|
||||||
Babad Sunda
Kisah Babad Tanah Jawa telah banyak sering kita
dengar, sekarang Paranormal Indonesia Akan menampilkan Babad Tanah Sunda, yang
disarikan dan diterjemahkan langsung dari Huruf Arab Gundul dari sakriannya.
Tulisan ini akan dibuat bersambung. Ceritanya sangat menarik sekali.
Ikutilah....
Negara Pajajaran. Pertama-tama diceritakan perihal
perjalanan hidup Pangeran Walangsungsang, hingga datang kepada ceriatan Yang
Sinuhun Susuhunan cirebon. Adapun yang dibuka oleh cerita ini adalah
menceritakan suatu praja di pajajaran Ratu Agung di Tanah Sunda yang bernama
Sri Sang Ratu Dewata Wisesa, mashur disebut Sri Mahaprabu Siliwangi. Beristri
tiga orang, ialah Ambetkasih. Aci Bedaya dan permaisuri Ratu Subanglarang. Sang
Prabu berputra empat puluh orang. Sang Prabu bersabda. "Hai anakku
Walangsungsang, aku lihat engkau bermurah durja, semuanya prihatin tidak sama
dengan sesama yang berkumpul duduk. Apa yang jadi kesedihan engkau , bekankah
engkau calon Prabu Anom memangku negara? Atau putri yang engkau inginkan,
beritahu saja mana yang engkau sukai, jangan engkau bersedih hati, tidak baik
bagi pribawa semuanya kraton." Sang putra menjawab dengan kidmat sambil menundukkan
kepala dan mengeluarkan air mata," Duhai Gusti,murka dalem yang hamba
mohon, karena tadi malam hamba mimpi bertemu wejangan agama Islam sarengat Jeng
Nabi Muhammad yang jadi Utusan Yang Widi,namun menyesal sekali belum tuntas
hamba sudah terjaga. Sekarang hamba rindu sekali kepada agama Islam itu."
Sang prabu berkata sambil tersenyum." Walangsungsang, engkau orang muda
jangan terlanjur, engkau kena sihir, kena bius Muhammad yang mengaku anutan,
yang jadi duatnya Widi,sungguh dusta seenak nafsunya, karena sesungguhnya
anutan itu adalah Yuang Brahma Yuang Wisnu itu sesungguhnya agama Dewa yang
Mulia.Yang Jagat Nata Pangerannya orang setri loka.Sejak dahulu hingga sekarang
para leluhur tidak menghendaki dirubah." Walangsungsang menjawab sambil
menyembah," Duhai Gusti mohon ampun Dalem, pengerian, kebijaksanaan dan
pemaafan Dalem yang hamba mohonkan,karena hamba lebih condong/suka sarengat
Jeng Nabi Muhammad dan sesungguhnya Ilahi yang wajib disembah itu melainkan
Allah yang tiada sekutu sesama yang baharu (makhluk)." Sang Prabu
murka,karena sang putra tidak patuh, bertentangan dengan agamanya. Sang putra
dimarahi diusir keluar dari praja Pejajaran. Walangsungsang menjadi suka hati,
segera pamit, menghindar dari hadapan Sang Prabu, keluar sudah dari Istana, terus
berjalan masuk hutan keluar hutan naik gunung turun gunung menuju kearah timur
Ratu Mas Rarasantang sedang rindu kepada kakaknya, ialah Walangsungsang,
menangis siang malam selama empat hari akhirnya Rarasantang mimpi bertemu
dengan seorang lelaki pula yang berupa satria lagi berbau harum memberi
pelajaran agama Islam, menyuruh berguru sarengat Jeng Nabi Muhammad dan diramal
kelak suami Ratu Islam dan akan mempunyai anak lelaki yang punjul.Rarasantang
segera terbangun,ingat kepada impiannya lalu keluar dari keraton,menyusul
kakaknya,Walangsungsang,terus berjalan. Diceritakan di dalam kraton geger
busekan/panik, karena sang putri menghilang melolos tanpa bekas,Jeng Ratu
Subanglarang sangat olehnya menangis menyungkemi Sang Prabu karena kedua-dua
putranya hilang. Sang prabu kaget sekali,segera memanggil menghadap seluruh
para putra sentara, patih, bupati, para wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu
berkata, "Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putraku, Dewi
Rarasantang hilang dari kraton dan Walangsungsang disuruh pulang. Sungguh
jangan tidak teriring keduanya." Patih Argatala menjawab sandika. Ia
segera keluar dari kraton mengumumkan kepada seluruh para wadyabala di
pejajaran geger panik lalu menyebar ke berbagai penjuru. Patih Argatala mencari
dengan berlaku betapa menuruti perjalanan pendeta. Dipati Siput mencarinya
memasuki hutan menuruti perjalanan hewan. Para putra pada bertapa atau berlaku
sebagai dukun, sebagai membangun kerajaan. Pada wadyabala bubar kemasing-masing
tujuannya, mereka takut, tidak berani pulang sebelum mendapat karya.
GUNUNG MARAAPI
Diceritakan Pangeran Walangsungsang telah datang
di kaki gunung Maraappi (di Rajadesa Ciamis Timur) sedang tafakur. Tak lama
kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih, datang sudah di hadapannya. Sang
Danuwarsih berkata, “Hai siapa engkau, putra nama dan apa yang dikehendaki?”
Walangsungsang berkata, “Walangsungsang namaku,
putra dari Raja Pajajaran yang beribu Ratu Subanglarang, yang hendak berguru
agama Islam.” Berkata sang Danuwarsih, “Baik sekarang turutlah dengan si Rama
di puncak gunung Maraapi, niscaya bertemu dengan jodoh engkau.” Walangsungsang
mematuhi. Segera turut bersama menuju kediaman Sang Danuwarsih. Datang sudah
mereka berdua di puncak gunung Maraapi. Sang Danuwarsih berkata, “Hai putriku,
Nini Indanganyu, sekarang lekas bikin jamuan, jodoh engkau sudah datang.” Nyi
Mas Indangayu-pun menghidangkan jamuan. Ayahnya bersuka cita. Segera
diitari/ditawarkan. “Hai Walangsungsang - Indangayu, sekarang aku kawinkan kamu
berdua jadi satu, karena tidak lain trah (turunan) dari Galuh.” Sang putra
berdua menyetujui. Segera telah kawin tetap catat (syah) perkawinannya pada
tahun 1442 M. Jeng Pangeran Walangsungsang pada waktu itu berusia 23 tahun.
Sementara itu diceritakan Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan
berada digunung Tangkubanprahu kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin
dengan menggosok kakinya yang pada bengkak, pakaiannyapun tercabik-cabik. Ia
menangis sambil menyebut-nyebut nama abangnya. Tak lama kemudian datanglah Nyi
Indang Sukati dihadapannya. Nyi Indang berkata, “Hai bayi, engkau siapa dan apa
yang engkau cari sendirian berada disini tanpa kawan.” Sang Dewi Rarasantang
menjawab, “Eyang, hamba sesungguhnya putri Pejajaran dari ibu Subanglarang,
Rarasantang nama hamba, yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon
pertolongan Eyang, semoga lekas bertemu.” Nyi Indang Sukati merasa kasihan,
”Duhai bayi, terimalah baju Sang Dewa Mulya, berwatak cepat-cepat berjalan
seperti angin dan tidak panas di dalam api dan tidak basah di dalam air,
rahayu/dijauhkan dari bahaya.” Segera sudah di pakai baju si Dewa Mulya, sang
putri mengucap terima kasih dan mohon petunjuk kakaknya ada dimana. Berkata Nyi
Indang Sukati, “Engkau datanglah terlebih dahulu di gunung Liwung, temuilah
Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk.” Segera Sang Dewi menyembah pamit,
terlaksana dengan sebentar Sang putri telah datang di gunung Liwung di hadapan
Ki Ajar Sakti, menyungkemi kakinya sambil memohon petunjuk kakaknya ada dimana.
Ki Ajar waspada penglihatannya, mengetahui maksud sang putri. Ia berkata,
“Bayi, kakak engkau, Walangsungsang sudah punya istri, Indangayu namanya, putri
sanghyang Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, baik engkau menyusul kesana
dan aku memberi engkau nama Ratnaeling, kelak dipastikan mempunyai putra lelaki
yang punjul sebuana.” Sang putri mengucap terima kasih. segera pamit, terus
berjalan menuju puncaknya gunung Maraapi, bahkan sebentar saja sudah sampai.
Syahdan Pangeran Walangsungsang yang sedang tafakur di hadapan Sang Danuwarsih.
Berkata Sang Danuwarsih, “Hai putraku Walangsungsang terimalah cincin pusaka
turunan dari Dipati Suryalaga sama turunan engkau.Ini wataknya cicin Ampal
kalau diterawangkan tahu isinya jagat bumi tujuh langit tujuh bisa terlihat dan
didalam cincin Ampal dapat memuat laut dan gunung, bisa untuk sebanyak
simpanan, terkabul yang dikehendaki, namun Agama Islam si Rama tidak bisa,
kelak seantara lagi engkau tahu, hanya ini terimalah aji-aji dan kememayan
(melumpuhkan) pengabaran (menurut) dan Pengasihan (pekasih).” Walangsungsang
mengucap terimakasih sambil menerima semua pemberian Sang Ayahanda. Sedangkan
mereka berkumpul tak lama memudian datanglah Sang Dewi Rarasantang bertemu
rangkul merangkul dengan kakaknya. Berkata Walangsungsang sambil menangis,
“Duhai bayi adikku, sungguh bahagia engkau masih bisa bertemu dengan si kakak,
apa sebabnya engkau menyusul, tidaklah engkau lebih senang di dalam kraton, dan
engkau dapat petunjuk jalan dari siapa?” Sang Rarasantang berkata sambil
menangis perihal perjalanannya dari awal hingga akhir.Sedangkan mereka berdua
bercakap-cakap Sang Danuwarsih mendekati dan berkata, "Hai putraku, itu
bayi perempuan siapa berangkulan bertangisan?” Menjawab Sang Putra,
"Sunguh sadari kandung hamba seayah seibu, Rarasantang namanya.” Segera
Nyi Indangayu merangkul adik iparnya.
GUNUNG KUMBANG
Setelah sebulan lamanya Sanghyang Nanggo berkata,
"Walangsungsang sekarang engkau baik bergurulah lagi kepada Sanghyang Naga
di gunung Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru."
Walangsungsang mematuhi perintahnya guru, segera
pamit terus berjalan menuju gunung kumbang, datang sudah di hadapan Sanghyang
Naga.
Berkata Sanghyang Naga, "Hai orang muda,
siapa engkau, asal putra mana dan apa yang engkau kehendaki?"
Sang Walangsungsang menjawab," Hamba ingin,
berguru agama Islam, Walangsungsang namanya putra Pejajaran."
Sanghyang Naga berkata, "Hai Walangsungsang,
agama Islam belum ada, kelak pada akhirnya engkau yang punya, mungkin sebentar
lagi, hanya si bapak bisa memberi ilmu kesaktian, aji dipa, mengetahui
omongannya segala binatang, keperkawinan, menghilang dan aji titimurni
(membesarkan tubuh hingga segunung anakan)."
Walangsungsang sudah menerima semua apa sih
pemberian guru.
Sanghyang Naga berkata, "Dan ini pusaka tiga
warna kepunyaan Juwata sekarang dapat wangsit terimalah dari sih pemberian
Dewa, ialah peci waring, kalau dipakai tidak terlihat semua penglihatan, badong
batok berwatak dianuti oleh sileman siluman, jin, setan pada suka sih,
umbul-umbul waring, berwatak rahayu dari senjata musuh dan melemahkan
musuh."
Diterima sudah, Walangsungsang mengucap terima
kasih, lalu jimat yang warna tiga itu simpan di dalam cincin Ampal.
GUNUNG CANGAK
Sanghyang Naga berkata, "Engkau sekarang
pergi bergurulah ke gunung cangal di situ engkau akan dapat petunjuk perihal
agama Islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap."
Setelah sebulan lamanya Walangsungsang mohon pamit
segera menuju ke gunung Cangak.
Diceritakan yang berada di gunung Cangak dipohon
beringin besar rombongan burung-burung bangau banyak sekali berhinggap.
Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak burung bangau
berseliweran dan bingung mana yang jadi Ratunya. Segera ia memakai peci waring
dan mengeluarkan kesaktian sebuah wadah yang berisikan ikan deleg di dalam
wadah/perangkap lalu dipatuknya.
Cepat Walangsungsang menagkap leher Sang Nata
Banagau sambil diancam dengan Golok cabang di atas lehernya. Sang Nata Bangau
berteriak tolong-tolong minta hidup, "nanti anda akan beri pusaka warna
tiga panjang, pendil, bareng/bende."
Lalu Sang Nata Bangau dilepaskan lalu ia terbang
sambil berkata, "Hai manusia susulah aku di puncak gunung inin yang berada
di pohon beringin."
Walangsungsang segera menyusul, Sang Nata Bangau
lenyap setelah datang di pohon beringin di puncak gunung itu. Walangsungsang
kebingungan. Tak lama kemudian hilanglah ujud pohon beringin itu salin rupa
menjadi sebuah kraton yang indah sekali.
Walangsungsang sedang melongo keheranan melihat
ada kraton, tak lama lalu ada 40 orang anak-anak bule yang menghidangkan jamuan
sambil menyilahkannya duduk di sebuah permadani emas. Walangsungsang sedangnya
enak duduk sambil makan minum tak lama kemudian datanglah Sang Pendeta Luhung
duduk sejajar.
Walangsungsang berkata, "Hai pendeta, anda
siapa yang bertemu di hadapan menjadikannya terkejutnya hatiku?"
Ki Pendeta menjawab, "Sanghyang Bangau namaku
yang membangun kayuwangan di gunung Cangak,fardhu memenuhi janji memasarkan
jimat pusaka yang warga tiga, ialah panjang, pendil, dan bareng/bende. Piring
panjang berwatak tidak diisi lagi lalu mengisi sendiri lengkap segala-galanya,
nasi kuning, lauk pauk selalabnya dan sejuk pribawanya kepada kawula warganya,
cukup sandang, pangan, papan, pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa untuk
memberi memberi makan dua tiga negara.Bareng/bende wataknya keluar air banjir,
suaranya membingungkan musuh."
Diterima sudah jimat yang warga tiga.
Walangsungsang mengucap terima kasih dan berguru kepada Pendeta sebulan
lamanya.
GUNUNG JATI
Walangsungsang mohon pamit hendak meneruskan
mencari agama Islam serengat Jeng Nabi Muhammad. Ki Pedenta berkata, "Hai
putra, datanglah di gunung Jati Syekh Nurjati namanya, asal dari Mekah, yang
sedang bertapa tidur dialah yang mempunyai agama Islam sarengat Jeng Nabi
Muhammad."
Walangsungsang segera pamit menuju gunung jati,
datang sudah di hadapan Syekh Nurjati. Sang istri dan Sang adik lalu
dikeluarkan dari cincin Ampal disuruh sujud menghaturkan hormat. Ki Syekh
Nurjati segera terjaga melihat tiga orang tamu. Sambil senyum ia berkata,
" Hai tiga orang muda di hadapanku dengan memberi hormat, apa kemauan
kalian, asal dari mana, nama kalian siapa?"
Berkata Walangsungsang, "Hamba hendak berguru
agama Islam serengat Jeng Nabi Muhammad, bersama adik kandung Rarasantang,
Putra Pejajaran, adapun istri hamba Indangayu namanya, putri gunung Maraapi
Sanghyang Danuwarsih, hamba bernama Walangsungsang."
Syekh Nurjati berkata, "bagai mana mulanya
orang Budha dan putra Raja menghendaki Islam dan dapat petunjuk dari siapa tahu
kepada gunung jati?"
Walangsungsang menceritakan sesungguhnya lantaran
mau Islam dari awal hingga akhir. Ki Syekh segera memberi wejangan kepada
ketiga putra ngucapkan sahadat kalimat dua, shalawat dan zhikir, jakat fitrah,
dan naik haji, puasa bulan romadhon, salat lima waktu dan diwejang Qur`an.
Kitab fikih dan Tasawuf, sudah dipatuhi semua apa yang di wejangkan dan
diperintahkan oleh guru.
Walangsungsang, Indangayu, Rarasantang sudah lama
olehnya berguru, suhud sekali, tetap patuh kepada guru, Ki Syekh memanggil,
"Walangsungsang aku beri nama Somadullah." si bapak tidak punya anak
dan kawan, sekarang kamu tiga orang aku akui sebagai anak, serah jiwa raga dan
tempat, engkau aku beri nama Cakra bumi."
Somadullah menerimanya. Sekarang sudah diangkat
anak, dan setelah datang pada waktunya pagi hari ahad lalu ia memasuki hutan
rawa belukar menebangi pepohonan besar kecil tiap hari, lama olehnya ia
babad/membuka hutan yang sudah lapang lalu ditanami palawija membangun
perkebunan. Kaki Tua melihat hutan sudah lapang dan banyak ditanami palawija ia
suka cita sekali Cakrabumi disuruh mengkap ikan dan rebon diberi waring/jala,
sudu/alat penangkap ikan dan jakung/perahu kecil.
Cakrabumi mematuhi perintah Kaki Tua, tiap malam
berkendaraan jakung itu pergi menangkap ikan dan rebon (rebon = sebangsa udang
kecil), paginya membabad hutan
Lenyapnya Kerajaan Pakuan Lama
Kisah otentik dan langka tentang lenyapnya kota
Pakuan lama (Hindu Pajajaran).
Setelah Kerajaan Galuh (sebelah Timur Pajajaran)
jatuh ke kesultanan Cirebon, akhirnya Kerajaan Sunda yang tersisa hanyalah
Pakuan (Barat Pajajaran) di Bogor.
Pada akhirnya, kerajaan terakhir dari Sunda inipun
tidak dapat menghalangi kekuatan angkatan perang Islam dari Barat, yaitu
kesultanan Banten.
Setelah melewati pertarungan yang dashyat, dalam
beberapa minggu pertempuran akhirnya Istana Pakuan di Bogor berhasil dikuasai
(1568, setahun sebelum meninggalnya Sunang Gunung Jati).
Rajanya, yang merupakan cucu dari Raja Siliwangi
yang terkenal dan juga seluruh keluarganya harus memeluk Islam sebagai
agamanya, dan memberikan kekuasaan untuk melanjutkan kerajaan dibawah
pemerintahan Kesultanan Banten.
Kelompok kedua dari kerajaan Galuh ini, yang
beranggotakan 40 pengawal yang dipimpin oleh panglimanya, menolak untuk masuk
Islam, dan akhirnya menyingkir dari ibukota Pakuan ke desa Cibeo, Lebak,
keberadaan mereka sekarang dikenal sebagai suku Baduy.
Sedang kelompok ketiga; kelompok pendeta, yang
merupakan ulama kebatinan sepuh, dipimpin oleh ketuanya yang sangat karismatik,
menolak kedua pilihan diatas, yaitu memeluk agama Islam, atau menyingkir dari
kotaraja.
Akhirnya Sunan Gunung Jati, ayah dari Maulana
Hasanuddin sipenguasa, bernegosiasi dengan ketuanya untuk meninggalkan istana
dan dijanjikan akan diberikan daerah yang dapat dipergunakan untuk meneruskan
kepercayaannya. Setelah negosiasi panjang dan melelahkan, hasilnya hanya jalan
buntu, akhirnya Sunan Gunung Jati, yang pada saat itu telah menduduki jabatan
tertinggi dari kesufian yaitu Wali Qutub (pemimpin para wali), akhirnya
bermunajat kepada Allah, agar Istana Pakuan, yang berisi ulama kebatinan sepuh
tersebut, dipindahkan kedunia lain, seperti yang kita kenal dengan Alam Jin.
Allah mengabulkan munajatnya tersebut. Hingga saat
ini, tidak ditemukan artifak atau batuan atau apapun sisa dari Istana Pakuan
kuno yang diyakini berada disekitaran Kebun Raya Bogor. Cerita mengenai Raja
Pakuan dan keluarganya yang akhirnya memeluk Islam adalah sebagai berikut:
Secara administratif, kerajaan Pakuan dinamakan
"Kadipaten Pakuan". Rajanya menjadi Adipati (Gubernur) dibawah
kesultanan Banten. Raja dan keluarganya merasa bahagia dengan agama Islam yang
dipeluknya, keturunannyapun yang merupakan perkawinan antara Putri dan Anak
dari Sultan Banten, akhirnya diberi gelar Sultan dari kerajaan Islam Pakuan.
Sultan terakhir dari kerajaan muslim Pakuan adalah Sultan Muhammad Wangsa II.
Setelah Banten menjadi lemah akibat penghianatan
Sultan Haji, yang merupakan anak dari Sultan Tirtayasa yang terkenal itu, akhirnya
mengalami masa kemunduran. Akhirnya diawal abad ke 19, sekitar tahun 1815,
merupakan tonggak bersejarah bagi Muslim Pakuan, Sultan Muhammad Wangsa II
meninggalkan Istana Pakuan untuk mengasingkan diri hingga akhir hayatnya.
Banyak yang menyangka bila beliau telah menjadi
wali Allah sebelum meninggalnya. Dengan meninggalkan segala kekuasaan yang
dimilikinya terhadap rakyat Pakuan, memilih menjadi ulama Islam yang melindungi
rakyat lemah, dan berjalan dijalan Allah dengan berdakwah keseluruh tanah Sunda
dan Indonesia.
Saya adalah keturunan ke-7 dari Sultan Muhammad
Wangsa II. Sedang Sultan sendiri merupakan keturunan ke-10 dari Sunan Gunung
Jati.
Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
dan Timbulnya Negara Negara Islam
di Nusantara
TRAGEDI kehancuran Kerajaan Majapahit, yang di
sertai tumbuhnya negara-negara Islam di Bumi Nusantara, menyimpan banyak sekali
fakta sejarah yang sangat menarik untuk diungkap kembali. Sebagai kerajaan
tertua di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi romantisme sejarah dari
puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, sudah menjadi bukti sejarah tentang
pergulatan politik yang terjadi di tengah islamisasi pada masa peralihan.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak mengantarkan
suatu peradaban bagi orang China dalam proses islamisasi di Nusantara. Stigma
yang kecenderungan para sejarawan dalam mengungkapkan bahwa kedatangan Islam di
Indonesia lebih pada kecenderungan orang Arablah yang berjasa sebagai penyebar
Islam, sehingga tidak pernah melirik, orang China pernah andil dalam membangun
peradaban Islam.
Hadirnya Buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara yang di tulis Prof Slamet Muljana
pada tahun 1968 yang beredar di Indonesia pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung
tahun 1971, karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu tentang
para Wali Songo berasal dari China.
Pijakan yang dipakai rujukan oleh Slamet Muljana
hanya membandingkan dari tiga sumber, yaitu Serat Kanda, Babad, Tanah Jawi dan
naskah dari Kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip oleh
Parlindungan. Residen Poortman tahun 1928 telah ditugasi pemerintah kolonial
untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang China atau bukan sebagai dasar
rujukan awal.
Perkembangan peristiwa itu ternyata menjadi
sejarah politisasi bahwa China dikaitkan terhadap pemberontakan Partai Komunis
Indonesia yang terjadi tahun 1926/1927, ini memberikan kesempatan kepada
pemerintah kolonial untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang untuk
mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang terdapat di sana, sebagian sudah
berusia 400 tahun--sebanyak 3 cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman
ini dikutip oleh Mangaraja Onggang Palindungan yang menulis buku yang
kontroversial--Tuanku Rao.
Pada tahapan selanjutnya Slamet memberikan
ilustrasi bahwa Bong Swi Hoo yang datang di Jawa tahun 1445 sama dengan Sunan
Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan
Eng Cu (mantan Kapitan China di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun
1423). Dari perkawinan ini lahirnya Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan
Bonang. Bonang ini diasuh oleh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian
dikenal sebagai Sunan Giri.
Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang
menjadi Kapitan China di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan
Masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang
penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri
dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi.
Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai
daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh. Slamet menyimpulkan bahwa
Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si
Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Slamet
Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Sultan Trenggana (memerintah di Demak
tahun 1521-1546). Sementara itu, Sunan Kudus atau Jafar Sidik tak lain dari Ja
Tik Su.
Tentu tidak ada larangan untuk berpendapat bahwa
sebagian Wali Songo itu berasal dari China atau keturunan China. Namun,
kelemahan Slamet Muljana, ia hanya mendasarkan kesimpulannya pada buku yang
ditulis oleh MO Parlindungan. Ia hanya melihat arsip Poortman dan tidak membaca
sendiri naskah China tersebut. Begitu pula, Slamet sendiri tidak memeriksa
sendiri naskah-naskah yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Semarang itu.
Bagi para sejarawan di masa mendatang, dengan melakukan penelitian terhadap
sumber berbahasa China baik yang ada di Nusantara maupun di daratan China,
diharapkan periode ini (terutama mengenai penyebaran agama Islam di Jawa abad
XV-XVI) dapat dijelaskan dengan lebih baik.
Sebetulnya pada masa ini cukup banyak sumber
mengenai Laksamana Muslim Cheng Ho yang berlayar ke berbagai penjuru dunia awal
abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri
mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan pengalaman
ini dalam buku Yingyai Senglan.
Di dalam buku ini dilaporkan tentang masyarakat
China yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou.
Mereka telah meninggalkan negeri China dan menetap di pelabuhan-pelabuhan
pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka merupakan sebagian besar penduduk
yang waktu itu jumlahnya mencapai ''seribu keluarga lebih sedikit''. Di Gresik
hanya ada ''pantai tanpa penghuni'' sebelum orang Kanton menetap di sana. Di
Surabaya sejumlah besar penduduk juga orang China. Menurut Ma Huan, kebanyakan
orang China itu telah masuk agama Islam dan menaati aturan agama (hlm 42).
Fakta sejarah mulai abad ke-15 di masa dinasti
Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk
menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa
Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan
armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang.
Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk
mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain
Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari Wali Songo yang berjasa menyebarkan
agama Islam di pesisir Pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di
Demak berasal dari etnik Tionghoa.
Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong
Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung
Jati (Toh A Bo) konon berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan
Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama
kerajaan Islam Demak, adalah putra Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit
(Brawijaya V) yang menikah dengan putri China, anak pedagang Tionghoa bernama
Ban Hong (Babah Bantong).
Penyebaran agama Islam di Nusantara ada pandangan
yang menyatakan bahwa Islam yang berkembang di sini berasal Hadramaut, Arab
Selatan. penyebarannya justru datang dari India dan Islam yang berkembang di
kepulauan ini berasal dari China. Tetapi Menurut sebagian sejarawan Islam,
bahwa Islam datang dari Gujarat, India antara lain, karena persamaan motif batu
nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik dengan yang ada di Gujarat. Hal ini
didukung pula karena faktor bahasa, istilah pinjaman dari bahasa Arab tidak
murni menurut lafal aslinya, seperti terlihat dalam kata salat, zakat, dan
seterusnya.
Jadi kata itu dipinjam melalui bahasa Persia atau
bahasa-bahasa umat Islam di daratan Asia yang menjadikan bahasa Persi sebagai
rujukan. Namun, mazhab di Asia daratan itu adalah Sunni-Hanafi bukan Sunni
Syafii yang banyak dianut di Nusantara. Maka Islam itu datang dari Arabia
Selatan, khususnya Yaman dan Hadramaut yang juga menganut mazhab Sunni-Syafii.
Yang didukung pula dengan fakta, bahwa kawasan itu terkenal dengan aktivitas
perdagangan laut internasionalnya. Sejalan dengan persoalan istilah pinjaman di
atas. Islam di Nusantara berasal dari China--paling tidak dalam satu fase
tertentu perkembangannya di Asia Tenggara patut diperhitungkan, karena terdapat
kesesuaian dalam hal mazhab (Sunni-Syafii) dan faktor bahasa tadi (hlm 164).
Pengembangan Islam di Nusantara, sebagian berasal
dari Arabia Selatan, India, dan China. Peristiwa itu bisa terjadi bersamaan
atau berurutan pada satu atau berbagai wilayah. Lagi pula perlu dibedakan
antara kedatangan agama Islam, yang mulai dianut oleh penduduk setempat dan
berkembang di tengah masyarakat di Nusantara, sebagian berasal dari Arabia
Selatan, India, dan China terjadi bersamaan atau berurutan pada satu atau
berbagai wilayah. Lagi pula perlu dibedakan antara kedatangan agama Islam, yang
mulai dianut oleh penduduk setempat dan berkembang di tengah masyarakat.
Sunan Gunung Jati
Membangun Jalur Kekuasaan Islam
Bangsa Portugis merebut Malaka pada tahun 1511 M
yang kemudian diikuti dengan penaklukan daerah Pasai (Aceh). Pendudukan
Portugis terhadap Pasai (Aceh) rupanya menimbulkan dendam membara di dada
seorang pemuda bernama Falatehan. Perasaan benci kepada penjajah berkobar dan
dia bertekad untuk terus memerangi kaum imperialis yang telah berlaku
sewenang-wenang terhadap wilayah dan agamanya.
Falatehan kemudian menyingkir dari tanah
kelahirannya itu dan pergi ke Tanah Suci Makkah. Di sana Falatehan menuntut
ilmu dan memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam.
Tiga tahun lamanya beliau menetap dan merantau ke
tanah Arab dengan harapan sekembalinya ke tanah air, orang-orang Portugis sudah
pergi meninggalkan bumi Tanah Pasai. Akan tetapi pada kenyataannya orang-orang
Portugis itu masih berada di sana menguasai sebagian besar wilayah Pasai.
Falatehan pun bertambah sedih dan marah hatinya.
Melihat kondisi tersebut, untuk kedua kalinya
Falatehan terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah Jawa.
Kedatangan Falatehan mendapat sambutan baik dari pihak Kerajaan Islam Demak
yang pada masa itu diperintah oleh Raden Trennggono (1521-1546 M).
Ketika itu Kerajaan Demak tengah mengalami masa keemasannya.
Daerah kekuasannya bertambah luas dan memiliki armada laut yang kuat. Pada
zaman Pati Unus (1518-1521), Demak pernah menyerang Portugis di Malaka, namun
tidak berhasil.
Pada masa Trenggono pula, beberapa daerah di Jawa
Barat dapat di-Islam-kan dan langsung berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak.
Salah satu orang yang berjasa dalam segala pencapaian tersebut adalah
Falatehan. Karenanya kedatangan Faletehan dianggap sebagai satu aset paling
penting dan besar artinya bagi upaya penyebaran serta pengembangan agama Islam
selanjutnya di Pulau Jawa.
Terkesan dengan kiprah Falatehan, maka berpikir
keraslah Raden Trenggono untuk berusaha memikat hati pemuda ini agar merasa
senang dan tetap tinggal di Jawa. Falatehan pun dia nikahkan dengan adik perempuannya.
Setelah itu bertambah eratlah hubungan persahabatan keduanya, penuh
kekeluargaan.
Saat itu sebagian besar penduduk Jawa Barat masih
belum mengenal Islam. Wilayah tersebut termasuk dalam kekuasaan pengaruh orang
Hindu, Banten, dan Kerajaan Pajajaran. Karenanya atas izin Raden Trenggono,
akhirnya dikirimlah suatu ekspedisi menuju Banten di bawah pimpinan Falatehan
yang bertujuan menyiarkan agama Islam di sana.
Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan dengan
sukarela penguasaan wilayah Banten yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan
Banten. Kegigihan dan kerja keras anggota ekspedisi itu berbuah hasil. Beberapa
lama kemudian, sebagian besar wilayah Sunda Kelapa juga dapat dikuasai
Falatehan. Kontrol penuh diberlakukan pada dua wilayah tersebut. Sehingga
ketika bangsa Portugis berlabuh di Sunda Kelapa, mereka langsung diusir oleh
Falatehan.
Tahun 1527, Fransisco De Sa berhasil dipukul
mundul oleh Falatehan, dengan menderita kerugian cukup besar. Ini memaksa
orang-orang Portugis kembali ke Malaka. Satu tahun kemudian, wilayah Cirebon
jatuh ke tangan Falatehan. Dengan demikian Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon
berada di bawah kekuasanaan Falatehan secara penuh.
Falatehan yang selanjutnya dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati, merintis jalur perhubungan di pantai utara Jawa Barat, dan
sepanjang pesisir utara sejak dari Banten-Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara,
Kudus, Tuban, dan juga Gresik berada di bawah kekuasaan Islam.
Sejak itu Sunan Gunung Jati tidak lagi tinggal di
Demak, melainkan menetap di Cirebon hingga akhir hayatnya. Meski beliau
berhasil meng-Islam-kan beberapa daerah di Jawa Barat, namun kekuasaan
tertinggi tetap berada di tangan Demak. Sesudah Trenggono wafat, barulah Sunan
Gunung Jati memisahkan diri dari ikatan Kerajaan Demak.
Sunan Gunung Jati, Falatehan atau Fatahillah,
menurut beberapa ahli sejarah, berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Namun
ada juga yang mengatakan, beliau mempunyai darah keturunan Persia. Beberapa
yang lain menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah putra dari Raja Makkah
(Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran (Sunda).
Ada yang memperkirakan Sunan Gunung Jati lahir
tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden
Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda,
pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Di samping itu, Sunan Gunung jati mempunyai banyak
nama, di antaranya Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyah,
Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum Jati. Sedang menurut
babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang, yaitu
Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana
Syekh Makdum Rahmatullah.
Mengenai nama Sunan Gunung Jati, menurut dugaan
Prof Hoesin Djajadiningrat, yang dimaksudkan dengan Falatehan, kemungkinan
berasal dari bahasa Arab Fatkhan, dari kata Fath. Hal ini mengingat bahwa dalam
tahun 1919 ada seorang naib dari kawedanan Singen Lor, di Semarang yang bernama
Haji Mohammad Fathkan. Menurut penyelidikan Dr BJO Schrieke, salah seorang
orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama Falatehan itu mungkin
berasal dari perkataan Arab: Fatahillah.
Banyak kisah yang kadang tak masuk akal dikaitkan
dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya bahwa beliau pernah mengalami perjalanan
spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi
Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman. (Babad Cirebon Naskah Klayan
hal.xxii).
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak usia
14 tahun. Pendidikan agama didapatnya dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Tercatat Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya
wali songo yang pernah memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan
pengaruhnya sebagai putra raja untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan.
Beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang
lugas dalam menyampaikan dakwahnya. Kendati demikian, ia juga mendekati rakyat
dengan cara membangun infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan
antarwilayah.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari
jabatannya untuk menekuni dakwah. Kekuasaan dilimpahkan kepada Pangeran
Pasarean.
Berdasarkan catatan sejarah, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon) tahun 1589. Ia dimakamkan
di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon
arah barat.
Cirebon Oh Cirebon
Cirebon, wilayah yang terletak di Propinsi Jawa
Barat ini, adalah salah satu tempat wisata yang punya potensi dikembangkan.
Kota yang telah berdiri sejak awal abad ke-15 ini merupakan tempat pertama kali
penyebaran agama Islam dilakukan di Jawa.
Hingga kini banyak peninggalan masa lalu yang
bernafaskan keislaman. Tidak hanya itu, Cirebon juga punya makanan khas bahkan
hewan langka yang hanya bisa ditemui di Cirebon. Kura-kura ini adalah kura-kura
langka yang hanya terdapat di Cirebon. Itupun tidak di sembarang tempat. Hanya
ada di Desa Belawa, di Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Cirebon, atau sekitar
200 kilometer dari kota Cirebon.
Biasa disebut dengan Kura-Kura Belawa, dengan nama
latin Aquatic Tortose Ortilia Norneensis. Di kolam penampungan yang cukup
sederhana, sedikitnya 20 kura-kura bertempurung unik ini hidup dan berkembang
biak. Dan karena langkanya, Kura-kura Belawa termasuk hewan yang dilindungi.
Adanya kura-kura yang bertempurung khas ini juga
menumbuhkan cerita rakyat setempat. Konon, sang kura-kura berasal dari lembaran
kertas, yang bertuliskan ayat suci Al-Quran. Sekitar abad 17, hiduplah seorang
pemuda bernama Jaka Saliwah. Ia hendak mencari ayahnya, dengan bertanya kepada
semua orang, yang mengenal ayahnya, termasuk kepada teman sang ayah, Syech
Datuk Putih.
Oleh Syech Datuk Putih dijelaskan bahwa Allah Maha
Besar, dan akan memberikan keajaiban bila ia menghendaki. Tiba-tiba, lembaran
kertas bertuliskan ayat Al-Quran bertebaran jatuh ke dalam kolam, dan berubah
wujud menjadi kura-kura. Berdasarkancerita itu, lalu banyak orang yang
mengkeramatkan kura-kura tersebut. Bahkan diantaranya datang dengan tujuan
meminta sesuatu agar keinginannya tercapai.
Selain cerita keramat, keberadaan Kura-kura Belawa
juga dilindungi oleh sebuah mitos. Ia tidak dapat dibawa keluar dari Desa
Belawa. Percaya atau tidak, apabila ada yang mencoba membawa keluar kura-kura
itu, maka orang yang bersangkutan akan mendapat musibah.
Selain berada di kolam yang dibangun Dinas
Pariwisata Daerah, Kura-kura Belawa juga hidup di kolam-kolam masyarakat
setempat. Mereka dipelihara dengan diberi pangan, berupa ayam, ikan asin dan
singkong. Kura-kura jenis ini lebih senang hidup di air yang berlumpur. Bisa
seharian mereka berendam di dalamnya, sehingga tak heran bila pengunjung yang
datang agak sulit melihatnya.
Selain keberadaannya dilindungi, lingkungan
sekitar Kura-kura Belawa pun telah dijadikan cagar alam oleh pemerintah, dan
menjadi salah satu obyek wisata. Sayangnya, tidak terawat dengan baik.Selain
Cagar Alam Cikuya Belawa, pengunjung juga bisa melihat sebuah sumur tua, yang
airnya tidak pernah kering, meski musim kemarau sekalipun.
Walau tidak banyak didatangi pengunjung, namun
obyek wisata ini termasuk salah satu pendapatan asli daerah, sekitar 10 persen.
Tak heran, patung kura-kura juga menjadi simbol Desa Belawa, yang berpenduduk
sekitar 3500 jiwa.
Dari Belawa, kami mampir ke Plangon, Desa Babakan
Sumber, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Hanya menempuh sekitar 20 menit
perjalanan, atau sekitar 8 kilo meter dari pusat kota Cirebon.Di Plangon,
sedikitnya 200 ekor monyet langsung menyambut pengunjung yang datang.
Menurut cerita setempat, monyet-monyet ini dulunya
merupakan peliharaan Pangeran Panjunan, seorang pangeran dari Jedah, yang
datang ke tanah Jawa, untuk mensiarkan agama Islam. Setelah 500 tahun berlalu,
ternyata keturunan monyet peliharaan Pangeran Panjunan, masih mendiami tempat
nenek moyangnya, yang terletak di daerah pegunungan ini. Mereka terus
berkembang biak hingga sekarang.
Sejak 16 tahun lalu, Plangon telah dijadikan obyek
wisata oleh pemerintah. Pengunjungnya pun cukup ramai, karena selain melihat
tingkah laku monyet-monyet, para pengunjung juga melakukan ziarah ke makam
Pangeran Panjunan, yang terletak di puncak Plangon. Obyek wisata ini biasanya
ramai dikunjungi pada tanggal 27 Rajab, hari setelah lebaran, dan hari-hari
libur nasional lainnya.
Beginilah bila Kesultanan Kanoman mengadakan pernikahan.
Mempelai wanitanya, Putri Arimbi. Adik Sultan Kanoman keduabelas, Sultan Raja
Muhammad Emirudin.Ini memang saat yang istimewa bagi Kesultanan Kanoman.
Terlebih karena perkawinan di Keraton Kanoman terakhir diselenggarakan 25 tahun
yang lalu. Acara berlangsung di ruang Prabayaksa Mande Mastaka, yang terletak
di dalam pendopo Jinem, tempat dimana dulunya para sultan menerima tamu agung.
Kedua pengantin menggunakan mahkota kerajaan,
mahkota pengantin pria bernama Kresna, dan mahkota perempuan bernama Suri.
Warna hijau yang mendominasi pakaian kebesaran ini merupakan cerminan dari
pengaruh agama Islam, yang begitu kental di Cirebon, khususnya di Keraton
Kanoman. Pakaian kebesaran ini, sekarang telah diadaptasi oleh masyarakat umum,
menjadi pakaian pengantin Cirebon.
Layaknya sebuah pesta, undangan yang hadir,
dihibur oleh berbagai kesenian berupa tarian dan musik khas Cirebon.Yang juga
tampil istimewa, adalah tari Topeng Panglima, yang dibawakan adik mempelai
wanita sendiri.
Kraton Kanoman yang terletak di tengah-tengah
pasar, adalah satu dari 4 kraton yang ada di Cirebon. Ke-4 kraton ini merupakan
pecahan dari kerajaan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati. Bisa dibilang,
hampir semuanya kini dalam keadaan memprihatinkan. Padahal tiap kraton menyimpan
bukti sejarah kejayaan sultan Cirebon masa lalu. Di Keraton Kanoman misalnya,
ada sebuah kereta kencana yang tersohor, terutama bagi mereka yang mengerti
sejarah.
Paksi Naga Lima, itulah sebutan bagi sang kereta
kencana, yang dibuat pada tahun 1428. Dari bentuk dan namanya, terlihat bahwa
sejak dulu kebudayaan Cirebon dipengaruhi 3 budaya, yakni Cina, Hindu, dan
Islam. Bentuk naga diadaptasi dari kebudayaan Cina. Sayap di kedua sisinya,
yang melambangkan burung, atau paksi, merupakan pengaruh dari budaya agama
Islam.
Sementara gajah, atau lima, pengaruh dari budaya
agama Hindu. Paksi Naga Lima yang terbuat dari kayu sawo, khusus dibuat
Pangeran Losari, cucu Sunan Gunung Jati, untuk sang kakek. Paksi Naga Lima.
Biasanya digunakan pada saat penobatan sultan. Selain kereta kencana, masih
banyak barang peninggalan Kesultanan Cirebon, yang tersimpan di Museum Keraton
Kanoman. Baik yang berasal dari peninggalan Sultan Cirebon, maupun dari
pemberian pemerintah Belanda dan Inggris.
Selain bisa melihat kraton, obyek wisata yang
cukup menonjol adalah wisata ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Makam yang
terletak di Desa Astana, Kecamatan Cirebon ini tidak pernah terlihat sepi.
Selain dikenal sebagai salah satu wali, Sunan Gunung Jati ini juga merupakan
cikal bakal pendiri Kesultanan Cirebon.
Sayangnya tidak semua orang bisa masuk hingga ke
pintu 9, dimana sang sultan dimakamkan. Hanya keturunan Sultan Cirebon saja
yang berhak masuk hingga ke makam Sunan Gunung Jati. Sementara bagi masyarakat
umum, hanya bisa sampai pintu ke-4 saja.
Rasanya belum lengkap, kalau ke Cirebon tidak
mencicipi makanan khas Cirebon. Di antaranya ada nasi Jamblang, dan Tahu
Gejrot. Tidak susah mencarinya, karena kedua jenis makanan khas ini bisa
dijumpai di segala penjuru kota, baik siang maupun malam hari.
Nasi Jamblang Mang Dul, merupakan tempat makan
yang cukup terkenal di kota Cirebon. Rumah makan yang terletak di Jalan
Ciptomangunkusumo ini, selalu terlihat ramai dikunjungi. Mang Dul atau nama
lengkapnya, Abdul Rozak, termasuk orang pertama, yang membuka usaha makanan
nasi Jamblang.
Sejak tahun 1964, Mang Dul berjualan nasi Jamblang
keliling, dengan cara dipikul. Baru sekitar tahun 1978, Mang Dul membuka
restoran dekat balai kota. Dan sekitar tahun 1990, restoran yang terletak di
Jalan Ciptomangunkusumo ini, berdiri.
Setelah Mang Dul meninggal, kini usahanya,
diteruskan kelima anaknya. Dengan mempekerjakan sedikitnya 30 orang, khusus di
Jalan Ciptomangunkusumo, buka setiap hari, mulai dari jam 4 pagi hingga 3
sore.Sebutan nasi Jamblang sendiri karena penganan ini berasal dari daerah
Jamblang, di Cirebon.
Dahulu masyarakat Jamblang, selalu menggunakan
daun jati sebagai alas makanannya. Daun jati itu membuat nasi yang telah
terbungkus menjadi, harum dan awet. Nasi yang dibungkus daun jati bisa bertahan
selama 24 jam. Itulah yang membuat Mang Dul, yang memang berasal dari Jamblang,
terinspirasi dengan menjual nasi berbungkus daun jati, beserta lauk pauknya.
Dari lauk pauknya sendiri juga terdapat ciri khas. Ada beberapa menu yang memang
wajib disajikan, dalam nasi Jamblang.
Cara penyajiannyapun prasmanan. Orang bisa
mengambil lauk sesukanya, serta nasi seberapa banyak yang mereka inginkan.
Siapa sangka juga kalau daun jati pembungkus nasi ini diambil dari daerah
Sumedang, tetangga Cirebon. Dulu, daun jati memang banyak ditemui di daerah
Jamblang, tapi kini sudah tidak lagi.
Cara memilih daun jati pun ada tehniknya. Hanya
dari pohon yang masih muda, atau setidaknya berumur 5 tahun, dan memiliki
tinggi 5 meter, yang boleh diambil. Pohonnyapun harus berada ditengah. Hal ini
untuk menghindar polusi.
Walaupun terlihat sederhana, dan menu makanannya
pun relatif murah, hanya dihargai 7 ribu rupiah per porsi, tapi toh nasi
Jamblang Mang Dul ini bisa memperoleh keuntungan 6 juta rupiah per harinya.
Orang memang terus berdatangan tanpa henti, baik dari dalam maupun luar kota.
Selain nasi Jamblang, juga ada Tahu Gejrot. Adalah
ibu Runtah, yng sudah berjualan makanan ringan ini selama 30 tahun. Di Jalan
Siliwangi, ibu 6 anak ini berjualan dari jam 10 pagi hingga 9 malam.
Sejak umur 17 tahun, Runtah sudah membantu orang
tuanya berjualan Tahu Gejrot keliling. Jodohnya pun sesama tukang Tahu Gejrot.
Bahkan kini 4 dari 6 orang anaknya mengikuti jejak runtah.
Makanan ringan ini dinamakan Tahu Gejrot karena
jenis tahu yang dipakai memang dikenal dari pabriknya sebagai Tahu Gejrot. Tahu
digoreng, dibelah 2, lalu diberi saus kecap. Sederhana saja, tapi penikmatnya
toh cukup banyak. Tahunya sendiri. khusus didapat Runtah, dari pabrik tahu di
daerah Ciledug, Jawa Barat. Harga satu tahu 80 rupiah.
Dengan harga jual 2 ribu 5 ratus rupiah per porsi,
Runtah merasa Tahu Gejrot cukup bisa ia jadikan sandaran hidup. Bila ramai
pembeli, setidaknya 100 ribu rupiah keuntungan yang bisa didapat. Dari hasil
menjual Tahu Gejrot ini jugalah, janda yang baru saja ditinggal mati suaminya
ini, menghidupi 2 orang anaknya yang masih sekolah.
Berkunjung ke Cirebon, rasanya sungguh sarat
makna. Dari mitos yang melindungi keberadaan Kura-kura Belawa hingga
kesederhanaan para penjaja makanan khasnya. Bahkan keraton-keraton di Cirebon
pun menyiratkan kebersahajaan itu. Sebuah kebersahajaan yang bisa
disalahartikan bila Cirebon tidak segera bebenah diri. Dan akhirnya malah
membawa kota tua ini aus dimakan zaman.
Sejarah
Singkat kabupaten Cirebon
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina,
Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat
pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang
Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman
Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA
PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh
Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung
Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang
dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang
lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426
Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada
tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis
Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain
petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah
Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke
Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal
dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan
budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan
istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan
menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur
Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka
hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang).
Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama
Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni
oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat
dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi
digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar
Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai
Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji
Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah
Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari
hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah
dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan
Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan
menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman
bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan
Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak +
14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya
digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan
nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya,
Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat
Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah
berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa,
mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk
bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah
tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam
di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif
Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana
(Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan
sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di
Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka
dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk
menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga
dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser
bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan
Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE.
Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan
Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran
Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif
Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton
Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh
Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482
Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat
maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim
upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain
hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela
berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi
tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah
menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan
Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan
Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra
Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887
Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi
Kabupaten Cirebon.
SUNAN GUNUNG JATI
BERBEDA DENGAN
FATAHILLAH
Awal Polemik Tentang SGJ
Identitas SGJ yang selama ini mengundang polemik
perlu dijelaskan berdasarkan berbagai data dan fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan. Atja (1986:36) berdasarkan naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari (CPCN) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada tahun 1720
Masehi---meskipun Ibu Nina menganggap naskah ini bukan sumber primer, karena
bukan naskah sejaman dengan masa hidup SGJ---menguraikan identitas dan kisah
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (SGJ) secara lebih rasional
dibandingkan dengan cerita-cerita legenda SGJ yang berkembang di masyarakat
sebagai berikut.
Syarif Hidayat lahir pada tahun 1448 Masehi di
Mesir. Dua tahun kemudian (1450) Rarasantang (ibunya)---yang setelah menikah
dengan Raja Mesir bernama Syarifah Mudaim---melahirkan seorang putra lagi yang
diberi nama Syarif Nurullah atau Syarif Arifin. Tidak lama diantaranya, ayahnya
meninggal dunia. Karena kedua putranya masih kecil, maka pemerintahan
dikuasakan kepada adik raja ialah Mahapatih Ungkajutra yang kemudian bergelar
Raja Onkah.
Setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, dia
berniat dengan sungguh-sungguh untuk menjadi guru agama Islam. Karena itu ia
lalu berangkat ke Mekah, belajar kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri selama dua
tahun, kemudian belajar kepada Syekh Ata'ullahi Sadzili, pengikut Imam Syafii,
juga selama dua tahun. Kemudian ia pergi ke Bagdad untuk belajar tasauf, dan
setelah selesai ia kembali ke negerinya.
Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah yang
mewakilinya dalam menjalankan pemerintahan, digelari sebutan Nurdin yang
didasarkan atas pertimbangan mengenai ilmu pengetahuannya yang tinggi tentang
kenegaraan dan juga sebagai guru agama yang digelari dengan sebutan Ibrahim.
Raja Onkah bermaksud menyerahkan kekuasaan kepadanya, namun Syarif Hidayat
tidak berniat untuk menjadi raja, karena itu kedudukannya sebagai raja
diserahkan kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat kemudian berangkat menuju Pulau
Jawa, singgah sebentar di Gujarat, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pasai.
Di Pasai ia tinggal di pondok bersama Sayid Iskak yang pernah menjadi guru
agama Islam di Blambangan. Setelah belajar kira-kira dua tahun lamanya, ia
berangkat ke tanah Jawa dan singgah di Banten. Di Banten pada waktu itu telah
banyak pemeluk agama Islam atas upaya Sayid Rakhmat yang kemudian menjadi
Susuhunan Ampel Denta di Gresik. Syarif Hidayat kemudian berangkat ke Ampel
Denta dengan menumpang perahu orang Jawa Timur.
Di Ampel Denta berkumpul para guru agama Islam,
yang lebih terkenal dengan sebutan wali. Masing-masing para guru agama Islam
itu mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di wilayah yang sebagian
terbesar penduduknya masih memeluk agama Budha-Parwa (Siwa-Budha). Syarif
Hidayat yang juga bergelar Insan kamil tiba di Cirebon pada tahun 1470 Masehi
untuk menunaikan tugasnya sebagai penyebar agama Islam. Ia melaksanakan
tugasnya dengan mengambil tempat kediaman di Gunung Sembung. Di sana ia dapat
membuka pondok berkat bantuan Walangsungsang alias Haji Abdullah Iman---kakak
kandung Rarasantang---yang bergelar Pangeran Cakrabuwana, Kuwu Caruban
(Cirebon).
Pada tahun 1479 Masehi, dengan persetujuan uaknya,
Pangeran Cakrabuwana, Syarif Hidayat diangkat menjadi tumenggung membawahi
Caruban dan bergelar Susuhunan Jati, Sunan Jati, atau Sinuhun Caruban/Cerbon.
Para wali yang sembilan menyambut baik penobatan itu, meskipun hanya meliputi
wilayah Sunda pesisir. Para wali meneguhkan kekuasaan Sunan Jati sebagai
penegak panatagama Islam di seluruh wilayah Sunda yang berkedudukan di Cirebon,
pengganti Syekh Nuruljati yang telah wafat.
Dari kisah di atas yang tetap menjadi polemik
hingga saat ini adalah tentang asal-usul SGJ. Polemik ini diawali sejak tahun
1913, ketika Hoesein Djajadiningrat berhasil menyusun disertasi doktor di
Universitas Leiden yang salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa Faletehan
adalah sama dengan Tagaril dan sama juga dengan Sunan Gunung Jati, artinya tiga
nama tersebut ditujukan pada orang yang sama. Faletehan seorang kelahiran
Pasai, pada tahun 1521 pergi ke Mekah dan kembali lagi ke Pasai setelah dua
atau tiga tahun. Tetapi segera ia pergi ke Jepara dan menikah dengan seorang
adik Pangeran Trenggana dari Demak. Setelah itu pergi ke Banten dan menyebarkan
Islam ke sebelah Timur. Pada awal tahun 1527 berhasil merebut Sunda Kalapa dari
Ratu Pajajaran, ikut serta pula dalam serangan Demak terhadap Pasuruan pada
tahun 1546, kemudian pindah dan menetap di Cirebon hingga wafatnya pada tahun
1570 dan dimakamkan di Gunung Jati, sehingga disebut Sunan Gunung Jati, salah
seorang wali dari sembilan wali yang mengislamkan tanah Jawa (Djajadiningrat,
1913/1983: 213-214).
Kesimpulan Hoesein didasarkan atas kitab Sajarah
Banten (SB). Pada bagian kedua kitab SB dinyatakan sebagai berikut:
Diceritakanlah sekarang tentang seorang yang keramat, yang bapaknya berasal
dari Yamani dan ibunya dari Baniisrail. Dari Mandarsah ia datang di Jawa, yaitu
Pakungwati, untuk mengislamkan daerah ini. Ia mempunyai dua orang anak; seorang
perempuan (yang tua) dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan
anaknya yang laki-laki ia berangkat ke arah Barat, tiba di Banten Girang, lalu
terus ke selatan, ke Gunung Pulosari. Di situ ada perkampungan yang penghuninya
persis delapan ratus orang.
Hoesein Djajadiningrat (1913/1983:93-95) menduga
kuat bahwa yang diceritakan dalam SB itu adalah tentang Sunan Gunung Jati. Ia
menyatakan: “Apa yang mengesankan bagi kita dalam berita ini, yang sebagian
besar bersifat legenda, ialah yang mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati berasal
dari Pasai. Lebih menarik hati lagi berita ini, karena berita ini ada dalam
tradisi yang tidak termasuk ke dalam berita-berita biasa yang kemudian. Dalam
Sajarah Banten berita ini tersembunyi di tengah-tengah legenda-legenda dan
saga-saga. Pada tempat lain, dimana penulis kronik itu mengantarkan sejarah
Banten, ia berkata bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Yamani dan ibunya dari
Baniisrail. Raja Baniisrail adalah bapaknya, kata naskah-naskah lainnya.
Bagaimana pun juga, apa pun tanggapan orang Jawa yang betul-betul tentang
negara-negara yang disebut dengan nama-nama itu, Sunan Gunung Jati menurut
tradisi resmi Cirebon dan Banten, datang dari Arab. ... Dan selanjutnya kita
perhatikan tradisi yang satu itu dalam Sajarah Banten, yang betapa pun juga
dipersoleknya, tapi mengatakan dengan terang, bahwa Sunan Gunung Jati adalah
seorang Pasai, dalam hubungan apa yang dikatakan Barros tentang asal Faletehan,
maka haruslah kita sampai kepada kesimpulan, bahwa Faletehan, Tagaril, dan
Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang lain bagi seseorang yang itu-itu juga”.
Pernyataan ini diperkuat lagi pada tahun 1965 oleh
Hoesein Djajadiningrat dengan mengutip pernyataan dari Joao de Barros dan F.
Mendez Pinto, Hoesein (1965/1995:61-61) menyatakan: Joao de Barros, penulis
sejarah bangsa Portugis yang termasyhur, menguraikan dalam bukunya Da Asia,
bahwa seorang Pasai bernama Falatehan sekembalinya dari Mekah menyaksikan Pasai
diduduki oleh Portugis. Falatehan merasa tidak leluasa menyebarkan agama Islam.
Karena itu, dia pindah ke Demak yang dikuasai oleh seorang raja beragama Islam.
Di sana ia mendapat kehormatan untuk beristrikan seorang saudari raja. Dari
Demak, dengan ijin dari raja, ia pergi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam.
Melihat bahwa suasananya baik baginya, dengan meminta bantuan tentara Demak, ia
berhasil merebut pelabuhan Banten dan Sunda Kalapa dari kekuasaan raja Sunda.
Barros tidak menyebutkan angka tahun peristiwa ini. Tetapi dari beritanya
mengenai hubungan orang Portugis dengan para pembesar Sunda Kalapa, dapat
ditarik kesimpulan bahwa peristiwa itu terjadi pada akhir tahun 1526 atau awal
tahun 1527.
Sementara itu F. Mendez Pinto menceritakan bahwa
pada tahun 1546 ia dengan beberapa orang kawan Portugisnya mengikuti Tagaril,
raja Sunda di Banten, ke Demak atas panggilan raja itu untuk ikut menyerang
Pasuruan yang belum beragama Islam. Sekembalinya di Demak terjadi kegaduhan
karena raja Demak telah terbunuh. Kemudian Mendez Pinto dan kawannya minta diri
kepada raja Sunda.
Dengan menghubungkan cerita kedua orang Portugis
itu dengan apa yang tercantum dalam Sajarah Banten, ada kemungkinan untuk
mengidentifikasikan Falatehan dan Tagaril sebagai satu orang yang sama yang
setelah wafat terkenal sebagai Sunan Gunung Jati, yang menurunkan para raja
Banten dan Cirebon. Dialah yang mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Tetapi di antara banyak nama Sunan Gunung Jati yang disebutkan dalam tradisi
lokal, tidak ada yang senada atau mirip dengan Falatehan atau Tagaril. Orang
hanya dapat menduga bahwa nama Falatehan berasal dari kata Arab Fathan, yang di
Jawa masih dipakai sebagai nama orang, dan Tagaril yang berasal dari Fachril,
singkatan dari Fachrillah, nama orang juga.
Kesimpulan Hoesein mengenai asal-usul SGJ ini
senada dengan Graff (1976:11-12) yang mengutip cerita tradisi Jawa dan para
penulis Portugis, ia mengemukakan bahwa Cirebon diislamkan oleh salah seorang
wali dari wali sembilan (the nine saints) yang bernama Sunan Gunung Jati yang
oleh para penulis Portugis disebut Falatehan dan Tagaril yang berasal dari
Pasai, Aceh. Setelah melakukan ziarah ke Mekah ia bernama Nurullah.
Kesimpulan Hoesein di atas meskipun didasarkan
pada naskah SB serta sumber primer yang berasal dari berita Portugis,
dianalisis secara sistematis, dan dikemukakan menurut jalan pikiran yang
rasional, namun di dalamnya mengandung kelemahan. Kelemahan dimaksud mernurut
Ekadjati (2000:39) terletak pada pemakaian sumber yang tidak menggunakan sumber
yang berasal dari Cirebon, padahal sesungguhnya peranan kedua nama tokoh itu
berpusat di atau paling tidak berkaitan erat dengan Cirebon. Pada waktu itu
(tahun 1913) jelas telah ada sumber dari Cirebon yang diterbitkan, yaitu naskah
Babad Cerbon yang dikerjakan oleh J. L. A. Brandes pada tahun 1911. Anehnya
penerbitan-penerbitan sesudah disertasi Hoesein Djajadiningrat itu, seperti yang
dikerjakan oleh Edel (1938), tidak menarik perhatian dan atau mengubah
pendiriannya. Kemungkinan yang cukup bisa difahami adalah adanya subyektifitas
Hoesein sebagai orang Banten kuat sekali.
Identitas SGJ
Dapat diakui bahwa pendapat yang bermula dari kesimpulan
Hoesein itu berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Begitu kuat
pengaruh itu, sehingga buku-buku sejarah Indonesia sejak zaman kolonial sampai
sekarang ini selalu didasarkan pada pendapatnya untuk menggambarkan tokoh
Fatahillah dan Sunan Gunung Jati sebagai orang yang sama.
Namun kesimpulan Hoesein di atas dibantah beberapa
puluh tahun kemudian oleh Pangeran Sulaeman Sulendraningrat (1972) dan Atja
(1986). Sulendraningrat (1972:31; 1985:31-32) mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut: Setelah pada tahun 1511 Malaka direbut orang Portugis, pada tahun 1521
Pasai juga jatuh di tangan Portugis. Salah seorang ulama Islam dari Pasai yang
bernama Fachrullah Khan terpaksa mengungsi ke Demak. Ia disebut oleh orang
Portugis dengan nama Faletehan. Di Demak, ia menikah dengan salah seorang adik
dari Pangeran Trenggono, Sultan Demak, yang bernama Ratu Pulung. Di Demak
beliau menjadi jenderal pertama tentara Demak. Pada tahun 1524 di Cirebon
beliau menikah dengan Ratu Ayu, seorang putri dari Sunan Gunung Jati. Pada
tahun 1526, Faletehan dan Pangeran Carbon, seorang putra Pangeran Cakrabuwana,
memimpin tentara Islam gabungan Demak dan Cirebon atas perintah Sunan Gunung
Jati dan Sultan Trenggono (Sultan Demak III), berperang di Banten bawahan
Pakuan Pajajaran membantu pemberontakkan Pangeran Hasanuddin, seorang putra
Sunan Gunung Jati dari seorang putri Banten, Ratu Kawunganten, dengan berhasil.
Kemudian Pangeran Hasanuddin diangkat oleh ayahandanya menjadi Sultan Banten.
Pada tahun 1527 Faletehan dan Pangeran Carbon
dapat menaklukkan Sunda Kelapa bawahan Pakuan Pajajaran juga. Setelah itu
Faletehan diangkat menjadi bupati Sunda Kelapa yang beralih nama Jayakarta
sebagai wakil dari Sunan Gunung Jati. Masih pada tahun 1527 tentara Islam
gabungan Demak- Cirebon dibawah komando Faletehan, Pangeran Carbon, Dipati
Keling, dan Dipati Cangkuang berhasil mengusir armada perang Portugis dari
pelabuhan Jayakarta. Pada tahun 1546, Faletehan bersama Sultan Trenggono
berperang di Jawa Timur. Sultan Trenggono gugur di sana. Faletehan pulang ke
Cirebon, selanjutnya meneruskan jabatannya sebagai bupati di Jayakarta. Pada
tahun 1552 beliau mewakili Sunan Gunung Jati di Cirebon, karena Sunan Gunung
Jati sedang bertabligh di seluruh Sunda.
Dari asal-usulnya, Faletehan dilahirkan pada tahun
1490 di Pasai, seorang putra dari Makhdar Ibrahim berasal dari Gujarat, menetap
di Samudera Pasai, dan menjadi imam agama Islam. Maulana Makhdar Ibrahim adalah
putra dari Maulana Abdul Ghofur alias Maulana Malik Ibrahim, seorang putra dari
Barkat Zaenal Alim, ialah saudara muda dari Nurul Alim. Sedangkan Nurul Alim
adalah ayahandanya dari Syarif Abdullah. Adapun Syarif Abdullah adalah
ayahandanya dari Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Jadi,
Faletehan adalah seorang keponakan dan menantu dari Sunan Gunung Jati. Nama
lengkap dari Faletehan adalah Maulana Fadhillah Khan Al-Pasai Ibnu Maulana
Makhdar Ibrahim Al-Gujarat. Ia meninggal pada tahun 1570 di Cirebon dan
dimakamkan di puncak Gunung Sembung Astana Gunung Jati Cirebon berjajar sebelah
timur makam Sunan Gunung Jati.
Hampir senada dengan Sulendraningrat, Sharon
Siddique (1977) yang menulis disertasi doktor berjudul Relics of The Past? A
Sociological Study of The Sultanates of Cirebon West Java di Fakultas Sosiologi
Universitas Bielefeld mengemukakan bahwa dari pernikahan Rarasantang dengan
Maulana Sultan Machmud (Syarif Abdullah), putra Nurul Alim yang berasal dari
Bani Ismail dan berkuasa sebagai gubernur di kota Ismailiyah, Mesir, lahirlah
dua orang anak, anak pertama bernama Syarif Hidayat yang lahir di kota Mekah
dan anak kedua bernama Syarif Nurullah yang lahir dua tahun kemudian di Mesir.
Berbeda dengan Fatahillah, bahwa Fatahillah atau Fadhillah Khan berasal dari
Pasai yang terpaksa mengungsi ke Demak setelah Portugis mengalahkan Samudra
Pasai pada tahun 1521. Di Demak, ia menikah dengan salah seorang adik dari
Pangeran Trenggono, Sultan Demak, yang bernama Ratu Pembayun dan ia kemudian
menjadi jenderal angkatan perang tentara Demak. Beberapa waktu kemudian ia pun
menikah dengan Ratu Ayu, seorang putri dari Sunan Gunung Jati, dan janda
Pangeran Sabrang Lor. Selain itu dapat diketahui juga bahwa Faletehan adalah
putra dari Makhdar Ibrahim berasal dari Gujarat yang menetap di Samudra Pasai
dan menjadi guru agama Islam. Maulana Makhdar Ibrahim adalah putra dari Barkat
Zaenal Alim, ialah saudara muda dari Nurul Alim. Sedangkan Nurul Alim adalah
ayahandanya dari Syarif Abdullah. Adapun Syarif Abdullah adalah ayahandanya
dari Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Jadi, Sunan Gunung Jati
mempunyai hubungan saudara yang erat dengan Faletehan.
Atja (1986:14-15) dengan merujuk pada naskah CPCN
telah mengidentifikasi silsilah dua pria---yang dianggap sama oleh Hoesein
Djajadiningrat---yang diperkirakan menjadi pendiri kerajaan Islam Cirebon pada
paruh pertama abad ke-16. Ia mengemukakan sebagai berikut.… Yang tertua dari
kedua pria itu lahir di Mekah dari perkawinan seorang raja Arab, Maulana Sultan
Mahmud, dari Mesir, dengan Nyai Rarasantang. Rarasantang bersama kakak laki-lakinya,
Walangsungsang, dari Pakuan Pajajaran tempat ayah
mereka---Siliwangi---memerintah sebagai raja, kiranya sesudah ibu mereka
meninggal, pergi berkelana kemana-mana. Demikianlah mereka tiba di Mesir dan
Mekah. Anak sulung dari perkawinan Rarasantang dengan orang Arab ini, Syarif
Hidayat namanya, lalu kembali ke Jawa lewat Gujarat dan Pasai untuk menyebarkan
agama Islam. Sebagai Susuhunan, ia lalu menjadi orang suci di Jawa Barat, serta
menjadi moyang bagi dinasti kerajaan Cirebon, dan di situlah ia dapat
memerintah karena ia cucu Prabu Siliwangi.
Tokoh kedua dalam CPCN diberi nama Fadhillah Khan,
lahir pada tahun 1490 Masehi di Pasai sebagai anak Maulana Makhdar Ibrahim dari
Gujarat. Fadhillah dari Pasai kemudian bekerja sebagai kepala pasukan, ia bertempur
melawan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa, telah diterima sebagai menantu
Susuhunan Jati, dan akhirnya dimakamkan di samping ayah mertuanya di makam
keramat Gunung Jati---tepatnya di bukit Gunung Sembung.
Selain itu, CPCN juga menguraikan asal-usul SGJ
yang lebih masuk akal---tidak dihubungkan dengan tokoh-tokoh pewayangan dan
silsilah para nabi sejak Nabi Adam As. CPCN menguraikan silsilah SGJ dari garis
ayah dimulai dari Rasul Muhammad, kemudian Sayid Ali yang beristrikan Siti
Fatimah, Sayid Husen, Jenal Abidin, Muhammad Bakir, Jafar Sadik dari Parsi,
Kasim al-Malik, Idris, Al-Bakir, Ahmad, Baidillah, Muhammad, Alwi dari Mesir.
Abdulmalik, Amir, Jamaludin dari Kamboja, Ali Nurul Alim beristri puteri Mesir,
Syarif Abdullah yang berputra Syarif Hidayatullah.
Berdasarkan uraian Pangeran Arya Cirebon, Syarif
Hidayat adalah keturunan yang ke-18 dihitung dari Rasul Muhammad---dari abad ke
tujuh sampai dengan abad ke-15, selama kurang lebih delapan abad melalui 18
generasi, yang meskipun agak masuk akal, namun sulit untuk diadakan penelitian
lebih lanjut karena bahan-bahan untuk menyelidiki hal demikian lebih didasarkan
atas kepercayaan yang secara turun temurun diceritakan secara lisan (lihat
Atja, 1986:39-40).
Lebih jelas lagi Ayatrohaedi (1985:92) mengemukakan
bahwa sebagai salah seorang wali penyebar agama Islam di Cirebon, Syarif
Hidayat lebih dikenal dengan nama Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati karena
setelah meninggal pada tahun 1568 ia dimakamkan di sana. Usaha penyebaran Islam
ke daerah Jawa Barat pada umumnya dilakukan dengan jalan damai. Berbagai sumber
babad mengisahkan bahwa raja-raja kecil yang masih memeluk agama Hindu-Budha di
pedalaman umumnya memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memilih agama,
sedangkan raja-raja itu sendiri tetap menolak masuk Islam.
Di dalam usaha mengislamkan tanah Sunda, Syarif
Hidayat pada tahun 1526 mengirim Fadhillah Khan atau Faletehan merebut Banten,
dan tahun berikutnya merebut Sunda Kalapa. Sementara itu, Syarif Hidayat
sendiri pada tahun 1528 menyerahkan kekuasaan politik di Cirebon kepada
anaknya, Pangeran Pasarean, dan ia memutuskan untuk berkeliling Tatar Sunda
menyebarkan agama Islam.
Tidak hanya para ahli sejarah dan peneliti, para
penulis cerita tentang Walisanga seperti Asnan Wahyudi (tt:126), A. R.
Kafanjani (tt:39), Rahimsah (tt:134) dengan sangat yakin membedakan Sunan
Gunung Jati dengan Fatahillah. Ketiganya merisaukan ragam pendapat antara Sunan
Gunung Jati dengan Fatahillah atau Faletehan yang seringkali terjadi kekacauan.
Orang menyangka Sunan Gunung Jati adalah Faletehan atau Fatahillah. Sebenarnya,
Sunan Gunung Jati dan Fatahillah adalah dua orang yang berbeda, yang satu telah
lama bermukim di Cirebon, satunya lagi adalah pejuang Demak yang berasal dari
negeri Pasai atau Malaka. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung
Jati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan
Trenggana untuk membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan penjajah Portugis.
Sumber lain di luar naskah-naskah tradisi Banten
dan Cirebon yang memberi jalan tentang asal-usul Syarif Hidayatullah adalah
uraian dari Al Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, mantan Mufti Kerajaan Johor
Malaysia, pada tahun 1957 ia mengemukakan bahwa keberhasilan dalam penyiaran
agama Islam dilakukan oleh orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan
mereka, agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lain-lainnya.
Hal ini disebabkan bahwa mereka itu adalah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Walaupun ada juga suku-suku Arab Hadramaut lainnya yang menyebarkan agama
Islam, tetapi mereka ini tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Keterangan Al-Haddad sangat menarik karena
mengungkapkan bahwa keberhasilan penyebaran agama Islam di Nusantara dilakukan
oleh orang-orang Sayyid Syarif, yakni orang-orang keturunan Nabi Muhammad.
Syarif-syarif Mekah adalah keturunan Sayidina Hasan, sedangkan yang di Serawak
adalah keturunan Sayidina Husein. Syarif-syarif Mekah tidak berdagang di laut,
yang banyak bekerja atau berdagang di laut adalah yang keturunan Husein,
berasal dari Hadramaut, terutama sesudah serangan-serangan bangsa
"Ghuz" dan Khariji atas Hadramaut (Al-Haddad, 1957/1997:56).
Jika demikian, nama Syarif Hidayat---dilihat dari
nama depannya, Syarif--- termasuk salah satu nama dari kelompok ulama Arab yang
datang ke Nusantara langsung dari tanah Arab, dan bukan dari Pasai (Sumatra).
Peran SGJ
Mengenai peran SGJ, Djajadiningrat (1913/1983:81)
berdasarkan cerita yang berasal dari Baros dari kisah perjalanan Fransisco de
Sa, menguraikan seperti ini: .. Orang Mor yang merebut kota itu adalah seorang
dari keturunan rendah, namanya Faletehan---sekali-sekali Falatehan---dan dari
kelahiran Pasai di Sumatra. Ketika orang-orang Portugis merebut kota ini (yaitu
tahun 1521), ia pergi ke Mekah, dan di sana selama dua atau tiga tahun
melakukan telaah-telaah keagamaan; setelah itu ia kembali ke Pasai. Karena
melihat daerah itu tidak sesuai baginya untuk menyiarkan Islam oleh karena
adanya benteng Portugis di situ, ia pergi ke Japara dan mengaku sebagai kadi
Nabi Muhammad. Ia mengislamkan raja dan banyak orang lainnya. Bahkan ia
mendapat seorang adik raja sebagai istri. Dari sana ia berangkat dengan izin
raja ke Bantam, stad van Sunda (Banten kota Sunda) untuk melanjutkan pekerjaan
pengislamannya. Ia diterima dengan baik. Kepala pemerintahan kota masuk Islam
dan memberikan kepadanya fasilitas-fasilitas yang perlu untuk menyiarkan
agamanya lebih lanjut. Faletehan yang melihat betapa baik keadaan untuk
rencana-rencananya antara lain sifat kota itu yang membantu dan raja negeri
yang berkediaman di pedalaman yang meminta kepada iparnya, raja Japara untuk
mengirimkan istrinya dan beberapa pasukan kepadanya. Hal ini dikabulkan oleh
raja Japara dengan mengirimkan 2000 orang. Oleh karena itu ketika Fransisco de
Sa tiba di pelabuhan Sunda, maka bukan saja tidak membicarakan pembangunan
sebuah benteng, sebaliknya ia menderita beberapa kerugian karena Faletehan,
sehingga ia--- karena tidak siap untuk berperang---memutuskan untuk kembali ke
Malaka.
Berbeda dengan pernyataan Hoesein Djajadiningrat
tentang peranan Faletehan, Pangeran Arya Cirebon dalam CPCN halaman 50 baris
ke-10 sampai dengan halaman 53 baris ke enam menulis yang inti (terjemahannya)
sebagai berikut: … Pada waktu Susuhunan Jati Purba sedang berkumpul dihadap
oleh para pembesar wilayah, para wali dan para panglima Negeri Cirebon di
tengah bangsal istana Pakungwati, datanglah angkatan bersenjata Demak di bawah
pimpinan Ki Padhillah (Faletehan). Susuhunan Jati menyambut gembira kedatangan
mantunya, orang Besar Pase, yang berurat kawat tulang besi. Setelah itu
berkatalah Susuhunan Jati kepada Ki Padhillah: "Anakku, sekarang pergilah
berperang, jadilah panglima besar sekalian orang muslimin. Rebutlah negeri
Banten dan Sunda Kalapa yang ada di bawah Pakwan Pajajaran, karena anakulah
yang pertama dari sekian panglima Demak. Bukankah kita telah mendengar berita
perihal kedatangan kesatuan bersenjata Portugis di Sunda Kalapa".
Selanjutnya Susuhunan Jati berkata kepada Pangeran Cirebon dan Dipati Keling:
"Kakak dengan Dipati Keling kuutus supaya berangkat untuk berperang ke
negeri Banten dan Sunda Kalapa bersama-sama Panglima Padhillah yang menjadi
pemimpin angkatan bersenjata Demak dan Cirebon, lenyapkanlah kekuasaan Pajajaran
yang beragama Budhaparwa, dan Portugis, yang telah lama bersahabat dengan Sang
Prabu". Ki Padhillah berkata lembut: "Tentang hal itu tuanku
janganlah kuatir. Negeri Banten dan Sunda Kalapa akan kami datangi sekarang,
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh kakakku Sultan Demak, hanya
do'akanlah kami, mudah-mudahan tidak mendapat halangan, yang kami mohon agar
selamat sejahtera dalam perjalanan kami sekarang."
Ambary (1998:99-100) memperkuat pernyataan
Pangeran Arya Cirebon di atas, ia mengungkapkan: Di Pasai terdapat seorang
ulama terkemuka, Fatahillah (Faletehan), yang melarikan diri ketika dikejar
Portugis dan kemudian diterima Sultan Trenggono di Demak. Setelah berhasil
menguasai Jayakarta, saat itu sebelum Islam, kemudian Fatahillah dengan
dukungan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) membebaskan Sunda Kalapa
(1527), kemudian juga mengakui eksistensi Kesultanan Banten.
Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa SGJ bukan Fatahillah, Fadhillah Khan, Faletehan, atau Tagaril.
Untuk memperkuat kesimpulan ini CPCN halaman 76 baris ke lima sampai dengan
halaman 77 baris ke12 (lihat Atja, 1986:143) memberikan gambaran mengenai sosok
Fatahillah yang terjemahannya sebagai berikut. Ki Sarip (Syarif Hidayatullah)
jadi Sinuhun Cirebon pada tahun Belanda (Masehi) seribu empatratus tujuhpuluh
lebih sembilan (1479) , Ki Padhillah lahir pada tahun Belanda (Masehi) seribu
empat ratus sembilan puluh genap (1490) di negeri Pase, ialah anak Maolana
Makhdar Ibrahim, yang berasal dari negeri Gujarat, berdiam di Basem, Pase, dan
menjadi guru agama Islam. Maolana Makhdar Ibrahim adalah putra Maolana Abdul
Gapur atau Maolana Malik Ibrahim putra Barkat Jaenal Alim, yaitu adik Ali Nurul
Alim. Ali Nurul Alim ayah Syarif Abdullah. Syarif Abdullah bapak Syarif Hidayatullah,
jadi Ki Padhillah itu adalah keponakan Syarif Hidayatullah. Adapun adik Maolana
Malik Ibrahim dinamai Akhmad Syah Jaenal Alim, yang berputra Abdurrakhman Rumi.
Dari penjelasan Pangeran Arya Cirebon dalam CPCN
menjadi jelas bahwa sesungguhnya Fatahillah dilahirkan di Pasai tahun 1490
Masehi, sedangkan Syarif Hidayatullah dilahirkan pada tahun 1448. Ayah
Fatahillah bernama Maulana Makhdar Ibrahim yang berasal dari Gujarat India,
tinggal di Basem, Pasai Sumatra Utara. Ayahnya mempunyai garis keturunan yang
sama dengan Syarif Hidayatullah, yakni dari Nurul Alim. Selain mempunyai
keturunan yang sama dari Bani Hasyim, Fatahillah adalah menantu dari Syarif
Hidayatullah.
CPCN juga menjelaskan bahwa Fatahillah telah
tinggal di Demak sejak tahun 1524---tiga tahun sebelum penyerangan dan
pendudukan Sunda Kelapa. Di sini Fatahillah mempunyai dua orang istri, pertama
adalah Nyai Ratu Ayu, putri SGJ, janda Pangeran Sabrang Lor. Kedua adalah Nyai
Ratu Pembayun, putri Sultan Demak Raden Patah, janda Pangeran Jaya Kelana putra
SGJ. Jadi, Fatahillah adalah menantu SGJ dari perkawinannya dengan Nyai Ratu
Ayu. Setelah Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1512 dan terjadinya perang
suksesi di Demak, Fatahillah menggantikan kedudukan Pangeran Pasarean di
Cirebon yang dijabatnya hingga ia wafat pada tahun 1570.
Mendekati Sumber Terpercaya
Sumber lokal yang diusulkan oleh Ibu Nina---meski
tidak sejaman dengan masa hidup SGJ, paling tidak, tidak terlalu jauh---telah
ada yakni naskah Pustaka Nagarakretabhumi (PNK) dari kumpulan naskah Pustaka
Wangsakerta yang ditulis antara tahun 1677-1698 M yang dijadikan sumber
penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720 M.
PNK telah dialihaksarakan dari huruf Jawa ke dalam huruf Latin dan
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan Naskah Pangeran
Wangsakerta melalui Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
Pada naskah PNK yang digarap oleh Edi S. Ekadjati,
dkk (1991:130-131). Parwa 1 Sargah 3 halaman 7 baris ke-20 sampai halaman 8
baris ke-8 dikemukakan mengenai kedua orang tua SGJ yang terjemahannya sebagai
berikut: … Nay Larasantang diperistri oleh Syarif Abdullah dengan dianugerahi
gelar Nay Syarifah Mudaim. Sedangkan kakaknya (Walangsungsang) dianugerahi
gelar Haji Abdullah Iman Al-Jawi. Tiga bulan kemudian Haji Abdullah Iman
kembali ke Pulau Jawa dan adiknya tinggal di sana (Mesir). Dari pernikahan
mereka, Nay Syarifah Mudaim dengan Syarif Abdullah lahirlah seorang putra,
Syarif Hidayat namanya, pada tahun 1370 Saka (1448 M).
Selanjutnya pada halaman ke-10 baris ke-10 hingga
halaman ke-11 baris ke-23 dikemukakan mengenai perjalanan Syarif Hidayatullah
hingga tiba di tanah Jawa yang terjemahannya sebagai berikut: Pada waktu Syarif
Hidayat telah menginjak dewasa, kira-kira 20 tahun, beliau sangat taqwa dan
ingin menjadi guru agama Islam, sehingga pergilah ia ke Mekah. Di sana ia
berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri selama dua tahun. Kemudian berguru pada
Syekh Ataullahi Sajjili yang menganut Imam Safi’i, (dan) setelah dua tahun
kemudian ia pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru Tasawuf Rasul dan menetap di
pondok saudara ayahnya, selanjutnya kembalilah ia ke negeri Mesir. … Kemudian,
Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Di perjalanan ia singgah di Gujarat.
Tinggal di situ selama tiga bulan, selanjutnya ke negeri Paseh (Pasei). Di
sini, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya, yaitu Sayid Ishak (yang)
menjadi guru agama Islam di negeri Paseh di Sumatra. Di Negeri Paseh menetap
dua tahun lamanya. Kemudian ke Pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Di sini
banyak penduduk (telah) memeluk agama Rasul (Islam), hasil didikan Sayid
Rakhmat dari Ngampel Ghading, yang digelari Susuhunan Ampel, juga salah seorang
saudaranya.
Pada naskah PNK Parwa 1 Sargah 4 yang digarap oleh
Titi Nurti Nastiti dan Edi S. Ekadjati (1993) dengan tegas menyebutkan
perbedaan antara SGJ dengan Fatahillah yang terjemahannya sebagai berikut:…..
Selanjutnya ditulis oleh hamba pada sarga pertama Pustaka Nagarakretabhumi
yaitu: Susuhunan Jati Carbon yaitu Syekh Molana Syarip Hidayatullah Meninggal
pada tanggal duabelas parogelap Bulan Bhadra tahun Seribu Empat Ratus Sembilan
Puluh Saka (1568 Masehi), lalu dimakamkan di puncak Gunung Nur Ciptarengga.
Setelah itu menantunya, yaitu Molana Padhillah Khan Al-Gujarat, lamanya menjadi
raja pendeta yang tinggal di Carbon ialah dua tahun. Jika mengikuti tulisan
itu, dua tahun kemudian wafatlah menantunya yaitu Padhillah Khan pada
Paroterang bulan Marga Sira, tahun Seribu Empat Ratus Sembilan Puluh Dua Saka
(1570 Masehi). Dua tahun lamanya beliau mewakili Sinuhun menjadi pendeta agama
Rasul di daratan bumi Sunda,
Meski demikian, keabsahan informasi juga tidak
hanya sebatas pada sumber naskah yang mendekati zamannya,
peninggalan-peninggalan kepurbakalaan dari jaman awal berdirinya kerajaan
Cirebon seperti istana Dalem Agung Pakungwati, makam SGJ, dan barang-barang
peninggalannya, merupakan bahan yang dapat memperkuat atau bahkan mematahkan
berbagai pendapat terhadap tokoh SGJ.
Di luar keraton, misalnya, makam Sunan Gunung Jati
di kompleks Astana Gunung Sembung merupakan situs yang membuktikan bahwa tokoh
SGJ benar-benar ada, pernah hidup, dan bukan tokoh fiktif---meski riwayat
hidupnya dalam naskah-naskah tradisi Cirebon penuh dengan cerita legenda. Makam
ini terletak di desa Astana kurang lebih lima kilometer dari alun-alun kota
Cirebon. Di sini ada dua bukit yang mengapit jalan raya Cirebon ke arah
Indramayu. Di sebelah kanan (jika berjalan menuju utara) ialah bukit tempat
Syekh Datuk Kahfi dimakamkan yang disebut Gunung Jati, sedangkan bukit sebelah
kiri yang disebut Gunung Sembung adalah tempat dimakamkannya SGJ beserta
keturunannya. Setiap hari, peziarah ke makam ini selalu ada dengan beragam
tujuan; ada yang menghormatinya, mendoakannya, sekedar wisata, atau berharap
barakah (ngalap berkah). Susunan makam ini terbagi ke dalam sembilan cungkup.
Cungkup paling atas adalah cungkup makam SGJ yang disebut gedong (jinem) Sunan
Syarif dimana terdapat 18 makam yang susunan dan penempatannya dijelaskan dalam
CPCN halaman 85 baris keempat hingga halaman 90 baris ke11 yang
terjemahannya---tidak semuanya dikutip---sebagai berikut:… Ketahuilah bahwa
makam yang ada di puncak Gunung Sembung, yang ada di dalam gedong, ialah di
antaranya masing-masing, Nyai Gedeng Tepasan atau Nyai Tepasari ialah istri
Susuhunan Jati Purba, yang berputra Ratu Ayu dan adiknya, Pangeran Pasarean,
yang letaknya sebelah timur makam Nyai Mas Tepasari ialah Susuhunan Jati Purba,
yang letaknya di sebelah timurnya lagi ialah orang besar Pase ialah Ratu Bagus
Pase, menantu Susuhunan Jati. Ratu Bagus Pase, panjang namanya, ialah Molana
Mak(h)dar Ibrahim al-Gijarat, ia menjadi Panglima Bintoro, meninggal pada tahun
Belanda (Masehi) seribu limaratus tujuh puluh genap (1570). Di sebelah timur Ki
Fadhillah (adalah) Syarifah Mudaim, makam ibu Susuhunan Cirebon… dan
seterusnya.
Informasi di atas menunjukkan bahwa susunan makam
di Astana Gunung Sembung telah ada sebelum tahun 1720 Masehi ketika naskah itu
ditulis, kemungkinan besar telah diatur susunannya sejak tahun 1568 Masehi,
ketika SGJ dimakamkan. Keberadaan makam SGJ yang berdampingan dengan makam
Fatahillah yang disebut dalam CPCN diduga kuat bahwa SGJ dengan Fatahillah
adalah dua orang yang berbeda. Dan saya telah membuktikan mengunjungi langsung
kedua makam tersebut.
Penutup
Dari asal-usul, peran, dan aktivitas SGJ, Atja
(1973:19-20, 1986:69-70) telah sampai kepada kesimpulan bahwa: Pertama, Sunan
Gunung Jati atau Susuhunan Jati, Sunan Carbon menurut tradisi dan babad atau
sejarah yang ditulis lebih muda dari karya Pangeran Arya Cirebon, adalah Syarif
Hidayatullah pada masa mudanya. Menurut semua babad dan tradisi yang lain,
ibunya bernama Nyai Rarasantang alias Syarifah Mudaim yang menikah dengan
Syarif Abdullah, raja Mesir. Syarif Hidayatullah lahir di Mekah pada tahun 1448
M. dan wafat di Cirebon pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun, dimakamkan di
Pasir Jati, bagian teratas dari Wukir Saptarengga, kompleks makam Gunung
Sembung lima kilometer dari kota Cirebon sekarang.
Kedua, Falatehan, Faletehan, menurut pemberitaan
J. Barros dalam bukunya Da Asia, Tagaril, menurut F. Mendez Pinto dalam bukunya
Perigrinacoes, dan Fadhoel'allah menurut J. Hageman adalah Fadhillah Khan (Ki
Padhillah) menurut Pangeran Arya Cirebon, dilahirkan di Pasai (Paseh) yang
menurut tradisi pada tahun 1490, putra Maulana Makhdar Ibrahim dari Gujarat.
Fadhillah Khan wafat pada tahun 1570 di Cirebon, dimakamkan di samping Sunan
Gunung Jati sebelah timurnya.
Ketiga, Falatehan, Faletehan, Fatahillah, atau
Fadhillah Khan dengan Sunan Gunung Jati atau Susuhunan Jati, Kangjeng Sinuhun,
atau Sunan Jati Purba bukanlah tokoh yang identik, melainkan dua orang tokoh
yang berbeda, namun kegiatannya saling berjalin, terutama sebagai ulama
penyebar agama Islam dan berhubungan keluarga. Sunan Gunung Jati adalah mertua
Fatahillah atau Fadhillah Khan atau Falatehan, karena menikah dengan Ratu Ayu,
jandanya Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak yang kedua yang wafat pada tahun
1521, dalam pertempuran laut ketika mengusir armada Portugis dari Malaka.
Kesimpulan Atja di atas didukung oleh para
sejarahwan asal Jawa Barat, seperti Edi S. Ekadjati, Ayatrohaedi, dan Hassan
Muarif Ambary yang menyajikan makalah mereka masing-masing dalam Seminar
Nasional tentang Sunan Gunung Jati di Cirebon tanggal 23 April 2001. Belakangan
saya mendukung pendapat ini.
Dengan demikian, identitas SGJ---meski melalui
perbedaan pendapat tentang asal-usulnya yang cukup lama---berdasarkan informasi
dari naskah-naskah lama dan sumber informasi historis serta peninggalan
kepurbakalaan menunjukkan sosok yang berbeda dengan Fatahillah. Usul Ibu Nina,
agar lebih meyakinkan, harus ada fakta keras untuk tidak menggunakan prinsip
argumentum ex silentio, yakni dalam ketiadaan sumber yang lebih bisa dipercaya,
maka interpretasi ini bisa saja untuk sementara diterima, meskipun tingkat
pengujiannya tidak cukup kuat untuk bisa menghasilkan fakta keras atau fakta
yang tak terbantahkan.
Sesungguhnya, jika meragukan informasi dari
naskah-naskah lama, maka fakta keras yang diharapkan Ibu Nina telah ada. Bukti
faktual dari makam SGJ di Gunung Sembung---meski Ibu Nina masih meragukan makam
ini karena tidak ada tulisan apapun pada nisannya, padahal makam Nabi Muhammad
pun tidak ada tulisan apapun namun tetap diyakini sebagai makamnya---dan
informasi dari naskah-naskah yang berasal dari Cirebon tidak ada satupun naskah
yang menyebut bahwa SGJ adalah tokoh yang identik dengan Fatahillah, kesemuanya
menunjukkan bahwa SGJ berbeda dengan Fatahillah, meskipun dalam tradisi
Banten---berdasarkan penafsiran Hoesein Djajadiningrat---adalah dua tokoh yang
sama. “Fakta keras” yang paling penting adalah pengakuan Sultan Kasepuhan
Pangeran Raja Adipati Dr. (Hc) Maulana Pakuningrat, SH., yang menyebut bahwa
dirinya adalah keturunan ke-18 langsung dari SGJ. Demikian pula dari empat
keraton di Cirebon yang keturunannya diturunkan dari SGJ, yakni keraton
Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan tidak ada satupun kerabat
keraton yang mengaku keturunan dari Fatahillah.
Wallahu’alam.
Babad Sagalaherang
Alhamdulilah ku muji syukur ka Ilahi Rabbi, sim
abdi bade nyobian muka Babad Sagalaherang. Ka kasepuhan nu aya di Sagalaherang,
abdi nyuhunkeun dihapunteun bilih dina bahasan aya nu teu merenah, atuh ka para
anggota milis ieu kritik sareng saran diantos pisan kumargi panulisan babad ieu
teu terstruktrur. Anapon sumber panulisan sajarah ieu dicandak tina buku
Sajarah Cikundul ti Yayasan Cikundul Cianjur sareng katerangan para sesepuh di
Sagalaherang sareng Cikundul, Cianjur.
Sagalaherang the mangrupi hiji daerah nu aya di
kabupaten Subang, rada benten sareng wilayah sanesna di Subang, Sagalaherang
the ayana di pagunungan janten hawana rada tiis. Dina jaman pamarentahan
Padjajaran nu rajana nyaeta Prabu Siliwangi Maharaja Pasundan, kantos ngadamel
jalan antawis Rangkas (Banten) dugi ka Kawali (Ciamis), ananging rutena the
kieu Rangkas
(lebak)-Jasinga-Bogor(Pakuan)-Cileungsi-Karawang-Purwakarta-Sagalaherang-Sumedang-Majalengka-Ciamis.
Janten saleresna nami sagalaherang tos aya nalika jaman Prabu Siliwangi
(nanging panginten namina sanes sagalaherang). Kapungkur di daerah ieu janten
daerah penyebaran agama Islam kanggo daerah Pantura sareng priangan tengah dugi
ka kulon.
Asal Kecap Sagalaherang
Ceuk sawareh Sagalaherang the asalna nalika putra
Dalem Aria Wangsa Goparana nyaeta Rd Jayasasana (Dalem Aria wiratanudatar/Cikundul)
dibabarkeun, harita saking ku bingah-bingahna wargi di daerah eta ngahurungkeun
obor dimana-mana janten jadi cararaang malihan tempat nu buni oge sapertos
leuweung janten caang (herang) kukituna janten Sagalaherang (caang,herang dimana-mana).
Pendapat nu sanes nalika Dalem Aria Wangsa
Goparana nuju ngumbara mendakan hiji tempat nu sagala rupina the endah, bersih,
malihan di eta tempat aya hiji sagara nu caina herang pisan, teras kanjeng
dalem the abdas di eta tempat lajeng netepan. Sarengsena tempat eta disebat
SagaraHerang, kumargi aya perobihan vokal Sagara digentos janten Sagala dugi ka
ayeuna.
Pendiri Sagalaherang
Dalem Aria Wangsa Goparana the nu pertama ngabuka
wewengkon Sagalaherang basa taun 1525 M. Anjeuna the salah sahiji waliuloh nu
nyebarkeun agami Islam di daerah Pantura, Cianjur, Sukabumi, anapon makam
kanjeng dalem ayana di Nangka Beurit, Sagalaherang, nepi kiwari makamna seuer
dijarahan ku jalmi ti mana mendi. Keur baeula di wewengkon ieu seuer tangkal
nangka nu buahna manrupi beurit, nya antukana dugi ka ayeuna disebut namgka
beurit.Ari kawitna ti karajaan Talaga (majalengka) nu ngumbara ka kulon dugi ka
Sagalaherang. Ari alesan kanjeng dalem ningalkeun (ngumbara) karajaan Talaga
ceuk sakaol aya 2 :
Harita kanjeng Dalem tos nganggem Islam di
karajaan Talaga sementawis rama-ibuna masih keneh Budha (Hindu ?). Basa
ibu-ramana terang yen anjeuna tos ngagem Islam kanjeng dalem diusir ku sepuhna
kajabi upami anjeuna balik ka agami lami, tapi kanjeng dalem milih ngejat ti karajaan
da iman, islamna tos kiat pisan. Kanjeng Dalem sanawos anom keneh nagging tos
seueur pengikut ku kituna dina ngejatna ti karajaan anjeuna diiringan ku
sababaraha ponggawa sareng pajabat kerajaan nu sanesna.
Ceuk pendapat kadua kanjeng dalem kaluar ti
karajaan Talaga kumargi memang anjeuna kenging tugas ti guruna kanggo
nyebarkeun agami Islam sementawis sepuhna saleresna mah tos Islam hal ieu tiasa
dibuktoskeun ku ayana makam sepuhna di talaga nu tos Islam (di kampung Kagok).
Dina babad Cirebon disebatjeun nuju pasukan Cirebon ngayakeun hajat, raramean
dugi ka wates karajaan Talaga, sementawis dina rombongan payun the pasukan
Demak (urang jawa), harita ditaros make basa Sunda eta pasukan Demak atuh aya
salah tarima nu antukna jadi perang rongkah. Paristiwa ieu the kadangu ku putra
mahkota Talaga nyaeta Rd Aria Kikis (Dipati Wanaperi) lajeng anjeuna ngamuk
bari mawa pusaka Cutak Rarang, atuh gabungan pasukan Cirebon+Demak the kadeseh
mundur. Sunan Gunung Jati ti pihak Cirebon maju mayunan Rd Aria Kikis, barang
jol Sunan Gunung Jati, Rd Aria Kikis masihan hormat ka anjeuna kumargi sanawis
anjeuna waliuloh oge sunan gunung jati the incu ti Prabu Siliwangi nu masih aya
kaitan darah sareng Rd Aria Kikis. Saleresna samemeh kajadian harita Talaga the
tos Islam mung karajaan ieu the terlepas ti Cirebon, tah ti saprak kajantenan
harita Talaga ngagabung jeung Cirebon malihan pusaka Cutak Rarang dipasihkeun
ka Sunan Gunung Jati. Rd Aria Kikis (Dipati Wanaperi, Sunan Ciburang) the
ramana Dalem Aria Wangsa Goparana.
Aria Wangsa Goparana the ngandung hartos nyaeta
Aria->mangrupi hiji pangkat sami sareng Senapati (saleresna anjeuna the
memang salah saurang senapati karajaan), Wangsa -> katurunan, Goparana
(pamanggul senjata), janten hartosna Senapati nu turunan ti Pamanggul Senjata
(menak, satria). Dihandap ieu disebat salsilah katurunan Dalem Aria Wangsa
Goparana (walahu alam):
Nabi Adam
Nabi Sis
Anwar atanapi Sanghiang Nur Cahya
Sanghiang Nur Rasa
Sanghiang Wenang
Sanghiang Tunggal
Sanghiang Batara Guru
Sanghiang Batara Wisnu
Bagawan Sakri
Bagawan Palasara
Bagawan Abiyasa
Prabu Pandudewanata
Arjuna
Abimanyu
Parikesit
Udrayana
Gandra yana
Pancadrya
Paryamon
Suma wicitra
Prabu Sang Jaya Miruda
Prabu Sang Jaya Mijaya
Prabu Sang Patra Wijaya
Prabu Sri maha Punggung
Prabu Kandi Yawan
Prabu Kuripan
Maharaja Dewa Kusumah
Prabu panji mara bangun
prabu Panji Kuda Lalean
Prabu Munding Sari
Prabu Munding Wangi
Prabu Ciung Wanara
Guru Minda
Prabu Lingga Hiang
Prabu Lingga Wastu
prabu Lingga Wesi
prabu Cakra Wati
Prabu Angga larang
Prabu Siliwangi
Prabu Munding Sari Ageung
Prabu Munding Sari Leutik
Prabu Pucuk Umun
Sunan Parung Gangsa,Dipati Wanaperih,Sunan
Ciburang
Dalem Aria Wangsa Goparana
Nuju pertama ngabukbak wewengkon Sagalaherang,
Dalem Aria Wangsa Goparana ngajantenkeun daerah pendidikan (penyebaran) agami
Islam. Masjid nu pertama diwangun nyaeta Masjid di Cikarutug, buktos
Sagalaherang daerah pendidikan (penyebaran) agami Islam nyaeta ku seueurna
titinggal mangrupi makam-makam kuno tokoh Islam, diantawisna di Dayeh Kolot,
Cinengah, Malilin, Wanayasa (Purwakarta), Nangkabeurit, jrrd. Dugi ayeuna
makam-makam eta sok dijarahan ku jalmi timana-mana, nanging nu biasa dijarahan
mah nu di Nangka Beurit kumargi anjeuna salaku pamingpin di jamanna. Lami-lami
Sagalaherang ieu janten rame kadongkapan ku jalmi (santri) nu bade diajar Islam
ka Kanjeng Dalem, kumargi kitu perlu diadegkeun diadegkeun pamarentahan keur
ngatur sakabeh rahayat. Cinengah dijantenkeun pusat pamarentahan, Dalem Aria
Wangsa Goparana janten pamingpin pamarentahan jeung agami (tokoh sprituil).
Dalem Aria Wangsa Goparana sanajan turunan raja,
tapi anjeuna teu ambisi ngadamel karajaan atanapi nu sajinisna (penguasa),
kumargi anjeuna langkung katarik dina widang agami.
Dalem Aria Wangsa Goparana
Tos dicarioskeun yen Dalem Aria Wangsa Goparana
the kawitna ti Talaga, anjeuna nuju angkat ti Talaga disarengan ku saderekna nu
namina Panembahan Girilaya, kalayan heunteu kapameng janten ulama ageing leket
ibadah sareng tapa kuru cileuh kentel peujit sadidinten malih kagungan
pasantren ageing. Patilasan eta pasantren ayana di Talutug, Sagalaherang.
Numutkeun carios samemeh ka Sagalaherang, anjeuna kantos calik di gunung
gedogan sareng gunung layung heula.
Aria Wangsa Goparana the panjang yuswana, naming
heunte aya katerangan anu pasti sabaraha taunna mah. Sakadar kanggo bahan
nginten-nginten tiasa dicandak salsawios taun nu pasti sapertos taun lebetna
Islam ka Talaga taun 1529 (tiasa oge sateuacanna ?).
Aria Wangsa Goparana pupus nalika awal-awal abad
ka 17, dipendem di kampung nangka beurit, Sagalaherang.
Kanjeng Dalem Aria Wangsa Goparana ngagaduhan
putra 8 :
Jayasasana (Dalem Aria Wiratanudatar, Cikundul,
Cianjur)
Wiradiwangsa
Candramenggala
Santaan Kumbang
Yudanagara
Nawing Candradirana
Santaan Yudanagara
Nyi Murti
Saparantos Aria Wangsa Gopara pupus,Sagalaherang
masih ngagaduhan lalakon malah rakyatna ngiring ngabaud. Dina taun 1579 sabada
Padjajaran runtuh, aya bupati ageung muncul jenenganana Pangeran Geusan Ulun,
wewengkona disebat Sumedang larang. Geusan Ulun ngangken yen sabagian ageung
tilas Padjajaran the kalebet bawahan Sumedang Larang diantawisna Sagalaherang.
Namung para bupati aralit sabada padjajaran runtag
the tos ngaraos bebas sareng mandiri, rinkesna heunteu kabawah ku Sumedang
Larang. Kawuwuh anu ngarubuhkeun padjajaran the Banten, numutkeun kabiasaan
waktos harita tilas wewengkon Padjajaran the kedah janten wewengkon Banten.
Kumargi kitu kapaksa Geusan Ulun ngerahkeun wadyabalad kanggo naklukeun para
bupati aralit nu ngaraos parantos mandiri, nanging nu dipayunkeun dirugrug the
wewengkon basisir kaler sapertos Karawang, Ciasem, Pamanukan, sjb, sanawis di
eta daerah tos aya wadya balad Banten.
Diantawis putra Dalem Aria Wangsa Goparana, Rd
Jayasasana (Rd Aria Witanu/Cikundul) nu paling kawentar, kumargi anjeuna
sanawis salah saurang waliyuolah oge janten pendiri Cianjur. Ananaging dina
masalah tingkat kaimanan sareang kaelmuan mah teu aya nu uninga, panginten aya
oge putera ti Dalem Aria Wangsa Goparana nu luhung ku elmu jembar ku pangawasa
ngan teu kasohor (?).
Ciri khusus Dalem Cikundul.
Ceuk sakaol nalika anjeuna diwedalkeun, kawitna
diuningaan ku salah saurang Aki jeung Nini nu ahli kana agami sunda sanghyang
ti nagari Talun (ayeuna kalebet desa Ponggang, Sagalaherang, Subang). Yen jari
panangan curuk sareng tengahna di kadua pananganna ageung sreng panjangna sami.
Saur eta Aki-Nini hal ieu mangrupi tanda yen “ahir baring supagi” nu hartosna
dina poe engke bakal lahir saurang raja di tatar sunda, pertanda ti Pangeran
Panji Kusumah.
Pangeran Jayalalana ti burey umur 3 tahun boga
karesep naek ka hiji bukit nu ngarah ka kiblat sareng tapakur di luhurna. Jalmi
harita uninga yen Sang Pangeran Burey kagungan indera luar biasa seketna,
terutami kana titingalian, sowanten, sareng pangrasa, sareng guang suara nu
beurat (sanawis ngaharewos tiasa didangu).
Sababaraha mimggu sateuacan kalahiran Rd
Jayalalana di langit Tenggara (duka sundana ?) aya bentang kemukus warna koneng
kaemasan sareng buntut nu nunjuk ka arah kiblat. Saterasna Rd Jayalelana lahir
sinareng heunteu diuninga bentang kamukus eta leungit tina titingalian
Tiga Keraton
Cirebon, Sebuah Porselen Retak
Libur Lebaran lumayan panjang. Tak ingin
menyia-nyiakan waktu selama itu untuk berdiam diri di rumah, kami pun
merencanakan perjalanan ke salah satu kota di pulau Jawa. Cirebon, itu pilihan
kami. Kota ini menjadi kota transit bagi para pemudik yang ingin bersilaturahmi
ke kampung halaman di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, bukan itu
alasan kami memilih kota ini sebagai tujuan perjalanan. Kota yang terletak di
jalur pantai utara ini menyimpan banyak objek wisata, terutama karena peninggalan-peninggalan
fisik sejarah masa lalu.
Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon,
Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada
juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang
berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai
Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti
air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon—atau kalau
mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil).
Ini bisa dilihat dari oleh-oleh khas kota ini yang kebanyakan berasal dari
olahan udang.
Pengalaman perjalanan tim ”SH”—yang terdiri dari
Bayu Dwi Mardana, Desman, Ida Rosdalina, Job Palar—ke kota rebon ini terangkum
dalam tiga halaman berikut.
CIREBON — Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat
mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu saja mentok karena
tentangan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di
Keraton Kanoman pada tahun 1803.
Di saat yang sama di negeri Belanda nun jauh di
seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda diduduki Prancis
dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota
pelabuhan penting bernama Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan
basis kekuasaannya sendiri.
Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels
sebagai penguasa baru utusan Prancis tidak mengganti seluruh pejabat Belanda di
negeri ini.
Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman
wafat, Belanda mulai melancarkan siasat busuk yang selalu saja mengena
diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera.
Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra
mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai ”penguasa sesungguhnya” tentu
saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah
melantik putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan
Anom V.
Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat
jelas lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan mereka yang sah.
Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari
lingkungan Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak.
Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain
Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun menangkapnya dan membawa
sang pangeran ke Batavia. Batavia dekat dengan Banten, Banten adalah sekutu
”sedarah” dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini
terjadi di Batavia. Keadaan makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada
Sultan ”boneka” buatan Belanda alias Sultan Anom V.
Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jika
pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa, maka rakyat akan
merasa kehilangan target untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun.
Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak
terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan menghadapi perlawanan
”para pemberontak”.
Deandels tentu kesal dengan kebijakan ”para anak
buahnya” ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja Kanoman harus dibawa kembali
ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1 Januari
1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.
Sementara di Cirebon sendiri, keraton baru
disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat Pangeran Anom bertahta. Pada
13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon
Kacirebonan. Rakyat pun mengelu-elukan Sultan baru ini. Cirebon pun akhirnya
resmi memiliki tiga keraton, Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang
ikhlas. Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Kasultanan Kacirebonan.
Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan baru ini
sehingga kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan
politik sang Sultan, termasuk Sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus.
Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.
Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan
Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi perjuangan yang dilakukan
rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon adalah ia tidak mau menerima gaji
dari pemerintah Hindia Belanda sampai akhir hayatnya.
Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka.
Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus tahta. Statusnya
diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan
yang lain, Kasepuhan dan Kanoman.
Suram
Gengsi yang hilang ini pun berbekas sampai saat
ini. Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali
Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi
sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak
terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa,
tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas.
Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur
keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai
tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung
macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya
Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah
piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua
keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran
hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara.
Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak
terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris
tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas
fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan
banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah
”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang
terakhir.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok
tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk
wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih
terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi
malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.
Kasepuhan
Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan
barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak
tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan
adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam.
Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529
sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun
oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati
terletak di belakang Keraton Kasepuhan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam
kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun
1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang
dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh
dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech
Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung
Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.
Kanoman
Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari
Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya
kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa
darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang
Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk
menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga
Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran
Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai,
mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di
Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui
sebagai penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya
berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan
oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667.
Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten,
kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui
Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran
Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran
itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat
masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang
berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang
berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi
Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara
formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta
Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang
begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat
yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.
Keramik Cina
Alkisah, seorang raja Cina mengundang Sunan Gunung
Jati alias Syech Syarief Hidayatullah datang untuk menguji kesaktian san sunan.
Oleh raja, Sunan diminta untuk menebak apakah anaknya Tan Hong Tien Nio yang
populer dengan sebutan Putri Ong Tien hamil atau tidak. Sunan menebak sang
putri hamil, padahal perut sang putir sengaja diisi tempat beras agar kelihatan
hamil.
Sunan Gunung Jati ditertawakan oleh para pembesar
raja. Namun, ternyata sang putri benar-benar hamil.
Untuk menghindari malu, Putri Ong Tien pun
dikawinkan oleh raja dengan Sunan Gunung Jati. Rombongan besar pengantin datang
dari Cina ke Cirebon dengan membawa keramik, porselen, piring, dan
barang-barang khas Cina lainnya.
Kisah ini tak jelas kebenarannya. Yang jelas,
kisah ini menuturkan persentuhan budaya antara Islam dan Cina. Makam Putri Ong
Tien pun bisa dijumpai di sisi makam Sunan Gunung Jati.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga
keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat
pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal Cina.
Sekali lagi sayang, tangan-tangan jahil mencopoti
porselen-porselen yang menghiasi dinding-dinding di setiap bangunan bersejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar