Berdirinya Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh seorang peranakan Minangkabau - Majapahit yang bernama Adityawarman, pada tahun 1347.
Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya.
Adityawarman sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah
Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang
merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat
dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku
Minang).
Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari
Majapahit dan menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti
Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada. Namun dari berita
Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim utusan ke Tiongkok seperempat
abad kemudian.
Agaknya Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit.
Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas
Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat
dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut
dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana.
Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Pengaruh Hindu
Pengaruh Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan
ke-14, yaitu pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara,
dan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Kekuasaan mereka diperkirakan cukup kuat mendominasi Pagaruyung dan
wilayah Sumatera bagian tengah lainnya. Pada prasasti di arca Amoghapasa
bertarikh tahun 1347 Masehi (Sastri 1949) yang ditemukan di Padang
Roco, hulu sungai Batang Hari, terdapat puji-pujian kepada raja Sri
Udayadityavarma, yang sangat mungkin adalah Adityawarman.
Walaupun demikian, keturunan Adityawarman dan Ananggawarman selanjutnya
agaknya bukanlah raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian digantikan
oleh orang Minangkabau sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang dibantu oleh
Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri kemudian
lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh. dan
kemudian menjadi negara-negara merdeka.
Pengaruh Islam
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu
melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh
dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf
Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung.
Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan
Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan
bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat
diganti dengan aturan agama Islam. Papatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya
adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada AI-Quran.
Hubungan dengan Belanda dan Inggris
Ketika VOC berhasil mengalahkan Kesultanan Aceh pada peperangan tahun
1667, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara
daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung
menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat
perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan adanya produksi emas di sana.
Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk
menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684,
seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung
atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sejak saat itu mulailah terbina komunikasi dan perdagangan antara Belanda (VOC) dan Pagaruyung.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon
dimana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda
dan berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795
sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung
di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi peperangan antara
kaum Padri dan bangsawan (kaum adat) Pagaruyung. Saat itu Raffles
menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan
yang terjadi.
Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda di tahun 1814,
maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan
ditanda-tanganinya Traktat London di tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang
perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di
pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di
pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih
tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan golongan
bangsawan (kaum adat). Dalam satu pertemuan antara keluarga kerajaan
Pagaruyung dan kaum Padri pecah pertengkaran yang menyebabkan banyak
keluarga Raja terbunuh. Namun Sultan Muning Alamsyah selamat dan
melarikan diri ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan
kepada Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah,
yaitu kemenakan dari Sultan Muning Alamsyah, beserta 19 orang pemuka
adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan Pagaruyung
kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu berperang
melawan kaum Padri dan Sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar
mewakili pemerintah pusat.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian
berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa dan
Maluku. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan
kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara
rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Yang Dipertuan
Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung,
ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di
pekuburan Mangga Dua.
Perang Padri, 1803-1838 dan Keterlibatan Belanda
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari
Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik & Haji
Piobang yg ingin memperbaiki syariat Islam yg belum sempurna dijalankan
oleh masyarakat Minangkabau.
Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut
mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain
di Minangkabau yg tergabung dlm Harimau Nan Salapan. Harimau Nan
Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yg bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara Kaum Padri
denganKaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dlm Kerajaan Pagaruyung
bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung & pecahlah peperangan
di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah
terpaksa menyingkir & melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari
catatan Raffles yg pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818,
menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan
Pagaruyung yg sudah terbakar. Perang Padri ialah peperangan yg
berlangsung di Sumatera Barat & sekitarnya terutama di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 sampai 1838.
Perang ini merupaken peperangan yg pada awalnya akibat pertentangan dlm
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yg
dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yg marak
dilakukan oleh kalangan masyarakat yg disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung & sekitarnya. Kebiasaan yg dimaksud seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau,
sirih, & juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta
longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya
kesepakatan dari Kaum Adat yg padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga
pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yg
melibatkan sesama Minang & Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum
Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan
oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum
Adat yg mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak
tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda & bergabung bersama
Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan
Belanda. Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yg cukup
panjang, menguras harta & mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain
meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya & memunculkan perpindahan
masyarakat dari kawasan konflik.
Bantuan Belanda Kepada Kaum Adat Pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar
Karena terdesak dlm peperangan & keberadaan Yang Dipertuan
Pagaruyung yg tak pasti, maka Kaum Adat yg dipimpin oleh Sultan Tangkal
Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari
1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap
tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan
Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai
tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah
Datar.
Keterlibatan Belanda dlm perang karena diundang oleh kaum Adat, &
campur tangan Belanda dlm perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang & Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet & Kapten
Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di
Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yg
dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan
yg telah dikuasai tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung.
Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan
nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan &
bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff
di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat
terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dlm pertempuran
di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia
pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum
Padri yg dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan
perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali
ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan
Kolonel Raaff,
Namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau
ini wafat & kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff
sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April
1824 sesudah sebelumnya mengalami demam tinggi. Sementara pada bulan
September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin
telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya
Koto Tuo & Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro
& Kapau, namun karena luka-luka yg dideritanya di bulan Desember
1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.
Perdamaian & Perjanjian Masang
Perlawanan yg dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yg waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
“Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi
karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana
dlm menghadapi peperangan lain di Eropa & Jawa seperti Perang
Diponegoro. Selama periode gencatan senjata,
Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan & juga mencoba
merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yg
dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten
Tanah Datar yg mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah yg artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama
Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.
Wilayah kekuasaan
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat
hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini
dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang
ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman
Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah
daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten
Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di
Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
Nan salilik Gunuang Marapi
Saedaran Gunuang Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang
Hinggo Buayo Putiah Daguak
Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik
Sialang Balantak Basi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh
Sampai ka ombak nan badabua
Sailiran Batang Sikilang
Hinggo lauik nan sadidieh
Ka timua Ranah Aia Bangih
Rao jo Mapat Tunggua
Gunuang Mahalintang
Pasisia Banda Sapuluah
Taratak Aia Hitam
Sampai ka Tanjuang Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah Daerah Luhak nan Tigo
Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
Daerah sekitar Gunung Sago dan Gunung Singgalang
Daerah sekitar Gunung Talang dan Gunung Kerinci
Daerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnya
Daerah di Pesisir Selatan hingga Muko-Muko
Daerah Jambi sebelah barat
Daerah yang berbatasan dengan Jambi
Daerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sailan
Daerah sekitar Gunung Sailan dan Singingi
Daerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur
Daerah sekitar Danau Singkarak dan Batang Ombilin
Daerah hingga Samudra Indonesia
Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang
Daerah yang berbatasan dengan Samudra Indonesia
Daerah sebelah timur Air Bangis
Daerah di kawasan Rao dan Mapat Tunggua
Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
Daerah sekitar Silauik dan Lunang
Daerah hingga Tanjung Simalidu
Daerah sehiliran Batang Hari
Sistem pemerintahan
Aparat pemerintahan
Raja Pagaruyung, yang disebut juga sebagai Raja Alam, melaksanakan
tugas-tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya
(wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat
yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama, mereka bertiga disebut Rajo
Tigo Selo, yang artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta.
Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat
mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai
barulah dibawa ke Raja Pagaruyung.
Selain kedua raja tadi, Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai,
artinya "orang besar" (menteri-menteri utama) yang berempat. Mereka
adalah:
1. Bandaro (bendahara) atau
Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai Tarab. Kedudukannya hampir sama
seperti Perdana Menteri. Bendahara ini dapat dibandingkan dengan
jabatan bernama sama di Kesultanan Melaka
2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Ia bertugas memelihara hubungan dengan rantau dan kerajaan lain.
3. Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Ia bertugas memelihara adat-istiadat
4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh. Ia bertugas sebagai panglima perang.
Namun belakangan pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan
di Padang Ganting. Ia bertugas menjaga syariah agama masuk menjadi Basa
Ampek Balai mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh.
Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya
daerah-daerah tertentu di mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya.
Daerah-daerah ini disebut rantau masing-masing. Bandaro memiliki rantau
di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo
punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di
Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Pemerintahan Darek dan Rantau
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 Nagari, yang merupakan
satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar
kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu
nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya
sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya
Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala
persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar
raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Darek
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung (Luhak Nan Tigo,
yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Tanah Data, Luhak Agam dan
Luhak Limopuluah), umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para
penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari
tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari
mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung ini,
Raja Pagaruyung hanya bertindak sebagai penengah meskipun ia tetap
dihormati.
Pembagian daerah darek adalah sebagai berikut:
Luhak Tanah Data
• Alam Surambi Sungaipagu
• Batipuah Sapuluah Koto
• Kubuang Tigobaleh
• Langgam nan Tujuah
• Limokaum Duobaleh Koto
• Lintau Sambilan Koto
• Lubuak nan Tigo
• Nilam Payuang Sakaki
• Pariangan Padangpanjang
• Sungai Tarab Salapan Batua
• Talawi Tigo Tumpuak
• Tanjuang nan Tigo
• Sapuluah Koto di Ateh Luhak Agam
• Ampek-Ampek Angkek
• Lawang nan Tigo Balai
• Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak Limopuluah Koto
• Hulu
• Lareh
• Luhak
• Ranah
• Sandi
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh
membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini
meliputi Pasaman, Kampar, Rokan, Indragiri dan Batanghari. Wilayah
rantau pada awalnya merupakan tempat mencari kehidupan bagi suku
Minangkabau.
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah
Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke
arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah Koto merantau ke
daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar Kiri dan Rantau Kampar
Kanan.
Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang
disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di
Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil,
yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar
sultan.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:
Rantau Luhak Tanah Data
Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah
• Lubuak Ambacang
• Lubuak Jambi
• Gunuang Koto
• Benai
• Pangian
• Basra
• Sitinjua
• Kopa
• Taluak Ingin
• Inuman
• Surantiah
• Taluak Rayo
• Simpang Kulayang
• Aia Molek
• Pasia Ringgit
• Kuantan
• Talang Mamak
• Kualo Thok
Rantau Pasisia Panjang (Rantau Banda Sapuluah)
• Batang Kapeh
• Kuok
• Surantiah
• Ampiang Perak
• Kambang
• Lakitan
• Punggasan
• Aia Haji
• Painan Banda Salido
• Tarusan
• Tapan
• Lunang
• Silauik
• Indropuro
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
• Anduriang Kayu Tanam
• Guguak Kapalo Hilalang
• Sicincin
• Toboh Pakandangan
• Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
• Tujuah Koto
• Sungai Sariak. Rantau Luhak Agam
• Nagari-nagari pantai barat Sumatera
• Pasaman Barat
• Pasaman Timur
• Panti
• Rao
• Lubuak Sikapiang
• dll.
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
• Palembayan
• Silaras Aia
• Lubuak Basuang
• Kampuang Pinang
• Simpang Ampek
• Sungai Garinggiang
• Lubuak Bawan
• Tigo Koto
• Garagahan
• Manggopoh Rantau Luhak Limo Puluah Koto
• Mangilang
• Tanjuang Balik
• Pangkalan
• Koto Alam
• Gunuang Malintang
• Muaro Paiti
• Rantau Barangin
• Rokan Pandalian
• Kuatan Singingi
• Gunuang Sailan
• Kuntu
• Lipek Kain
• Ludai
• Ujuang Bukik
• Sanggan
• Tigo Baleh Koto Kampar
• Sibiruang
• Gunuang Malelo
• Tabiang
• Tanjuang
• Gunuang Bungsu
• Muaro Takuih
• Pangkai
• Binamang
• Tanjuang Abai
• Pulau Gadang
• Baluang Koto Sitangkai
• Tigo Baleh
• Lubuak Aguang
• Limo Koto Kampar Kuok
• Slao
• Bangkinang
• Rumbio
• Aia Tirih
• Taratak Buluah
• Pangkalan Indawang
• Pangkalan Kapeh
• Pangkalan Sarai
• Koto Laweh
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau
yang terletak di wilayah Malaysia sekarang, yaitu Rantau Nan Sambilan
(Negeri Sembilan). Nagari-nagarinya adalah
• Jelai
• Jelebu
• Jehol
• Kelang
• Naniang
• Pasir Besar
• Rembau
• Segamat
• Sungai Ujong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar