Blambangan berasal dari kata “Bala” yang artinya adalah rakyat dan
“Ombo” yang artinya besar atau banyak sehingga dapat diartikan bahwa
Blambangan adalah suatu kerajaan yang rakyatnya sangat banyak.
Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul
Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu popular
di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antar dua kerajaan, yang
satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan
yang tak pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni
Kerajaan Blambangan. Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur.
Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan
Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan
kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata
bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”.
Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang
rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah
Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini
telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat
nama Blambangan, yakni Serat Kanda Serat Damarwulan , dan Serat Raja
Blambangan di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa
kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan
Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh.
Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat
tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan
keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama
Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan
membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan
Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit.
Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan
sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal
Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka
sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula
Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R.
Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna
meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang
yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton,
Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak
kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya
Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari,
yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan
keponakan Prabu Kertanegara sendiri
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya
Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri
Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah
tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan
yang tak mencatat namanya. Penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari
jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya
bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas.
Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya
menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah
dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya
dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota
di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang
diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma
(kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan
hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun
kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya
Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan
putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh
karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong
hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima
Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem
Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis
pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia
Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama,
memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan
Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan
pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama
Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah
Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng
pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung
Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng
pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat
dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas
dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan
Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada
di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang
menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih
hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu
belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di
atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi
penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang
Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di
wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat
sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang
bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di
Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara
Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang
bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara
wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wira Bhumi
(Minak Jinggo)
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti
Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan
bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur”
yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi,
penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan
pengakuan Kaisar Cina.
Hal ini membuat Wikramawardhana (Damarwulan) penguasa Kerajaan Barat,
marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai
sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah
istrinya, Kusumawardhani (Kencono Wungu) Dengan begitu jelas, bahwa
penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini
mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian,
muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre
Wirabhumi sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo (Zhu Di) di Cina mengirim utusan (Zhang
He/Cheng Ho) ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi
Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana
menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo.
Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan
membawa upeti. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan
keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina.
Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus:
meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina
terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana
yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar
Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga
tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur
sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk
mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”)
antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka
naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406).
Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre
Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia
berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung
lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa.
Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun
pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri
Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri
pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana,
menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana,
menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu
setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi
pendeta.
Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi.
Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak
atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam
Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena
hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni
Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah
dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan
Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk
sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam
Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini
adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni
Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon,
Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa
Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359
Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah
Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh
Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M)
Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan
Barat. Namun,
Di lain pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua,
yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama
“Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton
yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu,
melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre
Wirabhumi.
Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad
selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah
era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis
sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat
“Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat
ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita
menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah
peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa
Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat
itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang
Majapahit.
Pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban,
laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja
Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan
tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke
Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya
sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit
pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya,
Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit
diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa
mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak
yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan
Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah
Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana,
tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya,
Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab.
Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu
merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah
menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit.
Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini
bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang
Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai
Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan
Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya
diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan
orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam
di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan
adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546.
Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan
Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah
kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil
dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi
kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha
Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan
ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh
di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota
Panarukan.
Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin
terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan
Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi
Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran
Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan
diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam
menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan
kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke
dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan
Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa
baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk
kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di
Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang
peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun
demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah
tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan
Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel
di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas
wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made,
satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya
Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651,
muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung
Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang
terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke
Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah
Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna
digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu,
ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke
Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran
Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah
Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara
Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir
setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan
Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna
bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh
putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan
semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia
mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”.
Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan
putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu
mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya
dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun
1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih,
Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. pada 1659 M atau 1585
Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan
dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan.
Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti,
raja Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan bantuan Surapati Raja
Blambangan Prabu Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti menunjuk perwakilannya untuk memerintah Blambangan
sementara, I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan kekekuasaan Kerajaan
Blambangan kepada Cokorda Agung Mengwi setelah dinikahkan putri Raja
Mengwi tersebut.
Setelah Blambangan dalam kendali Mengwi, Badung Ditunjuklah keturunan
Prabu Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran
Danuningrat, dimana Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia
beristrikan Putri Cokorda Agung Mengwi.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan
Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan
Kesultanan Mataram terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang
menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya)
tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut
hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa
baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang
berasal dari wilayah Blambangan.
Silsilah Raja Kerajaan Blambangan :
Silsilah Awal
- Mpu Withadarma
- Mpu Bhajrastawa
- Mpu Lempita
- Mpu Gnijaya
- Mpu Wiranatha
- Mpu Purwantha (Mpu Purwo)
- Ken Dedes (istri Tunggul Ametung)
- Mahisa Wonga Teleng (AnusaPati)
- Mahisa Campaka (Rangga Wuni)
- Dyah Lembutal (adik putri Prabu Kertanegara)
- Rana Wijaya/Raden Wijaya
- Tribuana Tunggadewi
- Hayam Wuruk
- Dyah Kusumawardani (istri Wikramawardhana/damarwulan)
-Kertabhumi
- Kerta Wijaya (Yang menurunkan Sultan Fatah)
- Cri Adi Suraprabawa
- Lembu Anisraya/Minak Anisraya
- Mas Sembar/Minak Sembar
- Bima Koncar/Minak Sumendhe (memerintah Blambangan pada tahun 1489-1500)
- Minak Pentor (memerintah Blambangan 1500-1541)
- Minak Gadru ( Memerintah Prasada/Lumajang): Minak Gadru menurunkan Minak Lampor yang memerintah di Werdati-Teposono-Lumajang
- Minak Cucu (Memerintah Candi Bang/Kedhaton Baluran): Minak Cucu
penguasa Djinggan beliau berputra SONTOGUNO yang memerintah Blambangan
pada 1550 hingga 1582.
- Minak Lampor
- Minak Lumpat (Sebagai Raja di Werdati)
- Minak Luput (Sebagai Senopati)
- Minak Sumendi (sebagai Karemon/Agul Agul)
Kemudian Minak Lumpat atau SUNAN REBUT PAYUNG berputra Minak
Seruyu/Pangeran Singosari (Sunan Tawang Alun I), Pangeran Singosari
menaklukan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak
ada keturunannya, Sunan Tawang Alun I memerintah wilayah Lumajang,
Kedawung dan Blambangan pada tahun 1633-1639
Gusti Sunan Tawang Alun I memiliki Putra :
- Gede Buyut
- Mas Ayu Widharba
- Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong)
- Mas Senepo/Mas Kembar Mas Lego
Selanjutnya Mas Lego menurunkan MAS SURANGGANTI dan MAS SURODILOGO (MBAH
KOPEK), Sementara Mas Lanang Dangiran menurunkan Mas Aji Reksonegoro
Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari
Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan
laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan.
Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para
pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram
pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa
dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan
untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi
Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun
berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat,
raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi
fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat
mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon,
Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu.
Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas
Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun
mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sepak terjang Tawang Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda,
ketika masa terakhir pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya,
mencatat prosesi pembakaran jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18
September 1691) yang begitu spektakuler.
Bagaimana tak spektakuler jika dalam upacara ngaben itu sebanyak 271
istri dari 400 istri Tawang Alun ikut membakar diri (sati) ke dalam
kobaran api?
Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang,
posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya
sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu
pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya
mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan
Bujangga Manik memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun
ini dilewatinya sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah
sebelumnya menyeberang dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat
melalui jalur pantai selatan Jawa. Toponimi Padang Alun di sini tentu
mengingatkan kita pada nama Tawang Alun. Dilihat dari segi semantis
(makna kata), kata padang berdekatan dengan kata tawang: padang dalam
bahasa Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti “terbuka, tidak
tertutup bayang-bayang” dari jabaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa
Padang Alun pada abad ke-15/ke-16 tak lain adalah nama alternatif dari
Tawang Alun. Deskripsi ini memperkuat dugaan bahwa nama Tawang Alun
untuk penguasa wilayah ini diambil dari nama tempat di mana ia
memerintah, atau mungkin saja sebaliknya. Kemungkinan besar, penguasa
“Padang Alun” pada masa Bujangga Manik melewati wilayah ini tak lain
adalah Tawang Alun.
Reruntuhan Candi Tawang Alun di Desa Buncita, Kec. Sedati, Sidoarjo,
Jawa Timur, yang tidak terawat. Masyarakat setempat memercayai bahwa
candi ini didirikan oleh Resi Tawang Alun untuk dipersembahkan kepada
salah seorang selirnya, Putri Alun. Kebenaran kisah tersebut masih harus
diselediki, dan apakah berhunungan dengan keberadaan Raja Tawang Alun
dari Blambangan.
“Puputan Bayu” Melawan VOC
Setelah Tawang Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Buleleng di Bali. Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai
Blambangan. Perang pun meletus pada 25 Maret 1767 dan pusat Blambangan
dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat Blambangan tak pernah
padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang baru dilantik
menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC. Sayang,
Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong, dekat
Pasuruan.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada
18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan
VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi
Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument
guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg
Jagapati itu.
Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan
Blambangan berada di Lateng (sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi).
Ia melarikan diri karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja
Islam yang ternyata korup. Jagapati segera menobatkan diri sebagai
Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun prajurit-prajurit
Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun tempat yang
mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang
dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya berwarna
hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren,
Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan .
Perlawanan Pangeran Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita
bernama Mas Ayu Wiwit. Pada 1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan
melawan serbuan Belanda yang bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan
serangan rakyat Madura pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki
Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit, Mas Jagapati, bersama para
pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental, Ki
Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan
sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu
berlangsung sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.
VOC yang marah segera mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas prajurit Blambangan, pada Oktober 1772. VOC membakar
lumbung-lumbung padi di Songgon, sehingga perlawanan rakyat Blambangan
melemah karena kelaparan. Perang pun pecah kembali. Kali ini, ribuan
prajurit Blambangan dibunuh, kepala mereka digantungkan di pohon-pohon
di sekitar Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an
hanya tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC itu.
Penduduk Blambangan lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah
pegunungan di sebelah selatan atau baratdaya.
Diperkirakan, setelah Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk
Blambangan lenyap. Untuk menutupi kekurangan jumlah penduduk ini,
pemerintah kolonial Belanda mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk
mendiami Blambangan. Sementara itu, penduduk Blambangan yang tidak
melarikan diri kini dikenal sebagai masyarakat “sing”. Kata sing berarti
“tidak”, dan di sini bermakna “orang yang tidak ikut mengungsi”. Baru
seabad kemudian, pada masa Thomas Raffles, penduduk Banyuwangi tercatat
berkisar 8.554 jiwa.
Muncar, Ibukota Baru
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC memindahkan ibukota kerajaan
ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan
Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan VOC atas
pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan
Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan
raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat
sebelumnya kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan
kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun melawan
kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa
bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan
Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak
Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di
Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.
Di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai.
Dari Muncar, ibu kota Kerajaan kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat
ini menjadi letak Pendopo Kabupaten Banyuwangi). Pada masa ibukota di
Muncar ini, otomatis eksistensi Blambangan sebagai kerajaan telah lenyap
Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang
memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama
Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak
pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Sementara itu, Pelabuhan Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan
sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC
mengangkat warga Tionghoa menjadi kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup
ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa
wilayah Nusantara, sehingga di sekitar pelabuhan terdapat
perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik
untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut
dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota
terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan
jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu
berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik
luar negeri.
Letak Istana
Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan tentu tak mudah. Hal ini,
pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita
menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama kerajaan Blambangan adalah
Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita menelusuri jejak-jejak
budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada temuan yang
bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran kita alihkan
ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih
pernah melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai
rampung. Walau begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai
bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan
Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas
bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu
bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih belum
jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton.
Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial
Belanda.
Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula Situs Umpak Songo di Desa
Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai bekas reruntuhan
bagian kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang sekitar 5
km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di
antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang
itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah situs ini
dinamakan Umpak Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini
terpendam pada kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari
Masjid Pasar Muncar hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga,
benteng atau istana ini merupakan peninggalan Blambangan pada saat
ibukota pindah ke Muncar.
Bangunan lain yang merupakan peninggalan Kerajaan Blambangan pada
periode Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang bermakna “Tanah yang
Ditinggikan” (siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah tinggi). Siti
Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Fungsi Siti
Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC untuk memata-matai musuh dari
kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan, yakni berupa
batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing guna mengawasi
keadaan di sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini dari Situs
Umpak Songo cukup ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur.
Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura
Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten
Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya
terdapat di Museum Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Dari teks Bujangga Manik yang ditulis sekitar abad ke-16, kita dapat
memperoleh sebuah nama daerah sebagai tempat bertapanya kaum agamawan
Hindu, yakni “Balungbungan” yang, bila merujuk teks naskah tersebut,
terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sangat mungkin sekali bahwa nama
Blambangan pada abad ke-16 (dan juga abad-abad sebelumnya) adalah
Balungbungan, atau Balungbungan merupakan penulisan lain dari Blambangan
atau Balambangan.
Ada pun tokoh dalam Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari
keraton Pakuan yang bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan
menuju kehidupan abadi. Tokoh ini menolak menikah dan memilih untuk
bertapa di Balungbungan, guna mencari tempat peristirahatan terakhir.
Setiba di Balungbungan, setelah berhari-hari berjalan menapaki wilayah
utara Jawa dari Pakuan (di sekitar Bogor, Jawa Barat), tokoh ini
melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan, berkebun, dan mendirikan
lingga.
Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih setelah didatangi oleh
seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa. Tokoh ini memilih
untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus ditemani seorang
yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang dilarang.
Dari keterangan yang diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno
tersebut, jelas bahwa Balungbungan merupakan salah satu tujuan kaum
agama kala itu yang ingin menjadi pertapa dan tujuan para peziarah dari
berbagai pelosok. Meski tak ada keterangan lain yang diperoleh dari
naskah tersebut mengenai Balungbungan kecuali sebagai tempat keagamaan,
namun kiranya kita dapat memahami sepenggal peranan Balungbungan pada
masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita diyakinkan bahwa
agama yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan pra-Islam adalah
Hindu.
Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam,
hanya ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu,
yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang
melakukan hubungan politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka.
Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan tersebut dalam
menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah berusaha
menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara.
Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan
perjuangan masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di
Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai
diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan—juga agama Nasrani yang
diperkenalkan oleh Belanda.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai sistem sosial dan ekonomi
yang dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires (Lombard, 2008: 171)
menulis bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak memprosuksi
hamba atau hulun alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu
pengekspor golongan masyarakat tersebut.
Ada pun kehidupan ekonomi-sosial masyarakat Blambangan sangat bergantung
pada padi. Hal ini berkesesuaian dengan berita bahwa pasukan VOC
membakar lumbung-lumbung padi saat menyerang Blambangan. Fakta bahwa
baik Panarukan maupun Muncar adalah kota-pelabuan menimbulkan anggapan
bahwa kehidupan ekonomi kawula Blambangan bergantung pula pada
penghasilan laut. Selanjutnya, belum diketahui pasti apa lagi hasil bumi
yang dikelola oleh masyarakat Blambangan, namun kiranya dapat
disejajarkan dengan apa yang digarap oleh masyarakat Majapahit.
Perang Paregreg inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah
siapa orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung
sudah berapa kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni
sendratari, ketoprak, dan teater.
Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah
serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis
Serat Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, tak mengetahui pasti
fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg.
Maka dari itu, cukup beresiko pula bila kita menghubungkan kisah
Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa yang di perang mahkota
Majapahit Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam,
berabad kemudian setelah peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama Minakjinggo ingin mempersunting
Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan statusnya, dari adipati
menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak
ingin diperistri oleh Minakjinggo (yang digambarkan bertabiat kasar,
buruk rupa, dan berbadan besar) yang sudah memiliki dua orang istri,
Dewi Puyengan dan Dewi Waita. Sang Ratu segera mengadakan sayembara:
barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah
berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada
Wesi Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang
Lumajang; bahkan dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan
oleh Minakjingo. Para prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur,
termasuk Ranggalawe. Tatkala situasi tak menentu ini, datanglah
Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari Patih Majapahit bernama Udara.
Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya, Patih Loh Gender di
Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih, Dewi
Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.
Singkat cerita, Damarwulan menghadap Kencanawungu dan diangkat menjadi
panglima Majapahit. Berangkatlah Damarwulan menghadapi Minakjinggo.
Berkat bantuan kedua istri Minakjinggo, Waita dan Puyengan, Damarwulan
berhasli mengalahkan Minakjinggo, memenggal kepalanya sebagai bukti
kepada Ratu kencanawungu. Damarwulan membawa kepala Minakjinggo ke
Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua orang anak Loh
Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku sebagai
utusan Ratu Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan
oleh Damarwulan. Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan
Layang Kumitir pun dianggap pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit.
Namun, akhirnya kedok mereka berdua terkuak, Damarwulan pun menikah
dengan Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu
Mertawijaya. Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu membuahkan
seorang putra bernama Brawijaya.
Raffles menulis (2008: 234) bahwa pada abad ke-19 cerita
Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita favorit orang Jawa dan kerap
dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang dari kayu dengan tinggi
10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada lembaran kertas
yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan
sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi.
Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang bertolak belakang
dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe sebagai
Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan
tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu
diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat
tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang
(Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah
memperolok pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok
Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam seni Banyuwang dan Janger, sosok
Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena
Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk dinikahi oleh
Minakjinggo.
Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk mengukuhkan pengetahuan
masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam (juga Pajang dan
Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan begitu mereka
merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar