Sabtu, 18 Juni 2016

LEGENDA SUNDA-GALUH (PAJAJARAN) SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI PRABU JAYA DEWATA SILIWANGI III (Raden Pamanah Rasa)

SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJIPRABU JAYA DEWATA SILIWANGI III

(Raden Pamanah Rasa)
Masa Kerajaan Sunda – Galuh (852 – 1482 M)
Sejak tahun 852 M Kerajaan Taruma Nagara terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dengan ibukotanya Pakuan (Bogor sekarang) dan Kerajaan Galuh dengan ibukotanya Saunggalah.
Perpecahan tersebut disebabkan adanya konflik didalam keluarga kerajaan, juga akibat perbedaan dari segi budaya. Dimana orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air karena banyak menetap di dataran rendah.
SUNDA mengandung arti SUCI atau MURNI, sedangkan GALUH berarti PERMATA atau BATU MULIA
Konflik seperti ini terus terjadi, karena kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 M – 1311 M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Hingga pemerintahan Prabu Raga Suci (berkuasa 1297M–1303M) sepertinya gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur dari Saunggalah ke Kawali (kuali tempat air), kini Karangkamulyan, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Lingga Dewata (berkuasa 1350 – 1357 M), beliau adalah putera Prabu Citra Ganda, cucu Prabu Raga Suci dan cicit Prabu Darma Siksa, kerajaan Sunda-Galuh dapat disatukan kembali dengan nama Kerajaan Galuh Kawali.
Namun setelah cucu buyutnya Wastu Kancana yang bergelar Sri Baduga Maharaja Prabu Wangi Angga Larang wafat di tahun 1475 M, kerajaan Galuh Kawali kembali terpecah dua, dimana kekuasaannya dilanjutkan oleh kedua orang puteranya dengan kedudukan sederajat. Kerajaan Sunda diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal. la menempati keraton Sri Bima di Pakuan. Kerajaan Galuh diperintah oleh Ningrat Kancana dengan gelar Prabu Dewa Niskala. la menempati keraton Sura Wisesa di Kawali.
Wilayah Kerajaan Sunda dibatasi dengan Sungai Citarum dimana dari Cianjur ke arah Barat adalah wilayah Kerajaan Sunda, sedangkan dari Bandung ke arah Timur adalah wilayah Kerajaan Galuh.
Masa kejayaan Kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh) (1482 – 1535 M)
Dewa Niskala mempunyai banyak isteri dan banyak putera. Puteranya dari permaisuri adalah Raden Pamanah Rasa.
Ketika muda Raden Pamanah Rasa terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas .
Menjelang dewasa ia diberi jabatan oleh kakeknya Wastu Kancana yang pada saat itu masih menjadi Sri Baduga Maharaja di kerajaan Galuh Kawali. Jabatan yang diberikan adalah sebagai Prabu Anom dengan nama Jaya Dewata di daerah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Kawali
Ketika menjabat inilah Jaya Dewata menikahi Nyai Ambet Kasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih sebagai isteri pertama, lalu tidak berselang lama ia pun menikahi Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa sebagai isteri yang kedua dan kemudian Nyai Aci Putih putri dari Ki Dampu Awang sebagai isteri ketiga. Peristiwa pernikahan tersebut diatas terjadi ketika Jaya Dewata belum menjadi raja Pajajaran
Dari pernikahan dengan Nyai Subang Larang, Jaya Dewata dikarunia dua orang putra dan seorang putri;
1. Pangeran Walang Sungsang yang lahir tahun 1423 Masehi.
2. Nyai Rara Santang lahir tahun 1426 Masehi.
3. Sangara lahir tahun 1428 Masehi.
Berbeda dari dua isterinya yang lain isteri keduanya ini telah memegang agama Islam, agama pendatang baru dilingkungan kekuasaan kerajaan Galuh, Jaya Dewata sendiri menganut agama Sangiang (Hindu).
Pada tahun 1482 M untuk mengakhiri perpecahan kerajaan yang telah terjadi, Prabu Dewa Niskala kemudian berunding damai dengan Prabu Susuk Tunggal yang akhirnya bersepakat menikahkan Jaya Dewata dengan putri Prabu Susuk Tunggal bernama Kentring Manik Mayang. Dari pernikahan dengan Kentring, Jaya Dewata memperoleh putera bernama Sura Wisesa yang kelak menggantikan dirinya menjadi raja dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Sangiang Prabu Sura Wisesa (berkuasa 1521 – 1535 M)
Kesepakatan itu kemudian dilanjutkan dengan penyerahan tahta kerajaan kepada Jaya Dewata. Sebagaimana tertulis didalam prasasti Batu Tulis dimana diberitakan bahwa Jaya Dewata dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jaya Dewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Prabu Susuk Tunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa tunggal Sunda-Galuh dengan nama baru Kerajaan Pajajaran dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI PRABUJAYA DEWATA. Gelar terakhir ini yang kemudian resmi dipakai sampai akhir masa pemerintahannya.
Sebagai catatan, dalam pemberian gelar di kerajaan Pajaran kita akan sering menemukan sebutan ’SRI BADUGA’ atau ’SRI BADUGA MAHARAJA’ atau ’SRI BADUGA MAHARAJA RATU ……’. Jadi sebutan tersebut tidak ditujukan hanya pada satu orang raja saja. Demikian pula dengan sebutan RATU, bukan di artikan ’raja perempuan’ tetapi berarti ’penguasa’.
Maka sejak tahun 1482 M kerajaan warisan Wastu Kancana berada kembali dalam satu pemerintahan. Sejak saat itu sejarah Jawa Barat memasuki “Jaman Kerajaan Pajajaran” karena sampai saat keruntuhannya dalam tahun 1579 M pusat pemerintahannya kembali pindah ke barat yaitu ke Pakuan dan tidak lagi mengalami perpindahan. Nama lengkap ibukota ini adalah PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah ’sepi’ selama 149 tahun, rakyat Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Tindakan pertama yang diambil oleh Jaya Dewata setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana). Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Jaya Dewata yaitu Prasasti Tembaga Kebantenan yang berisi peraturan sistem pajak (upeti).
Selain itu ia juga mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun ’pagelaran’ (formasi tempur).
Dalam kepemimimpinannya kerajaan Pajajaran mencapai puncak keemasannya. Sehingga beliau kemudian diberi gelar PRABU SILIWANGI. Ini dapat dilihat dari sumber Portugis, Summa Oriental karya Tome Pires; ”… dimana pada tahun 1513 Kerajaan Pajajaran memiliki raja yang adil dan jujur. Hubungan Perdagangannya mulai dari Malaka sampai ke kepulauan Maladéwa”.
Ironisnya walau kerajaan Pajajaran terlihat sebagai negara yang kuat dan tangguh di darat, namun tidak di laut. Kelemahan di laut ini-lah kelak menjadi titik kehancuran kerajaan ini.
Dalam sumber Portugis di beritakan bahwa kerajaan Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Namun di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah ’jung’ (kapal kayu) dan beberapa ’lankaras’ (perahu) untuk kepentingan perdagangan antar-pulau (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)
Untuk mengetahui lebih lanjut beberapa peristiwa di masa pemerintahan Jaya Dewata, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan
Pemerintahan Jaya Dewata dilukiskan demikian (terjemahannya): “Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama. Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak rakyat Pajajaran yang beralih agama kepada Islam dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut ’loba’ (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan (Syarif Hidayatullah adalah cucu Jaya Dewata dari puterinya Nyai Rara Santang).
c. Prasasti Tembaga Kebantenan
Jaya Dewata disebut SUSUHUNAN, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut SACARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG) RANCAMAYA, karena ia dipusarakan di Rancamaya, Ciawi, Bogor.
Setelah Jaya Dewata wafat beliau digantikan puteranya Sura Wisesa (telah diterangkan diatas). Dalam Carita Parahiyangan, Sura Wisesa mendapat sebutan ’kasuran’ (perwira), ’kadiran’ (perkasa) dan ’kuwanen’ (pemberani).
Ia melanjutkan masa keemasan kerajaan Pajajaran yang telah diraih oleh ayahnya.
Masa kerajaan Pajajaran selanjutnya secara berturut-turut dipimpin oleh:
1. Surawisesa (1521 – 1535)
2. Ratu Dewata (1535 – 1534)
3. Ratu Sakti (1543 – 1551)
4. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)
Masa keruntuhan kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh)
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, “Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” (Pajajaran ’lenyap’ pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten dan Cirebon ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam ’pupuh kinanti’ (artinya saja)
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”
Runtuhnya kerajaan Pajajaran yaitu ketika Nusya Mulya alias Raga Mulya memerintah dengan gelar Prabu Surya Kancana(1567 – 1579). Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia juga disebut Pucuk Umun Pulasari (Panembahan Pulasari). Kini terletak sekitar Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari, Pandeglang.
Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syekh Syarif Hidayatullah telah memindahkan istana kerajaan Pajajaran ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Raja dan keluarga serta para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekedar keluar dari wilayah Istana Pakuan. Disinilah yang kemudian beredar di masyarakat bahwa kerajaan Pajajaran beserta isinya telah di ’hilang’kan (tilam). Wallahu a’lam
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Jaya Dewata.
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah ’tahta nobat’ yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata ’gigilang’ (Sriman) berarti mengkilap atau berseri.
SELESAI
Menyambung cerita Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata Siliwangi III), maka tokoh dibawah ini sangat besar peranannya dalam kehidupan keluarga Jaya Dewata, silahkan membaca… Syekh Quro
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah. Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar Perguruan Islam di Champa (Vietnam Selatan) yang bernama Syekh Yusuf Siddiq yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin, ulama besar Makkah. Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali kw., menantu Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Beberapa babad menyebutkan bahwa beliau adalah muballigh (penyebar agama) penganut madzhab Hanafiah yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa.
Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Muhammad Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong alias Sampo Po Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk menjalin hubungan perdagangan dan persahabatan dengan kesultanan Islam di Nusantara.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya turut serta Syekh Hasanuddin dengan tujuan untuk mengajar agama Islam di Kesultanan Malaka yang terletak disemananjung Malaka (Malaysia sekarang).
Setelah Syekh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, ia melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa dan mendaratlah kapal beliau di pantai Cirebon. Segeralah beliau mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di pantai pelabuhan Muara Jati. Melalui pelabuhan Muara Jati ia melanjuti da’wah ke daerah lainnya seperti Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura.
Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk Islam.
Karena dalam da’wah-nya, Syekh Quro memakai pendekatan DA’WAH BIL HIKMAH, sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI (An Nahl ayat 125), yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik”.
Syekh Quro juga turut memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam kedalam keluarga Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata – Siliwangi III). Sebab isteri keduanya Nha/Nyai Subang Larang puteri Ki Gedeng Tapa (berarti masih cucu dari Bunisora Suradipati) adalah santriwati pesantren Syekh Quro, sedangkan ketiga anaknya; Walang Sungsang, Nha/Nyai Rara Santang, dan Sangara juga mengikuti agama ibu kandungnya.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang berkembang karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Sehingga kegiatan di masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Para santri yang telah berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan. Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian disempurnakan oleh para ulama dan beberapa umat Islam yang modelnya berbentuk “joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun Pulobata, Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Karawang, alias kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama Syekh Quro.
SELESAI

Referensi
• Ayatrohaedi, 2005, Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-330-5
• Saleh Danasasmita, 2003, Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama. ISBN
• Yoseph Iskandar, 1997, Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar