Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone,
merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau
tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai
areal sekitar 2600 km2.
Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri
Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh
Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan
La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara
perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan
La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone
semakin luas berkat keberaniannya.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam.
Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe
ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah
menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue
sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam
diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan
jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun,
posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah
pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666.
Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris
berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda
pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon
Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone
terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi
untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari
Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
Pembentukan Kerajaan
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan
masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua
kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti
wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan
Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa
seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan
teritorial yang tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya
dalam sistem kehidupan patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah).
Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua
lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya
Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika
Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone
adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di
Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa
unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai
dengan fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak
mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir
sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah
hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut
mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh
karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya
Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang
Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat
menemui orang tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar
orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut
menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja.
Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia
bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut.
Selanjutnya, orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang.
Sesampainya disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning
di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas
memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di
atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja
itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan
“temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni
ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja
Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana
untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana
“bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami
istana itu.
Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar
MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M
sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang
bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang
masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga
dan Isamateppa.
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat
ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya
penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat,
Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh
komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat
peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat
istiadat untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari
Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana
(oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam
Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa
Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri
Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja
Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di
Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk
melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada
lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan
wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu
(Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan
kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu,
Palakka dan Taneteriattang”
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan
kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak
perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari
to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia
tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya
pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung
Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk
pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng
ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah
Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE
Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan
kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar
dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti :
Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta
Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale,
Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan
Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai
wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga
organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu
membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah
administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone.
Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang,
Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya
dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai
umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo,
Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan
Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri
Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga,
Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”.
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum
warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin
stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun
Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya
adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya
We Tenri Roppo Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang
perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta
menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari
pula Bissu Lalempili. Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng
Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri
yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama
Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam
perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan
perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan
menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan
menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang
dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan
pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama,
karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun
lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La
Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama
keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia
menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta
dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja
Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar
lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV
sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil
memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu.
Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena
Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang
Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To
Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata
di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo
MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian
kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut
tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian
perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang
menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut
menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya
menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara
agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan
Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan
antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama
kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae
ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer.
Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan
prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar
Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan
Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu –
salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi
pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah
beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi
penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya
dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E
karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan
sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk
memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan
campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut
hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang
mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di
semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah
Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddon. Dia pulalah
yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre
Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik
pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata
sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di
Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan,
dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa
dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran
Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang,
Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan
balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan
Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate).
Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk
saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam
keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik
di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung
Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone
VII.
Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan
Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas
keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang
agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa
itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang
naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E,
Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa
yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga
wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu
Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari
lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun
semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya
pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa
Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya
dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan
Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan
perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua
kerajaan di Selatan (Sungai Tangka).
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa
Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke
pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai
ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan
sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah
mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun
mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja
Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja
Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami
manusia”. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali
pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang
intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya
perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh
hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan
membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu
itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat
persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan
Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan
yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan
bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung
(Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan
selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat.
Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe
meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah
saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun
1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan
kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan
terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah
menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka
ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada
masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga
tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan
bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke
Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun
diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan
kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang
daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan
terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang
tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di
Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya
mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka
memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun
berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke
Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung
dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan
gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya
masing-masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa
bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus
meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan
menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap
kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan
Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.
Proses Islamisasi Bone
Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada
Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh
Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun
dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara
damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan
tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa
barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan
memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone
bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan
kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis.
Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam
telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka
ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang
peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang
pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk
Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611
M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada
tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada
tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena
beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue
bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan
Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan
meninggal di Bantaeng.
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri
Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk
Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng
telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat
disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La
Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To
Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca
MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali
semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah
pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat
berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu
Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone
memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan
Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer
Gowa.
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke
Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan
Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at.
Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631),
penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat
Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya
La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La
Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain
termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah
menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk
diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau
mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian;
miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal
penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari
para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh
Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau
menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak
toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan
Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan
pra-Islam di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam
menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam
pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti
Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan
hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka
inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa
pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski
begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang
menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan
penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan
Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini
berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan
perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu
saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar –
besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya
menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa
ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat
dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai
Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng
dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga
digelari Matinroe ri Bukaka.
Arung Palakka dan Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas Arung
Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To
RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai
pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak
memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung
Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang
bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian
terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya
Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung
Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah
kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa
(1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin.
Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La
Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa
tersebut dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di
Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya
digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng -
benteng Makassar.
Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis
Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga
dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung
Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan
pembuat benteng. Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya
disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya
perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La
Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja
paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam
lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang
Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang dipikirkannya
adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah Arung
Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari
barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya,
perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta
dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis
ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke
Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung
Palakka menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun
setelah melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya
dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan
dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis.
Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara yang modernis,
sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer
darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang
menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung
Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan
semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks
sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa.
Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung
Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa
terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama
Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri
taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar hegemoni
politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna
Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI.
Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone -
Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat.
Andi Sultan Kasim menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas,
karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan
berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka
menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.
Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya,
Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki
pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran
penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas
kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa
ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang
itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone
meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu
(bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din),
pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua
anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang
sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September
1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi
dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan
(juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der
Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak
akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah
ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan
membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi
untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap
melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat
dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder
melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah
moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang
Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di
kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah
kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers
menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin
mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil
diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun
kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas
sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali
dan harus melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang
terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan
pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan
Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap
seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah
melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas
wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana
Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell
mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret
1903.
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone
oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan
Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk
mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang
bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda.
Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap
pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta
Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La
pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada
kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke
Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari
1911.
Daftar Arumpone Bone
1- Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
2- La Umassa Petta Panré Bessié [ Petta Paladeng - Arung Labuaja ] Matinroe Ri Bengo [To' Mulaiyé Ranreng] (1424-1441)
3- La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
4- We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
5- La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
6- La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
7- La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
8- La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
9- La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
10- We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
11- Wa Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
12- La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
13- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
14- Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
15- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
16- La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng Sérang (1672-1696)
17- La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng (1696-1714)
18- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab
Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri
Tippuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
19- La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman
ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
20- Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana
Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din
[Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
21- La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng
Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan
Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri
Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
22- I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni
al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan
gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri
Gaukana.
23- La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan
'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri
Biséi] (1724)
24- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab
Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri
Tippuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
25- I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
26- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab
Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri
Tippuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
27- La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan
'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din
[Matinroé ri-Malimongang] (1749-1775)
28- La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad
as-Saleh Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
29- La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
30- I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-1835)
31- La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-1845)
32- La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg] (1845-1858)
33- La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
34- La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
35- I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
36- La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
37- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan
Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
38- Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
39- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan
Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain [Matinroé-ri Gowa] (1950-1960) (masa
jabatan kedua diangkat oleh belanda)
39- Arung Bocco Petta Daru / Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta
Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah wafat tidak ada
mangkau di bone selama 20 thn)
40- Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu /
Petta Ponggawa / Petta Paladeng MatinroE-ri Kajuara ) (Adalah keturunan
Langsung Dari Almarhum Jendral M.Yusuf)"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar