Kerajaan Ismahayana Landak adalah sebuah kerajaan yang saat ini
berlokasi di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Keraton Ismahayana
Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang, meskipun
sumber-sumber tertulis yang membuktikan sejarah kerajaan ini bisa
dikatakan sangat terbatas. Sama halnya dengan sumber dari cerita-cerita
rakyat yang muncul di Ngabang, Kalimantan Barat, tempat di mana kerajaan
ini berada. Kendati demikian, bukti-bukti arkeologis berupa bangunan
istana kerajaan (keraton) hingga atribut-atribut kerajaan yang masih
dapat kita saksikan hingga kini dan juga buku Indoek Lontar Keradjaan
Landak yang ditulis oleh Gusti Soeloeng Lelanang (raja ke-19) pada tahun
1942, sesungguhnya cukup memadai untuk membuktikan perjalanan panjang
kerajaan ini yang secara garis besar terbagi ke dalam dua fase, yakni
fase Hindu dan fase Islam, ini telah dimulai sejak tahun 1275 M
Sejarah
Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang,
meskipun sumber-sumber tertulis yang membuktikan sejarah kerajaan ini
bisa dikatakan sangat terbatas. Sama halnya dengan sumber dari
cerita-cerita rakyat yang muncul di Kabupaten Ngabang, Kalimantan Barat,
tempat di mana kerajaan ini berada. Kendati demikian, bukti-bukti
arkeologis berupa bangunan istana kerajaan (keraton) hingga
atribut-atribut kerajaan yang masih dapat kita saksikan hingga kini dan
juga buku Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis oleh Gusti
Soeloeng Lelanang (raja ke-19) pada tahun 1942, sesungguhnya cukup
memadai untuk membuktikan perjalanan panjang kerajaan ini yang secara
garis besar terbagi ke dalam dua fase, yakni fase Hindu dan fase Islam,
ini telah dimulai sejak tahun 1275 M.
Fase Hindu
Kisah itu berawal pada tahun 1275 M, ketika Raja Kertanegara dari
Kerajaan Singasari, Pulau Jawa (Jawadwipa), mengirim bala tentara untuk
memperluas kekuasaannya hingga ke kawasan Sumatra Tengah. ‘Invasi‘ ini
dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu yang berlangsung hingga tahun
1292 M. Ketika para punggawa dan prajurit ekspedisi ini harus kembali ke
tanah Jawa lantaran Raja Kertanegara wafat, Ratu Sang Nata Pulang Pali
I, pemimpin salah satu rombongan, justru membelokkan armada pasukannya
menuju Nusa Tanjungpura, yang kini dikenal sebagai Borneo atau Pulau
Kalimantan.
Di pulau yang terkenal sebagai salah satu paru-paru dunia itu,
perjalanan rombongan Ratu Sang Nata Pulang Pali I diawali ketika mereka
singgah di daerah Padang Tikar, kemudian diteruskan menyusuri Sungai
Tenganap yang kala itu dikisahkan sedang meluap, hingga akhirnya
berlabuh di daerah Sekilap atau yang kini disebut Sepatah. Sementara,
terdapat sumber lain yang menyebutkan bahwa beliau bersama rombongan
berjalan melewati Ketapang dan menyusuri Sungai Kapuas hingga berbelok
melalui Sungai Landak Kecil dan berhenti di Kuala Mandor (kini merupakan
sebuah daerah di Kabupanten Landak, Kalimantan Barat) Di tempat inilah
Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama daerah
Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat)
Batur.
Konon, untuk membangun sebuah kerajaan, Ratu Sang Nata Pulang Pali I
‘menaklukkan‘ masyarakat setempat dengan cara membagi-bagikan garam.
Pembagian garam inilah yang membuat masyarakat setempat respek pada
kedatangan Ratu Sang Nata Pulang Pali I beserta rombongannya. Masyarakat
lantas bersedia membantu beliau mendirikan sebuah bangunan yang dalam
perkembangannya kemudian menjadi istana Kerajaan Landak. Sayangnya,
tidak terdapat satupun sumber yang menjelaskan mengapa pendekatan
membagikan garam secara cuma-cuma tersebut dipilih.
Dalam buku Lontar Kerajaan Landak disebutkan bahwa setelah Kerajaan
Landak berdiri di Ningrat Batur (yang kini dikenal dengan nama Tembawang
Ambator), periode pertama pemerintahan kerajaan ini bergulir cukup
lama, yakni selama 180 tahun (1292—1472 M). Pada periode pertama
pemerintahan Landak, negeri ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu
Sang Nata Pulang Pali I hingga Raden Kusuma Sumantri Indera Ningrat
dengan gelar kebangsawan Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya Ratu Sang
Nata Pulang Pali VII. Selama masa kepemimpinan Ratu Sang Nata Pulang
Pali I hingga VI, kerajaan ini tidak memiliki istana selayaknya sebuah
kerajaan. Sampai pada akhinya tiba masa pemerintahan Ratu Sang Nata
Pulang Pali VII di mana Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu
untuk kali pertama.
Sebagaimana disebutkan dalam Indoek Lontar Keradjaan Landak (1942, dalam
Usman, 2007: 5) Ratu Sang Nata Pulang Pali VII menikahi Putri Dara
Hitam, putri dari Patih Tegak Temula, yang kemudian menjadi permaisuri
kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII
memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang
sekaligus merupakan putera mahkota. Setelah raja Landak terakhir di
Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putera mahkota kemudian naik tahta
dengan gelar Pangeran Ismahayana. Berikut kutipan dari tulisan Gusti
Sulung Lelanang di dalam Indoek Lontar Keradjaan Landak mengenai proses
ini:
“ ... adapun sebagai pangkal sejarah Kerajaan Landak, yaitu dari Raden
Kusuma Sumantri Indra Ningrat (Ratu Bra Wijaya Angka Wijaya) yang
mendirikan kerajaan Hindu di Angrat Batur (Ningrat Batur atau Batu
Ningrat [Tembawang Ambator]) dan bergelar (Ratu) Sang Nata Pulang Pali
(I). Beliau memiliki tujuh keturunan (hingga Pulang Pali terakhir atau
Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Ratu Sang Nata Pulang Pali VII
beristrikan “Dara Hitam” (putri dari Patih Tegak Temula dari Kurnia
Sepangok tanjung Selimpat) dan berputrakan Raden Ismahayana
(Iswarahayana). Apapun Raden Ismahayana, adalah raja (pertama) Kerajaan
Landak yang memeluk agama Islam pada akhir abad XIV dan mendirikan
ibunegeri (pusat pemerintahan) Kerajaan Landak di Munggu (Ayu)”.
Fase Islam
Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana (1472—1542), pusat kerajaan
dipindahkan ke kawasan hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan
nama Mungguk Ayu. Pada masa inilah pengaruh Islam mulai masuk. Islam
dibawa oleh orang-orang Bugis dan Banjar yang kala itu memiliki hubungan
erat dengan Kerajaan Landak. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk Islam
dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar. Sultan Abdul Kahar
memiliki dua orang putra dari perkawinannya dengan Nyi Limbai Sari yang
bergelar Ratu Ayu (putri Patih Wira Denta), yaitu Raden Tjili Tedung dan
Raden Tjili Pahang.
Setelah Pangeran Ismahayana wafat, ia digantikan oleh putranya, yaitu
Pangeran (Raden) Kusuma Agung Muda (Raden Tjili Tedung), yang menjadi
Sultan Landak ke IX. Pada masa pemerintahannya, pusat kekuasaan
dipindahkan dari daerah Mungguk Ayu menuju Bandong (sebagian menyebutnya
Bandung) pada tahun 1703, sebuah wilayah yang letaknya tidak jauh dari
Mungguk Ayu. Alasan pemindahan pusat pemerintahan ke Bandong ini belum
diketahui hingga saat ini. Namun, Kerajaan Landak di Bandong hanya
bertahan hingga dua periode pemerintahan (1703—1768) di mana tampuk
kekuasaan hanya sempat dipegang oleh Raden Kusuma Agung Muda (1703—1709)
dan putranya, Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua
(1714—1764). Sepeninggalan Raden Nata Tua, jalannya pemerintahan untuk
sementara dikendalikan oleh wakil raja, yakni Raden Anom Jaya Kusuma
(1764—1768), sembari menunggu sang putera mahkota tumbuh dewasa.
Tatkala usia pemerintahan peralihan ini baru berlangsung kurang dari 4
tahun, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Bandong ke Kota Ngabang pada
tahun 1768 oleh wakil raja tersebut (Raden Anom Jaya Kusuma). Kerajaan
Landak kemudian menetapkan Kota Ngabang—kini menjadi ibukota Kabupaten
Landak, Provinsi Kalimantan Barat (hingga April 2009)—sebagai ibukota
yang baru. Peristiwa hijrah ke Ngabang ini sekaligus mentahbiskan putera
mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma, sebagai Sultan
Landak XII (1768—1798).
Lembaran baru Kerajaan Landak di Ngabang ternyata tidak membawa kemajuan
berarti hingga hampir dua abad lamanya. Terlebih pascakedatangan VOC
Belanda di Borneo. Kehadiran Belanda di Kalimantan Barat lambat laun
menggoyahkan posisi para sultan sebagai pemimpin masyarakat di beberapa
wilayah di Kalimantan Barat. Tak hanya ranah politik yang diambil,
Belanda juga menyerap segenap sumber daya ekonomi dan manusia.
Masyarakat Ngabang dimanfaatkan untuk bekerja di lokasi-lokasi
penambangan intan milik VOC. Menyadari situasi ini sangat merugikan
kerajaan dan rakyat Landak, sultan beserta rakyat Landak kemudian
melakukan pemberontakan. Tertera dalam catatan administratur kolonial,
beberapa perlawanan ketika itu, antara lain pemberontakan Ratu Adil
(1831), pemberontakan Gusti Kandut (1890), serta pemberontakan Gusti
Abdurrani (1899).
Segala perlawanan yang dilakukan tidak pernah membuahkan hasil, dan
justru kerajaan ini mengalami kevakuman kekuasaan ketika terjadi
peristiwa Mandor yang tragis pada masa kependudukan Jepang. Peristiwa
ini merupakan pembantaian terhadap ratusan ribu warga Kalimantan Barat,
termasuk di dalamnya raja dan para kerabat kerajaan-kerajaan
se-Kalimantan Barat. Dari peristiwa ini, banyak kerajaan di Kalimantan
Barat yang kehilangan pewaris sah-nya.
Setelah mengalami kevakuman tampuk kepemimpinan yang cukup lama, baru
pada tahun 2000, atas persetujuan rakyat Landak, Kerajaan Landak
dibangunkan dari tidurnya yang panjang dengan Gusti Suryansyah Amiruddin
sebagai sultannya. Jika dirunut dari awal, Gusti Suryansyah merupakan
sultan ke-39 semenjak Kerajaan Landak berdiri.
Beliau mewarisi bangunan istana Kerajaan Landak di Ngabang yang terdiri
dari tiga bagian, yakni: (1) kompleks istana mencakup: Istana Landak
(Istana Ilir), Kediaman Permaisuri (Istana Ulu), serta Kediaman Neang
Raja (rumah sultan); (2)Masjid Djami Keraton Landak; dan (3) makam
raja-raja. Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun
1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang mengakibatkan
kerusakan pada beberapa bagian istana. Selain itu, perbaikan bangunan
telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti renovasi
yang dikerjakan selama 4 tahun (1978—1982) dan diresmikan oleh Haryati
Subadio, Dirjen Kebudayaan kala itu, pada tanggal 4 Oktober 1983.
Sementara, kondisi kompleks Keraton Landak saat ini merupakan hasil
renovasi sekitar tahun 2000-an.
Silsilah
Silsilah Raja-raja Kerajaan Landak dibagi menjadi empat periode
pemerintahan serta dua fase keagamaan: Hindu dan Islam. Keempat periode
yang dimaksud berkiblat pada keberadaan Istana Kerajaan Landak yang
tercatat pernah menempati empat lokasi berbeda.
Fase Hindu
I. Kerajaan Landak di Ningrat Batur (1292—1472)
Ratu Sang Nata Pulang Pali I
Ratu Sang Nata Pulang Pali II
Ratu Sang Nata Pulang Pali III
Ratu Sang Nata Pulang Pali IV
Ratu Sang Nata Pulang Pali V
Ratu Sang Nata Pulang Pali VI
Ratu Sang Nata Pulang Pali VII
Fase Islam
II. Kerajaan Landak di Mungguk Ayu (1472—1703)
Raden Iswaramahayan Raja Adipati Karang Tanjung Tua atau Raden Abdul
Kahar (1472—1542) (Islam masuk pada periode ini di Kerajaan Landak).
Raden Pati Karang Raja Adipati Karang Tanjung Muda (1542—1584)
Raden Cili (Tjili) Pahang Tua Raja Adipati Karang Sari Tua (1584—1614)
Raden Karang Tedung Tua (wakil raja) Raja Adipati Karang Tedung Tua (1614—1644)
Raden Cili (Tjili) Pahang Muda Raja Adipati Karang Sari Muda (1644—1653)
Raden Karang Tedung Muda (wakil raja) Raja Adipati Karang Tedung Muda (1679—1689)
Raden Mangku Tua (wakil raja) Raja Mangku Bumi Tua (1679—1689)
Raden Kusuma Agung Tua (1689—1693)
Raden Mangku Muda (wakil Raja) Pangeran Mangku Bumi Muda (1693—1703)
III. Kerajaan Landak di Bandong (1703—1768)
Raden Kusuma Agung Muda (1703—1709)
Raden Purba Kusuma (wakil raja) Pangeran Purba Kusuma (1709—1714)
Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764)
Raden Anom Jaya Kusuma (wakil raja) Pangeran Anom Jaya Kusuma (1764—1768)
IV. Kerajaan Landak di Ngabang (1768—sekarang)
Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma (1768—1798)
Raden Bagus Nata Kusuma (wakil raja) Ratu Bagus Nata Kusuma (1798—1802)
Gusti Husin (wakil raja) Gusti Husin Suta Wijaya (1802—1807)
Panembahan Gusti Muhammad Aliuddin (1807—1833)
Haji Gusti Ismail (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Haji Gusti Ismail (1833—1835)
Panembahan Gusti Mahmud Akamuddin (1835—1838)
Ya Mochtar Unus (wakil panembahan) Pangeran Temenggung Kusuma (1838—1843)
Panembahan Gusti Muhammad Amaruddin Ratu Bagus Adi Muhammad Kusuma (1843—1868)
Gusti Doha (wakil panembahan) (1868—1872)
Panembahan Gusti Abdulmajid Kusuma Adiningrat (1872—1875)
Haji Gusti Andut Muhammad Tabri (wakil panembahan) Pangeran Wira Nata Kusuma (1875—1890)
Gusti Ahmad (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Gusti Ahmad (1890—1895)
Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895—1899)
Gusti Bujang Isman Tajuddin (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang (1899—1922)
Panembahan Gusti Abdul Hamid (1922—1943)
Gusti Sotol (wakil panembahan) (1943—1945)
Haji Gusti Mohammad Appandi Ranie (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi
Gusti Mohammad Appandi Ranie Setia Negara (1946, hanya sekitar 4 bulan
berkuasa)
Pangeran Ratu Haji Gusti Amiruddin Hamid ( — )
Drs. Gusti Suryansyah Amiruddin, M.Si. Pangeran Ratu Keraton Landak (2000—sekarang)
Periode Pemerintahan
Periode pemerintahan kerajaan ini di bagi ke dalam empat periode dari dua fase, yaitu:
Fase Hindu
a. Kerajaan Landak di Ningrat Batur (1292—1472)
Fase Islam
b. Kerajaan Landak di Mungguk Ayu (1472—1703)
c. Kerajaan Landak di Bandong (1703—1768)
d. Kerajaan Landak di Ngabang (1768—sekarang)
Ningrat batur merupakan lokasi pertama di mana Kerajaan Landak
berkedudukan 180 tahun lamanya. Pada fase berikutnya, keberadaan
Kerajaan Landak di Mungguk Ayu cenderung lebih mampu bertahan lebih lama
daripada di Ningrat Batur, yakni hampir dua seperempat abad dengan
delapan kali pergantian tampuk kekuasaan (9 raja berkuasa).
Kisah Kerajaan Landak di Mungguk Ayu ini merupakan masa-masa awal
tatkala Islam mulai masuk dan menjadi agama pilihan sang raja. Raja
Landak pemeluk Islam pertama kali ialah Raden Iswaramahayana Raja
Adipati Karang Tanjung Tua Raden Abdul Kahar atau yang kita kenal dengan
Raden Ismahayana. Oleh karena beliau merupakan raja pertama yang
memeluk Islam, nama Kerajaan Landak pun berganti nama menjadi Kerajaan
Ismahayana Landak. Menurut Gusti Suryansyah, sisipan nama ‘Ismahayana‘
yang dipertahankan hingga kini berlaku sebagai penanda bahwa kerajaan
ini pernah berhalauan Hindu.
Pada perkembangan selanjutnya, pusat kerajaan dipindah ke daerah Bandong
di tahun 1703. Namun, Kerajaan Landak hanya mendiami tempat ini selama
65 tahun sebelum hijrah untuk yang terakhir kalinya ke daerah Ngabang
pada tahun 1768.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kerajaan Ismahayana Landak kira-kira mencakup seluruh
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Pada tiga periode awal, secara
geografis wilayah yang dikuasai kerajaan ini meliputi daerah sepanjang
Sungai Landak berikut sungai-sungai kecil yang merupakan cabang darinya.
Sungai yang merupakan anakan Sungai Kapuas ini memiliki panjang sekitar
390 km.
Dalam perkembangannya kemudian, cakupan wilayah kekuasaan Landak semakin
luas hingga daerah-daerah pedalaman. Jika dibayangkan dengan kondisi
saat ini, kira-kira batas wilayah Kerajaan Landak menyerupai wilayah
Kabupaten Landak yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sanggau di
sebelah timur; Kabupaten Pontianak di sisi barat; Kabupaten Bengkayang
di bagian utara; dan bagian selatan oleh Kabupaten Ketapang.
Ditengarai bahwa alasan pokok para pendahulu Kerajaan Landak memilih
bantaran Sungai Landak sebagai tempat bermukim adalah karena di
sepanjang sungai ini memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa,
yakni intan dan emas. Sejarah mengatakan bahwa intan terbesar yang
pernah ditemukan dan dimiliki oleh Kerajaan Landak bernama Palladium
Intan Kubi (intan ubi) dengan berat 367 karat. Setelah penemuan itu,
intan tersebut diberi nama sebagai Intan Danau Raja. Intan ini ditemukan
tatkala Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764)
bertahta sebagai raja Landak ke XIX di Bandong.
Lebih lanjut, sebagai sebuah kerajaan, Landak tidak menutup diri dengan
dunia luar. Kerajaan ini justru aktif menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lain di sekitar Kalimantan Barat. Relasi yang dibangun
adalah hubungan kekerabatan, seperti dengan Kesultanan Sambas
Alwazikhubillah, Kerajaan Mempawah Amantubillah, Kerajaan Sanggau,
Kerajaan Matan, dan Kerajaan Tayan.
Kerajaan Landak dan Kesultanan Sambas
Dengan Kesultanan Sambas, Kerajaan Landak memiliki hubungan historis
secara kekerabatan semenjak masa pemerintahan sultan pertama Kesultanan
Sambas, yakni Raden Sulaiman Sultan Muhammad Tsafiuddin I. Kala itu,
anak ketiga dari Sultan Sambas, Raden Ratna Kumala Dewi, dipersunting
Raden Demang Pangeran Dipanegara Putera—putera dari pasangan Pangeran
Adipati Nata Kusuma dan Puteri Ratu Mas Adi bin Pangeran Anom Jaya
Kusuma.
Dari perjodohan tersebut, lahirlah beberapa orang anak, salah satunya
adalah Utin Kumala yang bergelar Ratu Agung. Beliau pada perjalanannya
menjadi permaisuri dari Raden Mulia Sultan Umar Aqamuddin. Anak-anak
dari Ratu Agung dan Raden Mulia inilah yang kemudian menurunkan
sultan-sultan yang memimpin Kesultanan Sambas.
Kerajaan Landak dan Kerajaan Mempawah
Hubungan kekerabatan antarkerajaan Islam ini sudah dimulai sejak masa
Pemerintahan Opu Daeng Manambon Panembahan Mas Surya Negara peletak
dasar kehadiran Kerajaan Mempawah. Beberapa perkawinan dilakukan dan
salah satunya melahirkan keturunan yang memerintah Kerajaan Landak
periode 1802—1807, yakni Gusti Husin yang bergelar Pangeran Suta Wijaya.
Selain itu, Kerajaan Mempawah memberi pengaruh dalam hal pemberian nama
gelar bangsawan bagi keturunan di Kerajaan Landak. Sejak perjodohan
pertama kalinya, yakni antara Ratu Bagus Nata Kusuma dan Utin Dawaman,
maka sejak itu pulalah juriat bangsawan kerajaan Landak bergelar Gusti
(untuk laki-laki) dan Utin (untuk perempuan). Dan, perlu diketahui bahwa
raja Landak saat ini, yakni Gusti Suryansyah Amiruddin masih mempunyai
keturunan langsung dari Kerajaan Mempawah Amantubillah.
Kerajaan Landak dan Kerajaan Sanggau
Kerajaan Sanggau dengan Landak telah bergandengan tangan sejak masa
Pemerintahan Pangeran Kusuma Agung Muda, raja Landak ke-16. Hal ini
ditandai dengan pernikahan Raden Ijang dengan kerabat dari Kerajaan
Sanggau. Kemudian, berlanjut dengan putri dari Raden Ijang, yakni Ratu
Ayu dipersunting oleh Abang Ahmad yang bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin
(Raja Sanggau). Pasangan inilah yang kemudian menurunkan juriat
pemerintahan Kerajaan Sanggau.
Kerajaan Landak dan Kerajaan Matan
Hubungan kekerabatan antara Kerajaan Landak dengan Kerajaan Matan
bermula sejak masa pemerintahan pangeran Sanca nata Kusuma Tua atau
Raden Nata Tua, raja Landak XIX. Ketika itu, perjodohan terjadi antara
Ratu Mas Jaintan atau Ratu Mas Zaitun dengan Panembahan Giri kusuma
(Kerajaan Matan). Ratu Mas Zaitun ini kemudian bergelar Ratu Sukadana
dan memerintah di Kerajaan Matan.
Kerajaan Landak dan Kerajaan Tayan
Perjodohan juga menjadi jalan bagi Kerajaan Landak dan Tayan untuk
menjalin kekerabatan. Hal ini terbangun sejak perkawinan antara Utin
Busu (putri Pangeran Mangkubumi gusti Ismail Isya Raja Haji [wakil raja
Landak ke-25]) dengan Panembahan Kerajaan Tayan, Gusti Inding Pangeran
Mangkunegara Surya Kusuma. Selain itu, juga terjadi perkawinan antara
Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin (wakil raja Landak
ke-34) dengan Utin Sakdiyah (puteri dari Panembahan Kerajaan Tayan,
Gusti Mohammad Ali Paku Negara Surya Kusuma)
Struktur Pemerintahan
Sejak berdiri pada tahun 1292, pemerintah Kerajaan Landak menggunakan
sistem pemerintahan kerajaan atau swapraja. Sistem ini berlangsung
hingga tahun 1959 ketika dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 37
tahun 1953 yang disusul oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959.
Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia tersebut
menyatakan bahwa semua daerah swapraja menjadi daerah otonom tingkat II,
kecuali bekas daerah kawedanan yang kemudian menjadi kecamatan. Oleh
karena itu, daerah Swapraja Landak yang berpusat di Kota Ngabang,
menempatkan Ngabang sebagai salah satu kecamatan yang berada dalam
wilayah administrasi Swatantara Tingkat II, Pontianak.
Selama hampir tujuh setengah abad sejak kerajaan ini berdiri, Landak
secara silih berganti telah dipimpin oleh 37 orang, baik raja maupun
wakil raja. Kemudian, setelah 41 tahun berselang sejak dihapuskannya
sistem swapraja (pemerintahan kerajaan), masyarakat Kabupaten Landak
berupaya menghidupkan kembali Kerajaan Landak pada awal tahun 2000.
Mereka secara aklamasi bersepakat untuk mengukuhkan seorang pangeran
ratu sebagai raja Landak. Adalah Gusti Suryansyah Amiruddin yang naik
tahta Kerajaan Landak yang sempat vakum itu. Hingga kini raja yang
bergelar Pangeran Ratu Keraton Landak tersebut menjadi raja yang sah
menurut masyarakat Landak dan seluruh kesultanan di Kalimantan Barat
(hingga Mei 2009).
Koleksi
Istana Kerajaan Landak di Kota Ngabang menyimpan pelbagai warisan budaya
dansejarah dalam koleksi bendawi, di antaranya: Mahkota Sultan Landak,
Keris Sikanyut, sepasang pedang sakti, tempat tidur panembahan dan
isterinya, duplikat payung kebesaran sultan, dua kipas raja, seperangkat
gamelan, dan Al Quran kuna. Selain itu, ada juga artefak-artefak lain
seperti: Meriam Sipenyuk dan empat buah meriam lainnya, lontar silsilah
raja dan sejarah singkat Kerajaan Landak, foto-foto keluarga sultan,
bendera kerajaan, serta perlengkapan upacara perkawinan adat berupa
timbangan dari kayu.
Kehidupan Sosial-Budaya
Barangkali, hingga kini, satu-satunya sumber otentik (dalam wujud
tulisan) yang berbicara mengenai kehidupan masyarakat pimpinan Kerajaan
Landak adalah naskah kuna Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis
oleh Goesti Soelong Lelanang bin Goesti Mahmoed Pangeran Laksemana
Keradjaan Landak pada tahun 1942. Usman mengatakan bahwa meski hanya
sekilas di dalam karyanya tersebut, Goesti Soelong Lelanang tidak hanya
mengilustrasikan seperti apa kehidupan masyarakat Landak kala itu,
melainkan juga bagaimana interaksi Kerajaan Landak baik dalam negeri
maupun ke luar.
Di dalam, masyarakat yang berada di dalam kekuasaan Kerajaan Landak
sebagian besar berprofesi sebagai penambang emas dan intan. Masyarakat
ini juga telah menjalankan aktivitas sebagai pedagang. Sementara dengan
pihak luar, Kerajaan Landak menjalin hubungan bilateral dengan puak
Melayu. Sebagai misal, Kerajaan Landak menjalin hubungan dengan Serawak
(Malaysia), Brunei, serta suku Bugis dan Banjar. Motifnya tak hanya
ekonomi di mana mereka memungkinkan untuk saling bertukar barang-barang
keperluan di masing-masing negeri, melainkan juga penyempurnaan Agama
Islam yang di anutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar