Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan
(Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara
Kalimantan Timur, yang berkedudukan diPulau Tarakan dan berakhir di
Salimbatu.
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung,
terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas.
Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur
pulauTarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno
(The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.
Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di
kawasanTanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi,
tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira
pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh
dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan
Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah memerintah
dikalangan suku Tidung terbagi dari beberapa tempat yang sekarang sudah
terpisah menjadi beberapa daerah Kabupaten antara lain Kabupaten
Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau Kota,
Kabupaten Malinau) Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten
Nunukan, (Kota Tarakan) dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia)
bagian selatan.
Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung tentang
kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara
riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya
yang terakhir bernama Benayuk.
Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa
hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan
perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai) berikut
warganya. Peristiwa tersebut di kalangan suku Tidung disebut Gasab yang
kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan
Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut
adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim
terdapat 12 purnama.
Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan +kurang lebih dengan tahun
Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh
pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan
keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi diMenjelutung
tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI.
Kelompok-kelompok suku Tidung pada zaman kerajaan Menjelutung belumlah
seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa
dikalangan suku Tidung yang ada di Kalimantan timur sekarang terdapat 4
(empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :
Dialek bahas Tidung Malinau
Dialek bahasa Tidung Sembakung.
Dialek bahas Tidung Sesayap.
Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan kelompok
komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka
tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin
masing-masing. Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah kerajaan
Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga yang
selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru.
Salah seorang dari keturunan Benayukyang bernama Kayam selaku pemimpin
dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal
bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.
Raja-raja dari Kerajaan Tidung Kuno
Kerajaan Tidung Kuno adalah Suatu Pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang Raja, dimana pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah dengan
wilayah yang kecil/kampung.
Benayuk dari sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan ± 35 Musim)
Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa
hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan
perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai) berikut
warganya. Peristiwa tersebut di kalangan suku Tidung disebut Gasab yang
kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
Yamus (Si Amus) (Masa Pemerintahan ± 44 Musim)
Selang 15 (lima belas) musim setelah Menjelutung runtuh seorang
keturunan Benayuk yang bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu
Maye mengangkat diri sebagai raja yang kemudian memindahkan pusat
pemukiman ke Binalatung (Tarakan). Yamus memerintah selama 44 (empat
puluh empat) musim, setelah wafat Yamus digantikan oleh salah seorang
cucunya yang bernama Ibugang (Aki Bugang).
Ibugang (Aki Bugang)
Ibugang beristrikan Ilawang (Adu Lawang) beranak tiga orang. Dari ketiga
anak ini hanya seorang yang tetap tinggal di Binalatung yaitu bernama
Itara, yang satu ke Betayau dan yang satu lagi ke Penagar.
Itara (Lebih kurang 29 Musim)
Itara memerintah selama 29 (dua puluh sembilan) musim. Setelah wafat
Anak keturunan Itara yang bernama Ikurung kemudian meneruskan
pemerintahan dan memerintah selama 25 (dua puluh lima) musim
Ikurung (Lebih kurang 25 Musim)
Ikurung beristrikan Puteri Kurung yang beranakkan Ikarang yang kemudian menggantikan ayahnya yang telah wafat.
Ikarang (Lebih kurang 35 Musim), di Tanjung Batu (Tarakan).
Ikarang memerintah selama 35 (tiga puluh lima) musim di Tanjung Batu (Tarakan).
Karangan (Lebih kurang Musim)
Karangan yang bristrikan Puteri Kayam (Puteri dari Linuang Kayam) yang kemudian beranakkan Ibidang.
Ibidang (Lebih kurang Musim)
Bengawan (Lebih kurang 44 Musim)
Diriwayatkan sebagai seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah
kekuasaannya di pesisir melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten
Bulungan sekarang yaitu dari Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke
utara sampai di Kudat (Sabah, Malaysia). Diriwayatkan pula bahwa Raja
Bengawan sudah menganut Agama Islam dan memerintah selama 44 (empat
puluh empat) musim. Setelah Bengawan wafat ia digantikan oleh puteranya
yang bernama Itambu
Itambu (Lebih kurang 20 Musim)
Aji Beruwing Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
Aji Surya Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
Aji Pengiran Kungun (Lebih kurang 25 Musim)
Aji nata Djaya (Kurang 20 Musim)
Pengiran Tempuad (Lebih kurang 34 Musim)
Pengiran Tempuad kemudian kawin dengan raja perempuan suku Kayan di Sungai Pimping bernama Ilahai.
Aji Iram Sakti (Lebih kurang 25 Musim) di Pimping, Bulungan
Aji Iram Sakti mempunyai anak perempuan yang bernama Adu Idung. Setelah
Aji Iram Sakti wafat kemudian digantikan oleh kemanakannya yang bernama
Aji Baran Sakti yang beristrikan Adu Idung. Dari perkawinan ini lahirlah
Datoe Mancang
Aji Baran Sakti (Lebih kurang 20 Musim).
Datoe Mancang (Lebih kurang 49 Musim)
Diriwayatkan bahwa masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama yaitu 49 (empat puluh sembilan) musim
Abang Lemanak (Lebih kurang 20 Musim), di Baratan, Bulungan
Setelah Abang Lemanak wafat, ia kemudian digantikan oleh adik bungsunya yang bernama Ikenawai (seorang wanita).
Ikenawai bergelar Ratu Ulam Sari (Lebih kurang 15 Musim)
Ikenawai bersuamikan Datoe Radja Lautketurunan Radja Suluk bergelar Sultan Abdurrasid.
Dinasti Tengara
Dahulu kala kaum suku Tidung yang bermukim di pulau Tarakan, populer
juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin
yang telah melahirkan Dynasty Tengara.
Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur
pulauTarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno
(The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian
berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu,
kira-kira pada tahun 1156-1216.
Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan
sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah
lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping
bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai
pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan
Timur.
Raja-raja dari Dinasti Tengara
Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe
Maoelana adalah putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
Datoe Adil (1896-1916)
Dikatakan Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat atau
Pangiran Bakhtiar telah menikah dengan seorang gadis Tionghoa yang
berasal dari daerah Tirun (Tidung). Dan juga karena ingin mengamankan
wilayah North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari
Sultan Brunei, seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat iaitu Sultan
Badaruddin-I juga telah memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung
(isteri kedua) yang merupakan anak kepada pemerintah awal di wilayah
Tidung. (Isteri pertama Sultan Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari
Soppeng, Sulawesi Selatan.
Maka lahirlah Datu Lagasan yang kemudian menjadi Sultan Sulu bergelar,
Sultan Alimuddin-I ibni Sultan Badaruddin-I). Dari zuriat Sultan
Alimuddin-I inilah dikatakan datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah
di Sulu.
Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lahirlah seorang putera
bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang Meria. Datu
Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu (menggantikan
abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar Sultan
Bantilan Muizzuddin. Adindanya Dayang Meria dikatakan menikah dengan
seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau
Datu Tating. Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya
Keluarga Maharajah Adinda, yang kini merupakan "Pewaris Sebenar" kepada
Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil
"Tartib Sulu".
Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha Mulia (DYMM)
Sultan Aliuddin Haddis Pabila (Wafat pada 30.06.2007 di Kudat, Sabah).
Dan juga dinyatakan bahawa 'Putera Mahkota' kesultanan Sulu kini adalah
putera bongsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat
Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai "Raja Bongsu-II"
(*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama
Raja Bongsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan
putera-bongsu kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei.
Dikatakan Raja Bongsu ini telah dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu
menggantikan pamannya Sultan Batarasah Tengah ibnu Sultan Buddiman
Ul-Halim yang tiada putera. Ibu Raja Bongsu ini adalah puteri kepada
Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang menikah dengan Sultan Muhammad
Hassan).
Dan kerana mahu rakyat Sulu memahami akan HAK "Pewaris Kedua" dalam
Kesultanan Sulu, maka DYTM Datu Raja Bongsu-II ini telah mengutuskan
sepupunya Datu Lajamura Bin Datu Wasik ke Sulu untuk memberi penerangan
kepada seluruh rakyat Sulu akan HAK Keluarga Maharaja Adinda. Maka
kehadiran Datu Lajamura Bin Datu Wasik di Sulu adalah selaku Pegawai
WAKIL penerangan dari Keluarga Maharaja Adinda atau (The Maharaja Adinda
Royal House Representative Officer).
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya
terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni: Tidung, Bulungan, dan Dayak
yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan
Kesultanan, dan Kebudayaan Pedalaman.
Kaum suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan
pulau-pulau, ada juga sedikit di tepian sungi-sungai di pedalaman
umumnya dalam radius muaranya. Kaum suku Bulungan kebanyakan berada di
kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama di kawasan Tanjung Palas
dan Tanjung Selor. Sedangkan kaum suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan
Pedalaman. Kalangan suku Dayak yang terdengar dan Populer adalah
bernama suku Dayak Kenyah. Suku Dayak memiliki banyak sub-suku bangsa
mereka tersebar di kawasan pedalaman dan dan memiliki berbagai macam
nama.
Suku Tidung
Adapun mengenai suku kaum Tidung, mata pencaharian andalannya adalah
sebagai Nelayan, di samping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil
hutan. Berdasarkan dokumen dan informasi tertulis maupun lisan yang ada
bahwa, tempo dulu di kawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua
bentuk pemerintahan, yakni: Kerajaan dari kaum suku Tidung dan
Kesultanan dari kaum suku Bulungan. Kerajaan dari kaum suku Tidung
berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu, Sedangkan
Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.
Di masa kerajaan Tidung ini lah penyebaran Islam di mulai di wilayah
Kalimantan Timur. Jauh sebelum Walisongo Ditanah Jawa. Para Sultan
Tidung kebanyakan warga pendatang yang Dari Jazirat Arab dan berjuang
dalam misi Dakwah keagamaan.
Sebelum masa Para Habaib dari marga Al Aydrus masuk Nunukan.. di wilayah
tersebut telah ada Dzuriyah Rosululloh SAW yang berjuang membentuk
pemerintahan dan menata kehidupan Masyarakat dengan Hukum Keagamaan .
Dan banyak Penyebaran Islam di wilayah Serawak. Filipina dan sekitarnya
di lakukan oleh Bangsawan Tidung. Serta jalur tali pernikahan di masa
lalu berakibat positif pada misi dakwah dan Penyatuan Tauhid Keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar