Pertanyaan pertama yang muncul dalam pikiran kita saat melintas di depan
Pendopo Pemkab Bojonegoro yang bertuliskan PENDOPO MALOWOPATI adalah
apakah benar Bojonegoro itu bumi Angling Dharmo ??
Sebagai pemerhati sejarah kiranya penulis akan mengulas tentang
pelurusan sejarah Bojonegoro. Agar generasi saat ini sampai mendatang
tidak terbelenggu dengan mitos yang tidak bisa dibuktikan secara
akademis/keilmuan.
Sebagaimana saat anda memasuki wilayah Bojonegoro akan terpampang jelas
dengan kalimat sambutan "Selamat Datang Di Bumi Angling Dharmo". Tidak
hanya itu saja tim sepakbola kebanggaan warga Bojonegoro memiliki
sebutan "Laskar Angling Dharmo". Kemudian Radio Pemerintah Pemkab
Bojonegoro pun menamakan stasiun radionya dengan "Stasiun Radio
Malowopati". Bahkan Pendopo Pemkab Bojonegoro pun menggunakan nama
"Pendopo Malowopati". Nama Malowopati itu sendiri diambil dari lokasi
Kerajaan yang dipimpin Prabu Angling Dharmo yaitu Kerajaan Malowopati.
Bahkan sebagian besar warga Bojonegoro pun meyakini bahwa Angling Dharmo
adalah prabu yang memiliki kerajaan di Bojonegoro. Ditambah lagi dengan
ditayangkannya serial Prabu Angling Dharmo di stasiun televisi swasta
nasional seolah-olah menambah keyakinan masyarakat Bojonegoro bahwa
Prabu Angling Dharmo memang berasal dari Bojonegoro.
Pemkab saat itu menegaskan bahwa Bojonegoro adalah Bumi Angling Dharmo.
Hingga saat ini yang tertanam di pikiran masyarakat Bojonegoro, ANgling
Dharmo adalah leluhur Bojonegoro.
Perlu diketahui Pemkab Bojonegoro sekitar tahun 1988 dalam buku Sejarah
Kabupaten Bojonegoro, ditambah dengan terbitnya buku Sejarah Kepolisian
Resort Bojonegoro yang mnegaskan bahwa tidak ada bukti peninggalan
Kerajaan Malowopati. Penegasan secara ilmiah ini dinyatakan oleh Balai
Arkeologi Jogjakarta.
Namun ironis sekali, sejarah yang ditulis secara ilmiah itu ternyata
tidak sampai pada generasi muda Bojonegoro saat ini. Akibatnya, generasi
muda Bojonegoro hingga kini masih belum memahami sejarah yang benar.
Seharusnya di sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Melalui
pelajaran sejarah atau IPS bisa menjelaskan sejarah kelahiran Bojonegoro
ini. Jadi maklum saja, di sekolah mereka tidak mendapatkan sejarah yang
benar. Mereka hanya percaya tanpa bukti sejarah. Sehingga sejarah yang
diterima di kepala siswa adalah cerita mitos Prabu Angling Dharma tanpa
bukti ilmiah, kaum muda Bojonegoro dipaksa untuk percaya cerita rakyat
atau legenda yang jelas-jelas tanpa ada bukti sejarah yang konkret.
Dalam ilmu sejarah ada 3 (tiga) unsur dalam sejarah. Yaitu yang pertama;
Manusia, yaitu sebagai pelaku sejarahnya, Kedua; Tempat, yaitu dimana
letak/lokasi peristiwa sejarah itu, dan ketiga; waktu, yaitu kapan
terjadinya peristiwa tersebut. Untuk Cerita Angling Dharmo jelas tidak
memenuhi salah satu unsur keilmuan sejarah. Dan bisa disimpulkan itu
adalah legenda/cerita rakyat. Ironi kan ??
Penulis khawatir jika sejarah yang benar tidak diajarkan kepada siswa,
maka akibatnya generasi muda Bojonegoro percaya kepada mitos. Apabila
masyarakat mempercayai mitos maka logika sederhana tentang realita
keilmuan akan hablur.
Pada kenyataannya Angling Dharmo ternyata bukan hanya klaim dari
Bojonegoro. Di daerah lain yaitu di Jawa Tengah seperti Pati, Sragen
juga mengklaim sebagai daerah asal Prabu Angling Dharmo. Banyaknya klaim
tersebut menegaskan jika Angling Dharmo adalah cerita rakyat, bukan
sejarah yang harus diakui kebenarannya.
Pada bulan Agustus 2012 Tim Balai Arkeologi Jogjakarta juga menegaskan
situs Mlawatan di wilayah kecamatan Kalitidu tepatnya di desa Wotangare
yang di percaya sebagai petilasan Batik Madrim yaitu adik dari Prabu
Angling Dharmo juga ditemukan bekas bangunan kerajaan. Tetapi Balai
Arkeologi tidak menegaskan bahwa itu adalah situs lokasi reruntuhan
bangunan kerajaan, melainkan sisa-sisa reruntuhan lokasi bangunan
kompleks rumah. Dengan ciri bata nerah panjang 40 C cm lebar 20 cm
dengan ketebalan 5 cm merupakan ciri khas bata masa kerajaan Majapahit.
Memang di lokasi tersebut (situs Mlawatan) ditemukan tumpukan batu bata,
tetapi itu bukan komleks bangunan kerajaan. Oleh karena itu penyebutan
Bojonegoro sebagai bumi Angling Dharmo perlu ditinjau ulang. Khususnya
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sebab jika generasi muda diberi sejarah
yang menyesatkan maka akan sesat pula generasi selanjutnya tentang jati
diri Bojonegoro. Dan apa yang jadi bukti peranan Angling Dharmo di
Bojonegoro.
Sejarah Bojonegoro sendiri adalah merupakan bekas dari wilayah kerajaan
Rajekwesi yang merupakan wilayah perdikan dari kerajaan Pajang di Jawa
Tengah. Yang berlokasi di wilayah Mojoranu sekarang ini. Dan sejarah
Bojonegoro pernah penulis uraikan di waktu yang lalu.
Berikut sekilas tentang Rajekwesi masa perjuangan melawan penjajah
Kerajaan Ngurawan Bedander serta Kerajaan Rajekwesi adalah Kerajaan
dibawah pimpinan dari Prabu Joyonegoro dan Prabu Sura Dilogo. Sedangkan
yang menjabat Patih di Rajekwesi adalah Ki Kebo Gadung, dan yang
menjabat Patih merangkap Adipati di Ngurawan Bedander (Ngerawan
Bedander) adalah Adipati Mataram. Ki Buyut Merto Yuda yang lahir di
Mataram. Dia adalah putra dari Ki Singo Tunggul Yuda. Dia adalah seorang
Senopati Mataram yang mempunyai istri bernama Dewi Condro Arum. Mereka
berdua menikah dan dikarunia 3 orang putra yang semuanya adalah
laki-laki yang bernama Ki Singo Yuda, Ki Singo Nayo, dan Ki Merto Yuda.
Ki Singo Yuda menjadi Senopati di Kerajaan Ngurawan Bedander (Ngrawan
Dander). Ki Singo Nayo menjadi Senopati di Kerajaan Rajekwesi. Dan Ki
Buyut Merto Yuda menjadi sebagai Prajurit Mataram, dia terkenal sebagai
Prajurit yang sakti mandraguna. Ki Buyut Merto Yuda terkenal gagah,
paling anti kepada penjajah, dan paling berani untuk melawan para
Prajurit Kompeni yang akan menjajah dan menghancurkan Kerajaan Mataram.
Ki Buyut Merto Yuda adalah seorang penganut agama Islam yang taat dalam
mengerjakan shalat 5 waktu, bahkan tiap malam dia sering semedi/
istikharah dan meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Negara/ Kerajaan
Mataram aman, damai dan makmur. Ki Buyut Merto Yuda, diangkat menjadi
Senopati Perang oleh Sultan Prabu Hamengku Buwono ke-II / Sultan Sepuh
karena keberanian dan ketangkasannya, setiap ada musuh yang akan
menjajah Kerajaan Mataram dapat dihancurkan dan dipaksa mundur. Pada
tahun 1790 sampai dengan tahun 1819, terjadilah peperangan antara
Madiun, Jepara, Malang, dan Gresik yang bergabung untuk bermaksud untuk
menjajah Kerajaan Mataram. Para Prajurit Kerajaan Mataram yang dipimpin
oleh Senopati Ki Buyut Merto Yuda yang terkenal dengan ketangguhan dan
keberanian yang sangat tinggi, maka Ki Buyut Merto Yuda bersama para
Prajuritnya berhasil menaklukan dan memporak-porandakan semua musuh,
yang ada di Madiun, Jepara, Malang, dan Gresik.
Pada tahun 1825 sampai 1839 datanglah serangan dari Prajurit Kompeni
Belanda yang didukung oleh Prajurit Pajang untuk menghancurkan Kerajaan
Mataram. Mengingat bahwa musuh yang ingin menjajah / menghancurkan
Kerajaan Mataram lebih banyak dan lebih kuat, maka Prabu Sultan Sepuh,
mengadakan pertemuan dengan para Adipati dan para Senopati. Permasalah
dari pertemuan itu yaitu bagaimana cara mengalahkan / menghadapi musuh
yaitu Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang, maka dari itu Senopati Ki
Buyut Merto Yuda memberi jawaban yang tegas kepada Prabu Sultan Sepuh,
bahwa Ki Buyut Merto Yuda mengusulkan bahwa Kerajaan Mataram dapat
menang dalam pertempuran / peperangan apabila, Kerajaan Mataram mendapat
bala bantuan tentara dari Kerajaan Rajekwesi pimpinan dari Prabu
Joyonegoro dan Prabu Suro Dilogo. Dan secara kebetualan yang menjadi
Senopati Kerajaan Rajekwesi adalah saudaranya sendiri yaitu Ki Buyut
Merto Yuda, yaitu Senopati Singo Yuda dan Senopati Singo Nayo. dan
sedangkan yang menjadi Patih di Kerajaan Rajekwesi adalah Ki Kebo Gadung
yang masih pamannya sendiri.
Pada akhirnya Kerajaan Mataram meminta bala bantuan tentara kepada
Kerajaan Rajekwesi yang ternyata Senopati dan Patih dari Kerajaan
Rajekwesi itu adalah keluarga dari Ki Buyut Merto Yuda, sehingga dalam
meminta bantuan lebih cepat dan Kerajaan Mataram pun optimis menang
dalam pertempuran melawan para penjajah yang ingin menghancurkan
Kerajaan Mataram yaitu Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang. Sultan Sepuh
pada akhirnya meyerahkan tanggung jawab, keamanan, dan ketentraman
Kerajaan Mataram sepenuhnya kepada Ki Buyut Merto Yuda. Dia dipercaya
oleh Sultan Sepuh untuk menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram dari
serangan penjajah yang ingin menghancurkan Kerajaan Mataram. Sebelum Ki
Buyut Merto Yuda berangkat ke Kerajaan Rajekwesi, Prabu Sultan Sepuh /
Sultan Hamengku Buwono ke 2 melantiknya sebagai Adipati Mataram dan
merangkap menjadi Senopati Perang dikarenakan jasa-jasanya yang cukup
besar dalam membela Kerajaan Mataram. Yang perlu diingat bahwa Ki Buyut
Merto Yuda memiliki : Iman yang kuat, ilmu agama yang mendalam, maka dia
tidak pernah meninggalkan kewajiban Sholat 5 waktu. Sering Sholat
Istikharoh / semedi tiap tengah malam. Sering berpuasa Senin dan Kamis.
Dia setiap berangkat perang sering sendirian dengan naik kuda putih dan
dipunggungnya terselip sebuah pusaka / keris yang namanya Keris Kyai
Singo Barong.
Ki Buyut Merto Yuda terkenal dan sering disebut-sebut sebagai Senopati
Harimau. Ki Buyut Merto Yuda setelah diangkat menjadi Adipati dan
merangkap sebagai Senopati Perang, maka setelah mohon ijin dan pamit
kepada Sultan Sepuh / Sultan Agung Ariyo Cokro Kusumo, Ki Buyut Merto
Yuda bersama dengan para prajuritnya berangkat ke Kerajaan Rajekwesi
untuk sowan (berkunjung) pada Prabu Joyonegoro, serta Prabu Suro Dilogo.
Kebetulan pada saat Ki Buyut Merto Yuda sowan pada Prabu Joyonegoro,
serta Prabu Suro Dilogo disana tepat sedang diadakan pertemuan Agung
yang dihadiri oleh para Adipati dan Senopati. Setelah Ki Buyut Merto
Yuda sampai disana dia ditanya oleh Prabu Joyonegoro, apa maksud dan
tujuan datang ke Kerajaan Rajekwesi, maka Ki Buyut Merto Yuda tidak
bicara panjang lebar dan tak perlu berbasa-basi lagi tetapi dia
menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke Kerajaan Rajekwesi langsung
ke pokok permasalahannya. Dia meminta bala bantuan tentara dari Kerajaan
Rajekwesi untuk melawan Prajurit Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang
yang akan menyerang dan ingin menghancurkan Kerajaan Mataram.
Setelah Prabu Joyonegoro dan Prabu Surodilogo menerima laporan dari Ki
Buyut Merto Yuda, maka permintaan bala bantuan tentara dari Rajekwesi
ini dikabulkan oleh Prabu Joyonegoro dan Prabu Surodilogo apalagi Patih
Kebo Gadung dan Senopati Kerajaan Rajekwesi Ki Singo Yudo dan Ki Singo
Nayo termasuk saudara dari Ki Buyut Merto Yuda. Maka Patih Kebo Gadung
dan serta para Senopati diperintahkan untuk membantu sepenuhnya agar
Prajurit Kompeni Belanda serta Prajurit Pajang dapat dikalahkan /
ditumpas dan dapat dipaksa mundur. Kerajaan Mataram mengerahkan seluruh
pasukannya dengan dibantu oleh Prajurit dari Kerajaan Rajekwesi untuk
mempertahankan Kerajaan Mataram. Selanjutnya mereka para Prajurit
Mataram dan Prajurit Rajekwesi berangkat ke medan perang untuk melawan
Prajurit Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang. Dengan optimis para
Prajurit Mataram akan dapat mengalahkan semua musuhnya yang ingin
menghancurkan Kerajaan Mataram dengan mudah karena mendapat bala bantuan
tentara dari para Prajurit Rajekwesi.
Ternyata Prajurit Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang telah mengetahui
tentang barisan Prajurit Matarm yang mendapatkan bala bantuan Prajurit
Rajekwesi yang jumlahnya lebih banyak dari Prajurit Kompeni Belanda dan
Prajurit Pajang, maka prajurit Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang
merasa takut akan hal itu (bahasa daerahnya wedi yang sekarang menjadi
Desa Wedi Kecamatan Kapas). Prajurit Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang
akan mengatur para Prajuritnya untuk mundur mencarai jalan sangat sulit
(yang dalam bahasa daerahnya bangil kangelan). Kata bangil kangelan
yang sekarang menjadi Desa Bangilan Kecamatan Kapas.
Para Prajurit Kompeni Belanda dan Prajurit Pajang sangat kesulitan
(kangelan) untuk mundur dikarenakan kekeuatan Prajurit Mataram dan
Prajurit Rajekwesi yang sangat kuat dan juga mendapatkan bala bantuan
prajurit dari Adipati Ngurawan Bedander (yang sekarang menjadi Desa
Ngrawan / Ngraseh dan nama Bedander menjadi Desa Dander). Dua Desa ini
sekarang berada di Kecamatan Dander.
Adipati Metaun yang berkuasa di Ngurawan Bedander, memerintahkan para
Prajuritnya untuk menyambung / membantu Prajurit Mataram dan Prajurit
Rajekwesi. Setelah Prajurit Nrawan Bedander menyambung Prajurit Mataram
dan Prajurit Rajekwesi, maka wajar apabila Prajurit Kompeni Belanda dan
Prajurit Pajang kesulitan / kangelan untuk mencari siasat mundur dalam,
peperangan. Adapun kata menyambung sekarang menjadi Desa Sembung
Kecamatan Kapas. Yang akhirnya itu menjadi satu-satunya jalan Prajurit
Kompeni dan Prajurit Pajang untuk lari dan ditarik mundur ke selatan
untuk mencari tempat yang kosong dan luas atau di oro-oro, untuk
digunakan perang tanding di oro-oro tempat yang dipilih Prajurit Kompeni
dan Prajurit Pajang untuk melawan Prajurit Mataram dan Prajurit
Rajekwesi. Pada perang tanding, di tempat Prajurit Kompeni dan Prajurit
Pajang dapat dihancurkan dan lari tunggang langgang. Prajurit Kompeni
dan Prajurit Pajang, mundur dan lari ke barat untuk istirahat. Oro-oro
(adalah lapangan luas) yang biasanya digunakan untuk perang tanding yang
sekarang disebut dengan Desa Ding Ngoro atau Desa Tanjung Harjo
Kecamatan Kapas.
Setelah Prajurit Kompeni dan Prajurit Pajang melepaskan lelah, maka pagi
harinya tapel perang lagi untuk melawan Prajurit Mataram dan Prajurit
Rajekwesi. Tetapi perlawanan dari Prajurit Kompeni dan Prajurit Pajang
hanya sia-sia belaka karena Prajurit Kompeni dan Prajurit Pajang telah
banyak yang gugur dalam medan perang, akhirnya Prajurit Kompeni dan
Prajurit Pajang banyak yang menyerah kepada Prajurit Mataram dan
Prajurit Rajekwesi, sedangkan Prajurit Kompeni dapat diporak-porandakan
dan dapat terpukul mundur atau dapat dikalahkan.
Tempat untuk tapel perang ini sekarang menjadi Desa Tapelan Kecamatan
Kapas. Setelah Prajurit Mataram dan Prajurit Rajekwesi dan juga Prajurit
Ngurawan Bedander berhasil memporak-porandakan dan memukul mundur
bahkan dapat dikalahkan, maka Ki Patih Kebo Gadung, Adipati Metaun dan 3
Senopati yakni Ki Buyut Merto Yuda, serta para Prajurit diajak
istirahat untuk menjalankan Shalat / ibadah, setelah ibadah maka Eyang
Buyut Merto Yuda memberi pesan kepada para Prajuritnya agar semua
Prajurit mempunyai keimanan dan pedoman. Dan ada 4 pesan yang jangan
sampai lepas (dalam bahasa jawa ucul), yaitu :
Semua Prajurit harus taat dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa .
Semua Prajurit harus taat kepada Rasul-Nya.
Semua Prajurit harus taat kepada Kerajaan / Negara.
Semua Prajurit harus taat sumpah Prajurit
Selanjutnya Patih Kebo Gadung mengajak para Senopati dan semua Prajurit
untuk kembali untuk menghadap / melaporkan kejadian kepada Prabu
Joyonegoro dan Prabu Suro Dilogo. Namun sebelum meninggalkan tempat yang
digunakan istirahat untuk menjalankan ibadah / shalat, maka Patih Kebo
Gadung mempertegas pesan dari para Senopati, yang mana setiap Prajurit
memiliki 4 pedoman yang jangan lepas atau ucul. Kata-kata empat dan
kata-kata ucul yang sekarng menjadi nama Desa Pacul Kecamatan
Bojonegoro. Sedangkan Ki Buyut Singoyudo serta Adipati Metaun kembali ke
Kerajaan Ngurawan Bedander, berubah menjadi Kabupaten Ngrawan Mojoranu,
Kabupaten Dander.
Setelah usia lanjut, karena telah meninggal dunia maka Bupati Metaun
dimakamkan di Desa Ngeraseh / Ngrowan Kecamatan Dander. Sedangkan
Senopati Singoyudo setelah usia lanjut dan meninggal dunia, dia
dimakamkan di Desa Sumberarum. Sesampainya di Kerajaan Rajekwesi, maka
Ki Kebo Gadung dan Ki Singonoyo, serta Ki Merto Yuda, melaporkan kepada
Prabu Joyonegoro dan Prabu Suro Dilogo, bahwa dalam peperangan Prajurit
Mataram yang memperoleh sumbangan dari Prajurit Rajekwesi dan Prajurit
Ngurawan, maka dalam peperangan melawan Pajurit Kompeni dan Prajurit
Pajang yang akhirnya menang.
Karena Ki Buyut Merto Yuda merasa bersyukur atas kemenangan yang telah
diperoleh dalam perang kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mengucapkan
terima kasih kepada Prabu Joyonegoro dan Prabu Suro Dilogo dan semua
Prajurit, maka Ki Buyut Merto Yuda mengadakan pesta / syukuran dengan
mendatangkan hiburan wayang kulit dan memotong kerbau muda godel sebagai
lambang bahwa Prajurit Matarm, Prajurit Rajekwesi pada saat menghadapi
musuh seperti Banteng Ketaton.
Setelah selesai pesta, Prabu Joyonegoro berpesan kepada rakyat /
prajurit Rajekwesi, apabila besok ada perubahan zaman nama Rajekwesi
agar diganti dengan nama Bojonegoro. Kata-kata ini diambil dari nama Bo
yang dimaksud adalah Kebo Gadung, sedangkan Jonegoro yang dimaksud
mengambil nama dari Prabu Joyonegoro, jadi nama Bojonegoro adalah
berasal dari perpaduan antara nama Kebo Gadung dan Prabu Joyonegoro.
Setelah Ki Buyut Kebo Gadung meninggal yang dikarenakan usia lanjut,
maka Ki Buyut Kebo Gadung dimakamkan di Desa Kauman Kecamatan
Bojonegoro, yang tepatnya sebelah selatan Masjid Agung Bojonegoro.
Sedangkan Prabu Joyonegoro setelah meninggal yang dikarenakan usia
lanjut dia dimakamkan di tengah-tengah sawah di Desa Mojoranu Kecamatan
Dander. Untuk Ki Buyut Singonoyo setelah meninggal yang dikarenakan usia
lanjut dia dimakamkan di makam keramat Kembang Desa Sukorejo Kecamatan
Bojonegoro.
Pada hari Rebo Kliwon bulan Juli tahun 1839 Ki Buyut Merto Yuda memberi
tahu kepada para Prajurit dan rakyat Rajekwesi / Bojonegoro, bahwa dalam
peperangan kita dapat menang dikarenakan berkat sumbangan bala bantuan
tentara dari Kerajaan Rajekwesi dan dari Prajurit Ngurawan Bedander,
maka dari itu setelah mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan
tersebut maka tempat pesta / syukuran ini di beri nama oleh Ki Buyut
Merto Yuda dengan nama Sumbang. Dengan nama inilah kita anak putu dapat
mengikuti / nipak tilas untuk memperingati cikal bakal nama Sumbang
dengan mendatangkan hiburan wayang kulit dan memotong Kerbau muda /
godel pada hari Rabu Kliwon setahun sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar