mengundang ketiganya untuk berunding di Betawi. Tetapi ketika ketiganya tiba di sana, mereka ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Pemberontakan Bagus Rangin merupakan lanjutan dari perlawanan yang sebelumnya dipimpin oleh ketiga pangeran dari Kanoman itu.
Pasukan Bagus Rangin yang dikepung dari segala arah, dapat dikalahkan. Tetapi Belanda juga segera mengembalikan Raja Kanoman dari pengasingan dan mengangkatnya sebagai sultan, sedangkan orang-orang Cina tidak diperkenankan lagi tinggal di daerah pedalaman.
Yang menarik di sini ialah karena menurut Pangeran Kusumah Dinata sendiri, pemberontakan rakyat di daerah Cirebon yang merembet pula ke perbatasan Sumedang itu, disebabkan karena terlalu kejamnya tindakan dan kelakuan para penguasa kolonial sendiri. Di daerah Sumedang ada seorang komisaris Belanda, Lawick van Pabst, yang menyiksa seorang cutak dari Conggeang, sehingga cutak yang bernama Baen itu menggabungkan diri dengan para pemberontak bersama. 77 orang pengikut.
Sinyalemen itu menunjukkan bahwa Pangeran Kusumah Dinata itu seorang yang realistis, yang yakin bahwa rakyat tidaklah akan memberontak terhadap atasannya kalau saja mereka diperlakukan dengan baik. Para pejabat seharusnya menjadi pelindung dan pemimpin rakyat dan bukan menjadi pemeras atau penindasnya. Dia sendiri sebagai bupati merasa berkewajiban untuk melindungi dan membela rakyatnya dari perlakuan yang tidak senonoh. Hal itu dibuktikannya sendiri pada peristiwa yang terjadi waktu pembuatan jalan raya Anyer-Banyuwangi.
Jalan raya Anyer-Banyuwangi, yang menjelusuri Pulau Jawa dari Barat ke Timur, dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1807-1811). Dari Bandung jalan itu menuju ke Cirebon dan Semarang dengan melalui kabupaten Sumedang. Tetapi pekerjaan pembuatan jalan di suatu tempat di wilayah kabupaten Sumedang itu sangat lambat, sehingga terjadilah suatu. peristiwa yang kemudian menjadi termashur dan mengharumkan nama Pangeran Kusumah Dinata sebagai bupati yang mencintai dan melindungi rakyatnya, karena berani membela rakyatnya itu di hadapan Gubernur Jenderal Daendels yang terkenal galak dan pernarah.
Pembuatan jalan raya itu, yang disebut juga sebagai jalan pos, sebenarnya lebih bermotifkan kepentingan militer. Daendels sebelum diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, aktif dalam militer dan politik di negerinya. Sebagai gubernurjenderal, dia terkenal keras, baik terhadap kaum pribumi maupun terhadap bangsa Belanda sendiri. Dia melakukan berbagai tindakan yang tegas terhadap para pejabat Kompeni yang korup, tetapi terlebih dahulu menaikkan gaji yang sebelumnya memang sangat, rendah. Dia pun memperluas praktek tanam paksa yang sangat menguntungkan Kompeni. Ketika ia menerima jabatan itu dari Gubernur Jenderal AT Wiese (1805‑1808), tugas utamanya ialah untuk menjaga kepentingan Belanda dari ancaman Inggris yang kekuasaannya makin besar di daerah‑daerah pengaruh Belanda. Jumlah tentara Kompeni ditambahnya dengan sukarelawan‑sukarelawan pribumi, lalu ia pun mendirikan pabrik senjata di Surabaya, mendirikan sekolah perwira di Semarang, pabrik cor besi meriam di Jakarta, dan lain-lain. Dalarn pembuatan jalan raya Anyer‑Banyuwangi itu kekejamannya sangat terkenal. Dia tidak mempedulikan berapa banyak kurban manusia yang jatuh. Yang penting baginya pekerjaan itu harus selesai sesuai dengan keinginannya.
Untuk pembuatan jalan itu dikerahkan tenaga pribumi melalui pejabat‑pejabat setempat. Maka orang‑orang didatangkan dari daerah-daerah yang jauh, meninggalkan anak istri dan pekerjaannya sehari‑hari.
Di sebelah barat kota Sumedang, ada gunung batu cadas yang sangat keras. Di situ pembuatan. jalan sangat lambat, karena orang‑orang bekerja hanya dengan tangan dan dengan alat‑alat yang sangat sederhana, seperti linggis dan cangkul. Berbulan‑bulan sudah dikerjakan, namun hasilnya hampir tidak ada. Maka ketika Gubernur Jenderal Daendels sendiri hendak datang mengontrol pembuatan jalan itu, orang‑orang sudah diliputi kecemasan, karena mereka sudah mendengar tentang kegalakan dan kekejamannya. Daendels sebelum berangkat ke Hindia Belanda diangkat sebagai nurschalk yang oleh lidah orang Jawa disesuaikan dengan sifatnya yang galak lantas terkenal sebagai Mas Galak. Orang‑orang sudah dapat membayangkan betapa akan murkanya Tuan Besar Mas Galak kalau melihat bahwa pembuatan jalan di gunung cadas itu belum ada hasilnya. Tetapi Bupati Kusumah Dinata tidak memperlihatkan rasa cemas. Tatkala Gubernur Jenderal Daendels tiba, disambutnya dengan langkah tetap sedang tangan kanannya erat memegang hulu keris yang sudah digilirkannya ke depan (biasanya keris diselipkan di belakang, kecuali dalam perang). Tatkala Gubernur Jenderal menyodorkan tangan untuk bersalaman, Pangeran Kusumah Dinata menyambutnya dengan tangan kiri.
Tentu saja perbuatan itu mengejutkan Daendels. Tidaklah biasa orang menyambut uluran tangan dengan tangan kiri, apalagi kalau tangan kanannya memegang hulu keris. Karena melihat kelakuan yang luar biasa itu, Gubernur Jenderal Daendels tidak segera menegur soal keterlambatan pekerjaan membuat jalan. Menurut imajinasi pengarang Memed Sastrahadiprawira, di antara kedua pembesar itu terjadi percakapan sebagai berikut:
Daendels: “Bupati, apa maksud Tuan menerima uluran tangan kami dengan tangan kiri?”
Pangeran Kusumah Dinata: “Kanjeng Tuan Besar, saya tidak dapat melaksanakan tugas yang Tuan Besar berikan, karena perintah itu tak mungkin dilaksanakan. Bukan maksud saya mengelakkan perintah, bukan pula karena tidak mempunyai keinginan bekerja dengan sungguh‑sungguh melainkan ingin mendapat pertimbangan bahwa pekerjaan yang saya hadapi sangatlah beratnya, jauh lebih berat dibandingkan dengan yang dihadapi oleh yang lain. Namun karena saya tidak melihat kemungkinan akan memperoleh pertimbangan demikian dari Kanjeng Tuan, maka saya ingin memperlihatkan bahwa bupati Sumedang yang bernama Pangeran Kusumah Dinata lebih suka mati berkalang tanah daripada harus melaksanakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan rasa keadilannya. Kalau terpaksa, saya lebih suka disebut sebagai orang keras kepala daripada dituduh membunuh rakyat saya sendiri yang tak berdosa.”
“Apa, yang menjadi keberatan Tuan, kalau kami boleh tahu?”
Maka Pangeran Kusumah Dinata pun menceritakan masalah yang dihadapinya. Daerah itu jarang penghuninya, sehingga orang‑orang yang bekerja di situ didatangkan dari daerah yang jauh, yang mengandung arti orang itu harus meninggalkan anak istri atau,keluarganya, dan juga pekerjaannya sehari‑hari yang menjadi sumber pengludupannya. Sedangkan alat‑alat yang dipergunakan sangat sederhana pula.
Mendengar keterangan Bupati Kusumah Dinata, Gubernur Jenderal Daendels pun menjadi maklum, bahwa keterlambatan pekerjaan di situ bukanlah karena kesengajaan ataupun kelalaian. Dia memuji keberanian Pangeran Kusumah Dinata. Kepada ajudannya dia memerintahkan agar ke situ dikirimkan pasukan zeni, untuk menolong menghancurkan batu cadas yang tak mungkin dilinggis itu dengan rnenggunakan dinamit.
Bagian jalan di gunung batu cadas itu, tempat Pangeran Kusumah Dinata berhadapan dengan Gubernur Jenderal Daendels, sekarang terkenal dengan nama “Cadas Pangeran” sebagai peringatan akan keberanian seorang pejabat dalam membela rakyatnya. Walaupun jalan yang sekarang sesungguhnya bukanlah jalan yang dibuat pada masa Pangeran Kusumah Dinata lagi (yang dikenal sebagai “jalan heubeul” atau jalan lama yang letaknya di atas jalan yang sekarang dipergunakan), namun nama “Cadas Pangeran” itu masih tetap melekat.
Peristiwa itu pun dapat pula, dilihat sebagai pernyataan keberanian Pangeran Kusumah Dinata dalam mengemukakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Kalau ia yakin akan kebenaran itu, maka dia berani mengemukakannya di hadapan siapa pun juga, meskipun untuk itu ia harus mempertaruhkan kedudukan dan keselamatan dirinya.
Kejadian yang berlangsung di Istana Bogor pada tahun 1811, niscaya merupakan bukti akan sifatnya yang berani mengemukakan keyakinannya sendiri, walaupun dia tahu bahwa hal itu mengandung bahaya bagi dirinya pribadi.
Pada waktu itu Belanda, terpaksa menyerahkan kedudukannya sebagai penguasa Jawa kepada Inggris, yang berlangsung selama lima tahun (1811 ‑ 1816). Ketika Lord Minto sebagai Gubernur Jenderal Inggris di India mengadakan kunjungan ke Jawa, di Istana Bogor diselenggarakan resepsi yang dihadiri oleh para pejabat penting Eropa maupun priburni. Pangeran Kusumah Dinata yang ketika itu usianya sudah lanjut, hadir juga dalam resepsi itu. Tetapi berlainan dengan para pejabat pribumi lain yang tampak cerah, memperlihatkan hati riang atas terjaclinya penggantian yang dipertuan, Pangeran Kusumah Dinata kelihatan murung saja. Para bupati yang lain sudah banyak yang mengucapkan janji setia dan pujian kepada yang dipertuan yang baru dan Pangeran Kusumah Dinata sebagai salah seorang bupati yang terkemuka, akhirnya diminta juga berbicara. Menurut pengarang Memed Sastrahadiprawira, inilah yang diucapkan oleh Pangeran Kusumah Dinata pada waktu itu, “Di Sumedang, kalau ada orang hendak meninggal dunia, ia memanggil anak‑anak dan cucu‑cucunya, untuk menceritakan kebaikan nenek‑moyangnya secara turun‑temurun. Begitu juga saya mendengar dari ayah saya almarhum, bahwa sudah lebih dari 200 tahun, nenek‑moyang saya mengabdi kepada orang Belanda dan Kompeni yang sudah berbuat begitu baik hati kepada nenek‑moyang saya. Karena itu saya mengucapkan beribu‑ribu terima kasih atas kebaikan orang Belanda serta berharap, mudah‑mudahan kerajaan Belanda akan terus selamat sejahtera!”
Ucapan itu menimbulkan kecemasan karena setiap orang tahu bahwa pada waktu itu yang menjadi yang dipertuan ialah Inggris yang telah mengalahkan Belanda. Memuji Belanda di depan musuh yang baru saja menaklukkannya niscaya tidaklah bijaksana.Tetapi ternyata ucapan Pangeran Kusumah Dinata itu mendapat pujian dari seorang perwira Inggris yang bernama Gillepsie dan Lord Minto pun menyatakan penghargaan atau keberanian dan kesetiaan Pangeran Kusumah Dinata terhadap Belanda. Dia berjanji akan menyampaikan hal itu kepada pihak Belanda.
Tidaklah adil kalau kita pada masa sekarang menilai ucapan itu dengan kacamata nasionalisme Indonesia. Pada masa itu gagasan tentang nasionalisme Indonesia sendiri belum lahir. Dan Pangeran Kusumah Dinata ialah seorang yang lahir dan dibesarkan dalam alam kolonial, dalam keluar­ga yang menjadi aparat dari mesin kolonial itu sendiri. Ucapan itu harus kita terima sebagai tanda kepatuhan seseorang terhadap apa yang dia­jarkan oleh orang tua leluhurnya, karena yakin bahwa apa yang dia­jarkan oleh orang tua itu betul dan harus dilaksanakan secara jujur, wa­laupun harus mempertaruhkan nyawa sendiri. Dengan demikian maka kita akan melihat suatu kesejajaran antara kesetiaan Pangeran Kusumah Dinata terhadap pemerintah Belanda itu dengan kepatuhan Munding­laya di Kusumah yang berangkat mencari Langlayangan Salaka Domas ke Sajabaning Langit atas perintah ayahanda, Prabu Siliwangi. Seperti juga Mundinglaya, Pangeran Kusumah Dinata tidak meragukan seujung rambut pun kebenaran perintah ayahanda.
Tentu saja kepatuhan itu pun mempunyai syarat. Ketika rasa tang­gung jawabnya sebagai pemimpin, rakyat tergugah dalam peristiwa pem­buatan jalan Anyer‑Banyuwangi di Cadas Pangeran, maka dengan memper­taruhkan kedudukan dan keselamatannya pribadi, dia dengan berani menentang Gubernur Jenderal Daendels yang sudah kesohor galak. Pe­nentangan itu bukanlah tanda dari ketaksetiaan atau ketakpatuhan, me­lainkan karena dia sebagai pejabat merasa bertanggung jawab atas ke­selamatan rakyat yang dipimpinnya.
Pangeran Kusumah Dinata adalah contoh yang hampir sempurna sebagai seorang pejabat pelaksana yang patuh, bertanggung jawab dan ju­jur. Nilai‑nilai ini pula agaknya yang menyebabkan Memed menulis bio­grafinya karena nilai‑nilai itu pulalah yang digambarkannya dalam tokoh Yogaswara dalam roman Mantri  Jero yang ditulisnya lebih dahulu.
Keterangan:
Seluruh postingan ini diambil dari buku : Manusia Sunda, Sebuah esai tentang tokoh-tokoh sastra dan sejarah, ‑‑ Cet. 1. ‑‑ Jakarta : Inti Idayu Press, 1984. Oleh Ajip Rosidi, Halaman 108 – 115
di susun ulang berikut sedikit suntingan oleh: R. Adam Firdaus (02 Agustus 2013).
PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA 1851-1919
 
 
Pangeran Aria Soeria Atmadja 1851 - 1919
Pangeran Aria Soeria Atmadja lahir di Sumedang pada tanggal 11 januari 1851 pada hari kamis dengan nama kecil Raden Sadeli. Ayahnya bernama Pangeran Aria Soeria Kusumah Dinata atau Pangeran Sugih dan ibunya bernama Raden Ayu Ratna Diningrat . Pangeran Aria Soeria Atmadja mempunyai karakrer terpuji , rajin  cerdas dan penuh inisiatif.
Beliau diangkat sebagai Kaliwon di Sumedang pada usia 18 tahun pada tanggal 1 Agustus 1869. Pangeran Aria Soeria Atmadja menikah dengan Rs.A.Radja Ningrum. Mempunyai putra bernama Rd.A.Djanjainten Djoebaedah. Beliau diangkat sebagai bupati Sumedang pada tanggal 30 desember 1882. Masa jabatan beliau sebagai bupati Sumedang dari tahun 1882-1919, beliau banyak menerima gelar, diantaranya :
  1. Gelar Tumenggung.
  2. Anugerah Bintang Emas, De Groote Goulden Star.
  3. Gelar Adipati.
  4. Anugerah Bintang Officier Van De Orde Van Oranje Nassau.
  5. Anugerah Songsong Kuning.
  6. Mendapat Gelar Aria.
  7. Mendapatkan Gelar Pangeran Dengan Payung Emas. 
  8. Anugerah Bintang Agung Ridder Der Orde Van Den Nederlanschen Leuw, merupakan pangeran tertinggi.
 
foto prosesi penganugerahan gelar/pangkat "Pangeran" kepada R.A.A. Soeria Atmadja oleh Gubernur Jenderal De Fock pada tahun 1918. Beliau meninggal di Tanah Suci Mekah pada tahun 1919 sehingga rakyat Sumedang menjulukinya Pangeran Mekah.

 
foto bersama para Regent/Bupati² Prianger setelah selesai acara prosesi penganugerahan gelar/pangkat "Pangeran" kepada R.A.A. Soeria Atmadja oleh Gubernur Jenderal De Fock pada tahun 1918.
Selama masa jabatannyabeliau memberikan perhatian pada bidang-bidang diantaranya :
Bidang keagamaan , bidang pendidikan , bidang pertanian , bidang peternakan , bidang pelestarian hidup , bidang perekonomian dan bidang politik . untuk menghargai jasa Pangeran Aria Soeria Atmadja maka dibuatlah monument lingga di tengah alun-alun.
Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja bersama keluarganya dan beberapa pelayan anak-anak Eropa di tangga rumahnya.

 Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja di dalam kereta api pada awal berziarah ke Makkah.


Rumah bupati di Sumedang

Peresmian monumen ‘Lingga’, oleh Gubernur Jenderal Mr Fock
untuk Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja, 25 April 1922,

WAFATNYA PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA
Oleh      : G.J Oudemans
Sumber : Buku Indie berbahasa Belanda
..................................................
Dengan bisluit Gubernemen tgl. 30 Desember 1882, diangkatlah Rd. Tmg. Aria Soeria Atmadja (PASA) sebagai pengganti Pangeran Soeria Koesoema Adinata IX ( Pangeran Sugih )
Pangeran Soeria Koesoema Adinata IX ( Pangeran Sugih )
Pangeran Aria Soeria Atmadja (PASA) merupakan keturunan garis lurus dari Rangga Gempol (IV) baik dari ayah (generasi ke 8) dan dari pihak ibu (generasi ke 7) kemudian PASA dalam masa kedinasan kebupatiannya dinilai termasuk seorang Bupati diantara yang terbaik di pulau Jawa. Beliau teryata seorang yang setia dan jujur, keras terhadap diri sendiri sangat taat kepada kewajiban ibadat agamanya tetapi bertoleransi terhadap orang lain yang tidak begitu patuh dan disiplin, sederhana, sopan dan penolong dengan perasaan harga diri yang tidak berlebihan, bekerja keras, sorang "financier" yang baik, tidak banyak bicara tetapi tidak kurang, banyak perhatian terhadap segala hal mengenai kedinasan.
Beliau sangat mengetahui tentang keadaan daerahnya, dapat menjawab dengan tepat tanpa beratnaya dahulu kepada para pembantunya.
Dari ayahnya beliau mewarisi ketelitian dalam hal kedinasan, sedemikian rupa sehingga waktu beliau sakit-sakitan karena lanjut usia beliau kerap melaksanakan berpergian mengontrol daerah-daerah seperti yang biasanya beliau lakukan.
Setelah berkali-kali dari pihak PASA mengajukan permohonan berhenti akhirnya pada bulan April 1919 dikabulkan oleh Gubernemen dengan penghargaan yang tinggi.
Gelar dan Tanda-tanda penghargaan beliau :
-          Predikat "ARIA"
-          Mendali Besar Emas
-          Payung Songsong Kuning
-          Mendali Perwira dari Oranye Nassau
-          Gelar "PANGERAN" akhirnya "De Nederlanse Leeuw"

PASA adalah pendukung terkemuka gagasan "Indie Weerbaar / Ketahaanan Hindia" Karena beliau berpendapat bahwa orang sunda jika jadi prajurit dapat ditanamkan segala kebiasaan yang baik seperti : ketertiban, disiplin, usaha pelaksanaan kewajiban, keteraturan, kapatuhan, dsb.
............................

G. JOudemans

Mantan Residen Preanger Regent schappen (Daerah - daerah Kabupatian Priangan)
Den Haag, September 1921.

Disalin kembali oleh :
-          Nr. Annie Rufianie YAsin, SH. (01 Oktober 2005)
-          R. Adam Firdaus Slamet Natakusumah (23 Agustus 2013).
Berikutnya :   ‘NASEHAT PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA’.


"PEPELING KASAGALA BAROEDAK SOENDA"
"BARIS KA SAGALA BAROEDAK SOENDA AING NENEDA KA GOESTI NOE MAHA KAWASA,   MOEGA-MOEGA ATI MARANEH DIBOEKAKEUN KANA PANEMOE ELMOE LAMOEN MARANEH NGADENGE PAPATAH NOE HADE SOEPAYA TEREH NGAHARTI SOEMAWONNA KANA PAPATAH-PAPATAH NOE GEUS SABABARAHATAOEN DIPAPATAHKEUN SOEPAYA DIIMANKEUN WANTI-WANTI PISAN.
PANEDA AING KA GOESTI ALLAH SOEPAYA MARANEH PINARINGAN KABOENGAHAN DJEUNG REDJEKI DI DOENIA IEU TEPI KANA POE BOENGSOENA (ADJAL), SARTA MOEGA DIDJAOEHKEUN TINA BAHLA JEUNG PANARINGAN OEMOER PANDJANG.
KITOE DEUI MASING ROENTOET ROEKOEN DJENG BARAJA MARANEH.
MOEGA OELAH AJA SAOERANG OGE MARANEH NOE EUREUN MIKAHEMAN SAKABEHNA NOE MAPARIN GANDJARAN KA MARANEH.
TJEKEL PAPATAH AING IEU, SOEPAJA OELAH AJA SAOERANG OGE TINA ANTARA MARANEH NOE BOGA ATI BINGOENG LAMOEN MATAK MANGGIH BAHJA NOE KASEBOET DI DIEU, KARANA PAPATAH
AING IEU NJA ETA BOEKTINA NOE DIPAPARINKEUN KA OERANG SAREREA. SARTA LAMOEN AING NERANGKEUN KA MARANEH BOEKTINA TEA, NJA ETA SAESTOE-ESTOENA MAH DIDATANGKEUNNANA KOE NOE MAHA KAWASA.
POEGOEH MARANEH DIKAWASAKEUN PIKEUN BISA NARIMA ISARAT NOE DIDATANGKEUN KOE GOESTI ALLAH KA MARANEH.
MARANEH BISA MAKSA NGEUREUNKEUN KALAKOEAN NOE GORENG, KARANA GOESTI ALLAH NOE KAWASA NOEDOEHKEUN KANA DJALAN NOE MOELOES KA MARANEH DIPILAMPAH DI DOENIA IEU.
TANGTOE MARANEH DJADI TJONTO PIKEUN DITOEROETAN KOE SASAMA MARANEH DJENG TANGTOE SAKABEHNA MANOESA SAROEKAEUN KA MARANEH.
SARTA BEH DITOENA MARANEH NGARASA BAGDJA TEUPI KA ANAK INTJOE.
MARANEH SAREREA NOE SAENDENGNA PADA NGARIMANKEUN KANA MAKSOED AING TEA.
AING NJERENKEUN ETA PAPATAH AING NOE PANOENGTOENGAN SAKEDAH POLAH.
KARANA AING NGARASA GEUS KOLOT MOAL SABARAHA DEUI NJA OEMOER.
KOELANTARAN TOELISAN AING IEU, SOEPAJA MANGKE DIMANA OERANG GEUS PAPISAH, MOEGAMOEGA MARANEH DJADI DJALMA PINTER, BISA NGADJI DJEUNG NGINGET-NGINGETKEUN TJARITA IEU; DIPIKIR BEURANG DJEUNG PEUTING.
DJEUNG BEH DITOENA MOEGA-MOEGA MARANEH BISA NOEROETAN KAROEHOEN MARANEH MOEGA-MOEGA BISAEUN MINDAHKEUN NAON KAKOERANGAN DIRI MARANEH MOEGA SALAWASNA DIRAKSA.
LAMOEN MARANEH GEUS NGARASA KAPAPATENAN DOELOER TJARA AING KAPAPATENAN KOE KAROEHOEN AING POMA MARANEH OELAH REK POHO NGAHORMAT.
NOELOENGAN DJEUNG NOEROET NOE WADJIB PIKEUN MARANEH NARANDAKEUN DJALAN KABENERAN SANADJAN KOE DJALAN SEDJEN.
ETA PANGHORMAT AING NOE PANOENGTOENGAN KA MARANEH, SAMEMEHNA NJAWA AING DIPOENDOET KOE NOE KAGOENGAN.
KOE SABAB ETA NJAWA AIN
G DI AEHERAT MOAL ERA KOE BANGSA SASAMA AING.
JEN AING GEUS DITAKDIRKEUN KOE GOESTI ALLAH DILANTARANKEUN PITOELOENGNA KANGDJENG GOUVERNEMENT DIDJADIKEUN POERAH MAPATAHAN DJEUNG NGADJAK KA MARANEH SAREREA.
SAKITOE ETA PAMENTA AING KA MARANEH SAREREA SOEPAJA DITOEROET."

(PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar