Kerajaan Kandis adalah kerajaan tertua yang berdiri di Sumatera, yang
terletak di Koto Alang, masuk wilayah Lubuk Jambi,Kabupaten Kuantan
Singingi, Riau. Diperkirakan berdiri pada tahun 1 SM.
Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja
Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama
Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari
daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar
Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di
Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan
yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit
Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang
dikelilingi oleh sungai yang jernih.
Maharaja Diraja, pendiri kerajaan ini, sesampainya di Bukit Bakau
membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna.
Istana Dhamna Sebagai Pusat Kerajaan Kandis
Ratusan tahun sebelum Masehi Bukit Bakar mulai didatangi oleh Pendatang
yang kurang jelas asal usulnya. Populasi penduduk makin lama makin
berkembang, yang akhirnya memerlukan suatu aturan dalam kehidupan
bermasyarakat. Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang
diperintah oleh Raja Darmaswara yang disingkat dengan Daswara. Raja
Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan
Temenggung serta Mentri Perdagangan. Darmaswara membangun sebuah istana
yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana
Dhamna.
Dhamna merupakan nama istana Kerajaan Kandis. Secara turun-temurun
cerita/tombonya masih tetap ada disampaikan dari generasi ke generasi.
Masyarakat Lubuk Jambi meyakini istana ini masih ada, namun tertimbun
dan sudah tertutupi oleh hutan yang lebat, atau lenyap dari pandangan
manusia. Dalam ceritanya lokasi Istana Dhamna ini pada pertemuan dua
sungai.
Namun sampai saat ini belum pernah melakukan penelusuran ke lokasi yang
dimaksud. Diyakini Istananya masih utuh karena peradaban Kandis sudah
sangat maju, peralatannya terbuat dari emas, perak dan perunggu.
Cerita Istana Dhamna mirip dengan cerita Benua Atlantis yang pertama
kali ditulis dalam sebuah dialogue karya Plato yang berjudul Timateus
and Critias sekitar tahun 370 SM, disana dikatakan ada negeri subur,
makmur, dan berteknologi maju. Negeri itu hancur karena bencana alam,
Plato sendiri mendapat kisah ini dari penduduk Mesir, dan orang di Mesir
menyebutnya Keftiu.
Atlantis itu artinya : Tanahnya Atlas – Negeri 2 pilar/tiang yang bisa
diartikan sebagai negeri dengan pegunungan-pegunungan. Atlantis dikenal
sangat subur, makmur, berteknologi tinggi, dengan kota berbentuk
lingkaran/cincin yang tersusun daratan dan perairan secara berurutan,
negeri ini disusun berdasarkan perhitungan matematika yang tepat dan
efisien sehingga tertata dengan rapi dengan sebuah istana megah tepat di
pusat kota sebagai pusat pemerintahan. Penduduk Atlantis terbagi dua,
yang satu adalah turunan bangsa Lemuria yang berkulit putih, tinggi,
bermata biru dan berambut pirangan, yang merupakan nenek moyang suku
bangsa arya, sedang satunya lagi berkulit coklat/hitam, relatif pendek,
bermata coklat, dan berambut hitam.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa
Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah
melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The
Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s
Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti
luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani,
yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem
terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang
diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno
Aztec di Meksiko.
Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu
wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak
terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos
menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan
dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang
akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa
itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es
(era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi
secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia
(dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal
dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan
dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung
berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang
merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling
dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah
bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran
Sunda.
Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau
menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Portugis), Atalaya (Spanyol).
Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat
dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu dan
teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu
di Samudera Atlantik sekarang. Santos berbeda dengan Plato mengenai
lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat
terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es
mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan
lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan
dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar
samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa.
Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara
beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos
menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat berdasarkan kepada sejarah dunia,
tampak Plato telah melakukan kekhilafan, mengenai letak benua Atlantis
yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditantang oleh Santos.
Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak
berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.
Lenyapnya Negeri Atlas disebabkan karena peristiwa besar terjadi, yaitu
terjadinya letusan besar dari dua gunung berapi (pilar) yang mengapit,
yaitu Krakatoa dan Toba. Saking dahsyatnya seluruh bumi berguncang hebat
sehingga menimbulkan tsunami yang maha dahsyat, lebih hebat dari pada
tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004. Gunung krakatoa dan toba
adalah gunung prasejarah yang berukuran sangat besar, gunung krakatoa
sekarang dan danau toba adalah kaldera raksasa yang tercipta akibat
letusan tersebut. Letusan gunung toba sampai saat ini belum tau pasti
kapan terjadinya, namun letusan Karaktoa yang paling dahsyat diketahui
terjadi pada tahun 1883 M (puncak letusan Krakatoa).
Istana Dhamna menurut tombo/cerita bukan tenggelam ke dasar lautan, akan
tetapi diduga kuat tertimbun akibat abu vulkanik dari dua gunung yang
bersamaan meletus. Lokasi Istana Dhamna tersebut adalah di Lubuk Jambi,
Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau. Apakah
Istana Dhamna yang dimaksud oleh Plato sebagai Benua Atlantik? Suatu
pertanyaan yang belum terjawab.
Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja
Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk
Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki
senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai
saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo
Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang
bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah
Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah
Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan
Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang
kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.
Ekonomi Kerajaan
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti
damar,rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi
seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga
Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit
Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang
dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang
ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu
oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau
kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan
kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis
dan Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan
Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang
dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang
menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita
Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung
Melayu.
Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak
kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin
berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa
mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat
lain di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan
Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.
Tidak diketahui secara pasti, kapan berdirinya Kerajaan Kandis. Yang
pasti, kerajaan ini memang ada dan merupakan kerajaan tua yang
keberadaannya mendahului Kuantan. Dalam kitab Negara Kertagama, terdapat
nama-nama daerah di Sumatra yang termasuk dalam Kerajaan Majapahit.
Kandis merupakan salah satu daerah yang disebut. Daerah-daerah lainnya
yang disebut dan sekarang masuk wilayah Riau adalah Keritang (Indragiri
Hilir), Siak, Kampar dan Rokan. Dari segi lokasi, ternyata
kerajaan-kerajaan ini berada di sepanjang aliran sungai-sungai besar
yang mengalir di Riau. Selain dari catatan sejarah dalam Negara
Kertagama, bukti keberadaan Kerajaan Kandis ini dapat diketahui dari
cerita-cerita rakyat.
Ibukota kerajaan Kandis diperkirakan berada di desa yang sekarang
dinamakan Padang Candi, suatu tempat di pinggir Batang Kuantan (nama
Sungai Indragiri di bagian hulu), di seberang Lubuk Jambi. Desa tersebut
dinamakan Padang Candi, karena berkaitan dengan keberadaan Kerajaan
Kandis pada masa dulu. Di desa tersebut, masih bisa ditemukan reruntuhan
bangunan dan batu bata kuno. Diduga, batu bata tersebut merupakan
reruntuhan candi pemujaan. Oleh karena itu, desa tersebut kemudian
dinamakan Padang Candi.
Kandis merupakan sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, karena daerahnya
memang subur dan menghasilkan rempah-rempah, seperti lada. Tidak banyak
yang dapat diketahui mengenai Kerajaan Kandis ini, apalagi setelah
dikalahkan Jambi. Berkaitan dengan nama desa Lubuk Jambi, konon nama ini
punya kaitan dengan peristiwa serangan Jambi ke Kandis. Ketika itu,
pasukan Jambi melabuhkan perahu-perahunya di suatu lubuk (bagian sungai
yang dalam), dan menjadikan lubuk tersebut pangkalan untuk menyerang
Kandis. Selanjutnya, lubuk tersebut dinamakan masyarakat sebagai Lubuk
Jambi. Tidak diketahui secara pasti, kapan serangan itu terjadi.
Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul.
Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau
sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk
Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut,
sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah
Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku
di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir
sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi
perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar
kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah
itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh
Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga
Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung
pindah ke Merapi (Sumatra Barat sekarang).
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang
mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya
Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan
Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) dimana
keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih
menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi
Dt. Ketemenggungan. Kedua Tokoh inilah yang menjadi Tokoh Legendaris
Minangkabau.
Setelah kerajaan Kandis mengalahkan Kerajaan Koto Alang, Kandis
memindahkan pusat pemerintahannya ke Taluk Kuantan oleh Raja Darmaswara
(tidak diketahui Raja Darmaswara yang ke berapa). Pemindahan pusat
pemerintahan Kandis ini disebabkan oleh bencana alam (tidak diketahui
tahun terjadinya) yang mengakibatkan Istana Dhamna hilang tertimbun
tanah atau mungkin oleh perbuatan makhluk halus yang menghilangkan
istana dari pandangan manusia.
Istana Dhamna yang hilang ini pernah diperlihatkan pada tahun 1984
kepada 7 (tujuh) orang Lubuk Jambi yang waktu itu mencari goa sarang
layang-layang (walet) yang dipimpin oleh seorang guru Tharekat yang
bergelar Pokiah Lunak. Mereka melihat istana itu lengkap dengan pagar
batu disekelilingnya. Pada tahun 1986 untuk kedua kalinya pagar istana
diperlihatkan kepada tiga orang yang sedang mencari rotan/manau. Berita
penemuan Istana ini menyebar dan besok harinya banyak penduduk pergi
ingin melihatnya, namun tidak ditemukan lagi. Begitulah sebagai bukti
istana yang hilang yang bernama Istana Dhamna sebagai peninggalan
sejarah Kerajaan Kandis, satu kerajaan yang tertua di Indonesia.
Pada tahun 1375 M Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketemenggungan dan
beberapa orang lainnya hilir berakit kulim sebagai napak tilas pertama
menelusuri negeri asal mereka melalui sungai keruh sesuai dengan
peninggalan sejarah dari leluhurnya Dt. Perpatih Nan Sabatang yang
pertama pindah ke Sumatra Barat. Dalam pelaksanaan hilir berakit
tersebut banyak kesulitan karena sungai masih sempit banyak kayu dan
akar yang menjuntai ke sungai, sehingga rakit sering tersangkut. Untuk
mengelakkan halangan ini Dt. Perpatih Nan Sabatang selalu memerintahkan
kuak-kan-tan, yang akhirnya Dt. Perpatih Nan Sabatang merubah nama
Sungai Keruh menjadi Batang Kuantan yang berasal dari kata kuak-kan-tan.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Kandis Dt. Perpatih Nan Sabatang
menukar nama Kerajaan Kandis dengan Kerajaan Kuantan yang pada waktu itu
kerajaan Kandis diperintah oleh tiga Orang Godang, yaitu Dt. Bandaro
Lelo Budi dari Kari, Dt. Pobo dari Kopah dan Dt. Simambang dari Sentajo
yang selanjutnya dikenal dengan Tri Buana. Pemerintahan dipegang oleh
Orang Godang disebabkan karena terputusnya Putra Mahkota dari Raja
Darmaswara.
Dt. Perpatih Nan Sabatang mengadakan pertemuan dengan ketiga Orang
Godang tersebut serta menghadirkan pemuka masyarakat lainnya di Balai
Tanah Bukik Limpato Inuman untuk memusyawarahkan persyaratan berdirinya
satu Nagori di daerah Kuantan.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis mati terbunuh
diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan ekspedisinya
dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja Sintong,
dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong
beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah
perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan
serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna
dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka
memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).
Memang, serangan Jambi tersebut telah meruntuhkan Kandis. Namun, Kandis
tidak lenyap begitu saja, karena kemudian muncul Kerajaan Kuantan
menggantikannya. Cerita mengenai ini tergambar dalam pantun yang masih
dikenal di kalangan masyarakat Kuantan sampai sekarang, yaitu pantun
Kandis-Kuantan. Dalam pantun tersebut tergambar bahwa, setelah Kerajaan
Kandis runtuh, Kerajaan Kuantan berdiri menggantikannya.
Kisah berdirinya Kerajaan Kuantan bisa dirunut dari kisah perjalanan Sang Sapurba.
Pada tahun 1425 M Kerajaan Kuantan menerima tamu kehormatan yang berasal
dari Kerajaan Chola dari India Selatan, yaitu Natan Sang Sita Sangkala
dengan julukan Sang Sapurba. Sang Sapurba kawin di Semenanjung Malaka
dengan Putri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Putri Lebar Daun dan
mendapatkan anak empat orang yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka, Putri
Candra Dewi dan Putri Bilal Daun. Sesampainya di Kerajaan Kuantan Sang
Sapurba diminta oleh Dt. Bandaro Lelo Budi, Dt. Pobo dan Dt. Simambang
menjadi raja di Kerajaan Kuantan. Sang Sapurba menerima tawaran
tersebut.
Kerajaan Kuantan yang berpusat di Sintuo dibawah pemerintahan Sang
Sapurba tidak banyak mencapai kemajuan. Peninggalan Raja Sang Sapurba
hanya membuat danau Raja untuk pemeliharaan buaya di Paruso, membuat
sumur dan kolam raja yang sampai sekarang masih ada bukti peninggalan
Sang Sapurba tersebut. Disamping itu Sang Sapurba membunuh naga (ular)
yang besar dengan keris Ganjar Iyas karena naga (ular) tersebut telah
meresahkan masyarakat. Tempat mati naga (ular) tersebut diberi nama
Punago artinya punah naga. Sedangkan Teluk Kuantan sekarang dijadikannya
pelabuhan dagang.
Pada tahun 1435 M Sang Sapurba yang datang dengan Ceti Bilang Pandai di
Kerajaan Kuantan mohon diri dan melanjutkan perjalanan ke hulu Batang
Kuantan (Sumatra Barat sekarang atau Minangkabau) dan menuju Pagaruyung
di Tanah Datar. Sepeninggal Sang Sapurba berdirilah kerajaan-kerajaan
kecil di Kuantan dan hilang fungsi Orang Godang nan batigo yang membantu
Sang Sapurba dalam kerajaan Kuantan.
Penyebaran keturunan kerajaan Kandis ke berbagai daerah di Sumatra
ditandai dengan persamaan bahasa dengan bahasa orang Kuantan seperti ke
Payakumbuh, Sibolga, Tapak Tuan, daerah Kampar, Jambi, Bengkulu dan
daerah-daerah di Sumatra Barat.
Dalam perjalanannya untuk membangkitkan kembali bangsa Melayu, armada
Sang Sapurba tiba di Bintan. Di sini, ia menikahkan putranya, Sang Nila
Utama dengan putri raja Kerajaan Bintan. Selanjutnya, Sang Sapurba
kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat daya untuk mencari tempat
baru yang luas, di mana terdapat bangsa Melayu.
Akhirnya, armada Sang Sapurba sampai di muara sebuah sungai besar, yaitu
Sungai Indragiri. Rombongan Sang Sapurba terus berlayar ke arah hulu
Sungai Indragiri, hingga, suatu ketika, rombongannya kehabisan air,
sementara air sungai masih terasa asin. Kemudian Sang Sapurba
memerintahkan pengikutnya agar membuat lingkaran rotan seukuran perisai
besar. Setelah rotan tersebut jadi, Sang Sapurba meletakkannya di atas
permukaan air sungai yang asin, kemudian mencelupkan kakinya ke dalam
lingkaran rotan tersebut. Tiba-tiba, air sungai yang semula asin berubah
menjadi tawar. Konon, peristiwa tersebut terjadi di daerah Sapat,
Indragiri Hilir. Rombongan Sang Sapurba mengambil perbekalan air
secukupnya, kemudian kembali melanjutkan pelayaran menghulu Sungai
Kuantan. Akhirnya, mereka sampai di pusat Kerajaan Kuantan di Sintuo.
Pelabuhan yang dimiliki kerajaan ini sangat indah, terletak di dalam
lingkaran lembah sebuah bukit. Di sana terlihat kapal-kapal para
pedagang Cina dan India yang membawa berbagai barang dagangan untuk
ditukar dengan emas.
Ketika Sang Sapurba datang, Kerajaan Kuantan tidak memiliki raja. Oleh
sebab itu, kedatangan Sang Sapurba disambut gembira oleh rakyat Kuantan,
baik para pembesar, pemuka masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian,
mereka sepakat mengangkat Sang Sapurba menjadi raja, dengan persyaratan,
Sang Sapurba bersedia membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak
ladang milik rakyat.
Sang Sapurba kemudian memerintahkan hulubalangnya, Permasku Mambang
untuk membunuh sang naga dengan berbekal sundang (pedang modern)
pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku Mambang berhasil membunuh
naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat menjadi raja di Kuantan
dengan gelar Trimurti Tri Buana. Dengan peristiwa ini, Kuantan kembali
memiliki raja dan meneruskan warisan Kandis.
Periode Pemerintahan
Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kerajaan Kandis-Kuantan ini
berdiri. Data yang ada sangat minim dan tidak mampu menjelaskan secara
lebih detil mengenai kisah kerajaan ini. Namun, ada informasi yang
menyebutkan bahwa, ketika Kuantan berdiri menggantikan Kandis, ibukota
kerajaan yang semula di Padang Candi dipindahkan ke Sintuo, seberang
Koto Taluk Kuantan sekarang ini.
Wilayah Kekuasaan
Daerah kekuasaan Kerajaan Kandis-Kuantan lebih kurang meliputi daerah
Kuantan sekarang ini, yaitu mulai dari hulu Batang Kuantan, negeri Lubuk
Ambacang sampai ke Cerenti.
Kehidupan Sosial Budaya
Berikut ini sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat
di Kuantan. Negeri ini disebut juga Rantau Nan Kurang Esa Dua puluh. Di
setiap desa, ada tanah yang disebut tanah koto. Tanah koto ini adalah
tanah perumahan yang menjadi milik bersama seluruh warga negeri. Setiap
koto dikelilingi oleh parit yang lebar dan dalam pada tiga bagian
sisinya, sedangkan satu sisi lain biasanya langsung berbatas dengan
Batang (sungai) Kuantan.
Di koto ini, terdapat rumah adat milik suku. Sementara tanah untuk
perladangan,padang penggembalaan (padang rumput) untuk ternak, dan
perkandangan terletak di luar koto. Setelah negeri berkembang dan
menjadi ramai, banyak orang membuat rumah di tanah perladangan
masing-masing. Dengan demikian, timbul banjar-banjar (dusun) baru.
Semakin banyak penduduk suatu negeri, semakin banyak pula banjarnya.
Dalam perkembangannya, penduduk asli yang awalnya berdiam jauh dari
sungai Kuantan dan hidup dari peladangan kasang, kemudian pindah ke
banjar-banjar yang baru didirikan tersebut, dan membiasakan diri dalam
perladangan padi pada tanah tetap.
Dalam setiap banjar, terdapat empat suku, karena itu, tanah koto
kemudian dibagi menjadi empat bagian. Pada tiap-tiap suku, terdapat
empat orang pemangku adat, yaitu seorang penghulu sebagai kepala suku,
seorang monti atau menti (menteri), seorang dubalang (hulubalang), dan
seorang pegawai agama. Jadi, pemerintahan dalam suatu negeri di Rantau
Nan Kurang Esa Dua Puluh terdiri dari enam belas orang, yang disebut
dengan Orang Nan Enam Belas. Namun dalam rapat-rapat negeri, hanya
penghulu saja yang berhak berbicara. Menti, Dubalang, dan pegawai agama
hanya bertindak sebagai penasihat penghulu, yang hanya akan berbicara
dalam rapat negeri atas permintaan penghulu masing-masing. Dalam
rapat-rapat suku, ketiga orang pemuka adat tersebut memiliki kekuasaan
dan hak yang sama dengan penghulu, karena masing-masing mengepalai atau
mewakili sebagian dari suku.
Di koto terdapat balai penghulu yang dinamakan balai adat. Tempat
tersebut merupakan tempat Penghulu Nan Berempat bersidang untuk
memutuskan perkara-perkara, dan membicarakan kepentingan negeri
keseluruhannya. Setelah agama Islam masuk, susunan pemerintahan seperti
ini tetap dipertahankan. Oleh karena itu, hanya di koto-lah terdapat
tempat orang melakukan salat Jumat dan salat hari raya. Memiliki balai
dan masjid merupakan syarat mutlak bagi sebuah perkampungan agar dapat
dipandang sebagai suatu negeri.
Di tiap-tiap banjar terdapat balai tua banjar, yaitu tempat keempat
orang tua banjar bersidang membicarakan dan memutuskan perkara dan
kepentingan banjar. Seorang tua banjar adalah wakil penghulu, tetapi
tidak termasuk sebagai orang adat. Artinya, jabatannya tidak diwariskan
menurut adat. Karena jumlah penghulu ada empat orang, maka tiap-tiap
banjar pun memiliki empat orang tua banjar. Saat akan mengangkat orang
tua banjar, penghulu harus berunding terlebih dulu dengan ketiga orang
pemangku adat tersebut di atas.
Tiap-tiap negeri merupakan daerah otonom yang memiliki wewenang
penuh,genting memutuskan, bebiang mencabiakkan. Artinya, memutuskan
setiap masalah yang timbul dalam negeri. Pada mulanya di setiap negeri
terdapat seorang gedang, seorang sekoto. Namun lama-kelamaan orang
gedang seorang sekoto terdesak oleh adanya semangat demokrasi, sehingga
fungsinya tidak lebih dari “orang tua” (penasihat penghulu) dan akhirnya
hilang sama sekali. Seperti dikatakan sebelumnya, dalam setiap negeri
hanya terdapat empat suku dan empat orang penghulu suku.
Dengan adanya orang gedang seorang sekoto tersebut, maka ada satu dari
empat suku tersebut yang memiliki dua orang penghulu, yakni seorang
penghulu suku dan seorang lagi orang gedang. Itulah sebabnya jabatan
orang gedang tersebut lama-kelamaan hilang dengan sendirinya.
Untuk mengurus kepentingan bersama dengan negeri-negeri tetangga, maka
diadakan federasi-federasi. Pada awalnya di Rantau Kuantan terdapat tiga
federasi, antara lain sebagai berikut.
Empat Koto di Atas, terdiri dari negeri Sumpurago, Lubuk Ambacang, Koto Tuo, dan Sungai Pinang.
Lima Koto di Tengah, terdiri dari negeri Kari, Taluk, Simandolak, Siberakun, dan Sibuaya.
Empat Koto di Hilir, yaitu Pangian, Baserah, Inuman, dan Cerenti.
Federasi Empat Koto di atas dikepalai oleh seorang Orang Gedang bergelar
Datuk Patih yang berkedudukan di Lubuk Ambacang. Federasi Lima Koto di
Tengah dikepalai oleh Datuk Bendaro Lelo Budi, yang bertempat di Kari.
Dan Federasi Empat Koto di Hilir dikepalai oleh Datuk Ketumanggungan
yang bertempat tinggal di Inuman. Ketiga federasi tersebut membentuk
federasi lagi, yaitu Konfederasi Rantau Kuantan atau Rantau Nan Kurang
Esa Dua Puluh. Dinamakan demikian, karena selain terdiri dari tiga belas
negeri yang tergabung dalam ketiga ferderasi tersebut, masih ada
negeri-negeri lainnya yang tergabung dalam konfederasi tersebut. Empat
negeri lainnya, yaitu Teluk Ingin, Toar, Gunung, dan Lubuk Tarontang
yang membentuk satu federasi juga yang disebut Empat Koto Gunung atau
Empat Koto di Mudik. Federasi ini berada di bawah pimpinan Datuk
Bendaro.
Bukti-bukti Sejarah daerah Kuantan di Bawah Permukaan Laut
Bukti daerah Kuantan dibawah permukaan laut dimasa Sumatra bernama Pulau Perca diantaranya adalah:
Adanya tempat bernama Rawang Ojung (kapal kayu), ditempat ini dahulunya
Ojung menjatuhkan sauh/jangkar (di Desa Pulau Binjai sekarang).
Adanya tempat bernama Rawang Ojung/Rawang Tekuluk (di Desa Sangau sekarang).
Ditemukannya fosil kerang laut di Sosokpan pada tahun 1982 oleh penduduk
waktu menggali tanah membuat kebun. Dinamakan tempat ini dengan
Sosokpan maksudnya ditempat ini dahulunya binatang menyosok/minum ke
tepi pantai.
Adanya nama tempat bernama Sintongah di Desa Sangau, dimana Raja Sintong
(Raja Sriwijaya) mengadakan ekspedisi ke Kerajaan Kancil Putih dan
ditempat ini mereka menjatuhkan jangkar, sehingga tempat ini dinamakan
Sintongah.
Pada tahun 2000 M ditemukan batu laut di daerah Cengar oleh seorang Mahasiswa Arkeologi dari Universitas Hasanudin Makasar.
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Kandis:
Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah, artinya
diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki
Bukit Bakar bagian timur yang lobang-lobang bekas penambangan telah
ditumbuhi kayu-kayuan.
Adanya daerah yang bernama Muaro Tombang (Muara Tambang) yang terletak di sebelah hilir tambang titah.
Istana Dhamna yang berlokasi di Bukit Bakar (belum terungkap).
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Koto Alang:
Adanya tempat yang disebut Padang Candi di Dusun Botung (Desa Sangau),
menandakan Kerajaan Koto Alang menganut agama Hindu. Pada tahun 1955 M
pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca
tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Dilokasi
tersebut ditemukan potongan-potongan batu bata candi.
Dilain tempat telah berulang kali diadakan penggalian liar dari situs
Kerajaan Koto Alang tanpa diketahui maksud dan tujuan oleh penduduk dan
tanpa sepengetahuan Pemangku Adat dan Pemerintah. Penggalian tersebut
dilakukan dimana diperkirakan letaknya istana Koto Alang di Dusun Botung
tersebut.
Pada tahun 1970-an banyak penemuan masyarakat yang mendulang emas
seperti cincin, gelang, penjahit emas, dan mata pancing dari emas.
Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai
Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan
sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup
periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh
disekitar Kerajaan Koto Alang.
Pada tahun 2007 dilakukan penggalian oleh Badan Purbakala Batu Sangkar
bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan
Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah. Pada penggalian sebelumnya mereka
menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas
yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Adanya sungai yang mengalir dipinggir Padang Candi yang disebut dengan
Sungai Salo yang berasal dari kata Raja Bukak Selo karena dikalahkan
oleh Kerajaan Kandis.
Adanya tempat bernama Lopak Gajah Mati sebelah selatan Pasar Lubuk
Jambi. Tempat itu merupakan tempat Gajah Tunggal mati dibunuh oleh Raja
Koto Alang yang dibunuh dengan lembing sogar jantan. Disebut Gajah
Tunggal karena gading gajah tersebut hanya satu sebelah kiri kepalanya.
Gading tersebut telah dijual pada tahun 1976 karena tidak tahu nilai
sejarahnya. Didalam kepala gajah ditemukan sebuah mustika yang sangat
indah sebesar bola pimpong. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah
Mati dinamakan dengan Batang Simujur, artinya mujur/beruntung membunuh
gajah tersebut.
Bukti Kerajaan Kancil Putih
Adanya ekspedisi Raja Sintong (Raja Sriwijaya) ke Kerajaan Kancil Putih, sehingga ada nama tempat Sintongah di Desa Sangau.
Demikianlah gambaran singkat tentang Pulau Atlas, Istana Dhamna,
Kerajaan Kandis dan beberapa kerajaan yang pernah ada di Lubuk Jambi,
Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau (peta
dan letak lokasinya dipegang oleh tim penelusuran peninggalan kerajaan
Kandis yang dibentuk oleh Pemangku Adat Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal).
Kalau Kerajaan Kandis ini Benua Atlantis yang dimaksud oleh Plato,
berarti peninggalan Kerajaan Kandis termasuk warisan budaya dunia. Oleh
karena itu partisipasi berbagai pihak (Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Pemangku Adat dan masyarakat setempat) sangat menentukan dalam
mengungkap kembali pusat peradaban dunia tersebut.
Ini hanyalah sebuah analisis pemikiran tanpa dasar ilmiah yang kuat,
jadi sampai saat ini catatan tentang kerajaan Kandis sangat Minim,
mungkin hanya terdapat dalam Kitab Negara Kertagama, mohon masukan dari
yang lebih ahli, tentang Kerajan Kandis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar