Astana Gede peninggalan masa kerajaan Galuh sekitar abad ke – 14 Masehi
yang merupakan tempat suci pemerintahan sunda Galuh di Kawali pada zaman
dahulu Astana Gede bernama Kabuyutan Sanghyang Lingga Hiyang ( Astana =
Makam dan Gede = Besar ). Yaitu makam Adipati Singacala sebagai Raja
Kawali tahun 1643 – 1718 M keturunan Sultan Cirebon yang menganut agama
Islam. Raja – raja Kwali terdahulu masih menganut Agama Hindu. Jadi di
konflek itu ada peninggalan Hindu.
Sebagai pusat pemerintahan raja – raja yang pernah bertahta adalah Prabu
Ajiguna Linggawisesa yang dikenal Sang Lumanghing Kiding. Prabu Raga
Mulya ( Aki Kolot ) Prabu Lingga Buana gugur pada Peristiwa Babat.
Rahyang Niskala Wastukencana yang meninggalkan beberapa prasasti dan
Dewa Niskala anak dari Rahyang Watukencana.
Lokasi Astana Gede sebelah utara 27 km dari Kab. Ciamis, di dusun
Indrayasa Desa Kawali Kec. Kawali Kab. Ciamis. Luas wilayah area Astana
Gede adalah 5 Ha. Di sekelilingnya rimbun dengan pepohonan letaknya di
kaki gunung Sawal yang di sekelilingnya ada sungai. Keadaan situs
merupakan hutan lindung yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, tanaman
keras.menurut temuan arkeologi bila di lihat dari tinggalan budayanya
kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah
klasik dan periode Islam.
Bentuk budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik
punden berundak, lumpang batu, menhir, yoni, ke tradisi klasik (
prasasti ) berlanjut ke tradisi Islam di tandai dengan adanya makam
kuno. Adapun Mata Air Cikawali tak pernah surut.
Benda – benda peninggalan sejarah purbakala sebagai warisan budaya
memiliki fungsi dan peran penting di berbagai bidang terutama budaya.
Sebagai perlindungan terhadap cagar budaya pemerintah mengeluarkan UU
yang di sebut UU Cagar Budaya no. 5 tahun 1992, salah satu pasal 26 : “
Barang siapa yang sengaja merusak Benda Cagar Budaya dan Situs serta
lingkungannya atau membawa, memindahkan benda cagar budaya dan situs
tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 di
pidana dengan penjara selama – lamanya 10 tahun atau denda setinggi –
tingginya 100 juta ”.
Situs Astana Gede Kawali di samping sebagai taman Cagar Budaya dan
sebagai Objek Wisata Budaya juga merupakan objek ilmu pengetahuan.
Peneitian di Astana Gede mulai dilakukan pada zaman Belanda, tetapi
lebih menitikberatkan pada prasasti rangka pembangunan cungkup. Tahun
1993 Tim Puslit Arkenas dan Balar Bandung mengadakan pendataan
arkeologis. Hasilnya menunjukkan bahwa situs Astana Gede Kawali berasal
dari masa prasejarah, klasik dan Islam, seperti yang telah disebutkan di
muka.
Sedangkan yang pertama menemukan adalah Thomas Raffles pada tahun 1817
diteruskan oleh Gubernur Jenderal Dumer Van Twiest tahun 1853, prioderik
tahun 1855, Brumund tahun 1867, Tuan Veth tahun 1896, Pleyte tahun
1911, De Haan tahun 1912 dan dipugar oleh Puslit Arkenas tahun 1984 s / d
tahun 1985 sedangkan pemagaran oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala dari Banten pada tahun 1992 s / d 1993 dan yang pernah
mengekakavasi dari BALAR dan SUAKA.
Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti
yang ditemukan di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, Jawa
Barat, terutama pada prasasti "utama" yang bertulisan paling banyak
(Prasasti Kawali I). Adapun secara keseluruhan, terdapat enam prasasti.
Kesemua prasasti ini menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga).
Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal
dari paruh kedua abad ke-14 berdasarkan nama raja.
Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti
naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara,
dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau
tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana,
penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang
gugur di Bubat.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada disebelah
utara atau 27 km dari ibu kota kabupaten Ciamis letaknya berada dikaki
gunung sawaldisebelah selatan sungai cibulan, yang mengalir dari barat
ke timur, disebelah timur berupa parit kecil dari sungai cimuntur yang
mengalir dari sebelah utara ke selatan, sebelah utara sungai
cikadongdong dan sebelah barat sungai cigarunggang.
Kedaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi
dengan berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras diantaranya termasuk
familia meliceae, lacocarpceae, euphorbiaceae, sapidanceae dan
lain-lain, tanaman palawija, rotan, salak, cengkih dll.
Raja-Raja Galuh yang berpusat di Kawali
1. Kawali sebagai pusat kerajaan Sunda Galuh
a. Ratna Umi Lestari (1333-1340 M)
Beliau adalah Putri Lingga Dewata raja Sunda Galuh ke XXI, yang kawin
dengan Prabu Sang Ajiguna Linggawisesa. Menjadi raja Sunda Galuh ke XXII
dengan pusat pemerintahan di Kawali, kratonnya di sebut surawisesa.
Mereka mempunyai 3 anak
1. Ragamulya
2. Dewi Kiranasari
3. Prabu Suryadewata yang menurunkan raja-raja di Talaga (Majalengka)
b. Prabu Ragamulya (Sang Aki Kolot) (1340-1350 M)
Putra pertama sebagi raja Sunda Galuh ke-23 berpusat di Kawali. Beranak 2 yaitu Linggabuana & Bunisora
c. Prabu Linggabuana (Prabu Banyakwangi) (1350-1357)
Putra pertama Ragamulya sebagai raja Sunda Galuh ke-24 menikah dengan
Dewi Laralinsing da beranak 3 yaitu: Diah Pitaloka, Wastukencana, Ratna
Parwati.
d. Sang Bunisora (Batara Resi Guru Jampang) (1357-1371 M)
Terkenal dengan Mangkubumi Suradhipati sebagai raja sunda galuh ke 25 menikah dengan Dewi Laksmiwati, beranak 4
1. Giri Dewata menikah dengan Ratna Kirana Putri Ratu Carbon Girang
2. Bratalegawa menikah dengan Wanita Gujarat
3. Ratu Banawati
4. Ratu Mayangsari menikah dengan Wastukencana.
5. Prabu Niskala Wastukencana (1371-1475 M)
Menjadi raja sunda galuh ke 26 (104 thn) 114 pada masa inilah
prasasti-prasasti yang ada di astana Gede Kawali. Di makamkan di Nusa
Larang (Situ Lengkong). Menikah dengan Larasarkah putri Resis susuk
lampung. Beranak 1 yaitu Haliwungan.
6. Ningrat Kencana (Dewa Niskala) 1475-1484 M
Sering disebu Prabu Anggalarang dalam babad cirebon dan berselisih dengan kakaknya susuk tunggal Raja Sunda berpusat di Bogor.
Penguasa dan Bupati Kawali
1. Prabu Jayadiningrat (1484-1528)
Saudara Prabu siliwangi sepeninggal beliau Kawali diberikan kepada
adiknya tapi tidak seibu sedangkan adik yang satu lagi bernama
Kusumalaya/anjar kutamanggu memilih pergi ke talaga untuk menolong putri
talaga yang bernama sibarkencana yang bingung karena ayanya talaga
Manggung ada yang membunuh
2. Pangeran Dungkut (lungkut) 1528-1575 M
Putra raja kuningan yang bernama Lanangbuana bersaudara dengan putri
Mayang Kuning dan Masang Sari. Menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti
Jayaningrat setelah menyerbu Cirebon tetapi kalah di medan perang Gunung
Gundul Palimanan.
3. Pangeran Bangsit (1575-1592 M)
Disebut juga Mas Palembang, putra Pangeran Dungkrut, beranak 2 yaitu
Endang Satwika dan Mahadikusumah yang melanjutkan pemerintahan
menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama islam di kawali.
4. Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung
Putra Pangeran Bangsit. Putri pertama Adi Dampal kedua Apun Emas istrinya Hariang Natabaya putri ketiga Tanduran di Anjung.
5. Pangeras Usman
Menikah dengan putri Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah). Pangeran
Usman punya ide agar tempat pemujaan hindu yaitu situs kawali di jadikan
pemakaman beliau dan beliau yang pertama di makamkan di situs kawali.
Kemudian diteruskan oleh Adipati Singacala yang membongkar punden
berundak untuk dijadikan makam sehingga terkenal dengan “Sanghyang
Lingga Hyang”
6. Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M)
Putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit menjadi menantu Pangeran Usman karena menikah dengan Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman.
Beranak 3. 1. Satia Meta 2. Bayu Nagasari 3. Nyi Mas Bumi
Mulai saat ini sebutan Pangeran di ganti dengan sebutan Dalem, karena
Kawali sudah berbentuk kabupaten. Dimakamkan situs Kawali atas
keinginanya agar Punden Berundak tampat pemujaan hindu dibongkar dan
dijadikan makamnya.
Sehingga orang datang ke situs kawali bukan memuja kepada berhala tapi
datang ke makam beliau, inilah salah satu taktik penyebaran islam di
daerah Kawali yang di dorong oleh mertuanya, sehingga di kenal dengan
Astana Gede.
Prasasti
Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di
Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota
Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat
berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir,
prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.
Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil
penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam
bukuHistory of Java (1817).
Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di
antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode
1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888),
Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di
antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).
Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan
bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal
dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan
di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs
Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa
dahulu.
Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki
peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter
persegi. Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang
bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali
berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15
cm, dan tebal 10 cm.
Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga.
Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di
Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga
setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah
menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah
disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin
sudah hilang.
Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali,
Adipati Singacala (1643-1718), yang terletak di puncak punden berundak
di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih
ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini.
Berikut ini tentang enam prasasti dan keterangannya serta situs lainnya
Prasasti Kawali I
Terbentuk dari bahan batu andesit, bentuknya segi empat tidak beraturan,
letak melintang dari arah utara ke selatan, bidang tulisan terbagi atas
10 garis yang digoreskan secara sejajar dengan jarak antara 6 – 7 cm.
Dalamnya goresan 3 – 4 mm.
Isi
Nihan Tapa Wa lar nu si ya mulia tapa ( k ) bhana parebu raja wastu
mangadeg de kuta kawali nu mahayuna kadatuan surawisesa nu marigi sa
kuliling dayoh nu najur sakala desa aya ma nu pandori pakena gawe rahayu
pakon hobol jaya di buwana.
Terjemahan
Inilah tanda bekas beliau yang mulia prabu raja wastu yang memerintah di
kota kawali yang memperindah keraton surawisesa, yang membuat parit
sekeliling ibu kota yang memakmurkan seluruh desa semoga ada penerus
yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Prasasti Kawali II
Bentuknya menyerupai sandaran arca, segi lima beraturan, ukuran tinggi 115 cm, lebar bawah 70 cm.
Isi
Aya manu nosi gya kawali ini pakena kerta bener pakon na ( n ) jor na juritan.
Terjemahan
Semoga ada yang menghuni dayeuh kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Prasasti kawali II berisi suatu harapan untuk orang – orang yang
mendiami daerah kawali yang karena keamanannya merupakan suatu syarat
untuk menang dalam peperangan.
Prasasti Kawali III
Berbentuk segi lima tidak beraturan, letaknya melintang ke arah selatan –
utara dengan ukuran panjang kanan 75 cm, panjang kiri 55 cm, lebar
bawah 60 cm, lebar atas 113 cm, lebar tengah 111 cm pada bidang atas
terdapat tulisan dan tanda – tanda yang terdiri atas sepanjang kaki dan
telapak tangan kiri, di atas telapak tangan dan kaki terdapat goresan –
goresan dan ada tulisan di sebelah kiri bidang – bidang persegi berbunyi
angana ada juga yang mengartikannya dengan angana artinya sendiri.
Namun ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa tulisan itu di artikan
datang, menghampiri.
Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tempat itu merupakan tempat wastu
kencana dalam merenungi dirinya. Hal ini sejalan dengan arti tulisan
anggana artinya sendiri.
Batu tapak merupakan tempat kegiatan wastu kencana melakukan tafakur,
sebagaimana yang selalu di perintahkan oleh Bunisora Suradipati.
Sementara itu lambang kotak – kotak pada batu tapak tersebut ada yang
mengartikan sebagai perlambangan, diartikan lima buah segi empat / kotak
yang letaknya sejajar diartikan sebagai panca indera. Sedangkan
kesembilan bidang segi empat yang letaknya melintang di artikan sebagai
lubang – lubang yang ada pada tubuh manusia.pendapat lain mengemukakan
bahwa kotak – kotak pada batu prasasti III ini merupakan sebuah kalender
/ kolenjer yang digunakan untuk menghitung hari yang dianggap baik.
Sedangkan telapak kaki dan tangan diartikan sebagai kekuasaan.
Prasasti IV
Letak prasasti iniberupa batu yang terdiri tegak dengan bagian bawahnya
masuk ke dalam tanah. Tingginya dari permukaan 120 cm. Aksara yang
digoreskan sebanyak 6 buah yang menjadi 6 baris.
Transkripsi : Sang hyang Lingga Hiyang
Terjemahan : Sang hiyang lingga Hiyang
Menurut Dirman Surachmat, mungkin lingga perwujudan dari arwah nenek
moyang. Meurut cerita rakyat, batu tersebut disebut pula sebagai batu
penyandungan yang digunakan sebagai alat untuk mengukur perasaan
bagaimana pusingnya nyandung ( berisi lebih dari satu ) kalau tidak
sanggup, pusingnya sama dengan mengelilingi batu itu sebanyak 7 keliling
sambil tidak bernafas. Oleh sebab itu jangan coba – coba beristri lebih
dari satu kalau seandainya tidak mampu, sebab hanya akan memusingkan
diri sendiri.
Prasasti V
Berbentuk menhir tingginya sama dengan prasasti IV hanya sedikit lebih
langsing dan lebih lonjong. Agak condong ke belakang dan bagian yang
masuk ke dalam tanahnya lebih dalam.
Transkripsi : Sanghyang lingga bimba
Terjemahan : Sanghyang lingga bimba
Menurut cerita rakyat, batu menhir yang bertuliskan sanghyang lingga
bimba ini disebut sebagai batu panyandaan ( tempat bersandar setelah
melahirkan selama empat puluh hari ). Tujuannya adalah agar orang yang
melahirkan tersebut segera pulih kembali.
Prasasti VI
Prasasti ke – 6 merupakan prasasti yang baru ditemukan setelah berselang
hampir 200 tahun, yang kebetulan penemunya adalah kuncen saat ini
yakni Bapak Sofar Pada tahun 1995 di kedalaman 50 – 60 cm.
. Prasasti ini sama seperti prasasti yang lainnya ditulis dalam huruf
sunda kuno banyaknya 6 baris tetapi tidak memiliki angka tahun,
bentuknya segi empat tidak beraturan, ukuran panjang 72 cm, lebar 62 cm,
letaknya tidak jauh dari lokasi prasasti I jaraknya 4 meter ke arah
utara. Berikut adalah isi ( tulisan ) prasasti VI :
“ ini perti ( n ) gal nu atis –ti rasa ayama nu nosi dayoh iwo ulah batenga bisi kakereh ”
Terjemahan : “ ini pening –galan dari orang berilmu semoga ada yang menghuni kota ini jangan banyak tingkah bisa celaka ”.
Batu Palinggih ( Pamuruyan )
Terletak 6 meter sebelah barat daya pintu masuk, berbentuk batu datar
dan berimpit. Di sebelah selatan berdiri lempengan batu datar dengan
tinggi sisi kanan 94 cm,sisi kiri 88 cm, lebar sisi bawah 40 cm, lebar
sisi atas 57 cm.
Masyarakat menyebutnya sebagai batu kursi, mungkin karena bentuknya
seperti kursi, ada pula yang menyebutnya sebagai batu pamuruyan yang
digunakan sebagai tempat menyimpan sesajen ( pada zaman dulu ). Pendapat
lain mengemukakan bahwa batu Palinggih tersebut dulunya digunakan
sebagai tempat pelantikan raja.
Menhir adalah salah satu peninggalan sejarah berbentuk batu, dan diantara peninggalan – peninggalan ini memiliki 2 menhir.
Menhir. I
Letaknya 4 meter dari batu tapak. Menhir ini berukuran tinggi 70 cm,
lebar 24cm, tebal 16 cm, sedangkan di sisi utara berbentuk polos dengan
lebar sisi bawah 30 cm, tinggi 50 cm.
Menhir. II
Terletak 4 meter di sebelah tenggara menhir I, terbuat dari batu andesit
yang berbentuk batu berdiri dengan ukuran tinggi 130 cm, lebar 15 cm,
dan tebal 10 cm. Menempel di sisi utara berupa lumpang batu berpenampang
segi tiga.
Ukuran sisi bawah 22 x 22 cm, bagian mulutnya 35 x 35 cm. Ada
keistimewaan dari lumpang batu ini, yaitu memiliki kemampuan menyerap
air dari dalam tanah, sehingga airnya tidak pernah surut. Jenis batu ini
baru ada dua yang berhasil ditemukan di Jawa Barat, yaitu di Astana
Gede Kawali dan si situs Gunung Sembung Cirebon. Menurut cerita rakyat
batu ini disebut sebagai batu pangeunteungan tempat bercermin. Arti
filsafat dari cermin / ngeunteung ini adalah bahwa kita harus senantiasa
bercermin pada diri sendiri, jangan sampai lupa diri.
Mata Air Cikawali
Kawali ialah kolam kecil yang luasnya antara 9 – 10 meter persegi, kolam
ini merupakan sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang tahun
termasuk ketika musim kemarau, letak kolam ini berada di sebelah barat,
jaraknya 300 meter dari kompleks Astana Gede.
Diceritakan bahwa asal mula mata air cikawali ini adalah berawal dari
peristiwa Ajar Sukaresi ketika kesaktiannya diuji oleh Bondan serang
Raja Galuh. Pada suatu hari Bondan memanggil Ajar Sukaresi ke kraton dan
Bondan sengaja mendandani istrinya dengan cara menyimpan kuali di perut
Naganingrum dengan maksud agar dikira mengandung kemudian Ajar Sukaresi
disuruh untuk menerka apakah bayi yang dikandung oleh Naganingrum itu
bayi laki – laki atau perempuan. Kemudian Ajar Sukaresi menerka bahwa
bayi yang ada dalam kandungan Naganingrum adalah bayi laki – laki. Tiba –
tiba Bondan tertawa dan mengejek Ajar Sukaresi, Bondan mengatakan bahwa
Ajar tertipu, dan Naganingrum tidak sedang mengandung yang diperutnya
hanya kuali. Namun Ajar Sukaresi menyuruh membuka perut Naganingrum,
lalu Bondan membukanya dan ternyata benar Naganingrum sedang mengandung,
lalu kuali itu ditendang oleh Bondan jauh sekali sampai di selapanjang
lalu tempat jatuhnya kuali itu sekarang dinamakan Balong Kawali atau
mata air kawali.
Makam yang ada di Astana Gede Kawali
1. Makam Adipati Singacala
Terletak pada puncak pundek berundak, panjangnya 294 cm.
2. Makam Anjung Sari
Anjung sari merupakan Istri dari Adipati Singacala
3. Makam Baya Nagasari
Merupakan putra dari Adipati Singa Cala
4. Makam Pangeran Usman
Makam Pangeran Usman hanya diberi tanda Batu, dan Panjangnya sekitar 5 M.
5. Makam Cakra Kusumah
Yaitu pengajar Al-Qur’an pada zaman Adipati Singacala
6. Makam Eyang Sancang, adalah petugas keamanan zaman Adipati Singacala.
7. Makam Satya Meta (Darma Wulan)
8. Makam Angga Direja (Kuncen Astana Gede ke- 1)
9. Makam Yuda Praja (Kuncen Astana Gede ke-3)
10. Makam Sacapraja (Kuncen Astana Gede Ke-4)
11. Makam Sang surya Wiradikusumah
Sekelumit tentang Masuknya Islam di Kawali
Penyusun sadar, bahwa tujuan observasi ini pada intinya ialah lebih
dititik beratkan mengenai perkembangan masuknya agama Islam di wilayah
Kawali. Akan tetapi, hasil yang kami peroleh baik dari nara sumber yakni
Bapak Sofar “Kuncen sekaligus penemu prasasti ke VI” beliau menuturkan
bahwa “mengenai proses masuknya Islam di Kawali, belum diketahui secara
pasti, dan masih disesilik mengenai kepastiannya” Akan tetapi tutur
beliau pula, yang menjadi catatan sejarah, bahwa masuknya Islam di
wilayah Kawali ini khususnya, penyebarnya itu ialah Pangeran Utsman yang
tadi kita lihat makamnya yang ukurannya panjang sekitar 5m. Itu
menggambarkan batapa besarnya jasa beliau terutama dalam menyebarkan
Islam, dan mungkin pula pada watu itu masih ada orang yang berdedeg
tinggi seukuran tersebut.
Pangeran Usman adalah utusan Cirebon yang bertugas menyebarkan Islam di Kawali dan didukung oleh Adipati Singacala, Raja Kawali.
PERISTIWA PERANG BUBAT/PASUNDAN BUBAT
Peristiwa bubat terjadi ketika masa pemerintahan Prabu Maharaja
Lingabuwana raja Sunda-Galuh ke-24. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh
sumpah palapa Mahapatih Gajah Mada, yang berhasrat menaklukan raja-raja
se-Nusantara. Isi sumpah palapa tersebut adalah, “kalau sudah
mengalahkan nusantara, akan makan palapa. Kalau dapat mengalahkan,
seram, tanjung pura, Haru, Palang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, aku akan makan palapa”.
Pada waktu itu kerajaan Sunda-Galuh tidak takluk kepada Majapahit, oleh
sebab itu dengan segala daya upaya Mahapatih Gajah Mada ingin sekali
menaklukannya namun tak kunjung berhasil.
Ada peristiwa di luar dugaan Gajah Mada, pada waktu itu Raja Majapahit
yang bernama Hayam Wuruk mencintai wanita sunda yaitu putri Diah
Pitaloka Putri dari Linggabuana Raja Sunda-Galuh ke-24 yang belum
berhasil ditaklukan Kerajaan Majapahit, namun Hayam Wuruk berniat
mempersuntingnya.
Dalam kidung sunda disebutkan bahwa, Raja Daha, dan Raja Kahuripan
bertanya kepada Hayam Wuruk tentang perasaannya kepada Putri Sunda. Raja
Majapahit menjawab, Hamba sudah berketetapan hati tentang gambar sang
putri jelita, apabila ada yang menghalangi, ia akan menjadi musuhku,
lawanku berperang, apabila aku mati, ia pun akan menemaniku.
Semua pembesar Kerjaan setuju dengan keinginan Raja, seperti: Para
Mentri dan Para pembesar kerajaan lainnya, namun Gajah Mada tidak setuju
sekali. Semua orang menjadi heran, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa
demikian pula penjaga dan pelayan peribadi Raja. Mereka semua tegang dan
merasa tercekam dan bertanya-tanya dalam hatinya masing-masing, apa
gerangan yang dikehendaki oleh Mahapatih Gajah Mada.
Sang Patih Gajah Mada ternyata mempunyai pandangan sendiri tentang
kebijakan negaranya, ia mengemukakan alasan-alasannya kepada Hayam
Wuruk, bahwa rencana raja Sunda pergi ke bubat hanya akan menyulitkan
Majapahit dan menurunkan wibawa Raja oleh sebab itu Gajah Mada yang akan
pergi sendiri ke Bubat untuk menyampaikan Raja Sunda. Semula Hayam
Wuruk tidak setuju, tetapi ia tidak mau berselisih paham dan akhirnya
saran Gajah Mada diterimanya.
Gajah Mada meneruskan keterangan tentang kebijakan kerajaan kepada Raja
Majapahit, dan kemungkinan-kemungkinan tindakan pihak Raja Sunda yang
dapat merugikan Majapahit yaitu, Gajah Mada takut kehilangan wibawa
terutama citra Majapahit karena raja sunda tidak mau takluk kepadanya.
Sementara itu raja Majapahit tidak paham akan siasat buruk yang
dilakukan oleh Gajah Mada. Oleh sebab itu ia mengikuti saran Gajah Mada
untuk menunggu utasan dari Bubat datang ke Majapahit sekitar empat atau
lima hari lagi.
Berita bahwa Gajah Mada tidak setuju apabila Raja Majapahit datang ke
Bubat, sampai juga ke pihak Sunda. Akhirnya raja Sunda mengirimkan empat
orang utusan dibawah pimpinan Patih Rakean Manti Unus. Ketika utusan
bertemu dengan Patih Gajah Mada, terjadilah perselisihan. Sementara itu
pendeta istana berusaha melerai pertengkaran itu, tetapi tidak berhasil.
Mereka saling menuduh, seperti tertera dalam “Kidung Sunda”. Patih
Rakean Mantri Unus menjawab perkataan pendeta, hamba menjunjung
kata-kata sang pendeta, seperti air hidup menyegarkan badan putra.
Tuanku sang pendeta, tujuan raja ke Jawa untuk mengantarkan putri karena
ingin membesarkan hati menantu, yaitu sang raja ini, namun patih Gajah
Mada hanya menimbulkan perpecahan. Patih Gajah Mada tidak menerima
tuduhan itu.
Akhirnya peperangan tak terelakan lagi, peperangan antara pihak Sunda
dan Majapahit. Raja Sunda tidak mau menyerahkan putrinya sebagai
persembahan, dan lebih baik gugur dengan cara terhormat. Disuruhnya
istrin dan putrinya pulang ke Sunda, tapi mereka tidak mau.
Persiapan perang sudah sangat ramai. Pasukan Sunda sudah siap, demikian
pula pasukan Majapahit. Sementara itu Gajah Mada mengusulkan kepada Raja
Hayam Wuruk untuk mengirimkan utusan ke Raja Sunda di Bubat.
Mungkin mereka takut berperang dan mati, hal itu dapat dihindari dengan
jalan mempersembahkan putri raja sebagai tanda takluk kepada Rasja
Sunda.
Hal ini ditolak mentah-mentah oleh Raja Sunda, malahan menentang raja Majapahit untuk segera ke Bubat.
Setelah utusan Majapahit melaporkan hal ini kepada Raja Hayam Wuruk,
maka Raja sangat marah dan menyuruh Mentri-mentrinya untuk bersiap-siap
menggempur pihak Sunda, tetapi di cegah oleh Gajah Mada, mereka harus
menyusun siasat terlebih dahulu.
Siasat pertama Gajah Mada tidak berhasil, banyak pihak Majapahit yang
mengalami kekalahan. Namun setelah Gajah Mada sendiri terjun ke dalam
peperangan ia berhasil membunuh Patih Anepaken, maka setelah itu
perkelahian terjadi satu lawan satu. Pasukan Sunda akhirnya kalah dan
hancur begitupun Raja Sunda.
Ia di bela oleh putrinya dan permaisurinya yang bunuh diri karena ingin mengikuti ayah dan suaminya ke alam baka.
Korban dari Sunda 93 orang sedang dari pihak Majapahit sebanyak 3748
orang, Gajah yang mati 14 ekor sedang kuda 27 ekor dan ini terjadi pada
tahun 1357 M.
Setelah perang berakhir dan semua pihak dari Sunda telah gugur, Raja
Majapahit menjadi sangat terpukul dan menderita. Ia sangat meratapi
putri sunda, sampai akhirnya ia jatuh sakit dan wafat.
Raja Daha, Raja Kahuripan dan Pendeta-pendeta istana mengadakan
pembicaraan dengan maksud untuk menilai kembali apa yang menyebabkan
malapetaka di Majaphit disebabkan karena ulah Patih Gajah Mada.
Akhirnya semua berunding untuk menggempur dan mengepung Gajah Mada di
kediamannya yang megah, karena Patih Gajah Mada terkenala sebagai
hartawan. Ketika sampai dikediaman Gajah Mada pasukan Majapahit segera
mengepungnya. Gajah Mada telah tahu saat kepergiannya telah tiba,
kemudian ia menampakan diri berdiri di halaman setelah itu lalu
menghilang entah kemana.
Pesona Kawali
“Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi
terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di
Indonesia, benda cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun
(UU No.5 tahun 1992).Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi
disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat
melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat
kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang”.
Pada saat ini Kawali hanyalah sebuah kota kecamatan, tetapi
keberadaannya telah terukir dalam sejarah sejajar dengan kota Bogor
sebagai ibu kota kerajaan Padjadjaran.Di Cagar Budaya Astana Gede
terdapat peninggalan sejarah yaitu berupa prasasti,yang merupakan cikal
bakal kerajaan pajajaran yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu
Niskala Wastu Kencana. Astana Gede Kawali dikenal sebagai komplek
peninggalan sejarah dan budaya masa Iampau, yaitu pada masa kerajaan
Galuh sekitar abad ke-13 Masehi. Pesona dari Cagar Budaya Astana Gede
Kawali ini mulai dilirik dan dikelola oleh BP3 Banten tahun1985.
Astana Gede Kawali merupakan pusat pemerintahan kerajaan
Sunda-Galuh.Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu
Ajiguna Linggawisesa,yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing
kiding,kemudian Prabu Ragamulya atau Aki Kolot,setelah itu Prabu
Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat,Rahyang Niskala
Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan
Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana. Lokasi peninggalan sejarah
dan purbakala ini tepatnya berada sebelah utara atau 27 km dari ibukota
Kabupaten Ciamis,yakni di Dusun lndrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten
Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan baik motor ataupun mobil
lamanya sekitar 45 menit.Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami
pengaspalan,sehingga tidak sulit dijangkau.
Konsep Tentang Jagad Raya Dalam Lontar Sunda
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep tersendiri
tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep
Sunda asli, Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah
lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai
koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada
daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal
dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.
Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan
barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain
pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat
pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran,
setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota
Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon.
Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar
tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah
tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang)
pada perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu bumi
sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam
gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi
sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me
miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang
disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang
wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi,
bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut
banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih
tinggi daripada manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang
terdiri atas surga dan neraka.
Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah
Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di
samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi, seperti
Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati,
dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung
Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat
tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang
disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati
Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling
tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan
demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud,
sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.
Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam.
Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu
alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat.
Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan
kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam
rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum
lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang
juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah
mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan
kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis kehidupan
manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya
dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan
pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya.
Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh
roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala).
Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu
(1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah
(menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan
reinkarnasi) dan
(2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).
Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap,
perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku,
dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan
larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud
yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke
dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai
dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia
(rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan
bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut
disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh
manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati
mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan
situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh
sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.
Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala
(alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat),
maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar
tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam
Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala
dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal
yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan,
bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.
Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan,
“Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja
naprewasa, ka mana eta ngahingras?” (Berjalan teriring rasa senang,
saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah
harus meminta tolong?).
Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala),
“Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita,”
(Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala,
terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat
mahapandita).
Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi
sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri
kehidupan di bumi sakala bahwa,
“Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha
linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa
ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku
rasa wisisa.”
(Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas,
terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh
segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh
keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan
mulia).
Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama
dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri
(penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di
jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu
menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan),
sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta.
Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya
masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan
batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.
Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh
penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain
supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara.
Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat
pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan
malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan
tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.
Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka
menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi
hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat.
Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya
disertai kekuasaan sejati.
Nasihat pendeta utama yang lain adalah
“Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak
ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata
papag, pregi ngajuk ngajalanan,”
(Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi,
menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa,
iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang).
Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai
umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai
buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi
sarba pala).
Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala,
tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan
makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak
dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana
diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang
paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya
manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak
sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara
manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa
serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya
bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat
keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi
di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.
Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu
tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan,
kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya
sendiri. Rumusannya adalah,
“Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana.
Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita
leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip
aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap
aing.”
(Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang
Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri,
kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan
kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlalu berkuasa, sebab kesentosaan
kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku
sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).
“Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu
leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu
ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen.”
(Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku,
tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci
lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut
hakikat kebenaran sejati).
Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga,
“Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana
angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta
tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati
tan hana urip.”
(Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa
udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada
tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa
langit, pada kodrat tanpa kehidupan).
Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud
jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan,
menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang
Sri dengan ciri-cirinya,
“Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu
hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti
nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata.”
(Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang
mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak
indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib
sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat
kedewaan).
Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika,
“Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip
dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala
diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga
ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun
deui.”
(Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan
lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan
lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap
dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi,
sadar disadarkan lagi).
Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda
Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai
struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar
kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan
ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar