Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari,
adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada
tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah
Singosari, Malang.
Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang
sesungguhnya ialahKerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika
pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama
Kutaraja.
Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama
Kertanagarasebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi
Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru
lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun
terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Kerajaan
ini beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja.
Pada awalnya, Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada
dibawah kekuasaan Kerajaan Kediri dengan bupati/akuwu bernama Tunggul
Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok yang merupakan
pengawalnya karena terpikat oleh kecantikan istri akuwu Tunggul Ametung
yang bernama Ken Dedes, dan Ken Arok ingin memperistri Ken Dedes. Ken
Arok membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring,
dimana keris ini sebetulnya belumlah sempurna, akan tetapi karena Ken
Arok sudah tidak sabar untuk meminang Ken Dedes maka direbutlah keris
itu dari tangan Mpu Gandring, dan sang Mpu pun akhirnya dibunuh
menggunakan keris tersebut. Sebelum meninggal Mpu Gandring mengeluarkan
kutukan bahwa keris itu akan membunuhmu sampai tujuh turunan.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak
ditemukan di Jawa Timur dari daerah Singosari sampai Malang, juga
melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja
yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga
menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton
isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab
Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum
menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel
menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken
Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan
Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kediri yang diperintah oleh Kertajaya.
Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kediri meminta
perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken
Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada
pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai
raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan
Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu,
pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra
yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan
kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini
adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama
arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu,
Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kerajaan
Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Sekilas Sejarah Ken Arok
Kitab Pararaton adalah manuskrip jawa kuno yang ditulis dalam bentuk
dongeng yang berbeda dengan bentuk tulisan sejarah. Oleh karena itu
beberapa ahli sejarah menolak kebenaran naskah tersebut. Namun, perlu
diperhatikan bahwa cerita itu tidak diperuntukkan bagi para ahli
sejarah, melainkan bagi masyarakat Jawa Kuno yang pada saat itu banyak
mendapat pengaruh dari kepercayaan Hindu. Maka dengan sendirinya,
manuskrip tersebut dikisahkan sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang
membacanya. Ajaran hinduisme, meliputi diantaranya dewa-dewa, titisan,
karma dan yoga. Ajaran itu mempengaruhi alam pikiran masyarakat Jawa dan
kesusasteraannya. Pararaton adalah hasil sastra dari zaman itu, maka
dengan sendirinya sastra Pararaton juga bersudut pandang ajaran
Hinduisme.
Berikut ini adalah ringkasan cerita tentang Ken Arok sebagaimana tertulis di dalam naskah Pararaton.
Bhatara Brahma berjinak-jinak dengan Ken Ndok di lading Lalateng,
kemudian berpesan agar Ken Ndok jangan lagi berkumpul dengan suaminya.
Larangan Dewa Brahma itu mengakibatkan perceraian dengan suaminya Ken
Ndok, Gajah Para. Ken Ndok pulang ke Desa Pangkur, diseberang utara
sungai; Gajah Para kembali ke Desa Campara, di seberang selatan. Lima
hari kemudian, Gajah Para meninggal, konon karena ia melanggar larangan
Dewa Brahma dan karena anak yang masih di dalam kandungan. Setelah
sampai bulannya, Ken Ndok melahirkan bayi laki-laki, yang segera dibuang
di kuburan akibat menanggung malu. Pada malam harinya, seorang pencuri
bernama Lembong tercengang melihat sinar berpancaran di kuburan
tersebut. Saat sinar itu didekatinya nampaklah seorang bayi sedang
menangis. Karena kasihan maka bayi tersebut dibawanya pulang. Segera
tersiar kabar bahwa Lembong mempunyai anak pungut berasal dari kuburan.
Mendengar kabar itu, Ken Ndok dating mengunjungi Lembong dan mengaku
bayi itu anaknya, lahir dari kekuasaan Bhatara Brahma. Anak itu diberi
nama Ken Arok.
Ken Arok tinggal di desa Pangkur sampai dapat menggembalakan kerbau,
namun ia suka berjudi. Harta kekayaan Ayah pungutnya habis diperjudikan.
Ketika ia disuruh menggembalakan kerbau kepala desa Lebak, kerbau
itupun diperjudikannya juga. Akibatnya ayah pungutnya harus membayar
uang ganti rugi. Karena kesal, Ken Arok pun diusir dari rumah. Ditengah
jalan ia bertemu dengan Bango Samparan, penjudi dari Desa Karuman. Ken
Arok dibawa ke tempat perjudian. Pada waktu itu Bango Samparan menang;
menurut anggapannya berkat kehadiran Ken Arok. Oleh karena itu Ken Arok
diajaknya pulang dan dijadikan anak pungut istri tua Bango Samparan yang
kebetulan mandul. Di Karuman, Ken Arok merasa kesepian, karena ia
tidak dapat bergaul dengan anak-anak Tirtaja, istri muda Bango Samparan.
Kemudian ia pergi dan bertemu dengan Tita, anak Sahaja, kepala desa
Siganggeng dan belajar bersama pada seorang guru bernama Janggan. Di
rumah Janggan, ia menunjukkan kenakalannya. Buah jambu milik Janggan
yang masih mentah diambil dan diruntuhkan. Melihat perbuatan itu,
Janggan marah. Ken Arok tidak berani masuk rumah, lalu tidur di luar di
atas timbunan jerami kering. Ketika Janggan keluar di malam hari, ia
terkejut melihat sinar berpancaran dari timbunan jerami. Ketika
didekatinya, ternyata sinar itu berasal dari Ken Arok. Sejak saat itu
Janggan sangat menyayangi Ken Arok.
Ken Arok dan Tita tinggal di sebuah pondok di sebelah timur Siganggeng
untuk menghadang para pedangang yang lewat, namun kenakalannya tidak
sampai disitu saja. Ia berani pula merampok dan merogol gadis penyadap
di Desa Kapundungan. Ken Arok menjadi perusuh yang mengganggu keamanan
wilayah Tumapel dan menjadi buruan Akuwu (Penguasa daerah). Ken Arok
lari dari satu tempat ke tempat lain. Tiap tempat yang didatanginya
menjadi tidak aman, namun ia selalu dapat lolos dari bahaya berkat
perlindungan Bhatara Brahma.
Ketika Ken Arok berguru kepada Mpu Palot di Turnyatapada, ia diutus
untuk mengambil emas pada kepala desa Kabalon. Orang-orang Kabalon tidak
percaya bahwa ia adalah utusan Mpu Palot. Karena marah, salah seorang
diantara mereka ditikamnya, lalu ia lari ke rumah kepala desa. Segenap
penduduk Desa Kabalon mengejarnya, masing-masing bersenjatakan golok
atau palu. Sekonyong-konyong terdengar suara dari langit yang berkata:
“Jangan kau bunuh orang itu. Ia adalah puteraku. Belum selesai tugasnya
di dunia!”. Mendengar suara itu para pengejarnya berhenti, lalu bubar.
Sementara itu, diketahui oleh orang-orang Daha (Kediri) bahwa Ken Arok
bersembunyi di Turnyatapada. Dalam kejaran orang-orang Daha, Ken Arok
lari ke Desa Tugaran, dari Tugaran ke Gunung Pustaka dan dari situ
mengungsi ke Desa Limbahan; dari Desa Limbahan ke Desa Rabut, akhirnya
sampai Panitikan. Atas nasihat seorang nenek ia bersembunyi di Gunung
Lejar. Dalam persembunyiannya di Gunung Lejar, ia mendengar keputusan
para Dewa bahwa ia telah ditakdirkan menjadi raja yang akan menguasai
Pulau Jawa.
Brahmana Lohgawe datang dari India ke Pulau Jawa menumpang di atas tiga
helai daun kakatang, diutus oleh Bhatara Brahma untuk mencari orang yang
bernama Ken Arok. Ciri-cirinya: tanganya panjang melebihi lutut; rajah
telapak tangan kanannya ialah cakra, rajah telapak tangan kirinya
bertanda cangkang kerang. Kata Bhatara Brahma, ia adalah titisan Dewa
Wisnu di suatu candi. Dengan jelas diberitahukan kepadanya, Dewa Wisnu
tidak ada lagi di candi pemujaan, karena telah menitis pada orang yang
bernama Ken Arok di Pulau Jawa. Ia diperintahkan mencarinya di
perjudian. Oleh karena itu, sesampainya Brahmana Lohgawe di Pulau Jawa,
ia segera menuju Desa Taloka bertemu dengan Ken Arok.
Ken Arok dibawanya menghadap Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung.
Setelah mendengar uraian pendeta Lohgawe bahwa ia baru saja dating dari
Jambudwipa dan maksud kedatangannya ialah untuk menitipkan anak
angkatnya, Ken Arok diterima oleh Tunggul Ametung sebagai pembantu.
Istri Tunggul Ametung sangat cantik bernama Ken Dedes, anak tunggal
seorang pendeta Budha di Panawijen bernama Mpu Purwa. Konon ketika
Tunggul Ametung datang di Panawijen untuk meminang Ken Dedes, kebetulan
Mpu Purwa sedang bertapa di tegal. Karena tidak dapat menahan nafsunya,
Ken Dedes dilarikan ke Tumapel dan dikawininya. Ketika Mpu Purwa pulang
dari pertapaan, mendapatkan rumahnya kosong, lalu menjatuhkan kutuk:
“Semoga yang melarikan anak saya tidak akan selamat hidupnya; semoga ia
mati kena tikaman keris. Semoga sumur dan sumber air di Panawijen
semuanya kering sebagai hukuman kepada para penduduknya, karena mereka
itu segan memberitahukan penculikan anak saya. Semoga anak saya yang
sudah mendapat wejangan karma amamadangi tetap selamat dan mendapat
bahagia!”.
Ketika Ken Arok datang di Tumapel, Ken Dedes telah hamil. Bersama
suaminya, ia naik kereta berpesiar ke taman Baboji. Pada waktu Ken Dedes
turun dari kereta, tersingkap kain dari betis sampai pahanya. Ken Arok
terpesona melihatnya karena rahasia Ken Dedes berpancaran sinar.
Sepulangnya dari taman, peristiwa itu diceritakan oleh Ken Arok kepada
pendeta Lohgawe. Jawab Lohgawe: “Wanita yang rahasianya menyala, adalah
wanita nareswari. Betapapun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan
menjadi raja besar.” Mendengar ujaran itu, Ken Arok terdiam. Timbul
niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung, namun Lohgawe tidak setuju.
Ken Arok meminta izin untuk mengunjungi ayah angkatnya Bango Samparan di
Desa Karuman. Sesampainya disana, ia menceritakan pengalamannya di
taman Baboji kepada Bango Samparan dan menegaskan niatnya untuk membunuh
Tunggul Ametung serta kemudian mengawini Ken Dedes. Bango Samparan
member nasihat agar Ken Arok sebelum melaksanakan niatnya supaya pergi
dulu ke Lulumbang menemui pandai keris bernama Mpu Gandring, ia adalah
kawan karib Bango Samparan. Konon barang siapa kena tikam keris
buatannya pasti mati. Nasihatnya, supaya Ken Arok memesan keris
kepadanya. Hanya setelah keris pesanan itu selesai ia baru boleh
melaksanakan niatnya. Ken Arok berangkat ke Lulumbang dan memesan keris
kepada Mpu Gandring. Dalam waktu lima bulan, keris itu supaya sudah
selesai. Namun jawab Mpu Gandring, supaya ia diberi waktu setahun agar
matang pembuatannya. Ken Arok tetap pada permintaannya, lalu ia pergi.
Lima bulan kemudian, Ken Arok kembali ke Lulumbang untuk mengambil keris
pesanannya, namun keris itu sedang digerinda. Karena marahnya, keris
itu direbut dan ditikamkan pada Mpu Gandring, kemudian dilemparkan ke
lumpang pembebekan gerinda. Lumpang pun pecah terbelah. Dilemparkan lagi
ke landasan, namun landasan pun pecah berantakan. Ken Arok yakin bahwa
keris itu benar-benar ampuh. Sementara itu, Mpu Gandring yang sedang
berlelaku, mengumpat: “Hei Arok! Kamu dan anak cucumu sampai tujuh
keturunan akan mati karena keris itu juga!” setelah menjatuhkan umpat
itu, ia pun mati. Pikir Ken Arok: “Kalau kelak saya benar jadi orang
besar, anak cucu Gandring akan mendapat balas jasa,” lalu, Ken Arok pun
pulang tergesa-gesa ke Tumapel.
Di Tumapel, Ken Arok memiliki seorang sahabat karib bernama Kebo Hijo.
Kebo Hijo sangat dipercaya oleh Tunggul Ametung, tetapi wataknya suka
pamer. Ketika ia melihat keris Ken Arok yang berukiran kayu cangkring,
ia meminta Ken Arok untuk meminjamkan kepadanya. Memang itulah maksud
Ken Arok, keris kemudian dipinjamkan lalu dipamer-pamerkan Kebo Hijo
kepada orang banyak, sehingga segenap orang Tumapel tahu bahwa Kebo Hijo
mempunyai keris baru. Ken Arok menduga bahwa saat yang
dinanti-nantikannya telah tiba. Keris diambil oleh Ken Arok tanpa
sepengetahuan Kebo Hijo. Pada malam hari waktu telah sepi, Ken Arok
masuk ke rumah Tunggul Ametung, ia langsung menuju tempat tidur Tunggu
Ametung yang sedang tidur nyenyak, segera ditikamnya dengan keris
Gandring. Baru keesokan harinya diketahui bahwa Tunggul Ametung telah
mati ditusuk dengan keris milik Kebo Hijo yang masih tertancap di
dadanya. Dengan serta merta, Kebo Hijo disergap oleh sanak saudara
Tunggul Ametung, dikeroyok dan ditusuki dengan keris Gandring. Anaknya
Kebo Randi menangisi kematian ayahnya. Melihat peristiwa itu, iba hati
Ken Arok dan berjanji akan mengambilnya sebagai pekatik (abdi).
Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi akuwu di Tumapel dan
mengawini Ken Dedes. Di antara warga Tumapel, tidak ada seorangpun yang
berani menentang. Pada waktu itu Tumapel adalah daerah bawahan Daha
(Kediri), yang diperintah oleh Raja Kertajaya. Konon Raja Kertajaya juga
disebut sebagai Dandang Gendis. Ia sedang berselisih dengan para
pendeta Siwa-Budha, karena keinginannya untuk disembah sebagai Dewa.
Keinginan itu ditolak, karena belum pernah terjadi pendeta menyembah
raja. Untuk memperlihatkan kemampuannya, Kertajaya menancapkan tombaknya
di tanah dan duduk diatas ujungnya. Namun, para pendeta tetap pada
pendiriannya. Beberapa pendeta meninggalkan Daha dan pergi mencari
perlindungan di Tumapel. Hal ini menambah jumlah pengikut Ken Arok yang
sudah agak besar. Keturunan dan kerabat yang pernah berbuat baik kepada
Ken Arok dipanggil ke Tumapel untuk menerima balas jasa dan diminta
untuk menetap disana. Oleh para pengikutnya, Ken Arok diangkat sebagai
raja dan mengambil nama abhiseka sebagai Rajasa Sang Amurwabhumi.
Sejak saat itu, Ken Arok tidak lagi menghadap Raja Kertajaya di Daha.
Hal itu menimbulkan rasa curiga pada Kertajaya. Ken Arok diduga akan
memberontak. Kertajaya bersumbar bahwa Daha tidak akan dapat ditundukkan
oleh siapa pun, kecuali oleh Bhatara Guru (Dewa Siwa). Mendengar
sesumbar itu, Ken Arok memanggil para pendeta dan rakyatnya untuk
menyaksikan bahwa ia mengambil nama sebagai Bhatara Guru dan
memerintahkan tentara Tumapel untuk bergerak menyerbu Daha. Pertempuran
sengit antara tentara Tumapel dan Daha berkobar di sebelah utara Desa
Ganter. Dalam pertempuran itu, Mahisa Walungan dan Gubar Baleman,
hulubalang Daha, tewas. Sehingga bala tentara Daha terpukul mundur dan
lari mencari perlindungan. Raja Kertajaya pun melarikan diri mencari
perlindungan di dalam candi. Daha pun jauh dalam kekuasaan Tumapel pada
tahun 1222 Masehi.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok memperoleh tiga orang
putera dan seorang puteri, yaitu Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang,
Agnibaya dan Dewi Rimbu. Dan perkawinan keduanya dengan Ken Umang, Ken
Arok juga mempunyai tiga putera dan seorang puteri yaitu Panji Tohjaya,
Panji Sudatu, Tuan Wregola dan Dewi Rambi. Putera sulung Ken Dedes
keturunan Tunggul Ametung bernama Anusapati.
Bertahun-tahun lamanya kisah pembunuhan Tunggul Ametung dirahasiakan
oleh Ken Dedes terhadap Anusapati. Namun, ketika Anusapati telah remaja
dan ia merasa diperlakukan lain daripada saudara-saudaranya oleh Sang
Amurwabhumi, muncullah rasa curiga di dalam hati Anusapati. Atas desakan
pengasuhnya, Anusapati bertanya kepada Ken Dedes, mengapa Sang
Amurwabhumi bersikap demikian. Jawab Ken Dedes, “Jika engkau ingin tahu,
ayahmu yang sebenarnya ialah mendiang Tunggul Ametung. Ayahmu telah
mati, ketika engkau masih di dalam kandungan. Pada waktu itu aku
dikawini oleh Sang Amurwabhumi.” Anusapati bertanya lagi, “Apa sebabnya
ayah meninggal?” Jawab Ken Dedes, “Dibunuh oleh Sang Amurwabhumi”. Pada
saat itu Ken Dedes terdiam, merasa telah membocorkan rahasia. Anusapati
bertanya lagi:”Ibunda, bolehkan saya melihat keris Gandring pusaka Sang
Amurwabhumi?” Keris pun diperlihatkan Ken Dedes kepada Anusapati.
Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari Desa Batil.
Pengalasan itu segera dipanggil dan diberi perintah untuk membunuh Sang
Amurwabhumi dengan keris Gandring. Tanpa membantah, pengalasan itu pun
pergi untuk membunuh Ken Arok. Dengan serta merta, Sang Amurwabhumi yang
sedang bersantap ditikam dari belakang, mati seketika itu juga. Ketika
itu hari Kamis Pon, wuku Landep, waktu senja matahari baru saja
tenggelam, tahun Saka 1169 (1297 Masehi). Setelah menikam, pengalasan
itu pun lari untuk member laporan kepada Anusapati. Anusapati kemudian
memberinya hadiah imbalan. Katanya:”Telah mati terbunuh, oleh hamba,
ayah paduka!” Dengan serta merta pula, pengalasan itu dihabisi hidupnya
oleh Anusapati. Karenanya tersiar kabar: “Sang Prabu mati kena amuk
orang dari Desa Batil. Anusapati telah membalaskan dendam dengan
membunuh pengalasan itu:. Rajasa Sang Amurwabhumi pun dicandikan di
Kagenengan.
Raja Raja Singhasari
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel
ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat
dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri
Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M).
Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh
Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah
Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada
versi Negarakertagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga
Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati,
yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah
Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
1. Ken Arok (1222–1227 M)
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi
Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Rangga Rajasa Sang
Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai
munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau
Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun
(1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan
Anusapati (anak tiri Ken Arok), sebagai terusan kutukan dari Mpu
Gandring. Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
2. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke
tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama,
Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut
dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok
akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan
Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam
sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan
Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik
menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris
buatan Mpu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati.
Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
3. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang
oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama
sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian
ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni
berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
4. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar
Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa
Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar
Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan
kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat
putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan
maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada
tahun 1268 Wisnuwardana meninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau
Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai
cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun
1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam
pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri
i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat
mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat
yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh
Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan
gelar Aria Wiraraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian
ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang
dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang dipimpin oleh
Adityawarman dan berhasil menguasai Kerajaan Melayu.
Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali,
Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga
menjalin hubungan persahabatan dengan raja Campa,dengan tujuan untuk
menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai
Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya
sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka
utusannya yang bernama Meng Chi. Tindakan Kertanegara ini membuat
Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan
pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim
untuk Ekspedisi Pamalayu dan untuk menghadapi serangan Mongol maka atas
usulan dari Aria Wiraraja(Adipati Sumenep) yang merupakan penentang
politik Kertanegara, Jayakatwang (Kediri) segera menggunakan kesempatan
ini untuk menyerang Singasari. Serangan dilancarakan dari dua arah,
yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan
merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah utara dipimpin oleh Jaran Guyang, Kertanegara
mengutus Raden Wijaya dan Ardharaja untuk melawan pasukan Jaran Guyang.
Pasukan Jaran Guyang pun berhasil dikalahkan. Sementara pasukan Kediri
dari arah selatan dipimpin Patih Mahisa Mundarang dan berhasil masuk
istana dan menemukan Kertanegara berpesta pora dengan para pembesar
istana. Kertanegara beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam
serangan tersebut. Ardharaja(menantu Kertanegara, anak dari Jayakatwang)
berbalik memihak kepada ayahnya, sedangkan Raden Wijaya berhasil
menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan
dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden
Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden
Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang
untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari
dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan
Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian
didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca
perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di
Taman Simpang,Surabaya.
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik
turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha
meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang
bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan
sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam
kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial
masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia
meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja
Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar
negeri.
Politik Dalam Negeri:
Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani, dll.
Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra
Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar Negeri:
Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
Menguasai Bali.
Menguasai Jawa Barat.
Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung
diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan
patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewi
Prajnaparamita lambang kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud
patung Joko Dolog, dan patung Amogaphasa juga merupakan perwujudan
Kertanegara (kedua patung Kertanegara baik patung Joko Dolog maupun
Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran
Tantrayana).
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan
berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi
dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan
kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan
perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di
bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati
Gelang-Gelang(Kediri), yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus
besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati
terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan
membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel Singhasari
pun berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar