Pada masa awal didirikannnya, kerajaan Sumedang Larang bernama Kerajaan
Tembong Agung, kerajaan ini didirikaan oleh Prabu Guru Aji Putih (putra
Aria Bima Raksa, patih kerajaan Galuh Pakuan) kira-kira abad ke 8
masehi. Tembong berarti tampak dan Agung berarti besar, jadi kerajaan
Tembong Agung bisa diartikan sebagai sebuah kerajaan yang tampak besar
atau tampak agung. Kerajaan ini didirikan di Desa Leuwi Hideung,
Kecamatan Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Haji Aji Putih mempunyai empat anak yaitu Batara Kusumah
alias Batara Tuntang Buana alias Prabu Tadjimalela, Sakawayana alias Aji
Saka, Haris Darma, dan terakhir Jagat Buana alias Langlang Buana.
Diakhir masa kepemimpinan Prabu Guru Aji Putih, Kerajaan Tembong Agung
ini kemudian dipegang oleh putra sulungnya yaitu Prabu Tadjimalela. Pada
masa pemerintahan Prabu Tadjimalela Kerajaan Tembong Agung mengalami
dua kali perubahan nama, yang pertama, Prabu Tadjimalela (juga mempunyai
nama Prabu Agung Resi Cakrabuana) mengubah nama Kerajaan Tembong Agung
menjadi Kerajaan Himbar Buana, Himbar berarti menerangi dan Buana
berarti alam atau dunia, jadi Kerajaan Himbar Buana kurang lebih bisa
diartikan sebagai kerajaan yang menerangi alam.
Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh
datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan
Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan
Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung
Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad
kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu
Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun
(Galuh).
Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten),
kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang
Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias
Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal
Langlang Buana.
Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra
Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri.
Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional
Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita
pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah
tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan
sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat
dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan
Prabu Guru Aji Putih.
Menurut catatan Pemda Sumedang : “Berdasarkan catatan sejarah yang ada,
sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi
beberapa peristiwa penting diantaranya :
(1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih
(Aji Purwa Sumedang) ;
(2) Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan
sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi
kerajaan Sumedanglarang”.
Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa : ”Kerajaan
Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama
Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami
beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong
artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji
Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela,
diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu
Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku
dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun
Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya
menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun
Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti
sesuatu yang tidak ada tandingnya.”
Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah
luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas dan Larang =
jarang bandingannya).
Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam
Sejarah Jawa Barat Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi
Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita
Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut
Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah
Singapura.
Penulis tidak menemukan eksistensi dari Prabu Guru Aji Putih didalam
buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut
langsung menuliskan Praburesi Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang.
Sementara didalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan
penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang
Larang.
Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian
dikenal sebagai mana masyarakat mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena
kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai sentra kekuasaan dan budaya
Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang statusnya sama dengan Talaga,
kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun berada dibawah Galuh.
Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih sebagaimana yang dilansir oleh
Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang
siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap
yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).
Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa
Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut
Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi islam menjadi ageman penguasa
Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela. Hal ini
mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah
seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji
Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.
Memang ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para
penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang
Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala
Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah
Galuh.
Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada
Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua
tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka
pendiri dari Sumedang Larang.
Sebagai perbandingan masa, terlacak pula Praburesi Tajimalela
diperkirakan memerintah pada tahun 950M sedangkan Mangkubumi maupun Ki
Gedeng Sumedang eksistensi nya disebut-sebut pada tahun 1500 an.
Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksudkan Prabu Guru Haji Aji Putih (Aji
Purwa Sumedang) orangnya sama dengan Haji Purwa Galuh (Galuh),
mengingat versi ini menambahkan nama Galuh, yakni Prabu Galuh Hadji Adji
Putih.
Sekalipun demikian, para pemerhati sejarah pada umumnya sepakat, pada
masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih berada dibawah
protektorat Galuh dan belum ada pengaruh islam didalam pemerintahannya.
Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di Talaga
oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama
yang beragama islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk
Umum Sumedang.
Dari masing-masing versi sejarah yang dikisahkan diatas tentu pula tidak
terlalu salah jika ada dua penafsiran tentang pendiri dari Sumedang
Larang, yakni Prabu Galuh Aji Putih disatu pihak dan Prabu Tajimalela
dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas dalam menetapkan hari
jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang mendirikan
daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayat menyatakan Cirebon
sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran.
Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda
antara pemerintahan kota dan kabupaten.
Terhadap penetapan pendiri Sumedang Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi kesejatian dari sejarahnya.
Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari
pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Haji Aji Putih di
Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana.
Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah
Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”,
sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal
bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan.
Ketiga Agama Islam telah diyakini dan di jalani oleh para pendiri
Sumedang. Walaupun secara resmi menjadi agama di kerajaan pada abad ke
16M.
Dengan demikian, jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah
dirintis sejak jaman Prabu Guru Haji Aji Putih, sedangkan sebutan kata
Sumedang Larang berawal dari jaman Praburesi Tajimalela.
Prabu Agung Cakrabuana Tajimalela (950 M)
Prabu Agung Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap
sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama
Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang
Kecamatan Darmaraja). Beliau punya dua putra yaitu Prabu Lembu Agung,
Prabu Gajah Agung.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada
kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu
menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak
bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian
kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya
diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda
(duwegan/degan).
Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan
meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan
harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota
harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di
Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu
Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu
Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu
Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap
berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya
tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke
Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai
dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu
Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan
Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang.
Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra
tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh
putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai
suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi
(Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri
bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal
menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan kerajaan Sumedang Larang secara luas hingga ke
pelosok-pelosok pedesaan. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi
Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan
memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam
di wilayah tersebut.
Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan
Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab
Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di
berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri
dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan
Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang
Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
Kiyai Demang Watang di Walakung.
Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
Santowaan Cikeruh.
Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan
Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun
1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan
Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M.
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari
tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka
seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto
maupun de jure.
Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran
Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga
“diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi
sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan
Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah
raja Sunda.
Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di
Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan
tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat
bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran.
Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah
seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah
diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.
Didalam Pustaka Kertabhumi dikisahkan :
“Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta
sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng
Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran
yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja
Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan
mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di
Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) menetapkan Kutamaya sebagai ibukota
kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah
kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu
Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya,
agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608,
putera tirinya Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I,
yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan
kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan
Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama
Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada
saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum
meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan
Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat
Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga
Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja
Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti
benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih
tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang).
Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu
atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan
Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan
diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat
dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan
Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas.
Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai
Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut
Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh yaitu :
Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi;
pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan
Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten.
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada
Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun
menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak
dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat
prajurit setianya (Kandaga Lante).
Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke
Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan
disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan
Gunung Jati.Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya
yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon.
Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta
kepada Prabu Geusan Ulun.
Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu
Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan
bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu,
Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali
Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Panembahan Senopati dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu
untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari
Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Panembahan Senopati dengan Panembahan
Ratu.
Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah
sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi
wilayah Cirebon.
Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Hatur punten bilih lepat jujutanana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar