Kejayaan Pakuan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja
mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan
dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi
adalah raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan
pikiran masyarakat. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut
seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam
Carita Parahyangan, yakni menjalankan nilai- nilai Purbatisti –
Purbajati. "Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh
alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta
ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa". Hal ini sejalan
dengan tulisan Tome Pires didalam The Suma Oriental, tentang The
Kingdom of Sunda is justly geverned – Raja Sunda memerintah secara adil.
Mahakarya dari Sri Baduga diuraikan pula di dalam naskah Pustaka
Kertabumi I/2. Naskah versi Cirebon ini menyebutkan, bahwa : Sang
Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan
Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan
kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama
yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian
(kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam
formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan
perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang- undang kerajaan. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 9). Pembangunan
yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti
Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis
Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah
termakan jaman. Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah
Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk
membuat wilayah perdikan ; membuat Talaga Maharena Wijaya ; memperteguh
ibu kota ; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja
bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan. Pendidikan Pembangunan yang
berhubungan dengan Pendidikan pada dasarnya memadukan pembangunan watak
(jati diri) dan kesejahteraan umum. Hal ini dituliskan di dalam
Prasasti Kabantenan yang dibuat atas perintah langsung Sri Baduga. Saat
ini baru ditemukan 4 buah keputusan yang tertera didalam 5 lempeng
tembaga. Keputusan tersebut menyangkut masalah penentuan batas Kabuyutan
dan pembebasan pajak (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 4). Menurut Holle,
isi ringkasnya dapat diutarakan sebagai berikut : Prasasti 1 Penetapan
batas lemah dasawasasana (tanah kabuyutan) di Sundasembawa Prasasti 3–4
Penetapan batas dayeuh Jayagiri dan dayeuh Sunda Sembawa dan keputusan
pembebasan pajak ; Prasasti 5 Pengukuhan status lemah dasawasasana di
Sunda Sembawa. Prasasti 1, 2 dan 5 berupa piteket (keputusan langsung),
sedangkan Prasasti 3 dan 4 berisi tentang sakakala (tanda peringatan).
Khusus untuk Prasasti 3, 4, 5 akan dibahas tersendiri mengingat para
akhli menganggap prasasti ini mencerminkan tentang kepribadian Sri
Baduga. Prasasti 3 dan 4 menjelaskan : //o// ong awignamastu, nihan
sakakala ; rahyang nikala wastu kancana pun, turunka rahyang ningrat
kancana, maka nguni ka susuhunan ayeuna di pakuan pajajaran pun mulah mo
mihape Dayeuhan di jayagiri, deung dayeuhan di su(n)da sembawa, aya ma
nu ngabayuan inya, ulah dek ngaheuryan inya, ku na dasa, calagara, kapas
timbang, pare dondang, mang(k)a ditudi(ng) ka para muhara, mulah dek
men – Taan inya beya pun, kena inya nu purah ngabuhaya, mibuhayakeunna
ka caritaan pun, nu pageuh ngawakan na dewasanana //o// Terjemaahan :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana.
Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan
sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibukota di Jayagiri dan
ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan
memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea.
Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran
agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa. Prasasti 5 Ini
piteket nu seba ka papajaran, miteketan ka kabuyuran di sun (n)da
sembawa, aya ma nu ngabayuan, mulah aya numunah-munah inya nu
ngaheureuyan lamu aya nu kadeu paambahan lurah sunda sembawa eta lurah
kawikwan. Terjemahan : Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran.
Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang
mengurusnya. Jangan ada yang menghapus atau mengganggu nya. Bila ada
yang bersikeras menginjaknya daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar
di bunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta. Jika dicermati
peringatan yang tertera dalam Prasasti 3 dan 4 tersebut akan nampak
adanya amanat dari Wastu Kancana kepada Susuhanan Pajajaran (Sri Baduga)
yang disampaikan melalui Ningrat Kancana, untuk mengurus wilayah
Jayagiri dan Sunda Sembawa. Jika dihubungkan dengan Prasasti 1 akan
diketahui bahwa di daerah Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat batas
antara Kota dan Kabuyutuan. Sunda Sembawa didalam sejarah awal merupakan
daerah asal Terusbawa, cikal bakal raja-raja Sunda. Di daerah tersebut
pernah pula dijadikan ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman.
Kabuyutan atau Dawasasana dikelola oleh kelompok wiku, mereka mengurus
keagamaan, kesejahteraan raja, negara dan penduduk. Wilayah para wiku di
dalam prasasti 1 disebut lemah larangan, yakni daerah otonom atau
semacam perdikan, dikepalai oleh Lurah Kawikwan (Kawikuan). Dalam
prasasti 5 ditegaskan pula bahwa siapapun yang memasuki lemah larangan
tanpa ijin akan dijatuhi hukuman mati. Disekitar lemah larangan terdapat
sangga, yaitu penduduk yang mendukung keberadaan dan ngabayuan
(menghidupi) Kabuyutan. Sangga dimaksud dalam prasasti ini dimungkinkan
berada di dalam wilayah Sunda Sembawa dan Jayagiri. Dengan demikian di
Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat Lemah Rangan dan Sangga. Sri Baduga
di dalam prasasti 3 dan 4 memerintahkan agar penduduk di kedua dayeuh
ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga perorangan),
calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul) upeti
dan pare dongdang (padi 1 gotongan). Urutan pajak tersebut didalam
kropak 630 adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma, sedangkan
petugas pajak disebut Pangurang. Pare dongdang disebut panggeres reuma.
Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha,
sedangkan Reuma adalah bekas ladang. Memang contoh untuk panggeres reuma
saat ini sudah tidak ada, yang dimaksud adalah padi yang tumbuh
terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen, kemudian
ditinggalkan karena petani membuka ladang baru. Didalam keyakinan
masyarakat Sunda dimasa lalu, hasil tanah demikian milik lelembut,
karena tidak ada yang mengurusnya, namun pelaksanaan panennya diwakilkan
menjadi hak milik raja, sehingga padi yang tumbuh demkian selanjutnya
menjadi hak raja atau penguasa setempat. Dongdang adalah alat pikul
seperti tempat tidur persegi empat yang diberi tali atau tangkai
berlubang untuk memasukan pikulan. Dongdang harus selalu di gotong.
Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga
disebut dongdang (berayun). Dongdang biasanya digunakan untuk membawa
barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, pare
dongdang atau penggeres reuma lebih bersifat barang antaran. Kewajiban
yang benar-benar harus ditunaikan adalah pajak tenaga atau dasa dan
calagra, di Majapahit disebut walaghara atau pasukan kerja bakti.
Didalam memenuhi dasa dan calagra dilakukan untuk kepentingan raja,
diantaranya tugas untuk menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air
(ngikis), bekerja di ladang atau di serang ageung atau ladang kerajaan
yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi. Sistem dasa dan
calagara masih diteruskan pada masa para Bupati Belanda. Pada masa itu
wilayah Jawa Barat sudah diserahkan Mataram kepada Belanda. Sedangkan
kekuasaan Mataram di Jawa Barat didapatkan, karena adanya penyerahan
begitu saja oleh Suradiwangsa kepada Sultan Agung, raja Sumedang Larang,
pengganti Prabu Geusan Ulun. Sistim ini sebagai bentuk simbiosa
mutualisma para Bupati dalam mempertahankan batas wilayah kekuasannya
dengan kepentingan Belanda yang membutuhkan hasil bumi, konon wilayah
Jawa Barat merupakan penghasil kopi terbaik. Padahal di negara Belanda
sendiri tidak mengenal sistem semacam ini. Belanda memanfaatkan sistim
ini untuk kerja rodi. Bentuk dasa diubah menjadi Heerendiensten, yakni
bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar yang memang bertujuan
untuk kepentingan Belanda dan pribadi para bupati, bukan untuk
kepentingan umum seperti pada masa Sri Baduga. Disamping pajak ada pula
yang disebut beya (restribusi) yang dipungut di pelabuhan, muara sungai,
tempat penyebrangan dan tempat-tempat lainnya. Didalam Prasasti 3 dan 4
penduduk Sunda Sembawa dan Jayagiri dibebaskan dari seluruh pajak dan
restribusi. Hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk mengurus kabuyutan
yang terletak di keua perbatasan Jayagiri dan Sunda Sembawa. Dalam
kaitan ini dapat dipahami, dengan memajukan lemah larangan atau lurah
kawikwan (kawikuan), Sri Baduga memajukan pula pendidikan bagi semua
kalangan melalui lembaga – lembaga binayapanti yang ada didaerah
tersebut. Binayapanti yang dimaksud adalah tempat belajar atau pesantren
yang ada di lemah larangan atau kabuyutan. Sama halnya dengan Kabuyutan
yang dikembangkan oleh Prabu Darmasiksa dimasa lalu. Didalam membahas
Kabuyutan memang seolah-olah ada beberapa perbedaan fungsi, terutama
antara Kabuyutan yang dikisahkan di Galunggung, Kanekes, Sukabumi
(prasasti Cibadak) dan Sunda Sembawa. Fungsi kabuyutan Sunda Sembawa dan
Jayagiri adalah Kabuyutan lemah Dawasasana yang berhubungan dengan
dewa-dewa. Sedangkan Kabuyutan di Kanekes, atau Sasakadomas adalah
Kabuyutan Jati Sunda atau Kabuyutan Parahyangan yang berhubungan dengan
para leluhur. (RPMSJB, Jilid ke 4, hal. 6). Masyarakat Sunda pada masa
Pajajaran memiliki hirarki pemerintahan yang jelas. Hirarki tersebut
merupakan satu kesatuan antara manusia dengan Hiyang, sehingga dapat
diketahui juga tentang tingkatan Kabuyutan. Tingkatan tersebut, yakni :
Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada Nanganan ; Nanganan
tunduk kepada Mangkubumi ; Mangkubumi tunduk kepada Raja ; Raja tunduk
kepada Dewa ; Dewa tunduk kepada Hyang. Sumber dari Prasasti Batu Tulis
Karya Sri Baduga tercantum pula didalam Prasasti Batu tulis yang dibuat
pada masa Surawisesa pada tahun 1455 saka atau 1533 masehi. Prasasti
tersebut menerangkan sebagai berikut : ++ Wang na pun ini sakakala,
prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana
diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri
sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa
niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu
ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala
ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya
siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++ Terjemahan : Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan
dengan gelar Prabuguru Dewataprana ; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar
Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak
Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala
Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. / Dialah yang membuat tanda
peringatan berupa gunung- gunungan, mengeraskan jalan dengan batu
membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang
membuat semua itu). / dibuat dalam tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi
(1455). Prasasti tersebut menunjukan adanya karya Sri Baduga, yakni
membuat parit pertahanan ; gunung-gunungan ; mengeraskan jalan dengan
batu membuat hutan samida ; dan membuat telaga Rena Mahawijaya. Namun
dakam hal ini penulis hanya akan menyajikan beberapa saja. Parit
Pertahanan Arti kata nyusuk lebih sering diterjemaahkan sebagai membuat
Parit. Hal yang sama dilakukan oleh Tarusbawa, Banga, Hyang Batari dan
Niskala Wastu Kancana yang tercantum didalam naskah maupun prasasti
(Galunggung dan Batutulis). Parit ini kelak akan dicoba ketangguhannya
dalam beberapa kali menghadapi serangan Banten. Konon benteng tersebut
hanya dapat dijebol setelah ada pengkhianatan yang membuka pintu benteng
dari dalam. Parit yang dibangun Sri Baduga bertujuan untuk melindungi
Sri Bima. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing
sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota
tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng
kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte
menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh. Hampir semua peneliti berpedoman
pada laporan Kapiten Winkler yang berkunjung ke Batutulis pada tanggal
14 Juni 1690. Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang
digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7
batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini
memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan
batu-batu bekas balay yang lama. Penelitian lanjutan membuktian bahwa
benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah
dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte
brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam
dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas
lokasi gerbang. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung
Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian
bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading.
Setelah menyilang di jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar
dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara jalan Suryakencana
dengan jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, bekas pondasi
benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.
Deretan kios dekat simpangan jalan Siliwangi – jalan Batutulis juga
didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut
bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta
Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng
Ciliwung melewati kompleks perkantoran PDAM, lalu menyilang jalan Raya
Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus
jalan Siliwangi, di sini dahulu terdapat gerbang, terus memanjang sampai
Kampung Lawang Gintung. Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini
bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam
sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota
Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing
Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing
Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung
Cincaw. Sakakala Gugunungan Sakakala Gugunungan dimaksud merupakan
tanda peringatan berupa gunung-gunungan yang letaknya diperkirakan
terdapat di Badigul Rancamaya. Bukit Badigul memperoleh namanya dari
penduduk karena penampakannya yang unik. Sebelum tahun 1984 bukit
tersebut hampir gersang dan berbentuk seperti parabola dan tampak
seperti wajan terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Badigul
hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu
dikerok sampai mencapai bentuk parabola. Badigul dimungkinan waktu itu
dijadikan Bukit Punden tempat berziarah, sama dengan yang dimaksud dalam
rajah Waruga Pakuan dengan Sanghiyang Padungkulan. Kedekatan telaga
(diperkirakan di Rancamaya) dengan bukit punden bukanlah tradisi baru.
Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu
melakukan upacara mandi suci di Gangganadi, Setu Gangga yang terletak
dalam istana Kerajaan Indraprahasta - Cirebon Girang. Setelah bermandi
suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Jalan Berbatu. Jalan berbatuan pernah ditemukan oleh regu ekspedisi
Scipio pada tahun 1687, terletakdiantara Bogor dan Rancamaya. Hal yang
sama ditemukan pula oleh Winkler (1690), tidak jauh dari prasasti
ditemukan jalan berbatuan yang rapi menuju kearah Paseban dan ditandai
oleh tujuh pohon beringin. Disebelah jalan tersebut diperkirakan bekas
berdirinya Sri Bima. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 8). Menurut Sutaarga
(1966), kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat
dilalui gerobak-gerobak, Beberapa kilometer kearah utara Muaraberes di
kali Ciliwung dan Ciampea masih ada bekas- bekas dermaga. Posisi ini
berada disebelah barat dari Pakuan. Di Kali Cisadane semestinya dapat
ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena
kedua tempat itu merupakan batas sungai yang dapat dilayari sampai ke
muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman. Dari Pakuan ada sebuah
jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede,
Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske
Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat
kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin
semacam jalan tol). Samida Samida adalah hutan yang kayunya di gunakan
untuk pembakaran jenasah. Jenis kayu ini hampir sama dengan cemara dan
pinus yang mudah terbakar. Hutan ini diperkirakan terletak diluar Pakuan
dan berada di perbukitan. Jenis kayu demikian biasanya tumbuh didataran
tinggi dan bercuaca dingin, sehingga dimungkiknkan tumbuh subur di
wilayah Bogor. Telaga Rena Mahawijaya Winkler pada abad ke 17 dalam
penelitiannya tidak menemukan bekas telaga tersebut, dimungkinkan telah
jebol pasca serangan Banten, atau memang telah hancur karena bencana
alam. Kesulitan menemukan telaga ini berakibat banyaknya dugaan-dugaan.
Pleyte menyebutkan, bahwa telaga yang dimaksud adalah kolam tua di
Kotabatu, terletak lima kilo meter sebelah barat daya Pakuan. Sebelumnya
ditemukan banyak patung disana, kemudian oleh Friederich dipindahkan ke
kebon raya, namun luas kolam tersebut tidak memenuhi syarat jika
disebutkan sebagai telaga. Pada masa sesudahnya, Poerbacaraka (1921)
menyebutkan, bahwa yang dimaksud Telaga Rena Wijaya tersebut adalah
Telaga Warna yang terletak di daerah puncak. Dugaan tersebut tidak
beralasan, mengingat di dalam Bujangga Manik, sekitar tahun 1473 – 1478
ia pernah berhenti di dekat Talagawarna dana masih tetap utuh. Kisah
Bujangga Manik tersebut menyebutkan, sebagai berikut : Sananyjak aing ka
Bangis, / Ku ngaing geus / aleumpang, / Nepi ka Talaga Hening, /
Ngahusir aing ka Peusing. Menurut Suhamir Salmun telaga ini terletak
pada aliran Ciliwung. Namun para petutur Pantun mengisahkan, bahwa :
“telaga yang berada pada aliran Ciliwung disebut Kamalawijaya (kamala =
air), sedangkan yang berada di Rancamaya disebut Rena Wijaya. Istilah
Rena Wijaya menjadi Rancamaya disebabkan lidah urang sunda yang lebih
familir menyebutkan Ranca ketimbang menyebutkan Rena. Hal ini dianggap
sejalan dengan naskah Carita Parahyangan, yang menyatakan Rancamaya
pernah disaeuran (di bandung) oleh Sang Haluwesi, adik Susuktunggal.
(RPMSJB, Jilid Keempat, hal.8) Menurut Amir Sutaarga (1966), danau
buatan tersebut menahan air sungai Ciliwung dari Bantar Peuteuy sampai
dengan Babakan Pilar. Jika dilihat dari ketinggian air mancur (tugu,
pilar), dari sisi jalan raya Jakarta – Bogor (bukan dari jalan tol),
kemudian turun kebawah menuruni Sungai Ciliwung, maka akan nampak adanya
penyempitan pada tepi sungai ini, dan dasar pada sungai ini jatuh
dibawah masih kelihatan penumpukan batu-batu kali yang besar. Sutaarga
menggambarkan keadaan tersebut setelah terinspirasi dari informasi juru
pantun Bogor : Inyana laju nindak deui / ka leuwi Kipatahunan / anu
kiwari disarebutna / Sipatahunan atawa Cipatahunan / nu aya di talaga
panjang / nu ngaran Talaga Kamala Rena Wijaya / anu kiwari mah ngan kari
urut / nyanghulu ka Bantar Peuteuy / nunjangna ka Babakan Pilar. (ia
kemudian pergi lagi / ke lubuk Kipatahunan / yang sekarang disebut orang
/ Sipatahunan atau Cipatahunan / yang adanya di Telaga Kemala Rena
Wijaya / yang sekarang hanya tinggal bekasnya / beruhulu ke Bantar
Peuteuy / ujung kakinya pada Babakan Pilar). Bila diteliti keadaan sawah
di Rancamaya sebelum dijadikan real estate, dapat diperkirakan bahwa
dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit
Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan
dengan Kampung Bojong. Sebelum tahun 1966, di sisi utara lapang bola
Rancamaya, merupakan tepi telaga yang bersambung dengan kaki bukit.
Alasan lainnya, kedekatan Cirancamaya dengan Badigul melambangkan adanya
kesatuan Sunda dengan Galuh, yakni Cirancamaya dilambangkan sebagai
urang Galuh (air) sedangkan gunung Badigul dilambangkan sebagai urang
Sunda (gunung). Sri Baduga disebut Sang Lumahing (Sang Mokteng) di
Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya, sehingga Rancamaya
dianggap memiliki nilai yang tersendiri. Rancamaya terletak kira-kira 7
Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang
sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs
makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput
halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu
terdapat Pohon Hampelas Badak setinggi 25 meter dan pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah dihancurkan, bahkan sudah dirikan Real
Estate. Konon surat keputusan tentang Cagar Budaya tidak mampu menahan
laju pembangunan – Pre Historis, namun pernah di dalamnya ditambah
sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran,
ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf
Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah
dipopulerkan orang sebagai Makam Wali, sama seperti kuburan Embah Jepra
pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya, disebut sebagai
makam Raja Galuh. Mungkin pula sama dengan klim Gus Dur terhadap Makam
leluhur Panjalu di Situ Lengkong. Jadi kapan ditatar Sunda bisa memiliki
jejak ‘Karuhun’-nya. Dari berita Portugis Pada tahun 1513 Portugis
mengunjungi Pajajaran dengan membawa empat kapal. Berita ini diketahui
dari catatan Tome Pires yang ikut dalam rombongan tersebut. pada
kesempatan ini pula Tome Pires berhasil mewawancarai beberapa pihak yang
ada di Pajajaran, untuk kemudian ia bukukan didalam “The Suma
Oriental”. Dari penelitiannya Tome Pires mengetahui wilayah pelabuhan
yang termasuk yuridiksi Pajajaran. Ia menyebutkan Banten, Pontang,
Cigede, (muara Cidurian), Tamgara (muara Cisadane), Kalapa, Karawang dan
Cimanuk, sedangkan Cirebon pada waktu itu telah memisahkan diri. Tapi
Pires hanya menyebutkan, bahwa Cirebon termasuk wilayah Demak. Untuk
kemudian ia membahas Cirebon dalam babnya tentang Jawa. Dayo (dayeuh) di
istilahkan untuk menyebut ibukota yang terletak sejauh dua hari
perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Rumah-rumah di Pakuan indah- indah dan
besar, terbuat dari kayu palem, sedangkan istana raja (Sri Bima)
dikelilingi oleh 330 pilar, masing-masing sebesar tong anggur yang
tinggi + 9 meter dan dihiasi berbagai macam ukiran pada puncaknya.
Menurut RPMSJB (1983-1984), Pires menyebutkan Sunda sebagai negeri
ksatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar keseganap pelosok
negeri sampai ke Maladewa. Komoditi perdagangan yang terpenting adalah
beras (10 jung pertahun), lada (1.000 bahar setahun), kain tenun
(diekspor ke Malaka). Demikian pula sayuran dan daging sampai melimpah,
bahkan tamarin (asam) cukup untuk dimuat dalam seribu kapal. (Jilid
keempat, hal 10). Pajajaran telah mengenal alat tukar, berupa uang emas
dan kepeng. Pajajaran juga sebagai importir tekstil halus dari Cambay
dan kuda Pariaman yang mencapai 4.000 ekor setahun. Kuda tersebut
digunakan sebagai alat pengangkutan, angkatan perang dan berburu yang
merupakan olah raga kaum bangsawan. Kesan Tome Pires terhadap Urang
Sunda waktu itu adalah : menarik (goodly figure), ramah, tinggi, kekar
(robust), dan ‘the are true man’ – mereka orang jujur. Sedangkan
terhadap pemerintahan Sri Baduga mencatat, bahwa :”Kerajaan Sunda
diperintah dengan adil “ (The Kingdom of Sunda is justly geverned). Dari
kebebasaran tersebut, ada lantunan Ki Baju Rombeng, Juru Pantun dari
Bogor yang hidup pada awal ke 20. Talung talung keur Pajajaran / jaman
aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit
tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani
nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar
ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti
/ ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah /
tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada
petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***) Sumber Bacaan : Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu
Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 –
1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung - 1966. Kebudayaan Sunda
(Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya,
Bandung, Cet Kedua – 2005 Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2,
Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005. Rintisan Penelusuran Masa Silam
Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan
Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten,
Bandung – 2005. Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT
II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar