Minggu, 19 Juni 2016

Babad Sunda

SUNAN GUNUNG JATI        


















 








 




















PENGANTAR




                             Babad Sunda

Kisah Babad Tanah Jawa telah banyak sering kita dengar, sekarang Paranormal Indonesia Akan menampilkan Babad Tanah Sunda, yang disarikan dan diterjemahkan langsung dari Huruf Arab Gundul dari sakriannya. Tulisan ini akan dibuat bersambung. Ceritanya sangat menarik sekali. Ikutilah....

Negara Pajajaran. Pertama-tama diceritakan perihal perjalanan hidup Pangeran Walangsungsang, hingga datang kepada ceriatan Yang Sinuhun Susuhunan cirebon. Adapun yang dibuka oleh cerita ini adalah menceritakan suatu praja di pajajaran Ratu Agung di Tanah Sunda yang bernama Sri Sang Ratu Dewata Wisesa, mashur disebut Sri Mahaprabu Siliwangi. Beristri tiga orang, ialah Ambetkasih. Aci Bedaya dan permaisuri Ratu Subanglarang. Sang Prabu berputra empat puluh orang. Sang Prabu bersabda. "Hai anakku Walangsungsang, aku lihat engkau bermurah durja, semuanya prihatin tidak sama dengan sesama yang berkumpul duduk. Apa yang jadi kesedihan engkau , bekankah engkau calon Prabu Anom memangku negara? Atau putri yang engkau inginkan, beritahu saja mana yang engkau sukai, jangan engkau bersedih hati, tidak baik bagi pribawa semuanya kraton." Sang putra menjawab dengan kidmat sambil menundukkan kepala dan mengeluarkan air mata," Duhai Gusti,murka dalem yang hamba mohon, karena tadi malam hamba mimpi bertemu wejangan agama Islam sarengat Jeng Nabi Muhammad yang jadi Utusan Yang Widi,namun menyesal sekali belum tuntas hamba sudah terjaga. Sekarang hamba rindu sekali kepada agama Islam itu." Sang prabu berkata sambil tersenyum." Walangsungsang, engkau orang muda jangan terlanjur, engkau kena sihir, kena bius Muhammad yang mengaku anutan, yang jadi duatnya Widi,sungguh dusta seenak nafsunya, karena sesungguhnya anutan itu adalah Yuang Brahma Yuang Wisnu itu sesungguhnya agama Dewa yang Mulia.Yang Jagat Nata Pangerannya orang setri loka.Sejak dahulu hingga sekarang para leluhur tidak menghendaki dirubah." Walangsungsang menjawab sambil menyembah," Duhai Gusti mohon ampun Dalem, pengerian, kebijaksanaan dan pemaafan Dalem yang hamba mohonkan,karena hamba lebih condong/suka sarengat Jeng Nabi Muhammad dan sesungguhnya Ilahi yang wajib disembah itu melainkan Allah yang tiada sekutu sesama yang baharu (makhluk)." Sang Prabu murka,karena sang putra tidak patuh, bertentangan dengan agamanya. Sang putra dimarahi diusir keluar dari praja Pejajaran. Walangsungsang menjadi suka hati, segera pamit, menghindar dari hadapan Sang Prabu, keluar sudah dari Istana, terus berjalan masuk hutan keluar hutan naik gunung turun gunung menuju kearah timur Ratu Mas Rarasantang sedang rindu kepada kakaknya, ialah Walangsungsang, menangis siang malam selama empat hari akhirnya Rarasantang mimpi bertemu dengan seorang lelaki pula yang berupa satria lagi berbau harum memberi pelajaran agama Islam, menyuruh berguru sarengat Jeng Nabi Muhammad dan diramal kelak suami Ratu Islam dan akan mempunyai anak lelaki yang punjul.Rarasantang segera terbangun,ingat kepada impiannya lalu keluar dari keraton,menyusul kakaknya,Walangsungsang,terus berjalan. Diceritakan di dalam kraton geger busekan/panik, karena sang putri menghilang melolos tanpa bekas,Jeng Ratu Subanglarang sangat olehnya menangis menyungkemi Sang Prabu karena kedua-dua putranya hilang. Sang prabu kaget sekali,segera memanggil menghadap seluruh para putra sentara, patih, bupati, para wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata, "Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putraku, Dewi Rarasantang hilang dari kraton dan Walangsungsang disuruh pulang. Sungguh jangan tidak teriring keduanya." Patih Argatala menjawab sandika. Ia segera keluar dari kraton mengumumkan kepada seluruh para wadyabala di pejajaran geger panik lalu menyebar ke berbagai penjuru. Patih Argatala mencari dengan berlaku betapa menuruti perjalanan pendeta. Dipati Siput mencarinya memasuki hutan menuruti perjalanan hewan. Para putra pada bertapa atau berlaku sebagai dukun, sebagai membangun kerajaan. Pada wadyabala bubar kemasing-masing tujuannya, mereka takut, tidak berani pulang sebelum mendapat karya.

GUNUNG MARAAPI

Diceritakan Pangeran Walangsungsang telah datang di kaki gunung Maraappi (di Rajadesa Ciamis Timur) sedang tafakur. Tak lama kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih, datang sudah di hadapannya. Sang Danuwarsih berkata, “Hai siapa engkau, putra nama dan apa yang dikehendaki?”

Walangsungsang berkata, “Walangsungsang namaku, putra dari Raja Pajajaran yang beribu Ratu Subanglarang, yang hendak berguru agama Islam.” Berkata sang Danuwarsih, “Baik sekarang turutlah dengan si Rama di puncak gunung Maraapi, niscaya bertemu dengan jodoh engkau.” Walangsungsang mematuhi. Segera turut bersama menuju kediaman Sang Danuwarsih. Datang sudah mereka berdua di puncak gunung Maraapi. Sang Danuwarsih berkata, “Hai putriku, Nini Indanganyu, sekarang lekas bikin jamuan, jodoh engkau sudah datang.” Nyi Mas Indangayu-pun menghidangkan jamuan. Ayahnya bersuka cita. Segera diitari/ditawarkan. “Hai Walangsungsang - Indangayu, sekarang aku kawinkan kamu berdua jadi satu, karena tidak lain trah (turunan) dari Galuh.” Sang putra berdua menyetujui. Segera telah kawin tetap catat (syah) perkawinannya pada tahun 1442 M. Jeng Pangeran Walangsungsang pada waktu itu berusia 23 tahun. Sementara itu diceritakan Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan berada digunung Tangkubanprahu kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin dengan menggosok kakinya yang pada bengkak, pakaiannyapun tercabik-cabik. Ia menangis sambil menyebut-nyebut nama abangnya. Tak lama kemudian datanglah Nyi Indang Sukati dihadapannya. Nyi Indang berkata, “Hai bayi, engkau siapa dan apa yang engkau cari sendirian berada disini tanpa kawan.” Sang Dewi Rarasantang menjawab, “Eyang, hamba sesungguhnya putri Pejajaran dari ibu Subanglarang, Rarasantang nama hamba, yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon pertolongan Eyang, semoga lekas bertemu.” Nyi Indang Sukati merasa kasihan, ”Duhai bayi, terimalah baju Sang Dewa Mulya, berwatak cepat-cepat berjalan seperti angin dan tidak panas di dalam api dan tidak basah di dalam air, rahayu/dijauhkan dari bahaya.” Segera sudah di pakai baju si Dewa Mulya, sang putri mengucap terima kasih dan mohon petunjuk kakaknya ada dimana. Berkata Nyi Indang Sukati, “Engkau datanglah terlebih dahulu di gunung Liwung, temuilah Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk.” Segera Sang Dewi menyembah pamit, terlaksana dengan sebentar Sang putri telah datang di gunung Liwung di hadapan Ki Ajar Sakti, menyungkemi kakinya sambil memohon petunjuk kakaknya ada dimana. Ki Ajar waspada penglihatannya, mengetahui maksud sang putri. Ia berkata, “Bayi, kakak engkau, Walangsungsang sudah punya istri, Indangayu namanya, putri sanghyang Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, baik engkau menyusul kesana dan aku memberi engkau nama Ratnaeling, kelak dipastikan mempunyai putra lelaki yang punjul sebuana.” Sang putri mengucap terima kasih. segera pamit, terus berjalan menuju puncaknya gunung Maraapi, bahkan sebentar saja sudah sampai. Syahdan Pangeran Walangsungsang yang sedang tafakur di hadapan Sang Danuwarsih. Berkata Sang Danuwarsih, “Hai putraku Walangsungsang terimalah cincin pusaka turunan dari Dipati Suryalaga sama turunan engkau.Ini wataknya cicin Ampal kalau diterawangkan tahu isinya jagat bumi tujuh langit tujuh bisa terlihat dan didalam cincin Ampal dapat memuat laut dan gunung, bisa untuk sebanyak simpanan, terkabul yang dikehendaki, namun Agama Islam si Rama tidak bisa, kelak seantara lagi engkau tahu, hanya ini terimalah aji-aji dan kememayan (melumpuhkan) pengabaran (menurut) dan Pengasihan (pekasih).” Walangsungsang mengucap terimakasih sambil menerima semua pemberian Sang Ayahanda. Sedangkan mereka berkumpul tak lama memudian datanglah Sang Dewi Rarasantang bertemu rangkul merangkul dengan kakaknya. Berkata Walangsungsang sambil menangis, “Duhai bayi adikku, sungguh bahagia engkau masih bisa bertemu dengan si kakak, apa sebabnya engkau menyusul, tidaklah engkau lebih senang di dalam kraton, dan engkau dapat petunjuk jalan dari siapa?” Sang Rarasantang berkata sambil menangis perihal perjalanannya dari awal hingga akhir.Sedangkan mereka berdua bercakap-cakap Sang Danuwarsih mendekati dan berkata, "Hai putraku, itu bayi perempuan siapa berangkulan bertangisan?” Menjawab Sang Putra, "Sunguh sadari kandung hamba seayah seibu, Rarasantang namanya.” Segera Nyi Indangayu merangkul adik iparnya.

GUNUNG KUMBANG

Setelah sebulan lamanya Sanghyang Nanggo berkata, "Walangsungsang sekarang engkau baik bergurulah lagi kepada Sanghyang Naga di gunung Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru."
Walangsungsang mematuhi perintahnya guru, segera pamit terus berjalan menuju gunung kumbang, datang sudah di hadapan Sanghyang Naga.
Berkata Sanghyang Naga, "Hai orang muda, siapa engkau, asal putra mana dan apa yang engkau kehendaki?"

Sang Walangsungsang menjawab," Hamba ingin, berguru agama Islam, Walangsungsang namanya putra Pejajaran."

Sanghyang Naga berkata, "Hai Walangsungsang, agama Islam belum ada, kelak pada akhirnya engkau yang punya, mungkin sebentar lagi, hanya si bapak bisa memberi ilmu kesaktian, aji dipa, mengetahui omongannya segala binatang, keperkawinan, menghilang dan aji titimurni (membesarkan tubuh hingga segunung anakan)."

Walangsungsang sudah menerima semua apa sih pemberian guru.

Sanghyang Naga berkata, "Dan ini pusaka tiga warna kepunyaan Juwata sekarang dapat wangsit terimalah dari sih pemberian Dewa, ialah peci waring, kalau dipakai tidak terlihat semua penglihatan, badong batok berwatak dianuti oleh sileman siluman, jin, setan pada suka sih, umbul-umbul waring, berwatak rahayu dari senjata musuh dan melemahkan musuh."

Diterima sudah, Walangsungsang mengucap terima kasih, lalu jimat yang warna tiga itu simpan di dalam cincin Ampal.

GUNUNG CANGAK

Sanghyang Naga berkata, "Engkau sekarang pergi bergurulah ke gunung cangal di situ engkau akan dapat petunjuk perihal agama Islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap."

Setelah sebulan lamanya Walangsungsang mohon pamit segera menuju ke gunung Cangak.

Diceritakan yang berada di gunung Cangak dipohon beringin besar rombongan burung-burung bangau banyak sekali berhinggap. Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak burung bangau berseliweran dan bingung mana yang jadi Ratunya. Segera ia memakai peci waring dan mengeluarkan kesaktian sebuah wadah yang berisikan ikan deleg di dalam wadah/perangkap lalu dipatuknya.

Cepat Walangsungsang menagkap leher Sang Nata Banagau sambil diancam dengan Golok cabang di atas lehernya. Sang Nata Bangau berteriak tolong-tolong minta hidup, "nanti anda akan beri pusaka warna tiga panjang, pendil, bareng/bende."

Lalu Sang Nata Bangau dilepaskan lalu ia terbang sambil berkata, "Hai manusia susulah aku di puncak gunung inin yang berada di pohon beringin."

Walangsungsang segera menyusul, Sang Nata Bangau lenyap setelah datang di pohon beringin di puncak gunung itu. Walangsungsang kebingungan. Tak lama kemudian hilanglah ujud pohon beringin itu salin rupa menjadi sebuah kraton yang indah sekali.

Walangsungsang sedang melongo keheranan melihat ada kraton, tak lama lalu ada 40 orang anak-anak bule yang menghidangkan jamuan sambil menyilahkannya duduk di sebuah permadani emas. Walangsungsang sedangnya enak duduk sambil makan minum tak lama kemudian datanglah Sang Pendeta Luhung duduk sejajar.

Walangsungsang berkata, "Hai pendeta, anda siapa yang bertemu di hadapan menjadikannya terkejutnya hatiku?"

Ki Pendeta menjawab, "Sanghyang Bangau namaku yang membangun kayuwangan di gunung Cangak,fardhu memenuhi janji memasarkan jimat pusaka yang warga tiga, ialah panjang, pendil, dan bareng/bende. Piring panjang berwatak tidak diisi lagi lalu mengisi sendiri lengkap segala-galanya, nasi kuning, lauk pauk selalabnya dan sejuk pribawanya kepada kawula warganya, cukup sandang, pangan, papan, pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa untuk memberi memberi makan dua tiga negara.Bareng/bende wataknya keluar air banjir, suaranya membingungkan musuh."

Diterima sudah jimat yang warga tiga. Walangsungsang mengucap terima kasih dan berguru kepada Pendeta sebulan lamanya.


GUNUNG JATI

Walangsungsang mohon pamit hendak meneruskan mencari agama Islam serengat Jeng Nabi Muhammad. Ki Pedenta berkata, "Hai putra, datanglah di gunung Jati Syekh Nurjati namanya, asal dari Mekah, yang sedang bertapa tidur dialah yang mempunyai agama Islam sarengat Jeng Nabi Muhammad."

Walangsungsang segera pamit menuju gunung jati, datang sudah di hadapan Syekh Nurjati. Sang istri dan Sang adik lalu dikeluarkan dari cincin Ampal disuruh sujud menghaturkan hormat. Ki Syekh Nurjati segera terjaga melihat tiga orang tamu. Sambil senyum ia berkata, " Hai tiga orang muda di hadapanku dengan memberi hormat, apa kemauan kalian, asal dari mana, nama kalian siapa?"

Berkata Walangsungsang, "Hamba hendak berguru agama Islam serengat Jeng Nabi Muhammad, bersama adik kandung Rarasantang, Putra Pejajaran, adapun istri hamba Indangayu namanya, putri gunung Maraapi Sanghyang Danuwarsih, hamba bernama Walangsungsang."

Syekh Nurjati berkata, "bagai mana mulanya orang Budha dan putra Raja menghendaki Islam dan dapat petunjuk dari siapa tahu kepada gunung jati?"

Walangsungsang menceritakan sesungguhnya lantaran mau Islam dari awal hingga akhir. Ki Syekh segera memberi wejangan kepada ketiga putra ngucapkan sahadat kalimat dua, shalawat dan zhikir, jakat fitrah, dan naik haji, puasa bulan romadhon, salat lima waktu dan diwejang Qur`an. Kitab fikih dan Tasawuf, sudah dipatuhi semua apa yang di wejangkan dan diperintahkan oleh guru.

Walangsungsang, Indangayu, Rarasantang sudah lama olehnya berguru, suhud sekali, tetap patuh kepada guru, Ki Syekh memanggil, "Walangsungsang aku beri nama Somadullah." si bapak tidak punya anak dan kawan, sekarang kamu tiga orang aku akui sebagai anak, serah jiwa raga dan tempat, engkau aku beri nama Cakra bumi."

Somadullah menerimanya. Sekarang sudah diangkat anak, dan setelah datang pada waktunya pagi hari ahad lalu ia memasuki hutan rawa belukar menebangi pepohonan besar kecil tiap hari, lama olehnya ia babad/membuka hutan yang sudah lapang lalu ditanami palawija membangun perkebunan. Kaki Tua melihat hutan sudah lapang dan banyak ditanami palawija ia suka cita sekali Cakrabumi disuruh mengkap ikan dan rebon diberi waring/jala, sudu/alat penangkap ikan dan jakung/perahu kecil.

Cakrabumi mematuhi perintah Kaki Tua, tiap malam berkendaraan jakung itu pergi menangkap ikan dan rebon (rebon = sebangsa udang kecil), paginya membabad hutan

       Lenyapnya Kerajaan Pakuan Lama

Kisah otentik dan langka tentang lenyapnya kota Pakuan lama (Hindu Pajajaran).
Setelah Kerajaan Galuh (sebelah Timur Pajajaran) jatuh ke kesultanan Cirebon, akhirnya Kerajaan Sunda yang tersisa hanyalah Pakuan (Barat Pajajaran) di Bogor.

Pada akhirnya, kerajaan terakhir dari Sunda inipun tidak dapat menghalangi kekuatan angkatan perang Islam dari Barat, yaitu kesultanan Banten.

Setelah melewati pertarungan yang dashyat, dalam beberapa minggu pertempuran akhirnya Istana Pakuan di Bogor berhasil dikuasai (1568, setahun sebelum meninggalnya Sunang Gunung Jati).

Rajanya, yang merupakan cucu dari Raja Siliwangi yang terkenal dan juga seluruh keluarganya harus memeluk Islam sebagai agamanya, dan memberikan kekuasaan untuk melanjutkan kerajaan dibawah pemerintahan Kesultanan Banten.

Kelompok kedua dari kerajaan Galuh ini, yang beranggotakan 40 pengawal yang dipimpin oleh panglimanya, menolak untuk masuk Islam, dan akhirnya menyingkir dari ibukota Pakuan ke desa Cibeo, Lebak, keberadaan mereka sekarang dikenal sebagai suku Baduy.

Sedang kelompok ketiga; kelompok pendeta, yang merupakan ulama kebatinan sepuh, dipimpin oleh ketuanya yang sangat karismatik, menolak kedua pilihan diatas, yaitu memeluk agama Islam, atau menyingkir dari kotaraja.

Akhirnya Sunan Gunung Jati, ayah dari Maulana Hasanuddin sipenguasa, bernegosiasi dengan ketuanya untuk meninggalkan istana dan dijanjikan akan diberikan daerah yang dapat dipergunakan untuk meneruskan kepercayaannya. Setelah negosiasi panjang dan melelahkan, hasilnya hanya jalan buntu, akhirnya Sunan Gunung Jati, yang pada saat itu telah menduduki jabatan tertinggi dari kesufian yaitu Wali Qutub (pemimpin para wali), akhirnya bermunajat kepada Allah, agar Istana Pakuan, yang berisi ulama kebatinan sepuh tersebut, dipindahkan kedunia lain, seperti yang kita kenal dengan Alam Jin.

Allah mengabulkan munajatnya tersebut. Hingga saat ini, tidak ditemukan artifak atau batuan atau apapun sisa dari Istana Pakuan kuno yang diyakini berada disekitaran Kebun Raya Bogor. Cerita mengenai Raja Pakuan dan keluarganya yang akhirnya memeluk Islam adalah sebagai berikut:

Secara administratif, kerajaan Pakuan dinamakan "Kadipaten Pakuan". Rajanya menjadi Adipati (Gubernur) dibawah kesultanan Banten. Raja dan keluarganya merasa bahagia dengan agama Islam yang dipeluknya, keturunannyapun yang merupakan perkawinan antara Putri dan Anak dari Sultan Banten, akhirnya diberi gelar Sultan dari kerajaan Islam Pakuan. Sultan terakhir dari kerajaan muslim Pakuan adalah Sultan Muhammad Wangsa II.

Setelah Banten menjadi lemah akibat penghianatan Sultan Haji, yang merupakan anak dari Sultan Tirtayasa yang terkenal itu, akhirnya mengalami masa kemunduran. Akhirnya diawal abad ke 19, sekitar tahun 1815, merupakan tonggak bersejarah bagi Muslim Pakuan, Sultan Muhammad Wangsa II meninggalkan Istana Pakuan untuk mengasingkan diri hingga akhir hayatnya.

Banyak yang menyangka bila beliau telah menjadi wali Allah sebelum meninggalnya. Dengan meninggalkan segala kekuasaan yang dimilikinya terhadap rakyat Pakuan, memilih menjadi ulama Islam yang melindungi rakyat lemah, dan berjalan dijalan Allah dengan berdakwah keseluruh tanah Sunda dan Indonesia.

Saya adalah keturunan ke-7 dari Sultan Muhammad Wangsa II. Sedang Sultan sendiri merupakan keturunan ke-10 dari Sunan Gunung Jati.

             Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
         dan Timbulnya Negara Negara Islam
                           di Nusantara
TRAGEDI kehancuran Kerajaan Majapahit, yang di sertai tumbuhnya negara-negara Islam di Bumi Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang sangat menarik untuk diungkap kembali. Sebagai kerajaan tertua di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi romantisme sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, sudah menjadi bukti sejarah tentang pergulatan politik yang terjadi di tengah islamisasi pada masa peralihan.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak mengantarkan suatu peradaban bagi orang China dalam proses islamisasi di Nusantara. Stigma yang kecenderungan para sejarawan dalam mengungkapkan bahwa kedatangan Islam di Indonesia lebih pada kecenderungan orang Arablah yang berjasa sebagai penyebar Islam, sehingga tidak pernah melirik, orang China pernah andil dalam membangun peradaban Islam.

Hadirnya Buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara yang di tulis Prof Slamet Muljana pada tahun 1968 yang beredar di Indonesia pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971, karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu tentang para Wali Songo berasal dari China.

Pijakan yang dipakai rujukan oleh Slamet Muljana hanya membandingkan dari tiga sumber, yaitu Serat Kanda, Babad, Tanah Jawi dan naskah dari Kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip oleh Parlindungan. Residen Poortman tahun 1928 telah ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang China atau bukan sebagai dasar rujukan awal.
Perkembangan peristiwa itu ternyata menjadi sejarah politisasi bahwa China dikaitkan terhadap pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terjadi tahun 1926/1927, ini memberikan kesempatan kepada pemerintah kolonial untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang untuk mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang terdapat di sana, sebagian sudah berusia 400 tahun--sebanyak 3 cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip oleh Mangaraja Onggang Palindungan yang menulis buku yang kontroversial--Tuanku Rao.

Pada tahapan selanjutnya Slamet memberikan ilustrasi bahwa Bong Swi Hoo yang datang di Jawa tahun 1445 sama dengan Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan Kapitan China di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahirnya Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang ini diasuh oleh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.

Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi Kapitan China di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi.

Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh. Slamet menyimpulkan bahwa Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Slamet Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu, Sunan Kudus atau Jafar Sidik tak lain dari Ja Tik Su.

Tentu tidak ada larangan untuk berpendapat bahwa sebagian Wali Songo itu berasal dari China atau keturunan China. Namun, kelemahan Slamet Muljana, ia hanya mendasarkan kesimpulannya pada buku yang ditulis oleh MO Parlindungan. Ia hanya melihat arsip Poortman dan tidak membaca sendiri naskah China tersebut. Begitu pula, Slamet sendiri tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Semarang itu. Bagi para sejarawan di masa mendatang, dengan melakukan penelitian terhadap sumber berbahasa China baik yang ada di Nusantara maupun di daratan China, diharapkan periode ini (terutama mengenai penyebaran agama Islam di Jawa abad XV-XVI) dapat dijelaskan dengan lebih baik.

Sebetulnya pada masa ini cukup banyak sumber mengenai Laksamana Muslim Cheng Ho yang berlayar ke berbagai penjuru dunia awal abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan pengalaman ini dalam buku Yingyai Senglan.

Di dalam buku ini dilaporkan tentang masyarakat China yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka telah meninggalkan negeri China dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka merupakan sebagian besar penduduk yang waktu itu jumlahnya mencapai ''seribu keluarga lebih sedikit''. Di Gresik hanya ada ''pantai tanpa penghuni'' sebelum orang Kanton menetap di sana. Di Surabaya sejumlah besar penduduk juga orang China. Menurut Ma Huan, kebanyakan orang China itu telah masuk agama Islam dan menaati aturan agama (hlm 42).

Fakta sejarah mulai abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang.

Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari Wali Songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir Pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnik Tionghoa.

Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) konon berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putra Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan putri China, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Penyebaran agama Islam di Nusantara ada pandangan yang menyatakan bahwa Islam yang berkembang di sini berasal Hadramaut, Arab Selatan. penyebarannya justru datang dari India dan Islam yang berkembang di kepulauan ini berasal dari China. Tetapi Menurut sebagian sejarawan Islam, bahwa Islam datang dari Gujarat, India antara lain, karena persamaan motif batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik dengan yang ada di Gujarat. Hal ini didukung pula karena faktor bahasa, istilah pinjaman dari bahasa Arab tidak murni menurut lafal aslinya, seperti terlihat dalam kata salat, zakat, dan seterusnya.

Jadi kata itu dipinjam melalui bahasa Persia atau bahasa-bahasa umat Islam di daratan Asia yang menjadikan bahasa Persi sebagai rujukan. Namun, mazhab di Asia daratan itu adalah Sunni-Hanafi bukan Sunni Syafii yang banyak dianut di Nusantara. Maka Islam itu datang dari Arabia Selatan, khususnya Yaman dan Hadramaut yang juga menganut mazhab Sunni-Syafii. Yang didukung pula dengan fakta, bahwa kawasan itu terkenal dengan aktivitas perdagangan laut internasionalnya. Sejalan dengan persoalan istilah pinjaman di atas. Islam di Nusantara berasal dari China--paling tidak dalam satu fase tertentu perkembangannya di Asia Tenggara patut diperhitungkan, karena terdapat kesesuaian dalam hal mazhab (Sunni-Syafii) dan faktor bahasa tadi (hlm 164).

Pengembangan Islam di Nusantara, sebagian berasal dari Arabia Selatan, India, dan China. Peristiwa itu bisa terjadi bersamaan atau berurutan pada satu atau berbagai wilayah. Lagi pula perlu dibedakan antara kedatangan agama Islam, yang mulai dianut oleh penduduk setempat dan berkembang di tengah masyarakat di Nusantara, sebagian berasal dari Arabia Selatan, India, dan China terjadi bersamaan atau berurutan pada satu atau berbagai wilayah. Lagi pula perlu dibedakan antara kedatangan agama Islam, yang mulai dianut oleh penduduk setempat dan berkembang di tengah masyarakat.


                        Sunan Gunung Jati

         Membangun Jalur Kekuasaan Islam
Bangsa Portugis merebut Malaka pada tahun 1511 M yang kemudian diikuti dengan penaklukan daerah Pasai (Aceh). Pendudukan Portugis terhadap Pasai (Aceh) rupanya menimbulkan dendam membara di dada seorang pemuda bernama Falatehan. Perasaan benci kepada penjajah berkobar dan dia bertekad untuk terus memerangi kaum imperialis yang telah berlaku sewenang-wenang terhadap wilayah dan agamanya.

Falatehan kemudian menyingkir dari tanah kelahirannya itu dan pergi ke Tanah Suci Makkah. Di sana Falatehan menuntut ilmu dan memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam.

Tiga tahun lamanya beliau menetap dan merantau ke tanah Arab dengan harapan sekembalinya ke tanah air, orang-orang Portugis sudah pergi meninggalkan bumi Tanah Pasai. Akan tetapi pada kenyataannya orang-orang Portugis itu masih berada di sana menguasai sebagian besar wilayah Pasai. Falatehan pun bertambah sedih dan marah hatinya.

Melihat kondisi tersebut, untuk kedua kalinya Falatehan terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah Jawa. Kedatangan Falatehan mendapat sambutan baik dari pihak Kerajaan Islam Demak yang pada masa itu diperintah oleh Raden Trennggono (1521-1546 M).

Ketika itu Kerajaan Demak tengah mengalami masa keemasannya. Daerah kekuasannya bertambah luas dan memiliki armada laut yang kuat. Pada zaman Pati Unus (1518-1521), Demak pernah menyerang Portugis di Malaka, namun tidak berhasil.

Pada masa Trenggono pula, beberapa daerah di Jawa Barat dapat di-Islam-kan dan langsung berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Salah satu orang yang berjasa dalam segala pencapaian tersebut adalah Falatehan. Karenanya kedatangan Faletehan dianggap sebagai satu aset paling penting dan besar artinya bagi upaya penyebaran serta pengembangan agama Islam selanjutnya di Pulau Jawa.

Terkesan dengan kiprah Falatehan, maka berpikir keraslah Raden Trenggono untuk berusaha memikat hati pemuda ini agar merasa senang dan tetap tinggal di Jawa. Falatehan pun dia nikahkan dengan adik perempuannya. Setelah itu bertambah eratlah hubungan persahabatan keduanya, penuh kekeluargaan.

Saat itu sebagian besar penduduk Jawa Barat masih belum mengenal Islam. Wilayah tersebut termasuk dalam kekuasaan pengaruh orang Hindu, Banten, dan Kerajaan Pajajaran. Karenanya atas izin Raden Trenggono, akhirnya dikirimlah suatu ekspedisi menuju Banten di bawah pimpinan Falatehan yang bertujuan menyiarkan agama Islam di sana.

Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan dengan sukarela penguasaan wilayah Banten yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Kegigihan dan kerja keras anggota ekspedisi itu berbuah hasil. Beberapa lama kemudian, sebagian besar wilayah Sunda Kelapa juga dapat dikuasai Falatehan. Kontrol penuh diberlakukan pada dua wilayah tersebut. Sehingga ketika bangsa Portugis berlabuh di Sunda Kelapa, mereka langsung diusir oleh Falatehan.

Tahun 1527, Fransisco De Sa berhasil dipukul mundul oleh Falatehan, dengan menderita kerugian cukup besar. Ini memaksa orang-orang Portugis kembali ke Malaka. Satu tahun kemudian, wilayah Cirebon jatuh ke tangan Falatehan. Dengan demikian Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon berada di bawah kekuasanaan Falatehan secara penuh.

Falatehan yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, merintis jalur perhubungan di pantai utara Jawa Barat, dan sepanjang pesisir utara sejak dari Banten-Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Kudus, Tuban, dan juga Gresik berada di bawah kekuasaan Islam.

Sejak itu Sunan Gunung Jati tidak lagi tinggal di Demak, melainkan menetap di Cirebon hingga akhir hayatnya. Meski beliau berhasil meng-Islam-kan beberapa daerah di Jawa Barat, namun kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Demak. Sesudah Trenggono wafat, barulah Sunan Gunung Jati memisahkan diri dari ikatan Kerajaan Demak.

Sunan Gunung Jati, Falatehan atau Fatahillah, menurut beberapa ahli sejarah, berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Namun ada juga yang mengatakan, beliau mempunyai darah keturunan Persia. Beberapa yang lain menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah putra dari Raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran (Sunda).

Ada yang memperkirakan Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Di samping itu, Sunan Gunung jati mempunyai banyak nama, di antaranya Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum Jati. Sedang menurut babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Makdum Rahmatullah.

Mengenai nama Sunan Gunung Jati, menurut dugaan Prof Hoesin Djajadiningrat, yang dimaksudkan dengan Falatehan, kemungkinan berasal dari bahasa Arab Fatkhan, dari kata Fath. Hal ini mengingat bahwa dalam tahun 1919 ada seorang naib dari kawedanan Singen Lor, di Semarang yang bernama Haji Mohammad Fathkan. Menurut penyelidikan Dr BJO Schrieke, salah seorang orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama Falatehan itu mungkin berasal dari perkataan Arab: Fatahillah.

Banyak kisah yang kadang tak masuk akal dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya bahwa beliau pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak usia 14 tahun. Pendidikan agama didapatnya dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Tercatat Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya wali songo yang pernah memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra raja untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas dalam menyampaikan dakwahnya. Kendati demikian, ia juga mendekati rakyat dengan cara membangun infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antarwilayah.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk menekuni dakwah. Kekuasaan dilimpahkan kepada Pangeran Pasarean.

Berdasarkan catatan sejarah, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon) tahun 1589. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon arah barat.


                      Cirebon Oh Cirebon

                                              

Cirebon, wilayah yang terletak di Propinsi Jawa Barat ini, adalah salah satu tempat wisata yang punya potensi dikembangkan. Kota yang telah berdiri sejak awal abad ke-15 ini merupakan tempat pertama kali penyebaran agama Islam dilakukan di Jawa.

Hingga kini banyak peninggalan masa lalu yang bernafaskan keislaman. Tidak hanya itu, Cirebon juga punya makanan khas bahkan hewan langka yang hanya bisa ditemui di Cirebon. Kura-kura ini adalah kura-kura langka yang hanya terdapat di Cirebon. Itupun tidak di sembarang tempat. Hanya ada di Desa Belawa, di Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Cirebon, atau sekitar 200 kilometer dari kota Cirebon.

Biasa disebut dengan Kura-Kura Belawa, dengan nama latin Aquatic Tortose Ortilia Norneensis. Di kolam penampungan yang cukup sederhana, sedikitnya 20 kura-kura bertempurung unik ini hidup dan berkembang biak. Dan karena langkanya, Kura-kura Belawa termasuk hewan yang dilindungi.

Adanya kura-kura yang bertempurung khas ini juga menumbuhkan cerita rakyat setempat. Konon, sang kura-kura berasal dari lembaran kertas, yang bertuliskan ayat suci Al-Quran. Sekitar abad 17, hiduplah seorang pemuda bernama Jaka Saliwah. Ia hendak mencari ayahnya, dengan bertanya kepada semua orang, yang mengenal ayahnya, termasuk kepada teman sang ayah, Syech Datuk Putih.

Oleh Syech Datuk Putih dijelaskan bahwa Allah Maha Besar, dan akan memberikan keajaiban bila ia menghendaki. Tiba-tiba, lembaran kertas bertuliskan ayat Al-Quran bertebaran jatuh ke dalam kolam, dan berubah wujud menjadi kura-kura. Berdasarkancerita itu, lalu banyak orang yang mengkeramatkan kura-kura tersebut. Bahkan diantaranya datang dengan tujuan meminta sesuatu agar keinginannya tercapai.

Selain cerita keramat, keberadaan Kura-kura Belawa juga dilindungi oleh sebuah mitos. Ia tidak dapat dibawa keluar dari Desa Belawa. Percaya atau tidak, apabila ada yang mencoba membawa keluar kura-kura itu, maka orang yang bersangkutan akan mendapat musibah.

Selain berada di kolam yang dibangun Dinas Pariwisata Daerah, Kura-kura Belawa juga hidup di kolam-kolam masyarakat setempat. Mereka dipelihara dengan diberi pangan, berupa ayam, ikan asin dan singkong. Kura-kura jenis ini lebih senang hidup di air yang berlumpur. Bisa seharian mereka berendam di dalamnya, sehingga tak heran bila pengunjung yang datang agak sulit melihatnya.

Selain keberadaannya dilindungi, lingkungan sekitar Kura-kura Belawa pun telah dijadikan cagar alam oleh pemerintah, dan menjadi salah satu obyek wisata. Sayangnya, tidak terawat dengan baik.Selain Cagar Alam Cikuya Belawa, pengunjung juga bisa melihat sebuah sumur tua, yang airnya tidak pernah kering, meski musim kemarau sekalipun.

Walau tidak banyak didatangi pengunjung, namun obyek wisata ini termasuk salah satu pendapatan asli daerah, sekitar 10 persen. Tak heran, patung kura-kura juga menjadi simbol Desa Belawa, yang berpenduduk sekitar 3500 jiwa.

Dari Belawa, kami mampir ke Plangon, Desa Babakan Sumber, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Hanya menempuh sekitar 20 menit perjalanan, atau sekitar 8 kilo meter dari pusat kota Cirebon.Di Plangon, sedikitnya 200 ekor monyet langsung menyambut pengunjung yang datang.

Menurut cerita setempat, monyet-monyet ini dulunya merupakan peliharaan Pangeran Panjunan, seorang pangeran dari Jedah, yang datang ke tanah Jawa, untuk mensiarkan agama Islam. Setelah 500 tahun berlalu, ternyata keturunan monyet peliharaan Pangeran Panjunan, masih mendiami tempat nenek moyangnya, yang terletak di daerah pegunungan ini. Mereka terus berkembang biak hingga sekarang.
Sejak 16 tahun lalu, Plangon telah dijadikan obyek wisata oleh pemerintah. Pengunjungnya pun cukup ramai, karena selain melihat tingkah laku monyet-monyet, para pengunjung juga melakukan ziarah ke makam Pangeran Panjunan, yang terletak di puncak Plangon. Obyek wisata ini biasanya ramai dikunjungi pada tanggal 27 Rajab, hari setelah lebaran, dan hari-hari libur nasional lainnya.

Beginilah bila Kesultanan Kanoman mengadakan pernikahan. Mempelai wanitanya, Putri Arimbi. Adik Sultan Kanoman keduabelas, Sultan Raja Muhammad Emirudin.Ini memang saat yang istimewa bagi Kesultanan Kanoman. Terlebih karena perkawinan di Keraton Kanoman terakhir diselenggarakan 25 tahun yang lalu. Acara berlangsung di ruang Prabayaksa Mande Mastaka, yang terletak di dalam pendopo Jinem, tempat dimana dulunya para sultan menerima tamu agung.

Kedua pengantin menggunakan mahkota kerajaan, mahkota pengantin pria bernama Kresna, dan mahkota perempuan bernama Suri. Warna hijau yang mendominasi pakaian kebesaran ini merupakan cerminan dari pengaruh agama Islam, yang begitu kental di Cirebon, khususnya di Keraton Kanoman. Pakaian kebesaran ini, sekarang telah diadaptasi oleh masyarakat umum, menjadi pakaian pengantin Cirebon.

Layaknya sebuah pesta, undangan yang hadir, dihibur oleh berbagai kesenian berupa tarian dan musik khas Cirebon.Yang juga tampil istimewa, adalah tari Topeng Panglima, yang dibawakan adik mempelai wanita sendiri.

Kraton Kanoman yang terletak di tengah-tengah pasar, adalah satu dari 4 kraton yang ada di Cirebon. Ke-4 kraton ini merupakan pecahan dari kerajaan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati. Bisa dibilang, hampir semuanya kini dalam keadaan memprihatinkan. Padahal tiap kraton menyimpan bukti sejarah kejayaan sultan Cirebon masa lalu. Di Keraton Kanoman misalnya, ada sebuah kereta kencana yang tersohor, terutama bagi mereka yang mengerti sejarah.
Paksi Naga Lima, itulah sebutan bagi sang kereta kencana, yang dibuat pada tahun 1428. Dari bentuk dan namanya, terlihat bahwa sejak dulu kebudayaan Cirebon dipengaruhi 3 budaya, yakni Cina, Hindu, dan Islam. Bentuk naga diadaptasi dari kebudayaan Cina. Sayap di kedua sisinya, yang melambangkan burung, atau paksi, merupakan pengaruh dari budaya agama Islam.

Sementara gajah, atau lima, pengaruh dari budaya agama Hindu. Paksi Naga Lima yang terbuat dari kayu sawo, khusus dibuat Pangeran Losari, cucu Sunan Gunung Jati, untuk sang kakek. Paksi Naga Lima. Biasanya digunakan pada saat penobatan sultan. Selain kereta kencana, masih banyak barang peninggalan Kesultanan Cirebon, yang tersimpan di Museum Keraton Kanoman. Baik yang berasal dari peninggalan Sultan Cirebon, maupun dari pemberian pemerintah Belanda dan Inggris.

Selain bisa melihat kraton, obyek wisata yang cukup menonjol adalah wisata ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Makam yang terletak di Desa Astana, Kecamatan Cirebon ini tidak pernah terlihat sepi. Selain dikenal sebagai salah satu wali, Sunan Gunung Jati ini juga merupakan cikal bakal pendiri Kesultanan Cirebon.

Sayangnya tidak semua orang bisa masuk hingga ke pintu 9, dimana sang sultan dimakamkan. Hanya keturunan Sultan Cirebon saja yang berhak masuk hingga ke makam Sunan Gunung Jati. Sementara bagi masyarakat umum, hanya bisa sampai pintu ke-4 saja.

Rasanya belum lengkap, kalau ke Cirebon tidak mencicipi makanan khas Cirebon. Di antaranya ada nasi Jamblang, dan Tahu Gejrot. Tidak susah mencarinya, karena kedua jenis makanan khas ini bisa dijumpai di segala penjuru kota, baik siang maupun malam hari.

Nasi Jamblang Mang Dul, merupakan tempat makan yang cukup terkenal di kota Cirebon. Rumah makan yang terletak di Jalan Ciptomangunkusumo ini, selalu terlihat ramai dikunjungi. Mang Dul atau nama lengkapnya, Abdul Rozak, termasuk orang pertama, yang membuka usaha makanan nasi Jamblang.

Sejak tahun 1964, Mang Dul berjualan nasi Jamblang keliling, dengan cara dipikul. Baru sekitar tahun 1978, Mang Dul membuka restoran dekat balai kota. Dan sekitar tahun 1990, restoran yang terletak di Jalan Ciptomangunkusumo ini, berdiri.

Setelah Mang Dul meninggal, kini usahanya, diteruskan kelima anaknya. Dengan mempekerjakan sedikitnya 30 orang, khusus di Jalan Ciptomangunkusumo, buka setiap hari, mulai dari jam 4 pagi hingga 3 sore.Sebutan nasi Jamblang sendiri karena penganan ini berasal dari daerah Jamblang, di Cirebon.

Dahulu masyarakat Jamblang, selalu menggunakan daun jati sebagai alas makanannya. Daun jati itu membuat nasi yang telah terbungkus menjadi, harum dan awet. Nasi yang dibungkus daun jati bisa bertahan selama 24 jam. Itulah yang membuat Mang Dul, yang memang berasal dari Jamblang, terinspirasi dengan menjual nasi berbungkus daun jati, beserta lauk pauknya. Dari lauk pauknya sendiri juga terdapat ciri khas. Ada beberapa menu yang memang wajib disajikan, dalam nasi Jamblang.

Cara penyajiannyapun prasmanan. Orang bisa mengambil lauk sesukanya, serta nasi seberapa banyak yang mereka inginkan. Siapa sangka juga kalau daun jati pembungkus nasi ini diambil dari daerah Sumedang, tetangga Cirebon. Dulu, daun jati memang banyak ditemui di daerah Jamblang, tapi kini sudah tidak lagi.

Cara memilih daun jati pun ada tehniknya. Hanya dari pohon yang masih muda, atau setidaknya berumur 5 tahun, dan memiliki tinggi 5 meter, yang boleh diambil. Pohonnyapun harus berada ditengah. Hal ini untuk menghindar polusi.

Walaupun terlihat sederhana, dan menu makanannya pun relatif murah, hanya dihargai 7 ribu rupiah per porsi, tapi toh nasi Jamblang Mang Dul ini bisa memperoleh keuntungan 6 juta rupiah per harinya. Orang memang terus berdatangan tanpa henti, baik dari dalam maupun luar kota.

Selain nasi Jamblang, juga ada Tahu Gejrot. Adalah ibu Runtah, yng sudah berjualan makanan ringan ini selama 30 tahun. Di Jalan Siliwangi, ibu 6 anak ini berjualan dari jam 10 pagi hingga 9 malam.
Sejak umur 17 tahun, Runtah sudah membantu orang tuanya berjualan Tahu Gejrot keliling. Jodohnya pun sesama tukang Tahu Gejrot. Bahkan kini 4 dari 6 orang anaknya mengikuti jejak runtah.
Makanan ringan ini dinamakan Tahu Gejrot karena jenis tahu yang dipakai memang dikenal dari pabriknya sebagai Tahu Gejrot. Tahu digoreng, dibelah 2, lalu diberi saus kecap. Sederhana saja, tapi penikmatnya toh cukup banyak. Tahunya sendiri. khusus didapat Runtah, dari pabrik tahu di daerah Ciledug, Jawa Barat. Harga satu tahu 80 rupiah.

Dengan harga jual 2 ribu 5 ratus rupiah per porsi, Runtah merasa Tahu Gejrot cukup bisa ia jadikan sandaran hidup. Bila ramai pembeli, setidaknya 100 ribu rupiah keuntungan yang bisa didapat. Dari hasil menjual Tahu Gejrot ini jugalah, janda yang baru saja ditinggal mati suaminya ini, menghidupi 2 orang anaknya yang masih sekolah.

Berkunjung ke Cirebon, rasanya sungguh sarat makna. Dari mitos yang melindungi keberadaan Kura-kura Belawa hingga kesederhanaan para penjaja makanan khasnya. Bahkan keraton-keraton di Cirebon pun menyiratkan kebersahajaan itu. Sebuah kebersahajaan yang bisa disalahartikan bila Cirebon tidak segera bebenah diri. Dan akhirnya malah membawa kota tua ini aus dimakan zaman.


           Sejarah Singkat kabupaten Cirebon

Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.

Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.

Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.

Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.

Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.

Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.

Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)

Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.

Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.


                  SUNAN GUNUNG JATI

                    BERBEDA DENGAN
                          FATAHILLAH
Awal Polemik Tentang SGJ
Identitas SGJ yang selama ini mengundang polemik perlu dijelaskan berdasarkan berbagai data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Atja (1986:36) berdasarkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada tahun 1720 Masehi---meskipun Ibu Nina menganggap naskah ini bukan sumber primer, karena bukan naskah sejaman dengan masa hidup SGJ---menguraikan identitas dan kisah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (SGJ) secara lebih rasional dibandingkan dengan cerita-cerita legenda SGJ yang berkembang di masyarakat sebagai berikut.
Syarif Hidayat lahir pada tahun 1448 Masehi di Mesir. Dua tahun kemudian (1450) Rarasantang (ibunya)---yang setelah menikah dengan Raja Mesir bernama Syarifah Mudaim---melahirkan seorang putra lagi yang diberi nama Syarif Nurullah atau Syarif Arifin. Tidak lama diantaranya, ayahnya meninggal dunia. Karena kedua putranya masih kecil, maka pemerintahan dikuasakan kepada adik raja ialah Mahapatih Ungkajutra yang kemudian bergelar Raja Onkah.
Setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, dia berniat dengan sungguh-sungguh untuk menjadi guru agama Islam. Karena itu ia lalu berangkat ke Mekah, belajar kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri selama dua tahun, kemudian belajar kepada Syekh Ata'ullahi Sadzili, pengikut Imam Syafii, juga selama dua tahun. Kemudian ia pergi ke Bagdad untuk belajar tasauf, dan setelah selesai ia kembali ke negerinya.
Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah yang mewakilinya dalam menjalankan pemerintahan, digelari sebutan Nurdin yang didasarkan atas pertimbangan mengenai ilmu pengetahuannya yang tinggi tentang kenegaraan dan juga sebagai guru agama yang digelari dengan sebutan Ibrahim. Raja Onkah bermaksud menyerahkan kekuasaan kepadanya, namun Syarif Hidayat tidak berniat untuk menjadi raja, karena itu kedudukannya sebagai raja diserahkan kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat kemudian berangkat menuju Pulau Jawa, singgah sebentar di Gujarat, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pasai. Di Pasai ia tinggal di pondok bersama Sayid Iskak yang pernah menjadi guru agama Islam di Blambangan. Setelah belajar kira-kira dua tahun lamanya, ia berangkat ke tanah Jawa dan singgah di Banten. Di Banten pada waktu itu telah banyak pemeluk agama Islam atas upaya Sayid Rakhmat yang kemudian menjadi Susuhunan Ampel Denta di Gresik. Syarif Hidayat kemudian berangkat ke Ampel Denta dengan menumpang perahu orang Jawa Timur.
Di Ampel Denta berkumpul para guru agama Islam, yang lebih terkenal dengan sebutan wali. Masing-masing para guru agama Islam itu mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di wilayah yang sebagian terbesar penduduknya masih memeluk agama Budha-Parwa (Siwa-Budha). Syarif Hidayat yang juga bergelar Insan kamil tiba di Cirebon pada tahun 1470 Masehi untuk menunaikan tugasnya sebagai penyebar agama Islam. Ia melaksanakan tugasnya dengan mengambil tempat kediaman di Gunung Sembung. Di sana ia dapat membuka pondok berkat bantuan Walangsungsang alias Haji Abdullah Iman---kakak kandung Rarasantang---yang bergelar Pangeran Cakrabuwana, Kuwu Caruban (Cirebon).
Pada tahun 1479 Masehi, dengan persetujuan uaknya, Pangeran Cakrabuwana, Syarif Hidayat diangkat menjadi tumenggung membawahi Caruban dan bergelar Susuhunan Jati, Sunan Jati, atau Sinuhun Caruban/Cerbon. Para wali yang sembilan menyambut baik penobatan itu, meskipun hanya meliputi wilayah Sunda pesisir. Para wali meneguhkan kekuasaan Sunan Jati sebagai penegak panatagama Islam di seluruh wilayah Sunda yang berkedudukan di Cirebon, pengganti Syekh Nuruljati yang telah wafat.
Dari kisah di atas yang tetap menjadi polemik hingga saat ini adalah tentang asal-usul SGJ. Polemik ini diawali sejak tahun 1913, ketika Hoesein Djajadiningrat berhasil menyusun disertasi doktor di Universitas Leiden yang salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa Faletehan adalah sama dengan Tagaril dan sama juga dengan Sunan Gunung Jati, artinya tiga nama tersebut ditujukan pada orang yang sama. Faletehan seorang kelahiran Pasai, pada tahun 1521 pergi ke Mekah dan kembali lagi ke Pasai setelah dua atau tiga tahun. Tetapi segera ia pergi ke Jepara dan menikah dengan seorang adik Pangeran Trenggana dari Demak. Setelah itu pergi ke Banten dan menyebarkan Islam ke sebelah Timur. Pada awal tahun 1527 berhasil merebut Sunda Kalapa dari Ratu Pajajaran, ikut serta pula dalam serangan Demak terhadap Pasuruan pada tahun 1546, kemudian pindah dan menetap di Cirebon hingga wafatnya pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Jati, sehingga disebut Sunan Gunung Jati, salah seorang wali dari sembilan wali yang mengislamkan tanah Jawa (Djajadiningrat, 1913/1983: 213-214).
Kesimpulan Hoesein didasarkan atas kitab Sajarah Banten (SB). Pada bagian kedua kitab SB dinyatakan sebagai berikut: Diceritakanlah sekarang tentang seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Baniisrail. Dari Mandarsah ia datang di Jawa, yaitu Pakungwati, untuk mengislamkan daerah ini. Ia mempunyai dua orang anak; seorang perempuan (yang tua) dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan anaknya yang laki-laki ia berangkat ke arah Barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari. Di situ ada perkampungan yang penghuninya persis delapan ratus orang.
Hoesein Djajadiningrat (1913/1983:93-95) menduga kuat bahwa yang diceritakan dalam SB itu adalah tentang Sunan Gunung Jati. Ia menyatakan: “Apa yang mengesankan bagi kita dalam berita ini, yang sebagian besar bersifat legenda, ialah yang mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai. Lebih menarik hati lagi berita ini, karena berita ini ada dalam tradisi yang tidak termasuk ke dalam berita-berita biasa yang kemudian. Dalam Sajarah Banten berita ini tersembunyi di tengah-tengah legenda-legenda dan saga-saga. Pada tempat lain, dimana penulis kronik itu mengantarkan sejarah Banten, ia berkata bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Yamani dan ibunya dari Baniisrail. Raja Baniisrail adalah bapaknya, kata naskah-naskah lainnya. Bagaimana pun juga, apa pun tanggapan orang Jawa yang betul-betul tentang negara-negara yang disebut dengan nama-nama itu, Sunan Gunung Jati menurut tradisi resmi Cirebon dan Banten, datang dari Arab. ... Dan selanjutnya kita perhatikan tradisi yang satu itu dalam Sajarah Banten, yang betapa pun juga dipersoleknya, tapi mengatakan dengan terang, bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang Pasai, dalam hubungan apa yang dikatakan Barros tentang asal Faletehan, maka haruslah kita sampai kepada kesimpulan, bahwa Faletehan, Tagaril, dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang lain bagi seseorang yang itu-itu juga”.
Pernyataan ini diperkuat lagi pada tahun 1965 oleh Hoesein Djajadiningrat dengan mengutip pernyataan dari Joao de Barros dan F. Mendez Pinto, Hoesein (1965/1995:61-61) menyatakan: Joao de Barros, penulis sejarah bangsa Portugis yang termasyhur, menguraikan dalam bukunya Da Asia, bahwa seorang Pasai bernama Falatehan sekembalinya dari Mekah menyaksikan Pasai diduduki oleh Portugis. Falatehan merasa tidak leluasa menyebarkan agama Islam. Karena itu, dia pindah ke Demak yang dikuasai oleh seorang raja beragama Islam. Di sana ia mendapat kehormatan untuk beristrikan seorang saudari raja. Dari Demak, dengan ijin dari raja, ia pergi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam. Melihat bahwa suasananya baik baginya, dengan meminta bantuan tentara Demak, ia berhasil merebut pelabuhan Banten dan Sunda Kalapa dari kekuasaan raja Sunda. Barros tidak menyebutkan angka tahun peristiwa ini. Tetapi dari beritanya mengenai hubungan orang Portugis dengan para pembesar Sunda Kalapa, dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa itu terjadi pada akhir tahun 1526 atau awal tahun 1527.
Sementara itu F. Mendez Pinto menceritakan bahwa pada tahun 1546 ia dengan beberapa orang kawan Portugisnya mengikuti Tagaril, raja Sunda di Banten, ke Demak atas panggilan raja itu untuk ikut menyerang Pasuruan yang belum beragama Islam. Sekembalinya di Demak terjadi kegaduhan karena raja Demak telah terbunuh. Kemudian Mendez Pinto dan kawannya minta diri kepada raja Sunda.
Dengan menghubungkan cerita kedua orang Portugis itu dengan apa yang tercantum dalam Sajarah Banten, ada kemungkinan untuk mengidentifikasikan Falatehan dan Tagaril sebagai satu orang yang sama yang setelah wafat terkenal sebagai Sunan Gunung Jati, yang menurunkan para raja Banten dan Cirebon. Dialah yang mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Tetapi di antara banyak nama Sunan Gunung Jati yang disebutkan dalam tradisi lokal, tidak ada yang senada atau mirip dengan Falatehan atau Tagaril. Orang hanya dapat menduga bahwa nama Falatehan berasal dari kata Arab Fathan, yang di Jawa masih dipakai sebagai nama orang, dan Tagaril yang berasal dari Fachril, singkatan dari Fachrillah, nama orang juga.
Kesimpulan Hoesein mengenai asal-usul SGJ ini senada dengan Graff (1976:11-12) yang mengutip cerita tradisi Jawa dan para penulis Portugis, ia mengemukakan bahwa Cirebon diislamkan oleh salah seorang wali dari wali sembilan (the nine saints) yang bernama Sunan Gunung Jati yang oleh para penulis Portugis disebut Falatehan dan Tagaril yang berasal dari Pasai, Aceh. Setelah melakukan ziarah ke Mekah ia bernama Nurullah.
Kesimpulan Hoesein di atas meskipun didasarkan pada naskah SB serta sumber primer yang berasal dari berita Portugis, dianalisis secara sistematis, dan dikemukakan menurut jalan pikiran yang rasional, namun di dalamnya mengandung kelemahan. Kelemahan dimaksud mernurut Ekadjati (2000:39) terletak pada pemakaian sumber yang tidak menggunakan sumber yang berasal dari Cirebon, padahal sesungguhnya peranan kedua nama tokoh itu berpusat di atau paling tidak berkaitan erat dengan Cirebon. Pada waktu itu (tahun 1913) jelas telah ada sumber dari Cirebon yang diterbitkan, yaitu naskah Babad Cerbon yang dikerjakan oleh J. L. A. Brandes pada tahun 1911. Anehnya penerbitan-penerbitan sesudah disertasi Hoesein Djajadiningrat itu, seperti yang dikerjakan oleh Edel (1938), tidak menarik perhatian dan atau mengubah pendiriannya. Kemungkinan yang cukup bisa difahami adalah adanya subyektifitas Hoesein sebagai orang Banten kuat sekali.

Identitas SGJ
Dapat diakui bahwa pendapat yang bermula dari kesimpulan Hoesein itu berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Begitu kuat pengaruh itu, sehingga buku-buku sejarah Indonesia sejak zaman kolonial sampai sekarang ini selalu didasarkan pada pendapatnya untuk menggambarkan tokoh Fatahillah dan Sunan Gunung Jati sebagai orang yang sama.
Namun kesimpulan Hoesein di atas dibantah beberapa puluh tahun kemudian oleh Pangeran Sulaeman Sulendraningrat (1972) dan Atja (1986). Sulendraningrat (1972:31; 1985:31-32) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Setelah pada tahun 1511 Malaka direbut orang Portugis, pada tahun 1521 Pasai juga jatuh di tangan Portugis. Salah seorang ulama Islam dari Pasai yang bernama Fachrullah Khan terpaksa mengungsi ke Demak. Ia disebut oleh orang Portugis dengan nama Faletehan. Di Demak, ia menikah dengan salah seorang adik dari Pangeran Trenggono, Sultan Demak, yang bernama Ratu Pulung. Di Demak beliau menjadi jenderal pertama tentara Demak. Pada tahun 1524 di Cirebon beliau menikah dengan Ratu Ayu, seorang putri dari Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1526, Faletehan dan Pangeran Carbon, seorang putra Pangeran Cakrabuwana, memimpin tentara Islam gabungan Demak dan Cirebon atas perintah Sunan Gunung Jati dan Sultan Trenggono (Sultan Demak III), berperang di Banten bawahan Pakuan Pajajaran membantu pemberontakkan Pangeran Hasanuddin, seorang putra Sunan Gunung Jati dari seorang putri Banten, Ratu Kawunganten, dengan berhasil. Kemudian Pangeran Hasanuddin diangkat oleh ayahandanya menjadi Sultan Banten.
Pada tahun 1527 Faletehan dan Pangeran Carbon dapat menaklukkan Sunda Kelapa bawahan Pakuan Pajajaran juga. Setelah itu Faletehan diangkat menjadi bupati Sunda Kelapa yang beralih nama Jayakarta sebagai wakil dari Sunan Gunung Jati. Masih pada tahun 1527 tentara Islam gabungan Demak- Cirebon dibawah komando Faletehan, Pangeran Carbon, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang berhasil mengusir armada perang Portugis dari pelabuhan Jayakarta. Pada tahun 1546, Faletehan bersama Sultan Trenggono berperang di Jawa Timur. Sultan Trenggono gugur di sana. Faletehan pulang ke Cirebon, selanjutnya meneruskan jabatannya sebagai bupati di Jayakarta. Pada tahun 1552 beliau mewakili Sunan Gunung Jati di Cirebon, karena Sunan Gunung Jati sedang bertabligh di seluruh Sunda.
Dari asal-usulnya, Faletehan dilahirkan pada tahun 1490 di Pasai, seorang putra dari Makhdar Ibrahim berasal dari Gujarat, menetap di Samudera Pasai, dan menjadi imam agama Islam. Maulana Makhdar Ibrahim adalah putra dari Maulana Abdul Ghofur alias Maulana Malik Ibrahim, seorang putra dari Barkat Zaenal Alim, ialah saudara muda dari Nurul Alim. Sedangkan Nurul Alim adalah ayahandanya dari Syarif Abdullah. Adapun Syarif Abdullah adalah ayahandanya dari Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Jadi, Faletehan adalah seorang keponakan dan menantu dari Sunan Gunung Jati. Nama lengkap dari Faletehan adalah Maulana Fadhillah Khan Al-Pasai Ibnu Maulana Makhdar Ibrahim Al-Gujarat. Ia meninggal pada tahun 1570 di Cirebon dan dimakamkan di puncak Gunung Sembung Astana Gunung Jati Cirebon berjajar sebelah timur makam Sunan Gunung Jati.
Hampir senada dengan Sulendraningrat, Sharon Siddique (1977) yang menulis disertasi doktor berjudul Relics of The Past? A Sociological Study of The Sultanates of Cirebon West Java di Fakultas Sosiologi Universitas Bielefeld mengemukakan bahwa dari pernikahan Rarasantang dengan Maulana Sultan Machmud (Syarif Abdullah), putra Nurul Alim yang berasal dari Bani Ismail dan berkuasa sebagai gubernur di kota Ismailiyah, Mesir, lahirlah dua orang anak, anak pertama bernama Syarif Hidayat yang lahir di kota Mekah dan anak kedua bernama Syarif Nurullah yang lahir dua tahun kemudian di Mesir. Berbeda dengan Fatahillah, bahwa Fatahillah atau Fadhillah Khan berasal dari Pasai yang terpaksa mengungsi ke Demak setelah Portugis mengalahkan Samudra Pasai pada tahun 1521. Di Demak, ia menikah dengan salah seorang adik dari Pangeran Trenggono, Sultan Demak, yang bernama Ratu Pembayun dan ia kemudian menjadi jenderal angkatan perang tentara Demak. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, seorang putri dari Sunan Gunung Jati, dan janda Pangeran Sabrang Lor. Selain itu dapat diketahui juga bahwa Faletehan adalah putra dari Makhdar Ibrahim berasal dari Gujarat yang menetap di Samudra Pasai dan menjadi guru agama Islam. Maulana Makhdar Ibrahim adalah putra dari Barkat Zaenal Alim, ialah saudara muda dari Nurul Alim. Sedangkan Nurul Alim adalah ayahandanya dari Syarif Abdullah. Adapun Syarif Abdullah adalah ayahandanya dari Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Jadi, Sunan Gunung Jati mempunyai hubungan saudara yang erat dengan Faletehan.
Atja (1986:14-15) dengan merujuk pada naskah CPCN telah mengidentifikasi silsilah dua pria---yang dianggap sama oleh Hoesein Djajadiningrat---yang diperkirakan menjadi pendiri kerajaan Islam Cirebon pada paruh pertama abad ke-16. Ia mengemukakan sebagai berikut.… Yang tertua dari kedua pria itu lahir di Mekah dari perkawinan seorang raja Arab, Maulana Sultan Mahmud, dari Mesir, dengan Nyai Rarasantang. Rarasantang bersama kakak laki-lakinya, Walangsungsang, dari Pakuan Pajajaran tempat ayah mereka---Siliwangi---memerintah sebagai raja, kiranya sesudah ibu mereka meninggal, pergi berkelana kemana-mana. Demikianlah mereka tiba di Mesir dan Mekah. Anak sulung dari perkawinan Rarasantang dengan orang Arab ini, Syarif Hidayat namanya, lalu kembali ke Jawa lewat Gujarat dan Pasai untuk menyebarkan agama Islam. Sebagai Susuhunan, ia lalu menjadi orang suci di Jawa Barat, serta menjadi moyang bagi dinasti kerajaan Cirebon, dan di situlah ia dapat memerintah karena ia cucu Prabu Siliwangi.
Tokoh kedua dalam CPCN diberi nama Fadhillah Khan, lahir pada tahun 1490 Masehi di Pasai sebagai anak Maulana Makhdar Ibrahim dari Gujarat. Fadhillah dari Pasai kemudian bekerja sebagai kepala pasukan, ia bertempur melawan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa, telah diterima sebagai menantu Susuhunan Jati, dan akhirnya dimakamkan di samping ayah mertuanya di makam keramat Gunung Jati---tepatnya di bukit Gunung Sembung.
Selain itu, CPCN juga menguraikan asal-usul SGJ yang lebih masuk akal---tidak dihubungkan dengan tokoh-tokoh pewayangan dan silsilah para nabi sejak Nabi Adam As. CPCN menguraikan silsilah SGJ dari garis ayah dimulai dari Rasul Muhammad, kemudian Sayid Ali yang beristrikan Siti Fatimah, Sayid Husen, Jenal Abidin, Muhammad Bakir, Jafar Sadik dari Parsi, Kasim al-Malik, Idris, Al-Bakir, Ahmad, Baidillah, Muhammad, Alwi dari Mesir. Abdulmalik, Amir, Jamaludin dari Kamboja, Ali Nurul Alim beristri puteri Mesir, Syarif Abdullah yang berputra Syarif Hidayatullah.
Berdasarkan uraian Pangeran Arya Cirebon, Syarif Hidayat adalah keturunan yang ke-18 dihitung dari Rasul Muhammad---dari abad ke tujuh sampai dengan abad ke-15, selama kurang lebih delapan abad melalui 18 generasi, yang meskipun agak masuk akal, namun sulit untuk diadakan penelitian lebih lanjut karena bahan-bahan untuk menyelidiki hal demikian lebih didasarkan atas kepercayaan yang secara turun temurun diceritakan secara lisan (lihat Atja, 1986:39-40).
Lebih jelas lagi Ayatrohaedi (1985:92) mengemukakan bahwa sebagai salah seorang wali penyebar agama Islam di Cirebon, Syarif Hidayat lebih dikenal dengan nama Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati karena setelah meninggal pada tahun 1568 ia dimakamkan di sana. Usaha penyebaran Islam ke daerah Jawa Barat pada umumnya dilakukan dengan jalan damai. Berbagai sumber babad mengisahkan bahwa raja-raja kecil yang masih memeluk agama Hindu-Budha di pedalaman umumnya memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memilih agama, sedangkan raja-raja itu sendiri tetap menolak masuk Islam.
Di dalam usaha mengislamkan tanah Sunda, Syarif Hidayat pada tahun 1526 mengirim Fadhillah Khan atau Faletehan merebut Banten, dan tahun berikutnya merebut Sunda Kalapa. Sementara itu, Syarif Hidayat sendiri pada tahun 1528 menyerahkan kekuasaan politik di Cirebon kepada anaknya, Pangeran Pasarean, dan ia memutuskan untuk berkeliling Tatar Sunda menyebarkan agama Islam.
Tidak hanya para ahli sejarah dan peneliti, para penulis cerita tentang Walisanga seperti Asnan Wahyudi (tt:126), A. R. Kafanjani (tt:39), Rahimsah (tt:134) dengan sangat yakin membedakan Sunan Gunung Jati dengan Fatahillah. Ketiganya merisaukan ragam pendapat antara Sunan Gunung Jati dengan Fatahillah atau Faletehan yang seringkali terjadi kekacauan. Orang menyangka Sunan Gunung Jati adalah Faletehan atau Fatahillah. Sebenarnya, Sunan Gunung Jati dan Fatahillah adalah dua orang yang berbeda, yang satu telah lama bermukim di Cirebon, satunya lagi adalah pejuang Demak yang berasal dari negeri Pasai atau Malaka. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana untuk membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan penjajah Portugis.
Sumber lain di luar naskah-naskah tradisi Banten dan Cirebon yang memberi jalan tentang asal-usul Syarif Hidayatullah adalah uraian dari Al Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, mantan Mufti Kerajaan Johor Malaysia, pada tahun 1957 ia mengemukakan bahwa keberhasilan dalam penyiaran agama Islam dilakukan oleh orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka, agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lain-lainnya. Hal ini disebabkan bahwa mereka itu adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Walaupun ada juga suku-suku Arab Hadramaut lainnya yang menyebarkan agama Islam, tetapi mereka ini tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Keterangan Al-Haddad sangat menarik karena mengungkapkan bahwa keberhasilan penyebaran agama Islam di Nusantara dilakukan oleh orang-orang Sayyid Syarif, yakni orang-orang keturunan Nabi Muhammad. Syarif-syarif Mekah adalah keturunan Sayidina Hasan, sedangkan yang di Serawak adalah keturunan Sayidina Husein. Syarif-syarif Mekah tidak berdagang di laut, yang banyak bekerja atau berdagang di laut adalah yang keturunan Husein, berasal dari Hadramaut, terutama sesudah serangan-serangan bangsa "Ghuz" dan Khariji atas Hadramaut (Al-Haddad, 1957/1997:56).
Jika demikian, nama Syarif Hidayat---dilihat dari nama depannya, Syarif--- termasuk salah satu nama dari kelompok ulama Arab yang datang ke Nusantara langsung dari tanah Arab, dan bukan dari Pasai (Sumatra).

Peran SGJ
Mengenai peran SGJ, Djajadiningrat (1913/1983:81) berdasarkan cerita yang berasal dari Baros dari kisah perjalanan Fransisco de Sa, menguraikan seperti ini: .. Orang Mor yang merebut kota itu adalah seorang dari keturunan rendah, namanya Faletehan---sekali-sekali Falatehan---dan dari kelahiran Pasai di Sumatra. Ketika orang-orang Portugis merebut kota ini (yaitu tahun 1521), ia pergi ke Mekah, dan di sana selama dua atau tiga tahun melakukan telaah-telaah keagamaan; setelah itu ia kembali ke Pasai. Karena melihat daerah itu tidak sesuai baginya untuk menyiarkan Islam oleh karena adanya benteng Portugis di situ, ia pergi ke Japara dan mengaku sebagai kadi Nabi Muhammad. Ia mengislamkan raja dan banyak orang lainnya. Bahkan ia mendapat seorang adik raja sebagai istri. Dari sana ia berangkat dengan izin raja ke Bantam, stad van Sunda (Banten kota Sunda) untuk melanjutkan pekerjaan pengislamannya. Ia diterima dengan baik. Kepala pemerintahan kota masuk Islam dan memberikan kepadanya fasilitas-fasilitas yang perlu untuk menyiarkan agamanya lebih lanjut. Faletehan yang melihat betapa baik keadaan untuk rencana-rencananya antara lain sifat kota itu yang membantu dan raja negeri yang berkediaman di pedalaman yang meminta kepada iparnya, raja Japara untuk mengirimkan istrinya dan beberapa pasukan kepadanya. Hal ini dikabulkan oleh raja Japara dengan mengirimkan 2000 orang. Oleh karena itu ketika Fransisco de Sa tiba di pelabuhan Sunda, maka bukan saja tidak membicarakan pembangunan sebuah benteng, sebaliknya ia menderita beberapa kerugian karena Faletehan, sehingga ia--- karena tidak siap untuk berperang---memutuskan untuk kembali ke Malaka.
Berbeda dengan pernyataan Hoesein Djajadiningrat tentang peranan Faletehan, Pangeran Arya Cirebon dalam CPCN halaman 50 baris ke-10 sampai dengan halaman 53 baris ke enam menulis yang inti (terjemahannya) sebagai berikut: … Pada waktu Susuhunan Jati Purba sedang berkumpul dihadap oleh para pembesar wilayah, para wali dan para panglima Negeri Cirebon di tengah bangsal istana Pakungwati, datanglah angkatan bersenjata Demak di bawah pimpinan Ki Padhillah (Faletehan). Susuhunan Jati menyambut gembira kedatangan mantunya, orang Besar Pase, yang berurat kawat tulang besi. Setelah itu berkatalah Susuhunan Jati kepada Ki Padhillah: "Anakku, sekarang pergilah berperang, jadilah panglima besar sekalian orang muslimin. Rebutlah negeri Banten dan Sunda Kalapa yang ada di bawah Pakwan Pajajaran, karena anakulah yang pertama dari sekian panglima Demak. Bukankah kita telah mendengar berita perihal kedatangan kesatuan bersenjata Portugis di Sunda Kalapa". Selanjutnya Susuhunan Jati berkata kepada Pangeran Cirebon dan Dipati Keling: "Kakak dengan Dipati Keling kuutus supaya berangkat untuk berperang ke negeri Banten dan Sunda Kalapa bersama-sama Panglima Padhillah yang menjadi pemimpin angkatan bersenjata Demak dan Cirebon, lenyapkanlah kekuasaan Pajajaran yang beragama Budhaparwa, dan Portugis, yang telah lama bersahabat dengan Sang Prabu". Ki Padhillah berkata lembut: "Tentang hal itu tuanku janganlah kuatir. Negeri Banten dan Sunda Kalapa akan kami datangi sekarang, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh kakakku Sultan Demak, hanya do'akanlah kami, mudah-mudahan tidak mendapat halangan, yang kami mohon agar selamat sejahtera dalam perjalanan kami sekarang."
Ambary (1998:99-100) memperkuat pernyataan Pangeran Arya Cirebon di atas, ia mengungkapkan: Di Pasai terdapat seorang ulama terkemuka, Fatahillah (Faletehan), yang melarikan diri ketika dikejar Portugis dan kemudian diterima Sultan Trenggono di Demak. Setelah berhasil menguasai Jayakarta, saat itu sebelum Islam, kemudian Fatahillah dengan dukungan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) membebaskan Sunda Kalapa (1527), kemudian juga mengakui eksistensi Kesultanan Banten.
Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa SGJ bukan Fatahillah, Fadhillah Khan, Faletehan, atau Tagaril. Untuk memperkuat kesimpulan ini CPCN halaman 76 baris ke lima sampai dengan halaman 77 baris ke12 (lihat Atja, 1986:143) memberikan gambaran mengenai sosok Fatahillah yang terjemahannya sebagai berikut. Ki Sarip (Syarif Hidayatullah) jadi Sinuhun Cirebon pada tahun Belanda (Masehi) seribu empatratus tujuhpuluh lebih sembilan (1479) , Ki Padhillah lahir pada tahun Belanda (Masehi) seribu empat ratus sembilan puluh genap (1490) di negeri Pase, ialah anak Maolana Makhdar Ibrahim, yang berasal dari negeri Gujarat, berdiam di Basem, Pase, dan menjadi guru agama Islam. Maolana Makhdar Ibrahim adalah putra Maolana Abdul Gapur atau Maolana Malik Ibrahim putra Barkat Jaenal Alim, yaitu adik Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim ayah Syarif Abdullah. Syarif Abdullah bapak Syarif Hidayatullah, jadi Ki Padhillah itu adalah keponakan Syarif Hidayatullah. Adapun adik Maolana Malik Ibrahim dinamai Akhmad Syah Jaenal Alim, yang berputra Abdurrakhman Rumi.
Dari penjelasan Pangeran Arya Cirebon dalam CPCN menjadi jelas bahwa sesungguhnya Fatahillah dilahirkan di Pasai tahun 1490 Masehi, sedangkan Syarif Hidayatullah dilahirkan pada tahun 1448. Ayah Fatahillah bernama Maulana Makhdar Ibrahim yang berasal dari Gujarat India, tinggal di Basem, Pasai Sumatra Utara. Ayahnya mempunyai garis keturunan yang sama dengan Syarif Hidayatullah, yakni dari Nurul Alim. Selain mempunyai keturunan yang sama dari Bani Hasyim, Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah.
CPCN juga menjelaskan bahwa Fatahillah telah tinggal di Demak sejak tahun 1524---tiga tahun sebelum penyerangan dan pendudukan Sunda Kelapa. Di sini Fatahillah mempunyai dua orang istri, pertama adalah Nyai Ratu Ayu, putri SGJ, janda Pangeran Sabrang Lor. Kedua adalah Nyai Ratu Pembayun, putri Sultan Demak Raden Patah, janda Pangeran Jaya Kelana putra SGJ. Jadi, Fatahillah adalah menantu SGJ dari perkawinannya dengan Nyai Ratu Ayu. Setelah Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1512 dan terjadinya perang suksesi di Demak, Fatahillah menggantikan kedudukan Pangeran Pasarean di Cirebon yang dijabatnya hingga ia wafat pada tahun 1570.

Mendekati Sumber Terpercaya
Sumber lokal yang diusulkan oleh Ibu Nina---meski tidak sejaman dengan masa hidup SGJ, paling tidak, tidak terlalu jauh---telah ada yakni naskah Pustaka Nagarakretabhumi (PNK) dari kumpulan naskah Pustaka Wangsakerta yang ditulis antara tahun 1677-1698 M yang dijadikan sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720 M. PNK telah dialihaksarakan dari huruf Jawa ke dalam huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan Naskah Pangeran Wangsakerta melalui Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
Pada naskah PNK yang digarap oleh Edi S. Ekadjati, dkk (1991:130-131). Parwa 1 Sargah 3 halaman 7 baris ke-20 sampai halaman 8 baris ke-8 dikemukakan mengenai kedua orang tua SGJ yang terjemahannya sebagai berikut: … Nay Larasantang diperistri oleh Syarif Abdullah dengan dianugerahi gelar Nay Syarifah Mudaim. Sedangkan kakaknya (Walangsungsang) dianugerahi gelar Haji Abdullah Iman Al-Jawi. Tiga bulan kemudian Haji Abdullah Iman kembali ke Pulau Jawa dan adiknya tinggal di sana (Mesir). Dari pernikahan mereka, Nay Syarifah Mudaim dengan Syarif Abdullah lahirlah seorang putra, Syarif Hidayat namanya, pada tahun 1370 Saka (1448 M).
Selanjutnya pada halaman ke-10 baris ke-10 hingga halaman ke-11 baris ke-23 dikemukakan mengenai perjalanan Syarif Hidayatullah hingga tiba di tanah Jawa yang terjemahannya sebagai berikut: Pada waktu Syarif Hidayat telah menginjak dewasa, kira-kira 20 tahun, beliau sangat taqwa dan ingin menjadi guru agama Islam, sehingga pergilah ia ke Mekah. Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri selama dua tahun. Kemudian berguru pada Syekh Ataullahi Sajjili yang menganut Imam Safi’i, (dan) setelah dua tahun kemudian ia pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru Tasawuf Rasul dan menetap di pondok saudara ayahnya, selanjutnya kembalilah ia ke negeri Mesir. … Kemudian, Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Di perjalanan ia singgah di Gujarat. Tinggal di situ selama tiga bulan, selanjutnya ke negeri Paseh (Pasei). Di sini, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya, yaitu Sayid Ishak (yang) menjadi guru agama Islam di negeri Paseh di Sumatra. Di Negeri Paseh menetap dua tahun lamanya. Kemudian ke Pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Di sini banyak penduduk (telah) memeluk agama Rasul (Islam), hasil didikan Sayid Rakhmat dari Ngampel Ghading, yang digelari Susuhunan Ampel, juga salah seorang saudaranya.
Pada naskah PNK Parwa 1 Sargah 4 yang digarap oleh Titi Nurti Nastiti dan Edi S. Ekadjati (1993) dengan tegas menyebutkan perbedaan antara SGJ dengan Fatahillah yang terjemahannya sebagai berikut:….. Selanjutnya ditulis oleh hamba pada sarga pertama Pustaka Nagarakretabhumi yaitu: Susuhunan Jati Carbon yaitu Syekh Molana Syarip Hidayatullah Meninggal pada tanggal duabelas parogelap Bulan Bhadra tahun Seribu Empat Ratus Sembilan Puluh Saka (1568 Masehi), lalu dimakamkan di puncak Gunung Nur Ciptarengga. Setelah itu menantunya, yaitu Molana Padhillah Khan Al-Gujarat, lamanya menjadi raja pendeta yang tinggal di Carbon ialah dua tahun. Jika mengikuti tulisan itu, dua tahun kemudian wafatlah menantunya yaitu Padhillah Khan pada Paroterang bulan Marga Sira, tahun Seribu Empat Ratus Sembilan Puluh Dua Saka (1570 Masehi). Dua tahun lamanya beliau mewakili Sinuhun menjadi pendeta agama Rasul di daratan bumi Sunda,
Meski demikian, keabsahan informasi juga tidak hanya sebatas pada sumber naskah yang mendekati zamannya, peninggalan-peninggalan kepurbakalaan dari jaman awal berdirinya kerajaan Cirebon seperti istana Dalem Agung Pakungwati, makam SGJ, dan barang-barang peninggalannya, merupakan bahan yang dapat memperkuat atau bahkan mematahkan berbagai pendapat terhadap tokoh SGJ.
Di luar keraton, misalnya, makam Sunan Gunung Jati di kompleks Astana Gunung Sembung merupakan situs yang membuktikan bahwa tokoh SGJ benar-benar ada, pernah hidup, dan bukan tokoh fiktif---meski riwayat hidupnya dalam naskah-naskah tradisi Cirebon penuh dengan cerita legenda. Makam ini terletak di desa Astana kurang lebih lima kilometer dari alun-alun kota Cirebon. Di sini ada dua bukit yang mengapit jalan raya Cirebon ke arah Indramayu. Di sebelah kanan (jika berjalan menuju utara) ialah bukit tempat Syekh Datuk Kahfi dimakamkan yang disebut Gunung Jati, sedangkan bukit sebelah kiri yang disebut Gunung Sembung adalah tempat dimakamkannya SGJ beserta keturunannya. Setiap hari, peziarah ke makam ini selalu ada dengan beragam tujuan; ada yang menghormatinya, mendoakannya, sekedar wisata, atau berharap barakah (ngalap berkah). Susunan makam ini terbagi ke dalam sembilan cungkup. Cungkup paling atas adalah cungkup makam SGJ yang disebut gedong (jinem) Sunan Syarif dimana terdapat 18 makam yang susunan dan penempatannya dijelaskan dalam CPCN halaman 85 baris keempat hingga halaman 90 baris ke11 yang terjemahannya---tidak semuanya dikutip---sebagai berikut:… Ketahuilah bahwa makam yang ada di puncak Gunung Sembung, yang ada di dalam gedong, ialah di antaranya masing-masing, Nyai Gedeng Tepasan atau Nyai Tepasari ialah istri Susuhunan Jati Purba, yang berputra Ratu Ayu dan adiknya, Pangeran Pasarean, yang letaknya sebelah timur makam Nyai Mas Tepasari ialah Susuhunan Jati Purba, yang letaknya di sebelah timurnya lagi ialah orang besar Pase ialah Ratu Bagus Pase, menantu Susuhunan Jati. Ratu Bagus Pase, panjang namanya, ialah Molana Mak(h)dar Ibrahim al-Gijarat, ia menjadi Panglima Bintoro, meninggal pada tahun Belanda (Masehi) seribu limaratus tujuh puluh genap (1570). Di sebelah timur Ki Fadhillah (adalah) Syarifah Mudaim, makam ibu Susuhunan Cirebon… dan seterusnya.
Informasi di atas menunjukkan bahwa susunan makam di Astana Gunung Sembung telah ada sebelum tahun 1720 Masehi ketika naskah itu ditulis, kemungkinan besar telah diatur susunannya sejak tahun 1568 Masehi, ketika SGJ dimakamkan. Keberadaan makam SGJ yang berdampingan dengan makam Fatahillah yang disebut dalam CPCN diduga kuat bahwa SGJ dengan Fatahillah adalah dua orang yang berbeda. Dan saya telah membuktikan mengunjungi langsung kedua makam tersebut.

Penutup
Dari asal-usul, peran, dan aktivitas SGJ, Atja (1973:19-20, 1986:69-70) telah sampai kepada kesimpulan bahwa: Pertama, Sunan Gunung Jati atau Susuhunan Jati, Sunan Carbon menurut tradisi dan babad atau sejarah yang ditulis lebih muda dari karya Pangeran Arya Cirebon, adalah Syarif Hidayatullah pada masa mudanya. Menurut semua babad dan tradisi yang lain, ibunya bernama Nyai Rarasantang alias Syarifah Mudaim yang menikah dengan Syarif Abdullah, raja Mesir. Syarif Hidayatullah lahir di Mekah pada tahun 1448 M. dan wafat di Cirebon pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun, dimakamkan di Pasir Jati, bagian teratas dari Wukir Saptarengga, kompleks makam Gunung Sembung lima kilometer dari kota Cirebon sekarang.
Kedua, Falatehan, Faletehan, menurut pemberitaan J. Barros dalam bukunya Da Asia, Tagaril, menurut F. Mendez Pinto dalam bukunya Perigrinacoes, dan Fadhoel'allah menurut J. Hageman adalah Fadhillah Khan (Ki Padhillah) menurut Pangeran Arya Cirebon, dilahirkan di Pasai (Paseh) yang menurut tradisi pada tahun 1490, putra Maulana Makhdar Ibrahim dari Gujarat. Fadhillah Khan wafat pada tahun 1570 di Cirebon, dimakamkan di samping Sunan Gunung Jati sebelah timurnya.
Ketiga, Falatehan, Faletehan, Fatahillah, atau Fadhillah Khan dengan Sunan Gunung Jati atau Susuhunan Jati, Kangjeng Sinuhun, atau Sunan Jati Purba bukanlah tokoh yang identik, melainkan dua orang tokoh yang berbeda, namun kegiatannya saling berjalin, terutama sebagai ulama penyebar agama Islam dan berhubungan keluarga. Sunan Gunung Jati adalah mertua Fatahillah atau Fadhillah Khan atau Falatehan, karena menikah dengan Ratu Ayu, jandanya Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak yang kedua yang wafat pada tahun 1521, dalam pertempuran laut ketika mengusir armada Portugis dari Malaka.
Kesimpulan Atja di atas didukung oleh para sejarahwan asal Jawa Barat, seperti Edi S. Ekadjati, Ayatrohaedi, dan Hassan Muarif Ambary yang menyajikan makalah mereka masing-masing dalam Seminar Nasional tentang Sunan Gunung Jati di Cirebon tanggal 23 April 2001. Belakangan saya mendukung pendapat ini.
Dengan demikian, identitas SGJ---meski melalui perbedaan pendapat tentang asal-usulnya yang cukup lama---berdasarkan informasi dari naskah-naskah lama dan sumber informasi historis serta peninggalan kepurbakalaan menunjukkan sosok yang berbeda dengan Fatahillah. Usul Ibu Nina, agar lebih meyakinkan, harus ada fakta keras untuk tidak menggunakan prinsip argumentum ex silentio, yakni dalam ketiadaan sumber yang lebih bisa dipercaya, maka interpretasi ini bisa saja untuk sementara diterima, meskipun tingkat pengujiannya tidak cukup kuat untuk bisa menghasilkan fakta keras atau fakta yang tak terbantahkan.
Sesungguhnya, jika meragukan informasi dari naskah-naskah lama, maka fakta keras yang diharapkan Ibu Nina telah ada. Bukti faktual dari makam SGJ di Gunung Sembung---meski Ibu Nina masih meragukan makam ini karena tidak ada tulisan apapun pada nisannya, padahal makam Nabi Muhammad pun tidak ada tulisan apapun namun tetap diyakini sebagai makamnya---dan informasi dari naskah-naskah yang berasal dari Cirebon tidak ada satupun naskah yang menyebut bahwa SGJ adalah tokoh yang identik dengan Fatahillah, kesemuanya menunjukkan bahwa SGJ berbeda dengan Fatahillah, meskipun dalam tradisi Banten---berdasarkan penafsiran Hoesein Djajadiningrat---adalah dua tokoh yang sama. “Fakta keras” yang paling penting adalah pengakuan Sultan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati Dr. (Hc) Maulana Pakuningrat, SH., yang menyebut bahwa dirinya adalah keturunan ke-18 langsung dari SGJ. Demikian pula dari empat keraton di Cirebon yang keturunannya diturunkan dari SGJ, yakni keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan tidak ada satupun kerabat keraton yang mengaku keturunan dari Fatahillah.
Wallahu’alam.


                     Babad Sagalaherang

Alhamdulilah ku muji syukur ka Ilahi Rabbi, sim abdi bade nyobian muka Babad Sagalaherang. Ka kasepuhan nu aya di Sagalaherang, abdi nyuhunkeun dihapunteun bilih dina bahasan aya nu teu merenah, atuh ka para anggota milis ieu kritik sareng saran diantos pisan kumargi panulisan babad ieu teu terstruktrur. Anapon sumber panulisan sajarah ieu dicandak tina buku Sajarah Cikundul ti Yayasan Cikundul Cianjur sareng katerangan para sesepuh di Sagalaherang sareng Cikundul, Cianjur.

Sagalaherang the mangrupi hiji daerah nu aya di kabupaten Subang, rada benten sareng wilayah sanesna di Subang, Sagalaherang the ayana di pagunungan janten hawana rada tiis. Dina jaman pamarentahan Padjajaran nu rajana nyaeta Prabu Siliwangi Maharaja Pasundan, kantos ngadamel jalan antawis Rangkas (Banten) dugi ka Kawali (Ciamis), ananging rutena the kieu Rangkas (lebak)-Jasinga-Bogor(Pakuan)-Cileungsi-Karawang-Purwakarta-Sagalaherang-Sumedang-Majalengka-Ciamis. Janten saleresna nami sagalaherang tos aya nalika jaman Prabu Siliwangi (nanging panginten namina sanes sagalaherang). Kapungkur di daerah ieu janten daerah penyebaran agama Islam kanggo daerah Pantura sareng priangan tengah dugi ka kulon.

Asal Kecap Sagalaherang

Ceuk sawareh Sagalaherang the asalna nalika putra Dalem Aria Wangsa Goparana nyaeta Rd Jayasasana (Dalem Aria wiratanudatar/Cikundul) dibabarkeun, harita saking ku bingah-bingahna wargi di daerah eta ngahurungkeun obor dimana-mana janten jadi cararaang malihan tempat nu buni oge sapertos leuweung janten caang (herang) kukituna janten Sagalaherang (caang,herang dimana-mana).

Pendapat nu sanes nalika Dalem Aria Wangsa Goparana nuju ngumbara mendakan hiji tempat nu sagala rupina the endah, bersih, malihan di eta tempat aya hiji sagara nu caina herang pisan, teras kanjeng dalem the abdas di eta tempat lajeng netepan. Sarengsena tempat eta disebat SagaraHerang, kumargi aya perobihan vokal Sagara digentos janten Sagala dugi ka ayeuna.

Pendiri Sagalaherang

Dalem Aria Wangsa Goparana the nu pertama ngabuka wewengkon Sagalaherang basa taun 1525 M. Anjeuna the salah sahiji waliuloh nu nyebarkeun agami Islam di daerah Pantura, Cianjur, Sukabumi, anapon makam kanjeng dalem ayana di Nangka Beurit, Sagalaherang, nepi kiwari makamna seuer dijarahan ku jalmi ti mana mendi. Keur baeula di wewengkon ieu seuer tangkal nangka nu buahna manrupi beurit, nya antukana dugi ka ayeuna disebut namgka beurit.Ari kawitna ti karajaan Talaga (majalengka) nu ngumbara ka kulon dugi ka Sagalaherang. Ari alesan kanjeng dalem ningalkeun (ngumbara) karajaan Talaga ceuk sakaol aya 2 :

Harita kanjeng Dalem tos nganggem Islam di karajaan Talaga sementawis rama-ibuna masih keneh Budha (Hindu ?). Basa ibu-ramana terang yen anjeuna tos ngagem Islam kanjeng dalem diusir ku sepuhna kajabi upami anjeuna balik ka agami lami, tapi kanjeng dalem milih ngejat ti karajaan da iman, islamna tos kiat pisan. Kanjeng Dalem sanawos anom keneh nagging tos seueur pengikut ku kituna dina ngejatna ti karajaan anjeuna diiringan ku sababaraha ponggawa sareng pajabat kerajaan nu sanesna.

Ceuk pendapat kadua kanjeng dalem kaluar ti karajaan Talaga kumargi memang anjeuna kenging tugas ti guruna kanggo nyebarkeun agami Islam sementawis sepuhna saleresna mah tos Islam hal ieu tiasa dibuktoskeun ku ayana makam sepuhna di talaga nu tos Islam (di kampung Kagok). Dina babad Cirebon disebatjeun nuju pasukan Cirebon ngayakeun hajat, raramean dugi ka wates karajaan Talaga, sementawis dina rombongan payun the pasukan Demak (urang jawa), harita ditaros make basa Sunda eta pasukan Demak atuh aya salah tarima nu antukna jadi perang rongkah. Paristiwa ieu the kadangu ku putra mahkota Talaga nyaeta Rd Aria Kikis (Dipati Wanaperi) lajeng anjeuna ngamuk bari mawa pusaka Cutak Rarang, atuh gabungan pasukan Cirebon+Demak the kadeseh mundur. Sunan Gunung Jati ti pihak Cirebon maju mayunan Rd Aria Kikis, barang jol Sunan Gunung Jati, Rd Aria Kikis masihan hormat ka anjeuna kumargi sanawis anjeuna waliuloh oge sunan gunung jati the incu ti Prabu Siliwangi nu masih aya kaitan darah sareng Rd Aria Kikis. Saleresna samemeh kajadian harita Talaga the tos Islam mung karajaan ieu the terlepas ti Cirebon, tah ti saprak kajantenan harita Talaga ngagabung jeung Cirebon malihan pusaka Cutak Rarang dipasihkeun ka Sunan Gunung Jati. Rd Aria Kikis (Dipati Wanaperi, Sunan Ciburang) the ramana Dalem Aria Wangsa Goparana.

Aria Wangsa Goparana the ngandung hartos nyaeta Aria->mangrupi hiji pangkat sami sareng Senapati (saleresna anjeuna the memang salah saurang senapati karajaan), Wangsa -> katurunan, Goparana (pamanggul senjata), janten hartosna Senapati nu turunan ti Pamanggul Senjata (menak, satria). Dihandap ieu disebat salsilah katurunan Dalem Aria Wangsa Goparana (walahu alam):

Nabi Adam

Nabi Sis

Anwar atanapi Sanghiang Nur Cahya

Sanghiang Nur Rasa

Sanghiang Wenang

Sanghiang Tunggal

Sanghiang Batara Guru

Sanghiang Batara Wisnu

Bagawan Sakri

Bagawan Palasara
Bagawan Abiyasa

Prabu Pandudewanata

Arjuna

Abimanyu

Parikesit

Udrayana

Gandra yana

Pancadrya

Paryamon

Suma wicitra

Prabu Sang Jaya Miruda

Prabu Sang Jaya Mijaya

Prabu Sang Patra Wijaya

Prabu Sri maha Punggung

Prabu Kandi Yawan

Prabu Kuripan

Maharaja Dewa Kusumah

Prabu panji mara bangun

prabu Panji Kuda Lalean

Prabu Munding Sari

Prabu Munding Wangi

Prabu Ciung Wanara

Guru Minda

Prabu Lingga Hiang

Prabu Lingga Wastu

prabu Lingga Wesi

prabu Cakra Wati

Prabu Angga larang

Prabu Siliwangi

Prabu Munding Sari Ageung

Prabu Munding Sari Leutik

Prabu Pucuk Umun

Sunan Parung Gangsa,Dipati Wanaperih,Sunan Ciburang

Dalem Aria Wangsa Goparana

Nuju pertama ngabukbak wewengkon Sagalaherang, Dalem Aria Wangsa Goparana ngajantenkeun daerah pendidikan (penyebaran) agami Islam. Masjid nu pertama diwangun nyaeta Masjid di Cikarutug, buktos Sagalaherang daerah pendidikan (penyebaran) agami Islam nyaeta ku seueurna titinggal mangrupi makam-makam kuno tokoh Islam, diantawisna di Dayeh Kolot, Cinengah, Malilin, Wanayasa (Purwakarta), Nangkabeurit, jrrd. Dugi ayeuna makam-makam eta sok dijarahan ku jalmi timana-mana, nanging nu biasa dijarahan mah nu di Nangka Beurit kumargi anjeuna salaku pamingpin di jamanna. Lami-lami Sagalaherang ieu janten rame kadongkapan ku jalmi (santri) nu bade diajar Islam ka Kanjeng Dalem, kumargi kitu perlu diadegkeun diadegkeun pamarentahan keur ngatur sakabeh rahayat. Cinengah dijantenkeun pusat pamarentahan, Dalem Aria Wangsa Goparana janten pamingpin pamarentahan jeung agami (tokoh sprituil).

Dalem Aria Wangsa Goparana sanajan turunan raja, tapi anjeuna teu ambisi ngadamel karajaan atanapi nu sajinisna (penguasa), kumargi anjeuna langkung katarik dina widang agami.

Dalem Aria Wangsa Goparana

Tos dicarioskeun yen Dalem Aria Wangsa Goparana the kawitna ti Talaga, anjeuna nuju angkat ti Talaga disarengan ku saderekna nu namina Panembahan Girilaya, kalayan heunteu kapameng janten ulama ageing leket ibadah sareng tapa kuru cileuh kentel peujit sadidinten malih kagungan pasantren ageing. Patilasan eta pasantren ayana di Talutug, Sagalaherang. Numutkeun carios samemeh ka Sagalaherang, anjeuna kantos calik di gunung gedogan sareng gunung layung heula.

Aria Wangsa Goparana the panjang yuswana, naming heunte aya katerangan anu pasti sabaraha taunna mah. Sakadar kanggo bahan nginten-nginten tiasa dicandak salsawios taun nu pasti sapertos taun lebetna Islam ka Talaga taun 1529 (tiasa oge sateuacanna ?).

Aria Wangsa Goparana pupus nalika awal-awal abad ka 17, dipendem di kampung nangka beurit, Sagalaherang.

Kanjeng Dalem Aria Wangsa Goparana ngagaduhan putra 8 :

Jayasasana (Dalem Aria Wiratanudatar, Cikundul, Cianjur)

Wiradiwangsa

Candramenggala

Santaan Kumbang

Yudanagara

Nawing Candradirana

Santaan Yudanagara

Nyi Murti

Saparantos Aria Wangsa Gopara pupus,Sagalaherang masih ngagaduhan lalakon malah rakyatna ngiring ngabaud. Dina taun 1579 sabada Padjajaran runtuh, aya bupati ageung muncul jenenganana Pangeran Geusan Ulun, wewengkona disebat Sumedang larang. Geusan Ulun ngangken yen sabagian ageung tilas Padjajaran the kalebet bawahan Sumedang Larang diantawisna Sagalaherang.

Namung para bupati aralit sabada padjajaran runtag the tos ngaraos bebas sareng mandiri, rinkesna heunteu kabawah ku Sumedang Larang. Kawuwuh anu ngarubuhkeun padjajaran the Banten, numutkeun kabiasaan waktos harita tilas wewengkon Padjajaran the kedah janten wewengkon Banten. Kumargi kitu kapaksa Geusan Ulun ngerahkeun wadyabalad kanggo naklukeun para bupati aralit nu ngaraos parantos mandiri, nanging nu dipayunkeun dirugrug the wewengkon basisir kaler sapertos Karawang, Ciasem, Pamanukan, sjb, sanawis di eta daerah tos aya wadya balad Banten.

Diantawis putra Dalem Aria Wangsa Goparana, Rd Jayasasana (Rd Aria Witanu/Cikundul) nu paling kawentar, kumargi anjeuna sanawis salah saurang waliyuolah oge janten pendiri Cianjur. Ananaging dina masalah tingkat kaimanan sareang kaelmuan mah teu aya nu uninga, panginten aya oge putera ti Dalem Aria Wangsa Goparana nu luhung ku elmu jembar ku pangawasa ngan teu kasohor (?).

Ciri khusus Dalem Cikundul.

Ceuk sakaol nalika anjeuna diwedalkeun, kawitna diuningaan ku salah saurang Aki jeung Nini nu ahli kana agami sunda sanghyang ti nagari Talun (ayeuna kalebet desa Ponggang, Sagalaherang, Subang). Yen jari panangan curuk sareng tengahna di kadua pananganna ageung sreng panjangna sami. Saur eta Aki-Nini hal ieu mangrupi tanda yen “ahir baring supagi” nu hartosna dina poe engke bakal lahir saurang raja di tatar sunda, pertanda ti Pangeran Panji Kusumah.

Pangeran Jayalalana ti burey umur 3 tahun boga karesep naek ka hiji bukit nu ngarah ka kiblat sareng tapakur di luhurna. Jalmi harita uninga yen Sang Pangeran Burey kagungan indera luar biasa seketna, terutami kana titingalian, sowanten, sareng pangrasa, sareng guang suara nu beurat (sanawis ngaharewos tiasa didangu).

Sababaraha mimggu sateuacan kalahiran Rd Jayalalana di langit Tenggara (duka sundana ?) aya bentang kemukus warna koneng kaemasan sareng buntut nu nunjuk ka arah kiblat. Saterasna Rd Jayalelana lahir sinareng heunteu diuninga bentang kamukus eta leungit tina titingalian




Tiga Keraton Cirebon, Sebuah Porselen Retak
                                         

Libur Lebaran lumayan panjang. Tak ingin menyia-nyiakan waktu selama itu untuk berdiam diri di rumah, kami pun merencanakan perjalanan ke salah satu kota di pulau Jawa. Cirebon, itu pilihan kami. Kota ini menjadi kota transit bagi para pemudik yang ingin bersilaturahmi ke kampung halaman di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, bukan itu alasan kami memilih kota ini sebagai tujuan perjalanan. Kota yang terletak di jalur pantai utara ini menyimpan banyak objek wisata, terutama karena peninggalan-peninggalan fisik sejarah masa lalu.
Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon—atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil). Ini bisa dilihat dari oleh-oleh khas kota ini yang kebanyakan berasal dari olahan udang.
Pengalaman perjalanan tim ”SH”—yang terdiri dari Bayu Dwi Mardana, Desman, Ida Rosdalina, Job Palar—ke kota rebon ini terangkum dalam tiga halaman berikut.

CIREBON — Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu saja mentok karena tentangan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di Keraton Kanoman pada tahun 1803.

Di saat yang sama di negeri Belanda nun jauh di seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda diduduki Prancis dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota pelabuhan penting bernama Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan basis kekuasaannya sendiri.
Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels sebagai penguasa baru utusan Prancis tidak mengganti seluruh pejabat Belanda di negeri ini.
Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman wafat, Belanda mulai melancarkan siasat busuk yang selalu saja mengena diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera.
Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai ”penguasa sesungguhnya” tentu saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah melantik putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan Anom V.
Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat jelas lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan mereka yang sah. Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari lingkungan Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak.
Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun menangkapnya dan membawa sang pangeran ke Batavia. Batavia dekat dengan Banten, Banten adalah sekutu ”sedarah” dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini terjadi di Batavia. Keadaan makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada Sultan ”boneka” buatan Belanda alias Sultan Anom V.
Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jika pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa, maka rakyat akan merasa kehilangan target untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun.
Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan menghadapi perlawanan ”para pemberontak”.
Deandels tentu kesal dengan kebijakan ”para anak buahnya” ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja Kanoman harus dibawa kembali ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1 Januari 1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.
Sementara di Cirebon sendiri, keraton baru disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat Pangeran Anom bertahta. Pada 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Rakyat pun mengelu-elukan Sultan baru ini. Cirebon pun akhirnya resmi memiliki tiga keraton, Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang ikhlas. Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Kasultanan Kacirebonan. Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan baru ini sehingga kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan politik sang Sultan, termasuk Sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.
Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi perjuangan yang dilakukan rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon adalah ia tidak mau menerima gaji dari pemerintah Hindia Belanda sampai akhir hayatnya.
Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka. Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus tahta. Statusnya diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan yang lain, Kasepuhan dan Kanoman.

Suram

Gengsi yang hilang ini pun berbekas sampai saat ini. Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah ”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang terakhir.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.

Kasepuhan

Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.

Kanoman

Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.

Keramik Cina

Alkisah, seorang raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati alias Syech Syarief Hidayatullah datang untuk menguji kesaktian san sunan. Oleh raja, Sunan diminta untuk menebak apakah anaknya Tan Hong Tien Nio yang populer dengan sebutan Putri Ong Tien hamil atau tidak. Sunan menebak sang putri hamil, padahal perut sang putir sengaja diisi tempat beras agar kelihatan hamil.
Sunan Gunung Jati ditertawakan oleh para pembesar raja. Namun, ternyata sang putri benar-benar hamil.
Untuk menghindari malu, Putri Ong Tien pun dikawinkan oleh raja dengan Sunan Gunung Jati. Rombongan besar pengantin datang dari Cina ke Cirebon dengan membawa keramik, porselen, piring, dan barang-barang khas Cina lainnya.
Kisah ini tak jelas kebenarannya. Yang jelas, kisah ini menuturkan persentuhan budaya antara Islam dan Cina. Makam Putri Ong Tien pun bisa dijumpai di sisi makam Sunan Gunung Jati.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal Cina.
Sekali lagi sayang, tangan-tangan jahil mencopoti porselen-porselen yang menghiasi dinding-dinding di setiap bangunan bersejarah.
                                     BUYA IMA IBNU FACHRU ROZI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar