Kerajaan Pagaruyung ialah sebuah Kerajaan Melayu yg pernah berdiri,
meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang & daerah-daerah di
sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yg ada pada masyarakat
Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yg bernama Pagaruyung. Kemudian
hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor
Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung, yaitu pada tulisan
beraksara Jawi dlm lingkaran bagian dlm yg berbunyi sebagai berikut:
Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalifatullah yg mempunyai tahta
kerajaan dlm negeri Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah
fil ‘Alam.
Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya
perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan
kerajaan Pagaruyung berada dlm pengawasan Belanda. Sebelumnya kerajaan
ini tergabung dlm Malayapura, sebuah kerajaan yg pada Prasasti
Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yg mengukuhkan dirinya
sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dlm
Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah
taklukan Adityawarman lainnya.
Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tak dapat
diketahui dengan pasti, dari Tambo yg diterima oleh masyarakat
Minangkabau tak ada yg memberikan penanggalan dari setiap
peristiwa-peristiwa yg diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman
sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tak jelas
menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yg ditinggalkan oleh
Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja
di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana
penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Dari manuskrip yg dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang
Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan
diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupaken putra dari
Adwayawarman seperti yg terpahat pada Prasasti Kuburajo & anak dari
Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yg disebut dlm
Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang
menaklukkan Bali & Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan
Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman
Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yg beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman
menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri
Surawasa yg senantiasa kaya akan padi yg sebelumnya dibuat oleh pamannya
yaitu Akarendrawarman yg menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat
dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak [paman]
kepada kamanakan [kemenakan] telah terjadi pada masa tersebut. Sementara
pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah
prasasti yg beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan
adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dlm jumlah yg signifikan
pada kawasan tersebut.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah
penting di Sumatera, & bertahta sebagai raja bawahan [uparaja] dari
Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yg ditinggalkan oleh raja ini
belum ada satu pun yg menyebut sesuatu hal yg berkaitan dengan bhumi
jawa & kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah
mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371
sampai 1377. Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit
mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun
1409.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara
Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan
demikian karena banyaknya mayat yg bergelimpangan di sana. Menurut
legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah
Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yg
merupaken lembaga musyawarah dari berbagai Nagari & Luhak. Dilihat
dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupaken semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat [Suku
Minang].
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira
pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu
oleh Kertanagara, & kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman
& putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan
cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah & sekitarnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yg disandang oleh
Adityawarman seperti yg terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa,
yg ditemukan di hulu sungai Batang Hari [sekarang termasuk kawasan
Kabupaten Dharmasraya].
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja
melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yg disebut hevajra
yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra
mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377
tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada Kaisar Cina yg meminta
permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts’i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih
dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian
Padangroco, kawasan percandian Padanglawas & kawasan percandian
Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan
Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain
Adityawarman pada masa sebelumnnya ialah Kubilai Khan dari Mongol &
raja Kertanegara dari Singhasari.
Pengaruh Islam di Pagaruyung
Perkembangan agama Islam sesudah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya
memberi pengaruh terutama yg berkaitan dengan sistem patrialineal, &
memberikan fenomena yg relatif baru pada masyarakat di pedalaman
Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yg ditulis antara tahun
1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yg
telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu
melalui para musafir & guru agama yg singgah atau datang dari Aceh
& Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yg terkenal Syaikh Abdurrauf
Singkil [Tengku Syiah Kuala], yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, ialah
ulama yg dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung.
Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan
Islam. Raja Islam yg pertama dlm tambo adat Minangkabau disebutkan
bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yg
bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan & hal-hal
yg pokok dlm adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat
Minangkabau yg terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah”, yg artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam,
sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dlm beberapa hal
masih ada beberapa sistem & cara-cara adat masih dipertahankan &
inilah yg mendorong pecahnya perang saudara yg dikenal dengan nama
Perang Padri yg pada awalnya antara Kaum Padri [ulama] dengan Kaum Adat,
sebelum Belanda melibatkan diri dlm peperangan ini.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan
Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi &
beberapa istilah lain yg berhubungan dengan Islam. Penamaan negari
Sumpur Kudus yg mengandung kata kudus yg berasal dari kata Quduus [suci]
sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat & Limo Kaum yg mengandung kata
qaum jelas merupaken pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu
dlm perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik [Khatib], Bila
[Bilal], Malin [Mu’alim] yg merupaken pengganti dari istilah-istilah yg
berbau Hindu & Buddha yg dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito
[pendeta].
Hubungan dengan Belanda & Inggris
“Terdapat keselarasan yg mengagumkan dlm corak penulisan, bukan saja dlm
buku prosa & puisi, tetapi juga dlm perutusan surat, &
pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tak ada
masalah dlm menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan
Maluku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah &
Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera”.
Pendapat dari William Marsden
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan
kesultanan Aceh, & mengakui para gubernur Aceh yg ditunjuk untuk
daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665,
masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit & memberontak
terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yg menyebut
dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, & VOC
waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli
Aceh atas emas & lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di
Padang, Jacob Pits yg daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di
selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9
Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain,
Penguasa Minangkabau yg kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC
telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas
dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda,
Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 & digantikan oleh
anaknya yg bernama Sultan Indermasyah.
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat
tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara
daerah-daerah rantau & pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung
menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupaken salah satu pusat
perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana.
Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda & Inggris untuk
menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684,
seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung
atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tak menyukai keberadaan VOC
di Padang & pernah berusaha membujuk Inggris yg berada di Bengkulu,
bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tak ditanggapi oleh pihak
Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk
sementara waktu, & waktu itu datang utusan dari Pagaruyung
memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda
dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap
terkaya dengan emas, & waktu itu kekuasaan raja Minangkabau
disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso & raja Sungai Tarab
dengan kekuasaan yg sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di
Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti
Jamilan telah mengirimkan tombak & pedang berbahan emas, sebagai
tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian
sesudah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman
Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yg
signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris & Perancis dlm Perang Napoleon
di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda
& kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara
tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi
Pagaruyung pada tahun 1818, yg sudah mulai dilanda peperangan antara
kaum Padri & kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota
kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yg terjadi. Setelah
terjadi perdamaian antara Inggris & Belanda pada tahun 1814, maka
Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera & Pagaruyung,
dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
“Dari reruntuhan kota [Pagaruyung] ini menjadi bukti bahwa di sini
pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yg luar biasa, menyaingi Jawa,
situs dari banyak bangunan kini tak ada lagi, hancur karena perang yg
masih berlangsung”.
Pendapat dari Thomas Stamford Raffles
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang
perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di
pesisir barat jatuh ke dlm pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di
pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih
tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri & kaum Adat.
Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara mereka. Seiring
itu dibeberapa negeri dlm kerajaan Pagaruyung bergejolak, &
puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir
& melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk jambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan
kepada Belanda, & sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi
dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan
bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam
Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yg berada di
Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian
dengan Belanda untuk bekerjasama dlm melawan kaum Padri. Walaupun
sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak
membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat
dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian sesudah Belanda
berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas
permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam
Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin
Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat & kemudian dimakamkan
di Pagaruyung.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui
sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah
membatasi kewenangannya & hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah
Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada
Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir
Belanda dari negerinya.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian
berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,
Madura, Bugis & Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya
membuat kaum adat & kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka
& bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2
Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout
di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia
[Jakarta sekarang] sampai akhir hayatnya, & dimakamkan di pekuburan
Mangga Dua.
Setelah kejatuhannya, pengaruh & prestise kerajaan Pagaruyung tetap
tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yg berada di
rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi
penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di
Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yg berada di
Negeri Sembilan, & Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali
Alamsyah yg dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau
sebagai raja di bawah perlindungan Inggris. Sementara sesudah
berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah
Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yg lebih tinggi dari pada
sekedar Regent Tanah Datar yg dipegangnya sesudah menggantikan Sultan
Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini
nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun
1841 di Batipuh selain masalah cultuur stelsel.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung
Menurut Tomé Pires dlm Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran
tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk
wilayah pantai timur Arcat [antara Aru & Rokan] ke Jambi &
kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur [Barus], Tiku & Pariaman.
Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak & Arcat
merupaken bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai
pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan
daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar & Indragiri kemudian lepas
& ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka & Kesultanan Aceh.
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung ialah wilayah tempat hidup, tumbuh, & berkembangnya kebudayaan Minangkabau.
Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo [legenda adat] berbahasa Minang ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih ialah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat,
berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam ialah daerah
Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo ialah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi.
Yang terakhir, Sialang Balantak Basi ialah wilayah di Rantau Barangin,
Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
Secara lengkapnya, di dlm tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau [wilayah Kerajaan Pagaruyung] ialah sebagai berikut:
Hinggo lauik nan sadidieh
Daerah yg berbatasan dengan Jambi
Daerah sekitar Indragiri Hulu sampai Gunung Sailan [Gunung Sahilan, Kampar]
Daerah sekitar Gunung Sailan & Singingi
Daerah sampai ke rantau pesisir sebelah timur
Daerah sekitar Danau Singkarak & Batang Ombilin
Daerah sampai Samudra Indonesia
Nan salilik Gunuang Marapi
Saedaran Gunuang Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang
Hinggo Buayo Putiah Daguak
Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik
Sialang Balantak Basi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh
Sampai ka ombak nan badabua
Sailiran Batang Sikilang
Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang [Pasaman Barat]
Daerah yg berbatasan dengan Samudra Indonesia
Daerah sebelah timur Air Bangis [Sungai Beremas, Pasaman Barat]
Daerah di kawasan Rao & Mapat Tunggua
Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
Daerah sekitar Silauik & Lunang
Daerah sampai Tanjung Simalidu
Daerah sehiliran Batang Hari
Ka timua Ranah Aia Bangih
Rao jo Mapat Tunggua
Gunuang Mahalintang
Pasisia Banda Sapuluah
Taratak Aia Hitam
Sampai ka Tanjuang Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah
Daerah Luhak nan Tigo
Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
Daerah sekitar Gunung Sago & Gunung Singgalang
Daerah sekitar Gunung Talang & Gunung Kerinci
Daerah Pariangan Padang Panjang & sekitarnya
Daerah di Pesisir Selatan sampai Muko-Muko
Daerah Jambi sebelah barat
Nama-nama Raja Malayapura
Masa Dharmasraya
Trailokyaraja 1183
Tribhuwanaraja 1286–1316
Masa Peralihan
Akarendrawarman 1316–1347
Maharajadiraja
Adityawarman 1347–1375
Ananggawarman 1375–[?]
Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Ahmadsyah [?]–1674
Sultan Indermasyah 1674–1730
Sultan Arifin Muningsyah 1780–1821
Dibawah Belanda
Regent Tanah Datar
Sultan Tangkal Alam Bagagar 1821–1833
Tuan Gadang di Batipuh 1833–1841
Kerabat diraja Pagaruyung
Kerajaan Inderapura
Kerajaan Negeri Sembilan
Kesultanan Siak Sri Inderapura
Nama Para Raja Pagaruyung
Adityawarman
Ananggawarman, anak Adityawarman
Dewang Pandan Putowano (Tuanku Marajo Sati I), menantu Ananggawarman
Puti Panjang Rambut I (Bundo Kandung)
Dewang Ramowano (Cindurmato)
Dewang Ranggowano (Sultan Lembang Alam)
Dewang Sari Deowano (Tuanku Marajo Sati II), Yamtuan Bakilap Alam
Dewang Sari Magowano (Sri Raja Maharaja), Yamtuan Pasambahan
Sultan Alif I Khalifatullah
Yamtuan Rajo Gamuyang I
Sultan Ahmadsyah Yamtuan Barandangan
Sultan Alif II, anak Sultan Ahmadsyah
Yamtuan Rajo Bagagar Alamsyah, anak Sulthan Alif II
Yamtuan Rajo Bagewang, anak dari Yamtuan Rajo Pangat I—cicit Sultan Alif I
Yamtuan Rajo Gamuyang II, anak dari Yamtuan Rajo Bagewang
Sultan Zainal Arifin Muningsyah
Yang Dipertuan Patah, anak dari Muningsyah
Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagarsyah, anak dari YDP Patah.
Menurut buku Tambo Alam Minangkabau (1976), silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai berikut:
Adityawarman (1347-1376)
Ananggawarman (1376-…)
Sultan Bakilapalam
Sultan Persembahan
Sultan Alif (sekitar tahun 1560-1583)
Sultan Banandangan
Sultan Bawang (Sultan Muning I)
Sultan Patah (Sultan Muning II)
Sultan Muning III
Sultan Sembahyang III
Tuan Gadih Reno Sumpur
Sultan Ibrahim
Sultan Usman
Akan tetapi di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), terdapat beberapa
perbedaan dalam penulisan silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung.
Menurut buku tersebut, silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai
berikut:
Raja Adityawarman (1347-1376)
Ananggawarman (1376-…)
Sultan Alif (naik tahta sekitar tahun 1560-1583)
Yang Dipertuan Raja Alam Muningsyah I
Sultan Abdul Jalil
Yang Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek bergelar Sultan Alam Muningsyah II (naik tahta sekitar 1615 M)
Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M)
Sultan Arifin Muning Alamsyah atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bagagar Alamsyah (Sultan Muning III)
Aparat pemerintahan
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan
sistem pemerintahan yg ada di Majapahit masa itu, meskipun kemudian
menyesuaikannya dengan karakter & struktur kekuasaan kerajaan
sebelumnya [Dharmasraya & Sriwijaya] yg pernah ada pada masyarakat
setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah
pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat. Setelah masuknya Islam,
Raja Alam yg berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas
pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya [wakil raja],
yaitu Raja Adat yg berkedudukan di Buo, & Raja Ibadat yg
berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo
Tigo Selo, artinya tiga orang raja yg “bersila” atau bertahta. Raja Adat
memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus
masalah-masalah agama. Bila ada masalah yg tak selesai barulah dibawa ke
Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yg digunakan untuk mereka dlm bahasa
Minang ialah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di
Minangkabau menggunakan sistem patrilineal berbeda dengan sistem waris
& kekerabatan suku yg masih tetap pada sistem matrilineal.
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yg disebut Basa Ampek Balai, artinya “empat menteri utama”.
Mereka adalah:
Bandaro yg berkedudukan di Sungai Tarab.
Makhudum yg berkedudukan di Sumanik.
Indomo yg berkedudukan di Suruaso.
Tuan Gadang yg berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yg berkedudukan di
Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan
Tuan Gadang di Batipuh, & bertugas menjaga syariah agama. Sebagai
aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah
tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekedarnya, yg disebut
rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di
Bandar X, rantau Tuan Kadi ialah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo
punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di
Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dlm menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal
aparat pemerintah yg menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan
fungsi masing-masing, yg sebut Langgam nan Tujuah.
Mereka terdiri dari:
Pamuncak Koto Piliang
Perdamaian Koto Piliang
Pasak Kungkuang Koto Piliang
Harimau Campo Koto Piliang
Camin Taruih Koto Piliang
Cumati Koto Piliang
Gajah Tongga Koto Piliang
Darek & Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari
tanah Minangkabau dlm darek [land] & rantau [sea/coast], walaupun
untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi &
Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yg ditunjuk dari
Jawa. Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yg merupaken
satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupaken dasar
kerajaan, & mempunyai kewenangan yg luas dlm memerintah. Suatu
nagari mempunyai kekayaannya sendiri & memiliki pengadilan adatnya
sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan.
Misalnya Bandar X ialah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang.
Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, & sering diberi
gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dlm istilah
pepatah yg ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari
Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi
Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dlm sistem administrasi pemerintahan di
kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak,
kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto
& kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yg
dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yg mendomisili kawasan
tersebut.
Pemerintahan Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh
membuat peraturan & memungut pajak di sana. Rantau merupaken suatu
kawasan yg menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga
berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau
di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di
Hilia [kawasan pesisir timur] & Rantau di Mudiak [kawasan pesisir
barat].
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah
Datar merantau ke arah barat & tenggara, penduduk Agam merantau ke
arah utara & barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah
Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan & Kuantan. Selain
itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak & rantau yg disebut
sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman,
kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yg
memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan.
Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau ialah sebagai berikut:
Rantau Luhak Tanah Data
Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah
Basra
Sitinjua
Kopa
Taluak Ingin
Inuman
Surantiah
Taluak Rayo
Simpang Kulayang
Aia Molek
Pasia Ringgit
Kuantan
Talang Mamak
Kualo Thok
Lubuak Ambacang
Lubuak Jambi
Gunuang Koto
Benai
Pangian
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
Toboh Pakandangan
Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
Tujuah Koto
Sungai Sariak
Anduriang Kayu Tanam
Guguak Kapalo Hilalang
Sicincin
Rantau Luhak Agam
Nagari-nagari pantai barat Sumatera
Pasaman Barat
Pasaman Timur
Panti
Rao
Lubuak Sikapiang
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
Palembayan
Silareh Aia
Lubuak Basuang
Kampuang Pinang
Simpang Ampek
Sungai Garinggiang
Lubuak Bawan
Tigo Koto
Garagahan
Manggopoh
Rantau Luhak Limopuluah
Mangilang
Tanjuang Balik
Pangkalan
Koto Alam
Gunuang Malintang
Muaro Paiti
Rantau Barangin
Rokan Pandalian
Kuatan Singingi
Gunuang Sailan
Kuntu
Lipek Kain
Ludai
Ujuang Bukik
Sanggan
Tigo Baleh Koto Kampar
Sibiruang
Gunuang Malelo
Tabiang
Tanjuang
Gunuang Bungsu
Muaro Takuih
Pangkai
Binamang
Tanjuang Abai
Pulau Gadang
Baluang Koto Sitangkai
Tigo Baleh
Lubuak Aguang
Limo Koto Kampar Kuok
Salo
Bangkinang
Rumbio
Aia Tirih
Taratak Buluah
Pangkalan Indawang
Pangkalan Kapeh
Pangkalan Sarai
Koto Laweh
Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah [Bandar
Sepuluh] dipimpin oleh Rajo nan Ampek [4 orang yg bergelar raja; Raja
Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai]. Kawasan ini
merupaken semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari [negeri], yg
masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut
adalah;
Tapan
Tarusan
Batang Kapeh
Ampek Baleh Koto
Limo Koto
Airhaji
Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
Kambang
Palangai
Lakitan
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan
Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yg mencakup lembah Manjuto
& Airdikit [disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto], &
Muko-muko [Limo Koto].
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yg
terletak di wilayah Semenanjung Malaya [Malaysia sekarang]. Beberapa
kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk
konfederasi [semacam Luhak], & pada masa awal meminta dikirimkan
raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan
Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan,
nagari-nagari tersebut adalah;
Naning
Pasir Besar
Rembau
Segamat
Sungai Ujong
Jelai
Jelebu
Johol
Klang
Pemerintahan Darek
Pariangan Padangpanjang
Sungai Tarab Salapan Batua
Talawi Tigo Tumpuak
Tanjuang nan Tigo
Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh
Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto
Lubuak nan Tigo
Nilam Payuang Sakaki
Sapuluah Koto di Ateh
Luhak nan Tigo
Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah
Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3
luhak [Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi
Luhak Tanah Data, Luhak Agam & Luhak Limopuluah]. Sementara pada
setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yg
mengepalai masing-masing suku yg berdiam dlm nagari tersebut. Penghulu
dipilih oleh anggota suku, & warga nagari untuk memimpin &
mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan
diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, sesudah
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung,
Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah
& penentu batas wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar