SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJIPRABU JAYA DEWATA SILIWANGI III
(Raden Pamanah Rasa)
Masa Kerajaan Sunda – Galuh (852 – 1482 M)
Sejak tahun 852 M Kerajaan Taruma Nagara terpecah menjadi dua
kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dengan ibukotanya Pakuan (Bogor sekarang)
dan Kerajaan Galuh dengan ibukotanya Saunggalah.
Perpecahan tersebut disebabkan adanya konflik didalam keluarga kerajaan, juga akibat perbedaan dari segi budaya. Dimana orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air karena banyak menetap di dataran rendah.
Perpecahan tersebut disebabkan adanya konflik didalam keluarga kerajaan, juga akibat perbedaan dari segi budaya. Dimana orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air karena banyak menetap di dataran rendah.
SUNDA mengandung arti SUCI atau MURNI, sedangkan GALUH berarti PERMATA atau BATU MULIA
Konflik seperti ini terus terjadi, karena kehadiran orang Galuh
sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara
umum. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu
memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat
pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah
dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 M – 1311 M kawasan
Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja
baru yang pindah tempat.
Hingga pemerintahan Prabu Raga Suci (berkuasa 1297M–1303M)
sepertinya gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur dari Saunggalah
ke Kawali (kuali tempat air), kini Karangkamulyan, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Lingga Dewata (berkuasa 1350 – 1357 M),
beliau adalah putera Prabu Citra Ganda, cucu Prabu Raga Suci dan cicit
Prabu Darma Siksa, kerajaan Sunda-Galuh dapat disatukan kembali dengan
nama Kerajaan Galuh Kawali.
Namun setelah cucu buyutnya Wastu Kancana yang bergelar Sri Baduga
Maharaja Prabu Wangi Angga Larang wafat di tahun 1475 M, kerajaan Galuh
Kawali kembali terpecah dua, dimana kekuasaannya dilanjutkan oleh
kedua orang puteranya dengan kedudukan sederajat. Kerajaan Sunda
diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal. la
menempati keraton Sri Bima di Pakuan. Kerajaan Galuh diperintah oleh
Ningrat Kancana dengan gelar Prabu Dewa Niskala. la menempati keraton
Sura Wisesa di Kawali.
Wilayah Kerajaan Sunda dibatasi dengan Sungai Citarum dimana dari
Cianjur ke arah Barat adalah wilayah Kerajaan Sunda, sedangkan dari
Bandung ke arah Timur adalah wilayah Kerajaan Galuh.
Masa kejayaan Kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh) (1482 – 1535 M)
Dewa Niskala mempunyai banyak isteri dan banyak putera. Puteranya dari permaisuri adalah Raden Pamanah Rasa.
Ketika muda Raden Pamanah Rasa terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas .
Ketika muda Raden Pamanah Rasa terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas .
Menjelang dewasa ia diberi jabatan oleh kakeknya Wastu Kancana yang
pada saat itu masih menjadi Sri Baduga Maharaja di kerajaan Galuh
Kawali. Jabatan yang diberikan adalah sebagai Prabu Anom dengan nama
Jaya Dewata di daerah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu
wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Kawali
Ketika menjabat inilah Jaya Dewata menikahi Nyai Ambet Kasih putri
dari Ki Gedeng Sindangkasih sebagai isteri pertama, lalu tidak
berselang lama ia pun menikahi Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng
Tapa sebagai isteri yang kedua dan kemudian Nyai Aci Putih putri dari
Ki Dampu Awang sebagai isteri ketiga. Peristiwa pernikahan tersebut
diatas terjadi ketika Jaya Dewata belum menjadi raja Pajajaran
Dari pernikahan dengan Nyai Subang Larang, Jaya Dewata dikarunia dua orang putra dan seorang putri;
1. Pangeran Walang Sungsang yang lahir tahun 1423 Masehi.
2. Nyai Rara Santang lahir tahun 1426 Masehi.
3. Sangara lahir tahun 1428 Masehi.
Berbeda dari dua isterinya yang lain isteri keduanya ini telah memegang agama Islam, agama pendatang baru dilingkungan kekuasaan kerajaan Galuh, Jaya Dewata sendiri menganut agama Sangiang (Hindu).
1. Pangeran Walang Sungsang yang lahir tahun 1423 Masehi.
2. Nyai Rara Santang lahir tahun 1426 Masehi.
3. Sangara lahir tahun 1428 Masehi.
Berbeda dari dua isterinya yang lain isteri keduanya ini telah memegang agama Islam, agama pendatang baru dilingkungan kekuasaan kerajaan Galuh, Jaya Dewata sendiri menganut agama Sangiang (Hindu).
Pada tahun 1482 M untuk mengakhiri perpecahan kerajaan yang telah
terjadi, Prabu Dewa Niskala kemudian berunding damai dengan Prabu Susuk
Tunggal yang akhirnya bersepakat menikahkan Jaya Dewata dengan putri
Prabu Susuk Tunggal bernama Kentring Manik Mayang. Dari pernikahan
dengan Kentring, Jaya Dewata memperoleh putera bernama Sura Wisesa yang
kelak menggantikan dirinya menjadi raja dengan gelar Sri Baduga
Maharaja Ratu Sangiang Prabu Sura Wisesa (berkuasa 1521 – 1535 M)
Kesepakatan itu kemudian dilanjutkan dengan penyerahan tahta
kerajaan kepada Jaya Dewata. Sebagaimana tertulis didalam prasasti Batu
Tulis dimana diberitakan bahwa Jaya Dewata dinobatkan dua kali, yaitu
yang pertama ketika Jaya Dewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya
(Prabu Dewa Niskala) dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana. Yang kedua
ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Prabu Susuk
Tunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa tunggal Sunda-Galuh
dengan nama baru Kerajaan Pajajaran dan dinobatkan dengar gelar SRI
BADUGA MAHARAJA RATU HAJI PRABUJAYA DEWATA. Gelar terakhir ini yang
kemudian resmi dipakai sampai akhir masa pemerintahannya.
Sebagai catatan, dalam pemberian gelar di kerajaan Pajaran kita akan
sering menemukan sebutan ’SRI BADUGA’ atau ’SRI BADUGA MAHARAJA’ atau
’SRI BADUGA MAHARAJA RATU ……’. Jadi sebutan tersebut tidak ditujukan
hanya pada satu orang raja saja. Demikian pula dengan sebutan RATU,
bukan di artikan ’raja perempuan’ tetapi berarti ’penguasa’.
Maka sejak tahun 1482 M kerajaan warisan Wastu Kancana berada kembali dalam satu pemerintahan. Sejak saat itu sejarah Jawa Barat memasuki “Jaman Kerajaan Pajajaran” karena sampai saat keruntuhannya dalam tahun 1579 M pusat pemerintahannya kembali pindah ke barat yaitu ke Pakuan dan tidak lagi mengalami perpindahan. Nama lengkap ibukota ini adalah PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah ’sepi’ selama 149 tahun, rakyat Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Tindakan pertama yang diambil oleh Jaya Dewata setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana). Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Jaya Dewata yaitu Prasasti Tembaga Kebantenan yang berisi peraturan sistem pajak (upeti).
Selain itu ia juga mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun ’pagelaran’ (formasi tempur).
Dalam kepemimimpinannya kerajaan Pajajaran mencapai puncak keemasannya. Sehingga beliau kemudian diberi gelar PRABU SILIWANGI. Ini dapat dilihat dari sumber Portugis, Summa Oriental karya Tome Pires; ”… dimana pada tahun 1513 Kerajaan Pajajaran memiliki raja yang adil dan jujur. Hubungan Perdagangannya mulai dari Malaka sampai ke kepulauan Maladéwa”.
Ironisnya walau kerajaan Pajajaran terlihat sebagai negara yang kuat dan tangguh di darat, namun tidak di laut. Kelemahan di laut ini-lah kelak menjadi titik kehancuran kerajaan ini.
Dalam sumber Portugis di beritakan bahwa kerajaan Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Namun di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah ’jung’ (kapal kayu) dan beberapa ’lankaras’ (perahu) untuk kepentingan perdagangan antar-pulau (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)
Maka sejak tahun 1482 M kerajaan warisan Wastu Kancana berada kembali dalam satu pemerintahan. Sejak saat itu sejarah Jawa Barat memasuki “Jaman Kerajaan Pajajaran” karena sampai saat keruntuhannya dalam tahun 1579 M pusat pemerintahannya kembali pindah ke barat yaitu ke Pakuan dan tidak lagi mengalami perpindahan. Nama lengkap ibukota ini adalah PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah ’sepi’ selama 149 tahun, rakyat Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Tindakan pertama yang diambil oleh Jaya Dewata setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana). Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Jaya Dewata yaitu Prasasti Tembaga Kebantenan yang berisi peraturan sistem pajak (upeti).
Selain itu ia juga mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun ’pagelaran’ (formasi tempur).
Dalam kepemimimpinannya kerajaan Pajajaran mencapai puncak keemasannya. Sehingga beliau kemudian diberi gelar PRABU SILIWANGI. Ini dapat dilihat dari sumber Portugis, Summa Oriental karya Tome Pires; ”… dimana pada tahun 1513 Kerajaan Pajajaran memiliki raja yang adil dan jujur. Hubungan Perdagangannya mulai dari Malaka sampai ke kepulauan Maladéwa”.
Ironisnya walau kerajaan Pajajaran terlihat sebagai negara yang kuat dan tangguh di darat, namun tidak di laut. Kelemahan di laut ini-lah kelak menjadi titik kehancuran kerajaan ini.
Dalam sumber Portugis di beritakan bahwa kerajaan Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Namun di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah ’jung’ (kapal kayu) dan beberapa ’lankaras’ (perahu) untuk kepentingan perdagangan antar-pulau (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)
Untuk mengetahui lebih lanjut beberapa peristiwa di masa pemerintahan
Jaya Dewata, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan
Pemerintahan Jaya Dewata dilukiskan demikian (terjemahannya): “Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama. Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak rakyat Pajajaran yang beralih agama kepada Islam dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut ’loba’ (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
Pemerintahan Jaya Dewata dilukiskan demikian (terjemahannya): “Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama. Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak rakyat Pajajaran yang beralih agama kepada Islam dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut ’loba’ (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan (Syarif Hidayatullah adalah cucu Jaya Dewata dari puterinya Nyai Rara Santang).
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan (Syarif Hidayatullah adalah cucu Jaya Dewata dari puterinya Nyai Rara Santang).
c. Prasasti Tembaga Kebantenan
Jaya Dewata disebut SUSUHUNAN, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut SACARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG) RANCAMAYA, karena ia dipusarakan di Rancamaya, Ciawi, Bogor.
Jaya Dewata disebut SUSUHUNAN, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut SACARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG) RANCAMAYA, karena ia dipusarakan di Rancamaya, Ciawi, Bogor.
Setelah Jaya Dewata wafat beliau digantikan puteranya Sura Wisesa
(telah diterangkan diatas). Dalam Carita Parahiyangan, Sura Wisesa
mendapat sebutan ’kasuran’ (perwira), ’kadiran’ (perkasa) dan ’kuwanen’
(pemberani).
Ia melanjutkan masa keemasan kerajaan Pajajaran yang telah diraih oleh ayahnya.
Ia melanjutkan masa keemasan kerajaan Pajajaran yang telah diraih oleh ayahnya.
Masa kerajaan Pajajaran selanjutnya secara berturut-turut dipimpin oleh:
1. Surawisesa (1521 – 1535)
2. Ratu Dewata (1535 – 1534)
3. Ratu Sakti (1543 – 1551)
4. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)
1. Surawisesa (1521 – 1535)
2. Ratu Dewata (1535 – 1534)
3. Ratu Sakti (1543 – 1551)
4. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)
Masa keruntuhan kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh)
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, “Pajajaran sirna
ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang
Cakakala” (Pajajaran ’lenyap’ pada tanggal 11 bagian terang bulan
Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten dan Cirebon
ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam ’pupuh kinanti’
(artinya saja)
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”
Runtuhnya kerajaan Pajajaran yaitu ketika Nusya Mulya alias Raga
Mulya memerintah dengan gelar Prabu Surya Kancana(1567 – 1579). Raja
ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh
karena itu, ia juga disebut Pucuk Umun Pulasari (Panembahan Pulasari).
Kini terletak sekitar Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung
Palasari, Pandeglang.
Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan
yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh
sangat mudah dikabulkan, Syekh Syarif Hidayatullah telah memindahkan
istana kerajaan Pajajaran ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya
penolakan Raja dan keluarga serta para Pendeta Sunda Wiwitan untuk
tidak menerima Islam ataupun sekedar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Disinilah yang kemudian beredar di masyarakat bahwa kerajaan Pajajaran
beserta isinya telah di ’hilang’kan (tilam). Wallahu a’lam
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan
diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan
tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena
tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan
raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan
penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah
puteri Jaya Dewata.
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi
raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah ’tahta nobat’ yaitu tempat
duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas
Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi.
Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai
dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus
mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu
Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki
seperti balai-balai biasa).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata ’gigilang’ (Sriman) berarti mengkilap atau berseri.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata ’gigilang’ (Sriman) berarti mengkilap atau berseri.
SELESAI
Menyambung cerita Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Prabu
Jaya Dewata Siliwangi III), maka tokoh dibawah ini sangat besar
peranannya dalam kehidupan keluarga Jaya Dewata, silahkan membaca…
Syekh Quro
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah. Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar Perguruan Islam di Champa (Vietnam Selatan) yang bernama Syekh Yusuf Siddiq yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin, ulama besar Makkah. Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali kw., menantu Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Beberapa babad menyebutkan bahwa beliau adalah muballigh (penyebar agama) penganut madzhab Hanafiah yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa.
Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Muhammad Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong alias Sampo Po Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk menjalin hubungan perdagangan dan persahabatan dengan kesultanan Islam di Nusantara.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya turut serta Syekh Hasanuddin dengan tujuan untuk mengajar agama Islam di Kesultanan Malaka yang terletak disemananjung Malaka (Malaysia sekarang).
Setelah Syekh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, ia melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa dan mendaratlah kapal beliau di pantai Cirebon. Segeralah beliau mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di pantai pelabuhan Muara Jati. Melalui pelabuhan Muara Jati ia melanjuti da’wah ke daerah lainnya seperti Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura.
Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk Islam.
Karena dalam da’wah-nya, Syekh Quro memakai pendekatan DA’WAH BIL HIKMAH, sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI (An Nahl ayat 125), yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik”.
Syekh Quro juga turut memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam kedalam keluarga Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata – Siliwangi III). Sebab isteri keduanya Nha/Nyai Subang Larang puteri Ki Gedeng Tapa (berarti masih cucu dari Bunisora Suradipati) adalah santriwati pesantren Syekh Quro, sedangkan ketiga anaknya; Walang Sungsang, Nha/Nyai Rara Santang, dan Sangara juga mengikuti agama ibu kandungnya.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang berkembang karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Sehingga kegiatan di masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Para santri yang telah berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan. Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian disempurnakan oleh para ulama dan beberapa umat Islam yang modelnya berbentuk “joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun Pulobata, Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Karawang, alias kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama Syekh Quro.
SELESAI
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah. Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar Perguruan Islam di Champa (Vietnam Selatan) yang bernama Syekh Yusuf Siddiq yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin, ulama besar Makkah. Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali kw., menantu Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Beberapa babad menyebutkan bahwa beliau adalah muballigh (penyebar agama) penganut madzhab Hanafiah yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa.
Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Muhammad Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong alias Sampo Po Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk menjalin hubungan perdagangan dan persahabatan dengan kesultanan Islam di Nusantara.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya turut serta Syekh Hasanuddin dengan tujuan untuk mengajar agama Islam di Kesultanan Malaka yang terletak disemananjung Malaka (Malaysia sekarang).
Setelah Syekh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, ia melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa dan mendaratlah kapal beliau di pantai Cirebon. Segeralah beliau mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di pantai pelabuhan Muara Jati. Melalui pelabuhan Muara Jati ia melanjuti da’wah ke daerah lainnya seperti Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura.
Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk Islam.
Karena dalam da’wah-nya, Syekh Quro memakai pendekatan DA’WAH BIL HIKMAH, sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI (An Nahl ayat 125), yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik”.
Syekh Quro juga turut memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam kedalam keluarga Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata – Siliwangi III). Sebab isteri keduanya Nha/Nyai Subang Larang puteri Ki Gedeng Tapa (berarti masih cucu dari Bunisora Suradipati) adalah santriwati pesantren Syekh Quro, sedangkan ketiga anaknya; Walang Sungsang, Nha/Nyai Rara Santang, dan Sangara juga mengikuti agama ibu kandungnya.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang berkembang karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Sehingga kegiatan di masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Para santri yang telah berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan. Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian disempurnakan oleh para ulama dan beberapa umat Islam yang modelnya berbentuk “joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun Pulobata, Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Karawang, alias kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama Syekh Quro.
SELESAI
Referensi
• Ayatrohaedi, 2005, Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-330-5
• Saleh Danasasmita, 2003, Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama. ISBN
• Yoseph Iskandar, 1997, Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
• Ayatrohaedi, 2005, Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-330-5
• Saleh Danasasmita, 2003, Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama. ISBN
• Yoseph Iskandar, 1997, Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar