Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan
bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran
dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah
menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang
dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi,
lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa
ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun
Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung
Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa
ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan
Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi
dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting
untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari
dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai
pengganti Prabu Wangi.
Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan
julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan
Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475.
Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan
julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata
yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran
Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh
dalam satu naungan kerajaan Pajajaran. Sebelum Prabu Jayadewata
berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana
(sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi
penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat
beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias
Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu
memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki
arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang
dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata
yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa
Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima
raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata. Berikut ini
periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata
alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan
Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten
yang dipimpin Maulana Yusuf. Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan
bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam
pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah
berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah
tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada
tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu
Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah
dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran
adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi
atau janggawareng nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga
Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya
dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang,
namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama
ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah
tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan
sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan
bukan fakta sejarah. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar