Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.
Pernyataan ini mengacu pada nama Kerajaan Luwu yang disebut dalam naskah
Bugis I La Galigo. Sesuai dengan naskah I La Galigo, Kerajaan Luwu
kemungkinan telah berdiri pada abad ke-VII atau sebelumnya.
Berbicara tentang kapan berdirinya kerajaan Luwu belum ada sumber yang
akurat yang bisa menjelaskan secara pasti tahun di dirikannya kerajaan
Luwu tersebut. kerajaan Luwu baru terunkap secara resmi setelah ditulis
oleh Prapanca pada zaman Majapahit tahun 1364 M dalam bukunya
Negarakertagama bersamaan dengan kerajaan yang ada disulawesi sebagai
fase periode kerajaan di Nusantara.tetapi jika bersumber dari data ini
maka kerajaan Luwu itu berawal Dari Simpurusiang padahal dalam sumber I
Lagaligo terangkan bahwa pemerintahan Luwu pernah dibawah raja yang
Bernama Batara Guru dan Batara Lattu.
Kerajaan Luwu juga diperkirakan se-zaman dengan kerajaan Sriwijaya dan
kerajaan lain di pulau jawa. Dari perkiraan itu sehingga ada yang
menduga bahwa kerajaan Luwu sudah ada pada Abad ke-10 dan jika
menghitung mundur dari masa pemerintahan Simpurusiang ( raja Luwu III )
yang berkuasa pada Tahun 1268 dengan adanya jarak kekosongan
pemerintahan selama 300 tahun maka besar kemungkinan masa pemerintahan
Batara Lattu berakhir pada tahun 948 M dimana dalam buku Sarita
Pawiloy-Ringkasan Sejarah Luwu dikatakan bahwa Batara Lattu memerintah
selama 20 tahun. Dari sumber ini dapat disimpulkan bahwa Batara Guru
memerintah pada Tahun Sembilan Ratusan lebih jika menghitung mundur lagi
dimasa pemerintahan Batara Lattu.
Dalam Epos I Lagaligo yang merupakan sumber tertua sejarah Luwu yang
berhasil dikumpulkan oleh sarjana Belanda B.F. Matthes tahun 1880.
Disebutkan bahwa yang pertama mendirikan kerajaan ware’ sekitar Ussu
bernama Batara Guru. Batara Guru adalah anak lelaki tertua dari To
Patotoe dengan Datu Palinge.
Batara Guru dikisahkan sebagai manusia jelmaan dari dewa yang diturunkan
oleh Patotoe ke bumi dimana pada saat itu terjadi kekosongan. Dalam
penafsiran kata “kosong” oleh para sejarawan bermakna kekosongan
pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia dari kekacauan ( Sianre
Bale ) di tana Ware.
Adapun latar belakang diturunkannya Batara Guru ke Bumi dapat kita ketahui dalam kitab I Lagaligo sebagai berikut :
“Empat Manusia Dewa Sebagai Abdi Dikerajaan Langit, Sepulang dari
taruhan permainan badai, petir, dan guntur melapor kepda baginda raja
penguasa kerajaan langit yakni dewa sang penentu Patoto’E- Ampun Baginda
kami baru saja pulang dari dunia tengah ( Ale Lino ) kami melihat bumi
dalam keadaan kosong”.
Mendengar laporan para abdinya itu membuat raja PatotoE berpikir
perlunya diutus salah seorang penghuni langit untuk diturungkan kebumi
agar bisa memakmurkan bumi, selain itu agar bisa berketurunan dan kelak
ada yang mengirimkan doa kepada dewata dikala senang mapun sulit.
Karena PatotoE merasa ini adalah hal yang penting untuk kelangsungan
hidup di Bumi dan Langit maka Raja PatotoE mengundang seluruh kerajaan
Dewa yang ada dikerajaan Langit ( Boting Langi ) Maupun kerajaan dasar
Laut ( Paratiwi / Uri Liu ) untuk memutuskan siapa yang akan di utus
turun ke bumi. Dari kesepakatan antara pasangan raja PatotoE dengan
Istrinya Datu Palinge maka di putuskanlah bahwa Putranyalah yang bernama
La Toge Langi yang kemudian dikenal dengan nama Batara Guru.
Dalam cerita selanjutnya Batara Guru pun diturunkankan ke bumi ( Ale
Lino ). Konon dalam cerita bahwa Batara Guru dimunculkan dari balik
rumpun bambu kemudian disusul turunnya hak warisan berupa bekal
kehidupan termasuk istana disekitar kampung “Ussu” yang kala itu masih
hutan rimba dimana dari tempat ini menjadi awal mula pemerintahan “Ware”
setelah Batara Guru bertemu dengan Istrinya yang bernama We NyiliQ Timo
yang masih merupakan sepupunya yang berasal dari kerajaan Laut ( Para
Tiwi ). We Nyiliq Timo muncul di “Busa Empong” di perkirakan muncul di
teluk “Ussu” waktu dipertemukan dengan Batara Guru. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa disamping menikahi We Nyiliq Timo Batara Guru juga
menikah We Saungriu. Dari perkawinannya itu lahir Sangian Sari . tetapi
putri ini Mati muda dan dikisahkan bahwa dari perabuan Sangian sari
tumbuh padi pertama di Luwu.
Dalam sejarah digambarkan bahwa sebelum Batara Guru diturunkan dibumi,
situasi masyarakat Bugis Kuno hidup dalam ketidak teraturan, mereka
saling menyerang tanpa aturan yang jelas, situasi tidak aman, yang kuat
memangsa yang lemah ( Sianre Bale ). Akibat dari ketidak teraturan itu
maka masyarakat sangat merindukan yang namanya kedamaian. Disaat
Masyarakat mengalami keterasingan jiwa, Batara Guru hadir membawa ajaran
kebenaran yang menyankut hal hal prinsif seperti “ Adele,
Lempu,Tongeng, dan Getteng “ ajaran tersebut sangat didukung oleh
situasi sehingga membuat ajaran dan segala kebijakan pada pemerintahan
Batara Guru sangat efektif di masyarakat.
Sosok seorang Batara Guru digambarkan oleh masyarakat itu amat dihormati
karena disamping sebagai titisan Manusia Dewa, ia amat bijak dalam
memerintah dan mempunyai tenaga yang kuat dan pemberani dalam melindungi
penduduk dan hal ini diturunkan atau diwariskan secara tutun temurun
kepada peminpin masyarakat Bugis yang dituangkan dalam simbol “ Pedang
Emas, Payung Kerajaan dan Perisai ”.
Dari pernikahannya dengan We Nyiliq Timo, Batara Guru dikarunia seorang
anak yang bernama Batara Lattu. Ia merupakan calon pemegang tahta
kerajaan Luwu setelah Batara Guru. Ia dilahirkan diistana Ware dilokasi
segita ( Bukit Finsemouni- Ussu- Cerekan ). Dalam sumber sejarah
dikatakan bahwa ketika Batara Lattu cukup dewasa, dan pemerintahan tegak
kembali, Batara Guru memutuskan untuk kembali ke kerajaan Langit.
Kekuasaan Ware pun diserahkan kepada Batara Lattu dan tetap dianggap
sebagai Dewa.
Sejarah awal Kerajaan Luwu
Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.
Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kerajaan
ini, namun Kerajaan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan
pada abad ke-XV Jika ditarik ke belakang, nama Kerajaan Luwu telah
dikenal dalam naskah Bugis I La Galigo. Di sini dikenal nama tokoh
Sawerigading yang berasal dari kerajaan di Sulawesi Selatan (besar
kemungkinan adalah Kerajaan Luwu). Menurut beberapa ahli, kerajaan di
Sulawesi Selatan ini telah berdiri pada abad ke-VII sampai XV. Dari
pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kerajaan
Luwu telah berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa
jadi sebelum abad ke-VII.
Nama Luwu disebut dalam karya suku Bugis, I La Galigo. Bersama dengan
Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari
tiga kerajaan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo. Pada bagian
awal kisah dalam I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan
tentang sejarah awal mula masyarakat Bugis. I La Galigo membagi bumi
menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan
masyarakat Bugis dimulai di daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau
Luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia
tengah yang menikah dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama
We Nyelliqtomaq. Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi
lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah
yang terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya
sastra. Rafles menyebut I La Galigo sebagai sebagai teks sejarah,
khususnya pada bagian tokoh Sawerigading.
Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo. Luwu
merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone. Sehubungan
dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian orang beranggapan
bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan orang-orang Bugis.
Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis, Kerajaan Luwu
menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi
kerajaan tertua di tanah Bugis.
Kerajaan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa
nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu’. Bersama dengan Kerajaan
Gowa dan Bone, Kerajaan Luwu disebut sebagai Kerajaan Tellu Bocco-e
(dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh
atau utama). Kerajaan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan
beribukota diPalopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat
yang berjarak sekitar 380 km dari Gowa ini bermukim datu atau raja
Kerajaan Luwu.
Pada abad ke-XIV sampai XV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya.
Pernyataan ini dikuatkan oleh Gouverneur van Celebes (Gubernur
Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889 yang menyatakan bahwa antara abad
ke-X sampai ke-XIV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Sektor
pendukung kejayaan Kerajaan Luwu terutama berasal dari perdagangan bijih
besi dan dan barang-barang yang berbahan dasar besi. Komoditas ini
kemudian diperdagangkan dengan negara-negara agraria Bugis di selatan
Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran Kerajaan Luwu menjadikannya sebagai
kerajaan terkuat di sebelah tenggara dan barat daya Sulawesi.
Kekuatan Kerajaan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan.
Pada abad ke-XV, Kerajaan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan
penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan
pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di
Kerajaan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 – 1530 Masehi, kekuasaan
Kerajaan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kerajaan
Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya
diserahkan kepada Kerajaan Wajo. Ketika itu Kerajaan Wajo diperintah
oleh Arung Matoa Puang ri Ma’galatung, sedangkan Kerajaan Luwu
diperintah oleh Dewaraja.
Kekuasaan Kerajaan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu,
Kerajaan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah.
Akibat dari semakin kuatnya Kerajaan Bone, pada pertengahan abad
ke-XVII, kemegahan Kerajaan Luwu mulai tertandingi seiring dengan
meningkatnya kebesaran Kerajaan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka.
Perlawanan terhadap Belanda
Pada awal abad ke-20, Kerajaan Bone telah takluk di tangan Pemerintah
Hindia Belanda. Penaklukan atas Kerajaan Bone ternyata berimbas dengan
penaklukan terhadap Kerajaan Luwu dan kerajaan-kerajaan lainnya di
Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak
di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia
Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (korte
verklaring) yang ditujukan kepada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan,
termasuk di dalamnya Kerajaan Luwu. Secara tegas, Kerajaan Luwu menolak
menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan ini,
perang antara Kerajaan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.
Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kerajaan Luwu
pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (korte
verklaring) kepada raja Kerajaan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu
kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur
Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia
Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak
memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo
terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi
Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan
tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat
perjanjian pendek dengan Kerajaan Luwu Sikap Andi Kambo diartikan
sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda.
Kerajaan Luwu diserang oleh Belanda.
Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu
menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan hadat luwu
untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar
menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi
Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun
kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo
sebelumnya, Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kerajaan
Luwu. Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9
September 1905 di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama
antara pihak Belanda dan Kerajaan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda
meletus pada tanggal 12 September 1905.
Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur
di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam
mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat
gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, “yang telah meninggal
dunia di Ponjalae”) Pasca kematian Andi Tadda, Kerajaan Luwu tak lagi
memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah lagi, Belanda mengancam apabila
Andi Kambo tidak menyerah dan menandatangi perjanjian pendek, maka
Belanda akan membakar Palopo. Andi Kambo akhirnya menyerah dan
menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda. Penyerahan ini terjadi
pada tanggal 19 September 1905. Sejak saat itu, Kerajaan Luwu telah
takluk dan berada di bawah penguasaan Belanda.
Penaklukan Kerajaan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan
sistem pemerintahan yang berada di Kerajaan Luwu. Belanda mengatur
sistem pemerintahan dengan membagi Kerajaan Luwu menjadi dua bagian,
yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda
dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan
Luwu). Selain itu, wilayah Kerajaan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder
afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekonggae Sistem
pemerintahan di Kerajaan Luwu ini tetap berlaku ketika Jepang menjajah
Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.
Pada era kemerdekaan, Kerajaan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma
(putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu
Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur
Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan
Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu
(periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (datu) Kerajaan Luwu
terakhir. Sejarah Kerajaan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat pada
tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar.
Nama-nama Pajung/Datu Luwu
Berikut ini adalah nama-nama Pajung atau Datu yang pernah memerintah
Kerajaan Luwu yang diawali oleh kepemimpinan Batara Guru dan diakhiri
oleh Andi Djemma sebagai raja terakhir.
- Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung / Datu Luwu ke-1.
- Batara Lattu’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 2 memerintah selama 20 tahun.
- Simpurusiang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 3 memerintah pada tahun 1268-1293 M.
- Anakaji, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 4 memerintah pada tahun 1293-1330 M.
- Tampa Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 5 memerintah pada tahun 1330-1365 M.
- Tanra Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 6 memerintah pada tahun 1365-1402 M.
- Toampanangi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 7 memerintah pada tahun 1402-1426 M.
- Batara Guru II, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 8 memerintah pada tahun 1426-1458 M.
- La Mariawa, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 9 memerintah pada tahun 1458-1465 M.
- Risaolebbi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 10 memerintah pada tahun 1465-1507 M.
- Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 11 memerintah pada tahun 1507-1541 M.
- Tosangkawana, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 12 memerintah pada tahun 1541-1556 M.
- Maoge, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 13 memerintah pada tahun 1556-1571 M.
- We Tenri Rawe’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 14 memerintah pada tahun 1571-1587 M.
- Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta
Matinroe’ Pattimang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 15 memerintah pada
tahun 1587-1615 M.
- Patipasaung, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 16 memerintah pada tahun 1615-1637 M.
- La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar
Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 17
memerintah pada tahun 1637-1663 M.
- Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung
/ Datu Luwu ke- 18 dan ke- 20 memerintah pada tahun 1663-1704 M.
- Lamaddussila Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung / Datu Luwu
ke- 19, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
- La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan
Pajung / Datu Luwu ke- 21 memerintah pada tahun 1704-1706 M.
- Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro
merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 22 memerintah pada tahun 1706-1715 M.
- Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan
Pajung / Datu Luwu ke- 23 memerintah pada tahun 1715-1748 M.
- We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung
/ Datu Luwu ke- 24 dan ke- 26 memerintah pada tahun 1748-1778 M.
- Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Petta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’
merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 25 memerintah pada tahun 1760-1765 M.
- La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri
Sabbangparu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 27 memerintah pada tahun
1778-1810 M.
- We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana
Luwu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 28 memerintah pada tahun
1810-1825 M.
- La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 29 memerintah pada tahun 1825-1854 M.
- Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri
Limpomajang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 30 memerintah pada tahun
1854-1880 M.
- We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 31 memerintah pada tahun 1880-1883 M.
- Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko
merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 32 memerintah pada tahun 1883-1901 M.
- Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan
Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung / Datu
Luwu ke- 33 memerintah pada tahun 1901-1935 M.
- Andi Jemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung /
Datu Luwu ke- 34 dan ke- 36 memerintah pada tahun 1935-1965 M.
- Andi Jelling, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 35 memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar