adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa
Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan
Sunda merupakan kerajaan yang terletak di bagian Barat pulau Jawa
(provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang), antara tahun 932
dan 1579 Masehi. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan
naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno KERAJAAN SUNDA
dikatakan
bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan.
Kerajaan Sunda (669–1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan
kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda
didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut
sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini
merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi
Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat
Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan
naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford
University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali
Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi
Jawa Tengah.
Tome Pires (1513)
dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan
batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
“Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau
Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup
sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling
Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.”
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Makalah Kerajaan Malaka : Sejarah Dan Peninggalan Serta Pendirinya
Menurut Naskah Wangsakerta
Menurut
Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga
Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan
Sunda oleh Selat Sunda
Sebelum
berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan
Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga
tahun, 666–669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi
Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah
Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612–702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan
Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan
kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke
Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai
Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat
ini.
Sedangkan Tarumanagara
diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada
hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18
Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya
yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Menurut
Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh,
kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai
Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan
daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian
hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati, penguasa kerajaan Sunda.
Di
daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang
hidup di sungai itu. Tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian
lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani
melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa. Kerajaan Sunda
beribu kota di Parahyangan Sunda.
Asal Mula Kerajaan Pajajaran (Sunda)
Sejarah menyebutkan bahwa awal
berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah pada tahun 923 dan pendirinya
adalah Sri Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari Prasasti Sanghyang
berumur 1030 Masehi yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut, rupanya
Kerajaan Pajajaran ini didirikan setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang
dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan
Galuh terpecah menjadi dua.
Satu
dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang satunya lagi dipimpin oleh
Susuktunggal. Meskipun terpecah menjadi dua namun mereka memiliki
derajat kedudukan yang sama.
Asal
muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit
sekitar tahun 1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi
ditandai dengan keruntuhan masa pemerintahan Prabu Kertabumi atau
Brawijaya ke lima, sehingga ada beberapa anggota kerajaan serta rakyat
mereka yang mengungsi ke ibu kota Galuh di Kawali, wilayah Kuningan, di
mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah ini merupakan daerah kekusaaan
dari Raja Dewa Niskala.
Raja Dewa
Niskala pun menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat dari
Prabu Kertabumi yaitu Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang
putrinya. Tidak sampai di situ, Raja Dewa Niskala juga mengambil istri
dari salah seorang pengungsi anggota kerajaan. Sayangnya, pernikahan
antara Raja Dewa Niskala dengan anggota Kerajaan Majapahit tidak
disetujui oleh Raja Susuktunggal karena ada peraturan bahwa pernikahan
antara keturunan Sunda-Galuh dengan keturunan Kerajaan Majapahit tidak
diperbolehkan. Peraturan ini ada sejak peristiwa Bubat.
Karena
ketidaksetujuan dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan
antara Susuktunggal dengan Raja Dewa Niskala. Agar perang tidak terus
menerus berlanjut maka Dewan Penasehat ke dua kerajaan menyarankan jalan
perdamaian. Jalan perdamaian tersebut ditempuh dengan menunjuk penguasa
baru sedangkan Raja Dewa Niskala dan Raja Susuktunggal harus turun
tahta.
Kemudian ditunjuklah
Jayadewata atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi yang
merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus menantu dari Raja
Susuktunggal. Jayadewata yang telah menjadi penguasa bergelar Sri Baduga
Maharaja memutuskan untuk menyatukan kembali ke dua kerajaan. Dari
persatuan ke dua kerajaan tersebut maka lahirlah Kerajaan Pajajaran pada
tahun 1482. Oleh sebab itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung
saat Sri Baduga Maharaha berkuasa.
Sumber Sejarah
Dari
catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno,
maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini;
antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran.
Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad
Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
- Prasasti Batu Tulis, Bogor
- Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
- Prasasti Kawali, Ciamis
- Prasasti Rakyan Juru Pangambat
- Prasasti Horren
- Prasasti Astanagede
- Tugu Perjanjian Portugis (padrao), Kampung Tugu, Jakarta
- Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
- Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
- Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :Kerajaan Banten : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya
Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya
Kehidupan Politik Kerajaan Sunda
Menurut
Tome Pires, kerajaan Sunda diperintah oleh Seorang raja. Raja tersebut
berkuasa atas raja-raja di daerah yang dipimpinnya. Tahta kerajaan
diberikan secara turun temurun kepada anaknya. Akan tetapi, apabila raja
tidak memiliki anak maka yang menggantikannya adalah salah seorang raja
daerah berdasarkan hasil pemilihannya.
Akibat
sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik
tentang Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui.
Aspek kehidupan politik yang diketahui terbatas pada perpindahan pusat
pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara berurutan pusat-pusat
kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan
Pajajaran.
Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah
Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu sedikit tersingkap
oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda
kebesaran dan kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya
adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita
Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya. Menurut versi kitab Carita
Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan
Galuh.
Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda
Nama Sunda muncul lagi pada
Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang
daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M),
berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah
Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.
Pusat Kerajaan Kawali
Pada zaman pemerintahan siapa
pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak diketahui secara
pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui
bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu
Kancana pusat kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama
Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling keraton dan
mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.
Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran
Setelah Raja Rahyang Ningrat
Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya, Sang Ratu Jayadewata.
Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini menjadi
Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata
disebut dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Sejak
pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke
Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima
Unta Rayana Madura Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja
menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga
terciptalah keadaan aman dan tenteram, tidak terjadi kerusuhan atau
perang.
Daftar Raja Pajajaran
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
- Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
- Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
- Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
- Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
- Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
- Rahyang Niskala Wastu Kencana
- Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
- Sri Baduga MahaRaja
- Hyang Wuni Sora
- Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
- dan Prabu Ratu Dewata.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :Sejarah Kerajaan Aceh : Raja Pendiri, Peninggalan, Masa Kejayaan Dan Kehidupan Politik
Kehidupan Sosial Kerajaan Sunda
Berdasarkan
kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat
Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain
sebagai berikut.
Kelompok Rohani dan Cendekiawan
Kelompok
rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai
kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui
berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat
dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui berbagai macam
pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna
mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki
berbagai macam cerita pantun.
Kelompok Aparat Pemerintah
Kelompok
masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), misalnya bhayangkara
(bertugas menjaga keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit (kepala
prajurit).
Kelompok Ekonomi
Kelompok
ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya,
juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat
perabot rumah tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan).
Kehidupan
masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering
berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak
meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi atau
prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi
Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sunda
Kerajaan
Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari pertanian, hasil
pertaniannya menjadi pokok bagi pendapat kerajaan. Aneka hasil pertanian
seperti lada, asam, beras, sayur mayur dan buah-buahan banyak
dihasilkan masyarakat kerajaan Sunda, selain itu, ada juga golongan
peternak Sapi, kambing, biri-biri dan babi adalah hewan yang banyak
diperjualbelikan di bandar-bandar pelabuhan kerajaan Sunda.
Menurut
Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting yang
masing-masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka
bertanggungjawab kepada raja dan bertindak atas nama raja di
masing-masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede, Tomgara, Kalapa dan
Cimanuk adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.
Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda
Kitab
carita Parahyangan dan serta Dewabuda memberi petunjuk bahwa masyarakat
kerajaan Sunda banyak mendapat pengaruh budaya Hindu dan Budha. Kedua
budaya itu selanjutnya berbaur dengan unsur budaya leluhur yang telah
ada sebelumnya.
Kerajaan Sunda
merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan tarumanegara. Kerajaan Sunda
beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana
Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan
Pajajaran.
Mengenai perpindahan
kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat
ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan
perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan. Kerajaan Sunda menguasai
daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal
adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Kerajaan Singasari : Awal Berdiri, Silsilah Raja, Masa Kejayaan
Wilayah Kekuasaan dan Historiografi
Berdasarkan
naskah kuno primer Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang
mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada
awal abad ke-16, (yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian,
Oxford University, Inggris sejak tahun 1627),
Batas
Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”,
sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini
disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Menurut Naskah
Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini
menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan
Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda
oleh Selat Sunda.
Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal
Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,
Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun
(1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera
Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di
daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu
Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab
sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay
Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan
ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan
Ambetkasih (putra Susuktunggal).
Tahun
1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang
bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan
Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian
Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu
Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana
(1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan
Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh
pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan
Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Padrão Sunda Kalapa
Padrão
Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian
Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan awal nama
Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II
tahun 458 Saka (536 Masehi) .
Prasasti
itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah
bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut: Batu
peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458
Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca
sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah
ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Prasasti Sanghyang Tapak
Terdiri
dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan
di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut
ditulis dalam bahasa Kawi. Tanggal prasasti ini diperkirakan 11 Oktober
1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati
memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 – 1042AD).
Sekarang
keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan
kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan
Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari
pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja
Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur
Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak
ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam
bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak
dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua
pohon besar.
Jadi tulisan ini
dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini
akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti
otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah
dua.
Prasasti Batutulis
Keterangan
tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang
ditemukan di Bogor. Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga
merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama
Telaga Rena Mahawijaya. Ia memerintahkan membangun parit di sekeliling
ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga
memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga
kerajaan menjadi aman dan tenteram.
Raja-Raja Kerajaan Sunda
Di
bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut
naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Kerajaan Sriwijaya : Sumber Sejarah, Raja, Peninggalan, Masa Kejayaan Dan Keruntuhannya
Peninggalan Kerajaan Sunda
1. Prasasti Cikapundung
Prasasti
ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8
Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut
diperkirakan berasal dari abad ke-14. Selain huruf Sunda kuno, pada
prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan
wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti
batu prasasti tersebut.
Batu
prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm,
dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan,
telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal
jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami
sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri
mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti
Cikapundung.
2. Prasasti Pasir Datar
Prasasti
Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande,
Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum
Nasional Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu alah ini hingga kini
belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.
3. Prasasti Huludayeuh
Prasasti
Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa
Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi
Kecamatan Dukupuntang – Cirebon.
Penemuan
Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991.
Isi
Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya.
4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis
Prasasti
Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu
yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai
perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan
dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa
barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang
Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti
ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk
membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.
Prasasti
ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun
fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan
Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah
Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional
Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum
Sejarah Jakarta
5. Prasasti Ulubelu
Prasasti
Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan
peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu,
Desa Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.
Meskipun
ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan
yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara
Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan
Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan
bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah
Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas
wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi
prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama,
yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga
kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari
semua musuh.
6. Prasasti Kebon Kopi II
Prasasti
Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh
ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan
peninggalan kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan
dari prasasti pertama.
Namun
sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an.
Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti
ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda
menduduki kembali tahtanya” dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini
bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir
Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan
perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti
Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).
7. Situs Karangkamulyan
Situs
Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa
Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari
zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs
Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan
Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan
yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki
oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Kawasan
yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang
diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar
berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi
menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di
dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang
bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu
sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu
yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan
kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di
luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari
masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan
Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat
melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Kerajaan Demak : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Lengkap
Masa Kejayaan dan Keruntuhan
Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Kejayaan
Masa-masa
di mana Kerajaan Pajajaran mengalami kejayaan adalah pada saat
pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaha. Bahkan sampai
sekarang masa keemasan Prabu Siliwangi masih teringat di hati rakyat
Jawa Barat.
Sri Baduga Maharaha
pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar yang dia beri nama
Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun sebuah jalan
yang menghubungkan antara ibu kota dengan wilayah Wanagiri. Dari sana
Sri Baduga Maharaha membangun banyak aspek Spiritual seperti menyarankan
agar kegiatan-kegiatan agama dilakukan di tengah-tengah masyarakat.
Selain
itu, dia juga membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat
pagelaran, memperkuat benteng pertahanan, merencanakan dan mengatur
masalah upeti, dan menyusun peraturan atau undang-undang kerajaan.
Semua
kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaha ini
terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti Batutulis
dan Prasasti Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga
Maharaha membangun seluruh aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut
pun diceritakan dengan pantun dan kisah Babad.
Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Keruntuhan
Tercatat
bahwa Kerajaan Pajajaran ini runtuh pada tahun 1579. Keruntuhan
Pajajaran lebih banyak disebabkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh
Kasultanan Banten. Selain itu, keruntuhan ini ditandai oleh tahta atau
singgasana Raja yang disebut Palangka Sriman Sriwacana dibawa oleh
pasukan Maulana Yusuf dari Kerajaan Pajajaran ke Kraton Surosowan.
Pemboyongan
singgasana raja ini dilakukan sebagai tradisi sekaligus sebagai tanda
bahwa tidak mungkin ada raja baru lagi yang bisa dinobatkan di Kerajaan
Pajajaran. Akhirnya, Maulana Yusuf lah yang berkuasa di wilayah-wilayah
Kerajaan Sunda. Jika Anda menengok bekas Kraton Surosowan di Banten,
maka Anda bisa melihat terdapat reruntuhan Palang Sriman Sriwacana yang
telah diboyong oleh Maulana Yusuf. Reruntuhan batu tersebut di sebut
oleh masyarakat Banten sebagai Watu Gilang yang berarti berseri atau
mengkilap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar