Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan bercorak Hindu yang pernah eksis di
kawasan yang sekarang termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi
Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Dipa merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Nan Sarunai yang runtuh akibat serangan dari Kerajaan
Majapahit. Selain Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Negara Dipa juga
menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah orang Banjar,
yaitu sebagai salah satu mata rantai pemerintahan yang menjadi
cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banjar di Banjarmasin.
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan di pedalaman Kalimantan Selatan
yang merupakan pendahulu Kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Dipa
memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing
dipimpin oleh seorang Mantri Sakai.
Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan
(distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Salah satu negeri bawahan Kuripan
adalah Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan
sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang berasal dari Keling
(Coromandel). Keling, propinsi Majapahit di barat daya Kediri.
Sejarah Kerajaan Negara Dipa
Kemunculan Kerajaan Negara Dipa sangat berkaitan dengan keruntuhan
Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai didirikan dan dikelola oleh
orang-orang Suku Dayak Maanyan, komunitas adat Suku Dayak yang datang
dari tepi Sungai Barito Timur, Kalimantan Tengah. Akibat fenomena
pendangkalan air laut yang terjadi di daerah asal asal mereka,
orang-orang Suku Dayak Maanyan kemudian melakukan migrasi massal untuk
mencari tempat kehidupan yang baru. Hingga kemudian, perpindahan
besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan tiba di
sebuah tempat. Dalam Hikayat Banjar, tempat ini disebut dengan nama
Pulau Hujung Tanah, sedangkan Kitab Negarakrtagama menyebut tempat ini
dengan nama Tanjung Negara. Pulau Hujung Tanah terletak di tepi aliran
Sungai Tabalong ini dan pada masa sekarang diperkirakan berlokasi di
antara Amuntai (termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara) dan
Tanjung (termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabalong), Kalimantan Selatan,
serta berada di sebelah barat Pegunungan Meratus.
Peradaban Suku Dayak Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai diperkirakan sudah
ada sejak zaman prasejarah. Salah satu buktinya adalah dengan
ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman
di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Pada tahun 1996, dilakukan
pengujian terhadap bukti arkeologis tersebut dan menghasilkan kisaran
angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi. Kehidupan orang-orang
Suku Dayak Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai bertahan sangat lama, hingga
pada akhirnya kerajaan ini menuai masa keemasannya ketika beribukota di
sebuah tempat bernama Lili Kumeah. Pada waktu itu, perekonomian di
Kerajaan Nan Sarunai sangat maju dan telah menjalin hubungan dagang
dengan negeri-negeri lain, termasuk Indragiri, Majapahit, Bugis, bahkan
hingga Madagaskar. Lili Kumeah berkembang menjadi tempat permukiman yang
ramai dan Teluk Sarunai menjadi tempat persinggahan yang ramai bagi
perahu dagang yang datang dari berbagai penjuru. Lili Kumeah semakin
pesar perkembangannya hingga akhirnya menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan Nan Sarunai yang gilang-gemilang.
Pada tahun 1355 Masehi, Raja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit,
memerintahkan seorang panglimanya yang bernama Empu Jatmika untiuk
memimpin armada perang dengan misi menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai.
Pada tahun yang sama, pasukan Empu Jatmika berhasil menaklukan Kerajaan
Nan Sarunai dan menjadikannya sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit.
Peristiwa tentang penyerbuan angkatan perang Kerajaan Majapahit ke
Kerajaan Nan Sarunai ini dikisahkan dalam Hikayat Banjar dan diabadikan
oleh para seniman lokal melalui tutur wadian (puisi ratapan) yang
dilisankan dalam bahasa Maanyan. Mereka mengenang keruntuhan Kerajaan
Nan Sabunai dengan menyebutnya sebagai peristiwa “Usak Jawa” atau
“Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” . Tentang runtuhnya Kerajaan Nan
Sarunai, Fridolin Ukur menyebutnya sebagai “sebuah kerajaan orang Dayak
Maanyan yang rusak oleh Jawa”. Akibat serangan dari Majapahit itu,
peradaban Suku Dayak Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai yang sudah bertahan
selama berabad-abad mengalami kehancuran.
Setelah berhasil mengalahkan peradaban orang-orang Suku Dayak Manyaan,
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang
merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru
ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari bahasa
Dayak Maanyan, yakni “dipah ten” yang berarti “kerajaan yang terletak di
seberang”. Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di
seberang” sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang
berada di seberang lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang
berlokasi di Jawa. Setelah berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai,
Empu Jatmika memang memposisikan Kerajaan Negara Dipa yang dirintisnya
sebagai wilayah taklukan yang mengabdi di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit.
Riwayat Empu Jatmika dikisahkan dalam Hikayat Banjar. Menurut Hikayat
Banjar, Empu Jatmika berasal dari negeri Keling. Keling identik dengan
Kediri, tepatnya Kediri bagian utara. Dalam Hikayat Banjar, seperti yang
terangkum dalam sinopsis Hikayat Banjar yang disusun oleh Adum M.
Sahriadi, diceritakan bahwa Empu Jatmika adalah putra dari seorang
saudagar besar bernama Aria Mangkubumi yang beristrikan Siti Rara.
Setelah Empu Jatmika beranjak dewasa, ia kemudian menikah dengan seorang
perempuan yang bernama Sari Manguntur. Perkawinan ini dikaruniai dua
orang anak laki-laki yang diberi nama Lambung Mangkurat dan Mandastana.
Saat kedua anak Empu Jatmika menginjak usia remaja, Aria Mangkubumi
jatuh sakit. Maka kemudian Empu Jatmika dan kedua anaknya bergantian
menjaga Aria Mangkubumi selama 40 hari, siang dan malam. Ketika kondisi
kesehatan Aria Mangkubumi semakin kritis, ia memanggil anak dan kedua
cucunya dan berpesan supaya mereka menjaga keutuhan seluruh anggota
keluarga dengan sebaik-baiknya dan tidak bersifat kikir serta berlaku
adil kepada semua orang dengan mendengar keluhan atau permohonan dari
setiap orang yang datang.
Selain itu, Aria Mangkubumi juga berwasiat kepada Empu Jatmika agar
pergi merantau ke luar dari negeri Keling karena di negeri ini banyak
orang yang bertabiat tidak baik, seperti perasaan iri hati serta rasa
dengki. Aria Mangkubumi berpesan, Empu Jatmika harus mencari negeri yang
bertanah panas dan berbau harum. Untuk dapat mengetahui tanah yang
dimaksud itu, Empu Jatmika dihimbau supaya menggali sekepal tanah yang
didatanginya pada tengah malam dan dicium untuk merasakan aroma tanah
itu. Apabila tempat yang memenuhi syarat-syarat itu telah berhasil
ditemukan, Aria Mangkubumi menyarankan agar Empu Jatmika menetap di sana
karena kehidupan di tempat itu akan dikaruniai rahmat dan kebahagiaan
yang melimpah. Kesuburan dan kesejahteraan akan senantiasa diperoleh di
tanah yang berbau harum itu sehingga segala jenis tanaman dapat tumbuh
dengan subur.
Selain itu, negeri tersebut akan didatangi banyak saudagar dari berbagai
negeri sehingga membuatnya menjadi negeri yang besar dan makmur, serta
akan selalu terhindar dari serangan musuh. Namun, jika tanah yang
ditemukan berbau harum namun terasa dingin, maka kebahagiaan dan
kemakmuran hanya akan diperoleh sekadarnya saja. Negeri itu akan selalu
terancam marabahaya dan akan menderita kesukaran yang tidak
putus-putusnya. Tidak lama setelah menyampaikan pesan-pesan terakhir
kepada anak dan kedua cucunya, Aria Mangkubumi meninggal dunia. Empu
Jatmika bertekad akan melaksanakan pesan-pesan ayahnya, yaitu mencari
dan menemukan sebuah tempat yang tanahnya panas dan berbau harum.
Sejauh ini belum diketahui bagaimana awal hubungan Empu Jatmika dengan
Kerajaan Majapahit karena ketika Empu Jatmika memimpin serangan ke
Kerajaan Nan Sarunai, ia adalah panglima perang yang diutus oleh Raja
Majapahit. Besar kemungkinan, sebelum berangkat mencari tempat yang
dimaksudkan oleh sang ayah, Empu Jatmika bersama keluarganya terlebih
dulu mengabdi di Kerajaan Majapahit. Pusat pemerintahan Kerajaan
Majapahit pada waktu itu terletak di Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur)
dan berada tidak jauh dari Keling (Kediri). Mengingat saat itu Kerajaan
Majapahit merupakan sebuah imporium yang besar, besar kemungkinan bahwa
negeri Keling termasuk wilayah taklukan yang berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit.
Singkat cerita, pada tahun 1355 M, Raja Majapahit memerintahkan Empu
Jatmika memimpin armada perang untuk menyerbu Kerajaan Nan Sarunai yang
berada di seberang pulau Jawa, yakni di pulau Borneo. Raja Majapahit
yang dimaksud kemungkinan besar adalah Hayam Wuruk yang berkuasa di
Kerajaan Majapahit sejak tahun 1350 sampai dengan 1389 M. Pada waktu
itu, Kerajaan Nan Sarunai sudah terkenal sebagai kerajaan yang maju dan
makmur. Kejayaan yang dimiliki oleh Kerajaan Nan Sarunai itulah yang
membuat Majapahit berambisi untuk menguasainya.
Empu Jatmika tiba di Pulau Hujung Tanah, tempat di mana Kerajaan Nan
Sarunai berdiri, bersama rombongannya yang antara lain terdiri dari Sira
Manguntur (istri Empu Jatmika), Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat
(anak Empu Jatmika), seorang nahkoda kapal sekaligus ahli bahasa bernama
Wiramarta, dua orang hulubalang yakni Aria Megatsari dan Tumenggung
Tatahjiwa, beserta pasukannya. Ketika digali, tanah di Pulau Hujung
Tanah ternyata panas laksana api dan berbau harum wewangian daun pudak.
Inilah rupanya tanah yang dimaksud oleh ayahanda Empu Jatmika. Setelah
berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, Empu Jatmika membangun negeri
baru bernama Kerajaan Negara Dipa dan sebuah candi yang diberi nama
Candi Laras. Selain membangun candi, Empu Jatmika juga mendirikan
balairung, istana, ruang sidang, dan menara. Dalam mengelola
pemerintahan Kerajaan Negara Dipa, Empu Jatmika didampingi oleh Aria
Megatsari sebagai patih kerajaan.
Kedudukan Empu Jatmika sebagai penguasa di Kerajaan Negara Dipa hanya
bersifat sementara sembari menunggu kebijakan dari Kerajaan Majapahit
selaku kerajaan induk yang menguasai bekas wilayah Kerajaan Negara Dipa.
Selain itu, Empu Jatmika sadar diri bahwa ia bukan keturunan raja dan
bukan berasal dari kasta brahmana atau satria. Empu Jatmika khawatir
akan terkena kutukan jika ia tetap mengangkat dirinya sebagai seorang
raja karena ia paham betul bahwa kedudukan manusia sudah ditetapkan oleh
takdir dan kedudukan raja pun telah dikodratkan oleh Tuhan. Oleh karena
itu, maka kemudian Empu Jatmika memerintahkan anak buahnya untuk
membuat patung dari kayu cendana sebagai simbolisasi kedudukan raja yang
berkuasa di Kerajaan Negara Dipa.
Atas perintah Empu Jatmika, ahli-ahli tatah dan ukir membuat dua buah
patung yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kedua
patung itu dihias dengan seindah-indahnya dan diberi wewangian untuk
kemudian diletakkan di dalam candi. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan
bahwa sehari dalam seminggu, Empu Jatmika datang ke candi untuk
melakukan penghormatan kepada patung-patung tersebut. Hal ini dilakukan
supaya Empu Jatmika beserta keturunannya kelak di kemudian hari
terhindar dari segala macam marabahaya. Dari sini terlihat bahwa
pandangan sejarah tradisional berjalan tanpa dipengaruhi atau ditentukan
oleh berhasil atau tidaknya manusia, tetapi keterkaitan manusia
terhadap takdir dan kutukan.
Pada suatu ketika, Empu Jatmika menyatakan keinginannya untuk mengganti
patung-patung yang dibuat dari kayu cendana itu karena sudah terlihat
lapuk. Empu Jatmika menginginkan patung-patung baru dibuat dari gangsa
(logam/perunggu). Namun, tidak ada seorang pun di Kerajaan Negara Dipa
yang bisa membuat patung dari gangsa waktu itu. Dari kabar yang beredar,
Empu Jatmika kemudian mengetahui bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa
yang ahli dalam pembuatan patung gangsa. Maka Empu Jatmika memutuskan
mengutus Wiramartas untuk menghadap Raja Tiongkok dengan membawa
bingkisan yang berisi barang-barang berharga, di antaranya terdapat 10
ekor kera jenis orang hutan, sebagai hadiah persembahan kepada Raja
Tiongkok.
Rombongan duta Kerajaan Negara Dipa di bawah pimpinan Wiramartas
akhirnya tiba di Tiongkok. Di dalam suatu sidang resmi, Wiramartas
mempersembahkan surat dari Empu Jatmika. Raja Tiongkok rupanya berkenan
untuk memenuhi permintaan Empu Jatmika selaku pemimpin Kerajaan Negara
Dipa. Dalam perjalanan pulang ke Borneo, sebanyak 40 orang ahli patung
dari Kerajaan Tiongkok ikut serta ke Kerajaan Negara Dipa. Selain itu,
dikirim pula berbagai aneka macam hadiah balasan dari Raja Tiongkok
kepada Empu Jatmika, termasuk permadani, kain sutera, dan barang-barang
porselen. Wiramartas sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan
sebilah pedang Jepang. Setelah Wiramartas sampai di pelabuhan Kerajaan
Negara Dipa, ia disambut secara meriah. Dalam sidang kerajaan,
Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalanan dan membacakan surat
dari Raja Tiongkok. Wiramartas beserta para pengiringnya kemudian diberi
hadiah sebagai balas jasa atas menjalankan kewajibannya dengan sangat
baik.
Setelah sekian waktu lamanya menjalankan pemerintahan di Kerajaan Negara
Dipa, Empu Jatmika jatuh sakit. Di tengah sakitnya itu, Empu Jatmika
berwasiat kepada kedua anaknya, yaitu Lambung Mangkurat dan Mandastana,
agar jangan sekali-kali berambisi menjadi raja. Khusus kepada Lambung
Mangkurat, Empu Jatmika berpesan kepada anaknya itu agar pergi bertapa
sebagai usaha untuk mencari pemangku tahta Kerajaan Negara Dipa yang
sah. Tidak lama kemudian, Empu Jatmika meninggal dunia.
Sesuai wasiat ayahnya, Lambung Mangkurat kemudian melakukan semedi
(balampah) di tepi sebuah sungai dengan harapan memperoleh petunjuk akan
datangnya seorang raja yang akan memimpin Kerajaan Negara Dipa. Menurut
mitos yang diyakini masyarakat setempat, ketika Lambung Mangkurat
sedang bertapa, tiba-tiba muncul buih yang bersinar dari pusaran air
sungai dan kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita.
Putri itu kemudian oleh Lambung Mangkurat disembah dan dipanggil dengan
nama Putri Junjung Buih, yang berarti seorang putri yang muncul dari
buih untuk dimuliakan menjadi ratu di Kerajaan Negara Dipa.
Putri Junjung Buih diyakini adalah anak perempuan dari penguasa terakhir
Kerajaan Nan Sarunai yang sebelumnya ditaklukkan Empu Jatmika atas nama
Kerajaan Majapahit. Atas dasar itulah Lambung Mangkurat berpendapat
bahwa Putri Junjung Buih inilah orang yang berhak memimpin Kerajaan
Negara Dipa sepeninggal Empu Jatmika. Tidak lama kemudian, Putri Junjung
Buih dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Negara Dipa. Gelar Putri
Junjung Buih sebagai raja yang sah di Kerajaan Negara Dipa adalah ratu.
Nama Junjung Buih memiliki makna bahwa ia adalah seorang putri yang
harus dijunjung, sedangkan gelar ratu lebih berkaitan dengan wilayah
kedaulatan Kerajaan Negara Dipa yang belum luas ketika ia memerintah.
Wilayah Kerajaan Negara Dipa ketika masa pemerintahan Ratu Junjung Buih
adalah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai,
Batang Amandit, dan Batang Emas.
Setelah Putri Junjung Buih diangkat menjadi ratu di Negara Dipa, Lambung
Mangkurat merasa berkewajiban untuk mencari calon suami bagi sang ratu.
Niat Lambung Mangkurat tersebut disetujui oleh Ratu Junjung Buih namun
dengan syarat, bahwa calon suaminya harus mempunyai kekuatan adikodrati
yang hanya bisa didapatkan melalui proses bertapa. Setelah mendengarkan
syarat yang diinginkan oleh Ratu Junjung Buih, Lambung Mangkurat
kemudian pergi ke suatu tempat untuk bertapa. Dari hasil semedinya,
Lambung Mangkurat secara gaib bertemu dengan seorang pemuda bernama
Raden Putra atau yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Suryanata.
Dalam keyakinan Lambung Mangkurat, Raden Putra bukanlah manusia biasa,
melainkan Putra Matahari.
Sedangkan dalam versi non-mitos, dikisahkan bahwa Pangeran Suryanata
adalah salah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Raden Putra atau
Pangeran Suryanata memiliki nama lain, yaitu Rahadyan Putra alias Raden
Aria Gegombak Janggala Rajasa. Rencana penobatan Pangeran Suryanata
sebagai pemimpin di Kerajaan Negara Dipa sebenarnya sudah direncanakan
oleh Raja Hayam Wuruk sejak Empu Jatmika masih mengelola Kerajaan Negara
Dipa untuk sementara. Pada tahun 1362 M, Empu Jatmika mulai
mempersiapkan prosesi penjemputan Pangeran Suryanata dari Kerajaan
Majapahit. Akan tetapi, pada tahun 1362 M itu Empu Jatmika tiba-tiba
jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia pada tahun yang sama. Akhirnya,
tugas penjemputan itu diambil-alih oleh Lambung Mangkurat.
Pangeran Suryanata kemudian menikah dengan Ratu Junjung Buih dan
mengemban tugas bersama-sama untuk memimpin pemerintahan Kerajaan Negara
Dipa. Pernikahan Pangeran Suryanata dengan Ratu Junjung Buih tersebut
melambangkan harmonisasi antara Kerajaan Nan Sarunai (Suku Dayak
Maanyan) dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Pernikahan ini mengetengahkan
sejumlah data tentang asal usul munculnya Negara Dipa yang harus
dipahami dengan pemahaman ideologi dan religi. Mitos pernikahan itu
secara ideologi merupakan pernikahan politik antara Majapahit dan puteri
penguasa lokal dan pelegitimasi masuknya pengaruh Majapahit ke
Kalimantan Selatan dengan jalan yang sangat elok dan mempunyai akar yang
sangat dalam. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya tata cara Jawa
di Kerajaan Negara Dipa.
Pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata, pusat pemerintahan Kerajaan
Negara Dipa berada di sekitar Kota Amuntai sekarang ini, tepatnya di
pertemuan antara sungai Tabalong dengan Sungai Balangan. Selama masa
kepemimpinannya, Pangeran Suryanata berhasil memperluas wilayah
kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dengan menaklukkan beberapa negeri lain,
seperti Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai,
Karasikan, dan Berau. Pangeran Suryanata berkuasa di Kerajaan Negara
Dipa selama kurang lebih 23 tahun, dari tahun 1362 hingga 1385 M.
Sepeninggal Pangeran Suryanata, pemerintahan Kerajaan Negara Dipa
dipimpin oleh putra mahkota, yaitu Aria Dewangsa yang bergelar Pangeran
atau Maharaja Surya Gangga Wangsa. Anak lelaki Pangeran Suryanata dengan
Ratu Junjung Buih ini mengemban mandat sebagai Raja Negara Dipa sejak
tahun 1385 M dan masa kekuasaannya berakhir pada tahun 1421 M. Setelah
era pemerintahan Maharaja Surya Gangga berakhir, tampuk kepemimpinan
Kerajaan Negara Dipa dipercayakan kepada Raden Carang Lalean yang
memerintah pada periode tahun 1421 sampai dengan 1436 M. Setelah itu,
pemerintahan Kerajaan Negara Dipa diampu oleh seorang pemimpin perempuan
yang bernama Putri (Ratu) Kalungsu pada kurun waktu 1436-1448 M.
Terakhir, ketika masa pemerintahan Ratu Kalungsu berakhir pada tahun
1448 M, tampuk kepemimpinan Kerajaan Negara Dipa diteruskan oleh Raden
Sekar Sungsang atau yang dikenal juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari
Kaburangan. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai
keruntuhannya akibat perselisihan internal, dan pada akhirnya muncul
sebuah kerajaan baru sebagai penerus Kerajaan Negara Dipa, yaitu sebuah
pemerintahan yang bernama Kerajaan Negara Daha.
Raja Negara Dipa
1- Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa
pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar
Resensi II.
2- Ampu Jatmaka gelar Maharaja di Candi, saudagar kaya dari Keling
pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras di
hilir kemudian mendirikan (atau menaklukan?) negeri Candi Agung di hulu
di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya
raja tua Kerajaan Kuripan [= raja negeri lama yang berdiri sebelumnya]
yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu Jatmaka mengganggap dirinya
hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik ini dan ditambah
negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang muncul di dalam
Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara
Dipa. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa
memperluas wilayah dengan menaklukan batang Tabalong, batang Balangan
dan batang Pitap. Ia jua memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang
Alai, batang Labuan Amas dan batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang
menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara
(Kalimantan-Filipina).
3- Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar
Ratu Kuripan, putera Ampu Jatmika (sebagai Penjabat Raja). Ia berhasil
memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatn sampai Tanjung
Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan.
4- Raden Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar
anumerta Putri Junjung Buih [= perwujudan putri buih/putri bunga air
menurut mitos Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga Ratu
I ini berasal dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura. Menurut
Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini yang
berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya
Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [= Bhre
Kalimantan] dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu
Manggalawardhani] keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [=
ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut
Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I
Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri
Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya
(janda Sang Sinagara).
5- Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar
anumerta Maharaja Suryanata [= perwujudan raja dewa matahari], suami
Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan dari Majapahit dengan
persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas,
raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (=
sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir,
raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar
Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran
Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa
[adi-vamsa = pengasas dinasti]. Ketiga putera ini memerintah di daerah
yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan Kuning, (b) Undan Kulon dan
Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [=
Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah [pada
tahun 1464?] Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak
pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh
putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini kemungkinan
kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang
Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya
1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre Kahuripan VI] memiliki istri
bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir
empat orang anak, yaitu Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII],
Wijayakarana, [= Bhre Mataram V], Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan
Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi= Kartapura?= Tanjungpura?).
6- Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja
Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias
Putri Huripan [yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri
Kabu Waringin [karena minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon
beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (= Ratu Kuripan) dengan
Dayang Diparaja.
7- Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung
Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan
Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut
Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit
Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang [= Panji Agung
Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan
di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama
Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian bergelar Sunan
Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri
inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak
(puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang
menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya
Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.
Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri
Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (=
Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang
masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria
Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika
raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke
tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang
melawan pamannya Raja Majapahit?).
Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai
pemangku. Pada masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang,
putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari
bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai)
karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke
arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang
kemudian diganti menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan)
sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya
ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun
berganti menjadi sungai Negara.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang berlaku di lingkungan Kerajaan Negara Dipa
terkait dengan konsep pemerintahan tentang prinsip hierarki jabatan,
khususnya hierarki jabatan pada negara tradisional Dalam konsep negara
tradisional (misalnya dalam pemerintahan yang berbentuk kerajaan),
hierarki jabatan cenderung muncul dari nilai-nilai primordial yang
bersifat sakral sehingga melahirkan apa yang disebut model birokrasi
tradisional. Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional berakar kepada
struktur sosial yang tertata berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan
status. Posisi status dalam negara tradisional cenderung berkaitan
dengan penilaian sosial terhadap kehormatan dan citra seseorang,
sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial lebih bersifat pembagian
secara politik.
Struktur politik yang lazim diberlakukan di negara tradisional juga
diterapkan di dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara Dipa di mana
raja adalah titik pusat kekuasaan. Raja sebagai pemegang jabatan
tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar.
Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan atau
kingship, seperti benda-benda pusaka, gelar, ataupun mitos-mitos
geneologi yang kesemuanya berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja
sebagai penguasa. Raja kemudian mendelegasikan kekuasaannya ke tingkat
di bawahnya melalui jabatan birokrasi. Model birokrasi yang seperti ini
dikenal sebagai model birokrasi patrimonial.
Puncak hierarki kekuasaan pada pemerintahan Kerajaan Negara Dipa adalah
raja. Jabatan raja diwarisi secara turun-temurun sesuai dengan garis
geneologi atau kekerabatan dan bersifat keramat karena dianggap
mempunyai kesaktian yang dapat menambah wewenang. Pada dasarnya,
wewenang merupakan salah satu komponen kerajaan. Kerabat raja berada
pada tataran kedudukan tinggi juga berhak menguasai rakyat sebagai
hambanya.
Kedudukan Raja Negara Dipa diyakini sebagai kepanjangan tangan dari
dewa. Oleh karena itu, raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Negara Dipa,
khususnya sejak pemerintahan Pangeran Suryanata, memakai gelar Maharaja
dan acapkali disebut sebagai Syah Alam karena posisi raja dalam konsep
“dewa-raja” berperan sebagai pelindung agama sekaligus sebagai penjaga
alam dunia. Gelar Maharaja dan Syah Alam juga menggambarkan keluasan
wilayah Kerajaan Negara Dipa yang lebih besar dari raja-raja kecil yang
telah berhasil ditaklukkan.
Negara adalah pranata sosial, negara adalah tempat orang bersama-sama
berupaya mencapai tujuan tertentu. Agar tujuan bersama itu dapat
terwujud, maka diperlukan aparat negara untuk mengatur dan mengelola
pemerintahan. Dalam konteks pemerintahan yang berlaku dalam sistem
negara tradisional, termasuk di Kerajaan Negara Dipa, aparat
pemerintahan yang dimaksud adalah raja yang dibantu oleh para pejabat
pemerintahan yang berperan sebagai penghubung antara penguasa dengan
rakyat.
Para pejabat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa terdiri dari kerabat dan
anggota keluarga kerajaan yang merupakan kepanjangan tangan dari raja.
Dalam memimpin roda pemerintahannya, Raja Negara Dipa sebagai puncak
piramida kekuasaan didukung oleh seseorang yang dipercaya Raja dan
diberi gelar kehormatan sebagai Mangkubumi. Mangkubumi adalah jabatan
yang paling strategis karena seorang Mangkubumi mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam segala kebijakan yang dikeluarkan oleh raja. Jabatan
Mangkubumi pernah dijabat oleh Lambung Mangkurat, salah seorang anak
laki-laki Empu Jatmika. Dalam mengelola pemerintahan, Mangkubumi
memimpin dan mengkoordinasi tugas pejabat-pejabat kerajaan lainnya,
seperti Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi, dan 40 orang Mantri Sikep.
Masih ada sejumlah jabatan lainnya dalam pemerintahan Kerajaan Negara Dipa, yaitu
(1) Lelawang adalah jabatan untuk kepala distrik;
(2) Sarabraja memimpin 50 orang yang bertugas untuk menjaga keluarga istana;
(3) Sarayuda mengepalai 30 orang pasukan Mamagarsari dengan tugas menjaga raja;
(4) Singapati memimpin 40 orang yang tergabung dalam pasukan Parabawa
dan bertugas sebagai polisi untuk menjaga keamanan kerajaan;
(5) Saradipa membawahi pasukan Parabawa yang berjumlah 40 orang dengan tugas menjaga senjata;
(6) Puspawana mengkoordinir 40 orang pasukan Tuhaburu dan bertugas mengawal raja ketika raja sedang pergi berburu;
(7) Rasajiwa memimpin 50 orang anggota Pangdapan sebagai pembantu istana;
(8) Pamayungan bertugas sebagai penghias balai;
(9) Wargasari mengepalai 30 orang bawahan sebagai penyedia makanan;
(10) Anggaprana mempunyai 40 orang anak buah yang bertugas sebagai pujangga istana;
(11) Mangkumbara berperan sebagai kepala urusan upacara;
(12) Wiramartas mengemban tugas untuk mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri;
(13) Bujangga berperan sebagai kepala urusan bangunan rumah peribadatan; dan
(14) Singabana yang bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman umum.
Gelar dan jabatan di atas memperlihatkan bahwa Kerajaan Negara Dipa
telah memiliki sistem pemerintahan yang cukup tertata. Apabila
dicermati, nama-nama jabatan aparat Kerajaan Negara Dipa memuat beberapa
kemiripan dengan gelar-gelar yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Dalam
Hikayat Banjar, memang telah dikisahkan bahwa Raja Negara Dipa, Pangeran
Suryanata, telah membuat wasiat agar konsep pemerintahan Kerajaan
Negara Dipa meniru dengan apa yang telah berlaku di Kerajaan Majapahit.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Ratu Junjung Buih, daerah-daerah yang termasuk ke
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa antara lain meliputi
Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang
Amandit, dan Batang Emas. Sementara itu, pada masa pemerintahan Pangeran
Suryanata, Kerajaan Negara Dipa berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya dengan menaklukan Sukadana, Sambas, Batang Lawai,
Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau.
Kerajaan Negara Dipa memiliki sejumlah daerah taklukan yang pada umumnya
masih berupa daerah yang dihuni oleh komunitas-komunitas suku adat.
Pemerintahan di wilayah-wilayah taklukan Kerajaan Negara Dipa itu
didasarkan pada aturan adat-istiadat setempat. Raja Negara Dipa
memberikan kepercayaan dan kebebasan sepenuhnya kepada para kepala
daerah (kepala suku) untuk memimpin komunitasnya yang bernaung di bawah
pemerintahan Kerajaan Negara Dipa. Kepala daerah yang mengakui kekuasaan
Kerajaan Negara Dipa diberi jabatan sebagai Tamanggong. Penerima gelar
Tamanggong dipercaya merupakan keturunan langsung dari Keilahian yang
tertinggi sekaligus pewaris dari kekayaan dan pusaka sebagai asesoris
predikat Keilahian.
Selain faktor geneologi, penyandang gelar Tamanggong juga dipilih
berdasarkan kecerdikan, kekayaan, kearifan, kearifan, kejujuran,
keadilan, keberanian, dan pengetahuan tentang adat dan tradisi. Dalam
buku berjudul Tanya Jawab Tentang Suku Dayak yang ditulis oleh Fridolin
Ukur (1977) disebutkan bahwa selain jabatan Tamanggong yang mengemban
tugas untuk mengendalikan pemerintahan di daerah taklukan, Raja Negara
Dipa juga memberikan sejumlah jabatan lainnya di tataran pemerintah
daerah, antara lain Pangkalima yang bertugas untuk berperang,Damang
sebagai kepala adat, dan Balian sebagai kelompok iman yang
menyelenggarakan ritual keagamaan.
Peninggalan Kerajaan Negara Dipa
Peninggalan Negara Dipa yang terkenal adalah candi agung. Candi agung
ini berlokasi di kawasan Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah,
Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Candi Agung adalah sebuah situs Candi Hindu berukuran kecil. Konon candi
inilah bangunan pertama yang menjadi cikal bakal Kerajaan Negara Dipa.
Lokasi candi di kawasan Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah,
Kabupaten Hulu Sungai Utara. Dari Banjarmasin menuju Amuntai memerlukan
waktu tempuh sekitar 5 jam jika menggunakan transportasi darat.
Lamanya waktu tempuh relatif, tergantung arus lalu lintas saat kita di
perjalanan, ditambah lagi waktu rehat (isi bahan bakar dan isi perut di
warung).
Menurut Khairiyah, warga Banjarmasin, yang akhir pekan lalu berkunjung
ke Amuntai, obyek wisata ini terpelihara dengan baik. Memasuki kawasan
candi tersebut, kita disambut gapura bertulis Candi Agung.
“Cukup banyak masyarakat yang berkunjung ke Candi Agung, terutama masyarakat dari luar Amuntai,”
Memang candi Agung tidak seperti candi di Pulau Jawa, namun keberadaan
candi ini menjadi daya tarik karena bernilai historis. Seperti diketahui
Candi Agung erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kerajaan Banjar.
“Obyek wisata sejarah ini banyak memberikan pelajaran bagi kita dan
generasi muda. Jadi sangat perlu untuk menyempatkan waktu ke candi ini
jika kita berkunjung ke Amuntai, tentunya bermanfaat untuk menambah
wawasan,”
Sebagaimana diketahui, Candi Agung yang dibangun Empu Jatmika, pendiri
Kerajaan Negaradipa Khuripan, pada abad ke XIV Masehi. Dari kerajaan ini
akhirnya melahirkan Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin.
Menurut cerita, Kerajaan Hindu Negaradipa berdiri tahun 1438 di
persimpangan tiga aliran sungai; Tabalong, Balangan dan Negara. Cikal
bakal Kerajaan Banjar itu diperintah Pangeran Suryanata dan Putri
Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Patih Lambung Mangkurat. Negara
dipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar