Kerajaan Skala Brak (Sekala Beghak) berdiri di Lampung pada sekitar abad ke-3 Masehi dengan pemimpinnya bernama Raja Buay Tumi
Nama Raja Buay Tumi diyakini sebagai pemimpin Suku Tumi, yakni salah
satu bangsa pertama yang menempati tanah Lampung dan kemudian membangun
peradaban di Skala Brak. Lokasi Kerajaan Skala Brak terletak di lereng
Gunung Pesagi, Belalau, di sebelah selatan Danau Ranau, sekarang
termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung.
Keberadaan Kerajaan Skala Brak dianggap sebagai simbol peradaban,
kebudayaan, dan eksistensi orang Lampung. Penyebutan Lampung sendiri
berasal dari kata “Anjak Lambung” yang artinya menunjukkan tempat yang
tinggi, yakni lereng Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung .
Keterangan ini merujuk bahwa sejarah orang Lampung sangat berkaitan dengan Skala Brak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.
A. Skala Brak, Cikal-Bakal Orang Lampung
Terdapat sejumlah teori tentang etimologi Skala Brak. Pertama, Sakala
Bhra, yang berarti titisan dewa, ini terkait dengan Kerajaan Skala Brak
Hindu. Kedua, Segara Brak, yang berarti genangan air yang luas, yaitu
Danau Ranau yang letaknya tidak jauh dari Kerajaan Skala Brak. Ketiga,
Sekala Brak, yang berarti tumbuhan sekala (kemungkinan Ketembang Sekala
atau Amomum Blumeanum Valeton, tanaman sejenis jahe-jahean) yang banyak
terdapat di dataran tinggi Pesagi Selain itu, ada pula yang menyebut
Skala Brak atau Sekala Beghak dengan arti “tetesan yang mulia”.
Kajian oleh sejumlah sejarawan umumnya mengarah pada persamaan persepsi
bahwa Skala Brak adalah daerah asal orang Lampung. Pengelana dari Cina, I
Tsing (635-713), pernah berada di Jambi dan konon sempat menetap di
Sriwijaya selama 10 tahun (685-695). Dalam perjalanan itu, I Tsing
menyebut “To Lang Pohwang” yang diduga berasal dari bahasa Hokian yang
berarti “orang atas” atau “orang-orang yang berada di atas”. I Tsing
mungkin menunjukkan keberadaan orang-orang yang tinggal di lereng Gunung
Pesagi yang tidak lain adalah Suku Tumi.
Mengutip dari penelitian yang dilakukan Universitas Lampung, menyebutkan
bahwa istilah “To Lang Pohwang” diambil dari bahasa Toraja. “To”
berarti orang, sedangkan “Lang Pohwang” dibahasakan sebagai “Lampung”.
Dengan demikian, “To Lang Pohwang” dapat diartikan sebagai “orang
Lampung” Selain itu, ada juga yang menyebut bahwa “To Lang Pohwang”
merupakan pelafalan dari “Tulang Bawang”, nama yang lekat dengan nama
sungai, daerah, dan sebuah kerajaan yang juga terdapat di Lampung.
Suku Tumi menganut agama Hindu Bairawa. Mereka mengagungkan Belasa
Kepampang, sebuah pohon keramat dengan dua cabang, yaitu cabang nangka
dan cabang sebukau (sejenis kayu bergetah).
Konon, jika menyentuh cabang sebukau, orang bisa terkena penyakit kulit,
namun dapat segera disembuhkan dengan getah cabang nangka yang juga
terdapat di pohon itu. Kepercayaan ini diterima tidak hanya di Skala
Brak saja tapi hingga ke daerah-daerah lain di sepanjang aliran Way
Komering, Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulangbawang,
Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai
Ketika pemerintahan Islam menguasai Skala Brak, Belasa Kepampang
ditebang dan kayunya dipergunakan untuk membuat pepadun. Pepadun adalah
singgasana raja yang hanya boleh digunakan atau diduduki pada saat
penobatan Sultan Skala Brak beserta keturunannya. Tumbangnya pohon
Belasa Kepampang juga menjadi pertanda jatuhnya kekuasaan Suku Tumi
sekaligus punahnya aliran animisme di Skala Brak.
b. Skala Brak pada Zaman Hindu (Masa Kerajaan)
Riwayat leluhur bangsa Lampung dan Skala Brak dapat ditelusuri, antara
lain dari warahan (cerita turun-temurun), warisan adat, serta
peninggalan lainnya. Salah satu benda peninggalan Skala Brak adalah
menhir yang merupakan peninggalan masa Megalitikum dan ini menjadi bukti
bahwa leluhur orang Lampung telah memiliki peradaban sejak masa
pra-sejarah.
Riwayat Kerajaan Skala Brak juga dapat diketahui dari tambo-tambo yang
di masyarakat. Tambo adalah salah satu bentuk ekspresi atas kesadaran
masyarakat terhadap masa lalu yang berisi seluk-beluk kebudayaan, adat,
dan asal-usul masyarakat. Di dalam tambo terkandung narasi kesejarahan
yang ditujukan untuk berbagai kepentingan sebagai ekspresi atas kondisi
sosial pada waktu di mana tambo itu dibuat. Tambo-tambo tentang Skala
Brak yang ditemukan sebagian besar ditulis pada kulit kayu atau kulit
kerbau.
Di lereng Gunung Pesagi, ditemukan sejumlah peninggalan lainnya, seperti
batu-batu bekas kuno, tapak bekas kaki, altar, dan tempat eksekusi.
Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) yang ditemukan di Bunuk Tenuar
Liwa, merupakan bukti peninggalan Skala Brak pada zaman Suku Tumi. Dalam
prasasti bertarikh 9 Margasira 919 Saka itu terpahat nama seorang raja
yang diduga pernah berkuasa di Skala Brak, bernama Baginda Sri Haridewa.
Sedangkan dari sebuah batu berangka tahun 966 Saka atau 1074 Masehi yang
juga ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa diperoleh keterangan bahwa Lampung
telah dihuni sekelompok masyarakat beragama Hindu. Diperkirakan, batu
yang bertuliskan huruf Pallawa ini merupakan perangkat untuk
mengeksekusi orang yang melanggar hukum kerajaan. Unsur Hindu dalam
kebudayaan Kerajaan Skala Brak semakin kuat dengan ditemukannya
parit-parit, jalan-jalan setapak, batu persegi, batuan berukir, serta
puing-puing candi khas Hindu.
Menurut sejarah warga Skala Brak pernah melakukan perpindahan bertahap
dari waktu ke waktu. Migrasi itu terjadi karena beberapa peristiwa
penting.
Pertama adalah ketika Suku Tumi terusir dari kampung halamannya akibat masuknya agama Islam.
Kedua, adanya perselisihan internal di antara keluarga kerajaan sehingga
pihak yang tidak menerima keadaan memutuskan untuk pindah ke daerah
lain.
Ketiga, adanya gempa bumi yang menyebabkan sebagian besar penduduk Skala
Brak mencari perlindungan ke daerah lain. Keempat, adanya aturan adat
yang menetapkan bahwa yang paling berhak memperoleh hak waris keluarga
adalah anak tertua sehingga banyak anak-anak muda Skala Brak memilih
pindah ke daerah lain dengan harapan akan mendapat kedudukan dan status
sosial yang lebih baik.
Akibat gelombang migrasi itu, terjadilah penyebaran kebudayaan Suku
Tumi. Sebagian besar dari mereka mengikuti aliran way (sungai) untuk
bermukim dan mempertahankan hidup. Beberapa aliran sungai yang menjadi
tempat tujuan migrasi Suku Tumi antara lain Way Koming, Way Kanan, Way
Semangka, Way Seputih, Way Sekampung, dan Way Tulang Bawang, beserta
anak-anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung, Palembang
(Sungai Komering), bahkan hingga ke Pantai Banten.
Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu juga diindikasikan sebagai peradaban
yang kelak berpengaruh terhadap berdirinya Kerajaan Sriwijaya di
Palembang karena terdapat sebagian Suku Tumi yang menuju Palembang.
Selain itu, ada keturunan dari Kerajaan Skala Brak Hindu yang diduga
menjadi pendiri Dinasti Sriwijaya, yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanaga.
Dapunta Hyang Sri Jayanaga inilah yang memulai Dinasti Sriwijaya awal
dengan ibu negeri di Minanga Komering.
c. Skala Brak pada Zaman Islam (Masa Kepaksian)
Seperti yang diriwayatkan dalam tambo, masuknya Islam ke Skala Brak
dibawa oleh empat putra Sultan Maulana Umpu Ngegalang Paksi, Raja
Pagaruyung. Para pangeran itu dibantu oleh seorang pemudi berjuluk Si
Bulan (Putri Bulan), diperkirakan bernama asli Indarwati, dan merupakan
leluhur Orang Tulangbawang Berikut nama empat pangeran dari Minangkabau
yang bermaksud menyiarkan agama Islam di Skala Brak tersebut:
1. Umpu Bejalan Di Way, bernama asli Inder Gajah, menurunkan Orang Abung.
2. Umpu Belunguh, nama aslinya diperkirakan sama dengan nama gelarnya, yakni Belunguh, menurunkan Orang Peminggir.
3. Umpu Nyerupa, bernama asli Sikin, menurunkan Orang Jelma Daya.
4. Umpu Pernong, bernama asli Pak Lang, menurunkan Orang Pubian.
Kata “Umpu” berasal dari kata “Ampu”, sebutan bagi anak raja Kerajaan
Pagaruyung-Minangkabau. Kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman pada
tahun 1347 itu merupakan kerajaan Hindu sebelum beralih ke Islam sejak
pertengahan abad ke-16. Kisaran waktu tersebut merujuk pada data yang
menyebutkan, Sultan Alif Khalifatullah dinobatkan sebagai pemimpin
Kerajaan Pagaruyung pada sekitar tahun 1560 setelah menganut Islam, nama
kerajaan pun diganti dengan kesultanan. Dengan demikian, masuknya Islam
ke Skala Brak yang dibawa keempat pangeran dari Pagaruyung terjadi pada
tahun-tahun setelah Sultan Alif Khalifatullah berkuasa.
Naskah kuno Kuntara Raja Niti menyebut Umpu Bejalan Di Way, Umpu
Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong dengan nama yang berbeda, yakni
masing-masing Inder Gajah, Belunguh, Sikin, dan Pak Lang
Oleh keempat penguasa baru tersebut, wilayah Skala Brak dibagi rata dan
masing-masing memiliki wilayah, rakyat, dan adat-istiadatnya sendiri,
serta mempunyai kedudukan yang sama.
Penguasa terakhir Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu adalah seorang
perempuan bernama Umpu Sekekhummong (Ratu Sekerumong). Meskipun sempat
melakukan perlawanan, namun Skala Brak tidak mampu menahan serangan dari
Pagaruyung yang lebih kuat. Segera setelah berhasil menguasai Skala
Brak, keempat pangeran Pagaruyung mendirikan suatu perserikatan bernama
Paksi Pak, yang berarti “Empat Serangkai” atau “Empat Sepakat”.
Dimulailah babak baru dengan hadirnya Islam di Skala Brak yang mewujud
menjadi Paksi Pak atau Kepaksian Skala Brak.
Berkuasanya Kepaksian Skala Brak, berarti juga berakhirnya kekuasaan
Suku Tumi. Orang-orang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke
Pesisir Krui dan banyak yang menyeberang ke Jawa. Sebagian yang lain
mengungsi ke Palembang untuk mencari perlindungan. Belakangan diketahui
bahwa ada seorang keturunan Kerajaan Skala Brak Hindu, bernama Kekuk
Suik, yang masih mengibarkan sisa-sisa eksistensi Kerajaan Skala Brak di
Pesisir Selatan Krui – Tanjung Cina.
Suku Tumi yang menyelamatkan diri ke Pesisir Krui menempati beberapa
wilayah atau marga, meliputi Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai, dan
Marga Way Sindi. Namun, di tempat yang baru ini, pelarian Suku Tumi
tidak luput dari kejaran Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah
Danau Ranau dengan mendapat bantuan dari lima orang punggawa Kepaksian
Skala Brak. Setelah upaya penaklukkan berhasil, daerah tersebut dikenal
dengan nama Marga Punggawa Lima karena kelima punggawa dari Kepaksian
Skala Brak kemudian menetap di wilayah tersebut.
Sebagian warga Skala Brak yang lain, dipimpin Pangeran Tongkok Podang,
mengikuti aliran Way Komring dan mendirikan pekon (negeri). Kesatuan
dari beberapa pekon ini kemudian menjadi marga atau buay yang diperintah
oleh seorang raja atau saibatin di daerah Komering, Palembang.
Sebagian kelompok lagi pergi ke arah Muara Dua, kemudian ke selatan
menyusuri aliran Way Umpu hingga di Bumi Agung. Kelompok ini terus
berkembang dan dikenal sebagai Lampung Daya atau Lampung Komering yang
menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komering Ulu, serta Kayu
Agung dan Tanjung Raja atau Komering Ilir.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Suku Tumi sangat menghormati
pohon Belasa Kepampang. Ketika Kerajaan Skala Brak berganti rupa menjadi
Kepaksian Skala Brak, pohon keramat ini ditebang dan kayunya digunakan
untuk membuat pepadun, yakni singgasana yang hanya boleh diduduki pada
hari ketika Sultan Kepaksian Skala Brak dinobatkan. Terdapat dua makna
filosofis yang terkandung dalam kata pepadun, yaitu:
1. Pepadun dimaknai sebagai papadun, yang maksudnya untuk memadukan
pengesahan atau pengakuan sebagai legitimasi bahwa yang duduk di atasnya
adalah resmi menjadi seorang raja.
2. Pepadun dimaknai sebagai paaduan, yang berarti tempat mengadukan
segala persoalan, maka orang yang duduk di atas pepadun adalah orang
yang berhak memberikan keputusan atas perkara-perkara yang diadukan.
Dengan demikian, pepadun menempati posisi tertinggi dalam tradisi
Kepaksian Skala Brak. Untuk menghindari perselisihan di antara keturunan
keempat Kepaksian yang berkuasa, maka atas kesepakatan keempat Paksi,
pepadun dititipkan kepada orang kepercayaan, yakni Buay Benyata yang
berkedudukan di Pekon Luas. Ketika salah seorang dari keempat pemimpin
Kepaksian membutuhkan pepadun untuk keperluan penobatan, maka pepadun
itu dapat diambil namun harus dikembalikan lagi kepada Buay Benyata
setelah digunakan.
Perselisihan yang muncul justru terjadi di antara keturunan Benyata.
Pada 1939, sejumlah keturunan Benyata memperebutkan siapa yang berhak
menyimpan pepadun. Sebelumnya memang belum ada kesepakatan tentang hal
itu. Atas keputusan Kerapatan Adat dengan persetujuan Kepaksian Skala
Brak dan Karesidenan (wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda),
diputuskan bahwa pepadun disimpan di kediaman keturunan langsung dari
Umpu Belunguh (salah seorang dari keempat pemimpin Kepaksian Skala
Brak), hingga sekarang.
Di bawah pemerintahan empat Kepaksian, peradaban Skala Brak berkembang
cukup pesat, baik kemajuan eksternal maupun internal. Skala Brak
menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara,
bahkan dengan India dan Cina.
Pada abad ke-5 dan ke-6, terdapat dua kerajaan di nusantara yang
bekerjasama dengan Kekaisaran Cina, yaitu Kerajaan Kendali di Andalas
dan Ho-lo-tan di Jawa.
Kerajaan Kendali di Andalas yang dimaksud kemungkinan besar adalah Skala
Brak karena dalam catatan Dinasti Liang (502-556 M) disebutkan letak
Kerajaan Skala Brak berada di selatan Andalas dan menghadap ke arah
Samudera Hindia. Adat-istiadatnya kerajaan itu, menurut catatan yang
sama, hampir serupa dengan Bangsa Kamboja dan Siam (Thailand), serta
menjadi negeri penghasil pakaian berbunga, kapas, pinang, kapur barus,
dan damar.
Selain itu, dalam Kitab Tiongkok kuno disebutkan bahwa antara tahun 454
dan 464 Masehi terdapat kisah Kerajaan Kendali yang terletak di antara
Jawa dan Kamboja. Nama Kendali ini dapat dihubungkan dengan Kenali, ibu
negeri Paksi Buay Belunguh, salah satu dari empat Kepaksian Skala Brak
Kemajuan juga diperoleh dalam lingkup internal Skala Brak. Pada awal
abad ke-9 Masehi, para pemuka Kepaksian Skala Brak sudah menciptakan
aksara dan angka tersendiri yang dikenal sebagai Had Lampung. Bentuk
tulisan Had Lampung dipengaruhi aksara Pallawa dari India Selatan dan
huruf Arab.
Kepaksian Skala Brak mengalami kemunduran pada era penjajahan Belanda.
Pada tahun 1810 dan 1820, Istana Skala Brak hancur oleh serangan
Belanda. Pada tahun 1830, dibangunlah Gedung Dalom sebagai pengganti
istana. Luas lahan Gedung Dalom yang sekarang adalah 3.000 meter
persegi, dikelilingi rumah kepala suku. Sementara Belalau kini menjadi
tempat pertapaan yang ramai dikunjungi .
2. Silsilah Raja-Raja
Kerajaan Skala Brak termasuk salah satu kerajaan tertua di Sumatra yang
telah melalui pergeseran kekuasaan dari masa Hindu ke masa Islam.
Dari buku Sejarah Sumatra, terdapat nama Raja Buay Tumi sebagai penguasa
Kerajaan Skala Brak yang pertama sekaligus pemimpin Suku Tumi.Selain
itu, ditemukan juga nama Umpu Sekekhummong (Ratu Sekerumong) yang
merupakan pemimpin terakhir Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu.
Sedangkan pada batu yang ditemukan di Skala Brak, terpahat nama seorang
raja, yakni Baginda Sri Haridewa
Pada masa pemerintahan Islam, Skala Brak terbagi menjadi empat kekuasaan
yang disebut Paksi Buay atau Kepaksian (Bejalan Di Way, Belunguh,
Nyerupa, dan Pernong). Empat Kepaksian ini masih eksis hingga kini dan
mewariskan banyak keturunan sehingga silsilah yang mencakup pemimpin
seluruh Kepaksian Skala Brak belum ditemukan secara lengkap.
Dalam catatan disebutkan bahwa orang-orang yang pernah menjabat sebagai
Sultan atau Pasirah (semacam perdana menteri) Paksi Buay Bejalan Di Way
antara lain:
Umpu Bejalan Diway (Pendiri Paksi Buay Bejalan Di Way),
Ratu Tunggal,
Kun Tunggal Simbang Negara,
Ratu Mengkuda Pahawang,
Puyang Rakian,
Puyang Raja Paksi,
Dalom Sangun Raja,
Raja Junjungan (memindahkan pusat pemerintahan dari Puncak Sukarami Liwa ke Negeri Ratu Kembahang),
Ratu Menjengau,
Pangeran Siralaga,
Dalom Suluh Irung,
Pangeran Nata Marga (pernah mengadakan perjanjian dengan Inggris pada 13 Maret 1799), dan
Pangeran Raja di Lampung.
Selanjutnya adalah Raden Intan Gelar Pangeran Jaya Kesuma I yang
diangkat menjadi Pasirah dengan surat keputusan pemerintah kolonial
tanggal 21 Desember 1834,
Kasim Gelar Pangeran Paku Alam (1 Agustus 1871),
Dalom Raja Kalipah Gelar Pangeran Puspa Negara I (5 Mei 1881),
Ahmad Siradj Gelar Pangeran Jaya Kesuma II (27 Oktober 1914),
Siti Asma Dewi Gelar Ratu Kemala Jagat (yang menjadi Sultan/Pasirah adalah suaminya,
Abdul Madjid Gelar Suntan Jaya Indra, tanggal 12 Juli 1939),
Suntan Jaya, Azrim Puspa Negara Gelar Pangeran Jaya Kesuma III, dan Selayar Akbar
Kepaksian kedua adalah Paksi Buay Belunguh yang beribukota di Kenali.
Umpu Belunguh sebagai Sultan Paksi Buay Belunguh tidak mempunyai istri
dan anak sehingga kemudian mengangkat anak sebanyak 7 orang. Ketujuh
anak angkat Umpu Belunguh tersebut memiliki surat-surat keterangan
sebagai legitimasi garis keturunan mereka. Umpu Belunguh menunjuk salah
satu anak angkatnya yang bernama Kuning, sebagai penggantinya untuk
memimpin Kepaksian Belunguh. Umpu Kuning mempunyai empat anak, yakni
Pemuka Raja Anum, Pangeran Mangkubumi, Kimas Menjaga Batin, dan Raden
Mengunang
Seorang keturunan Kepaksian Belunguh, bernama Batin Paksi, menyusun
sebuah tambo yang menerangkan tentang “Asal Keturunan Marga Belunguh”
tertanggal 20 Februari 1939. Pada 28 Maret 2000, Ikhwan Siraj Belunguh
yang merupakan keturunan ke-17 dari Sultan Pangeran Iro Belunguh,
berinisiatif menyalin ulang tambo tersebut. Nama-nama Sultan yang pernah
memerintah Paksi Buay Belunguh Skala Brak tercantum dalam tambo
tersebut.
Disebutkan dalam tambo bahwa Sultan Pemuka Raja Anum, berkunjung ke
Kesultanan Banten dan memperoleh anugerah dari Sultan Banten berupa
barang-barang kebesaran. Hingga kini, keturunan Pemuka Raja Anum masih
ada yang tinggal di Cikuning, Banten, dan masih menggunakan bahasa
Lampung.
Sultan Kepaksian Belunguh selanjutnya adalah
Sang Hiang
Raja Nukah dan berturut-turut dilanjutkan oleh;
Pangeran Jaya Kesuma,
Depati Bangsa Raja,
Pangeran Iro Belunguh,
Raja Mahkota Alam,
Batin Singa,
Raden Ngaih,
Keria Natar Kesuma (diangkat tanggal 8 Juni 1784), dan
Depati Pasirah yang dinobatkan tanggal 6 November 1814.
Dari Kepaksian Nyerupa, menurut sumber yang ditemukan, diperoleh
informasi bahwa Paksi Buay Nyerupa memiliki pemuka-pemuka agung sebagai
berikut:
Ratu Buay Nyerupa (wafat tahun 1420),
Si Gajah Gelar Ratu Pikulun Siba di Mesir,
Tjerana Gelar Dalom Pikulun Siba di Room,
Tjerana Gelar Dalom Pikulun Siba di Randak,
Si Gajah Gelar Ratu Pikulun Siba di Mataram,
Pangeran Ratu Pikulun Siba di Mataram,
Si Rasan Pikulun Ratu di Lampung Siba di Banten (1727),
Batin Junjungan Pikulun Ratu di Lampung,
Si Rasan Dalom Purbajagat Pikulun,
Si Gajah Dalom Ratoe Pikulun, dan
Tjerana Gelar Ratu Pikulun (1808).
Kemudian Si Gajah Batin Mengoenang Pikulun Bala Seriboe,
Si Pikok Gelar Dalom Pikulun (1849),
Si Gajah Batin Pikulun,
Merah Hakum Gelar Sultan Ali Akbar/Ratu Bantar Muli Batin (1860),
Merah Hasan Gelar Sultan Ratu Pikulun,
Merah Hadis Gelar Dalom Baginda Raja,
Saifullah Hakim Gelar Sultan Pikulun Jayaningrat, dan
Dwi Tjakrawati Gelar Ratu Pikulun Permata Alam.
Sultan Kepaksian Nyerupa sekarang adalah Salman Parsi Gelar Sultan Pikulun Jayadiningrat
Silsilah Pemuka Paksi Buay Nyerupa Skala Brak
Terakhir, dari Paksi Buay Pernong Skala Brak diperoleh keterangan,
Pangeran Ringgau Gelar Pangeran Batin Pasirah Purba Jaya sebagai Sultan
Kepaksian Pernong. Selanjutnya adalah Pangeran Suhaimi Gelar Sultan Lela
Muda Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi yang bertahta hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Penggantinya adalah Pangeran Maulana Balyan gelar Sultan Sempurna Jaya
yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia .
Sejak 19 Mei 1989, dinobatkanlah anak lelaki Pangeran Maulana Balyan
yang bernama Pangeran Edward Syah Pernong sebagai Sultan Kepaksian
Pernong Skala Brak yang ke-23 dengan gelar Sultan Pangeran Raja Selalau
Pemuka Agung Dengian Paksi
Sultan Edward Syah Pernong juga terpilih sebagai Ketua Forum Masyarakat
Skala Brak (FMSB) yang diharapkan berperan sebagai alat komunikasi bagi
seluruh warga Skala Brak
3. Sistem Pemerintahan
Sultan Kepaksian Skala Brak berasal dari kalangan bangsawan sebagai
pemegang tahta kerajaan dan adat beserta rakyatnya. Kedudukan Sultan
sebagai kepala kerajaan diwariskan turun-temurun. Dalam menjalankan
pemerintahan, Sultan dibantu oleh Pemapah Dalom (semacam perdana
menteri) yang diberi gelar Raja. Pemapah Dalom biasanya diangkat dari
salah seorang paman atau adik Sultan.
Dalam perkembangannya, terdapat jabatan Pasirah dalam pemerintahan
Kepaksian Skala Brak. Pasirah bertugas mengatur jalannya pemerintahan
tradisional, acara ritual-ritual, pesta-pesta, dan upacara-upacara adat
lainnya.
Konsep yang menempatkan Pasirah sebagai kepala pemerintahan mulai
berlaku sejak 25 Desember 1862 melalui surat keputusan pemerintah
kolonial Belanda. Pasirah bertindak sebagai pemimpin suatu marga dan
merupakan wakil dari pemerintah kolonial. Di samping sebagai kepala
pemerintahan, Pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam
memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat
maupun masalah perkawinan, perceraian, dan aturan jual beli.
Kepaksian Skala Brak juga memiliki Permufakatan Sidang Adat sebagai
forum resmi untuk menangani perkara-perkara tertentu, misalnya dalam
pertimbangan menaikkan atau menurunkan pangkat adat. Tingkatan tertinggi
yang berlaku di masyarakat adat Kepaksian Skala Brak adalah Suntan.
Urutan gelar adat dalam Kepaksian Skala Brak dari yang tertinggi hingga
yang terendah adalah Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kemas, dan Mas.
4. Wilayah Kekuasaan
Jika merunut pada peta geografis dan administratif Provinsi Lampung pada
masa sekarang, perkiraan luas wilayah kekuasaan Kerajaan Skala Brak
mencakup hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat. Bahkan,
sebagian daerah kekuasaan Skala Brak ditaksir hingga Kecamatan Banding
Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan. Pusat kerajaan
terdapat di lereng Gunung Pesagi yang terletak di Liwa. Liwa sendiri
berlokasi di antara Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan
Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit, yang termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Lampung Barat. Ketika Kepaksian Skala Brak didirikan oleh
empat pangeran dari Pagaruyung, wilayah Skala Brak dibagi menjadi empat
wilayah kekuasaan, yaitu antara lain:
1. Umpu Bejalan Di Way, memiliki daerah kekuasaan meliputi Kembahang dan
Balik Bukit. Pusat pemerintahannya adalah Puncak Dalom. Kepaksian ini
dikenal dengan nama Paksi Buay Bejalan Di Way.
2. Umpu Belunguh, berhak atas wilayah Belalau dengan ibu kotanya di Kenali. Kepaksian ini disebut sebagai Paksi Buay Belunguh.
3. Umpu Nyerupa, memperoleh bagian daerah Sukau dengan pusat
pemerintahan di Tampak Siring. Kepaksian ini disebut dengan nama Paksi
Buay Nyerupa.
4. Umpu Pernong, memerintah daerah Batu Brak dengan ibu negeri di Hanibung. Kepaksian ini bernama Paksi Buay Pernong.
Putri Bulan, yang membantu para pangeran Kesultanan Pagaruyung
menaklukkan Suku Tumi, mendapat bagian wilayah di daerah Cenggiring.
Namun, karena Putri Bulan memutuskan untuk tidak menetap di Skala Brak,
maka willayah Cenggiring digabungkan dengan wilayah kekuasaan Paksi Buay
Pernong karena letaknya berdekatan.
Sementara itu, dari situs Wikipedia diperoleh data bahwa wilayah inti
kekuasaan Kepaksian Skala Brak mencakup daerah-daerah di sepanjang
sungai yang terdapat di Lampung Barat.
Wilayah kekuasaan Kepaksian Skala Brak secara keseluruhan meliputi: Way
Selalau, Way Belunguh, Way Kenali, Way Kamal, Way Kandang Besi, Way
Semuong, Way Sukau, Way Ranau, Way Liwa, Way Krui, Way Semaka, Way
Tutung, Way Jelai, Way Benawang, Way Ngarip, Way Wonosobo, Way Ilahan,
Way Kawor Gading, Way Haru, Way Tanjung Kejang, dan Way Tanjung Setia.
Wilayah yang dikuasai keempat pemimpin Kepaksian Skala Brak dan Putri
Bulan pada akhirnya melahirkan lima buay atau marga teritorial, yang
kemudian berkembang menjadi sembilan kebuayan. Sejak tahun 1928, pada
masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah ini meluas lagi
menjadi 84 marga dan tumbuh menjadi ratusan jurai atau tiyuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar