Sejarah peradaban di ujung pulau Andalas dimulai sejak ditemukannya
prasasti Lobu Tua Barus (Tapanuli Tengah) yang berangka tahun 1088 M
yang menyebut adanya sekitar 1500 orang yang bermukim dikawasan
tersebut.
Pada umumnya, masyarakatnya adalah pedagang terutama Kapur Barus dan
Kemenyan yang banyak ditemukan di pulau Sumatra. Oleh karenanya, dapat
dinyatakan bahwa Barus menjadi Bandar perniagaan mancanegara pertama di
Sumatra Utara dengan komoditas niaga utamanya yakni Kapur Barus
(Champher) dan kemenyan.
Diyakini bahwa situs ini berdiri sejak abad ke-6 hingga 11 M dan pasca
penetrasi saudagar islam kemudian masyarakatnya terdesak kepedalaman dan
membentuk komunitas tersendiri dengan budaya tersendiri pula.
Era dimana masuknya Islam di Barus melalui jalur perdagangan ini
sekaligus menandai masuk dan berkembangnya agama Islam di ujung pulau
Andalas ini.
Situs Lobu Tua Barus adalah situs sejarah tertua (oldest sites) yang
telah ditemukan di Sumatra Utara hingga saat ini, kemudian pada periode
berikutnya dikenal situs Portibi Padang Lawas Tapanuli Selatan pada abad
ke-11. Bukti nyata peninggalan situs Portibi adalah Candi Bahal yang
terpengaruh Hindu dan masih eksis hingga kini.
Disamping itu, terdapat tiga situs kuno (ancient sites) lainnya yang
terletak dikawasan Timur Sumatra Utara yakni Kota Cina (Abad ke 10-13),
Kota Rentang (abad 13-14) dan Deli Tua (abad 14-15). Satu situs yang
disebut pertama plus Barus dan Portibi disebut sebagai kerajaan kuna
(ancient kingdom) di Sumatra Utara. Kecuali Kota Cina, dua situs lainnya
di kawasan Sumatra Timur yakni Kota Rentang (telah diekskavasi) dan
Deli Tua (belum diekskavasi) belum banyak ditulis dan diteliti.
Kerajaan (H)Aru
Sumber-sumber klasik tentang Aru banyak didasarkan pada tulisan penguasa
Portugis di Melaka yakni Mendez Pinto, pengembara China, kisah
Pararaton maupun Sejarah Melayu. Sumber tersebut mengetengahkan bahwa di
Sumatra Utara sekarang terdapat satu kerajaan yang besar yakni (H)Aru.
Namun, hingga saat ini belum ada suatu kesimpulan utuh yang menyatakan
asal muasal dan lokasi kerajaan Aru, dan lagi disertai adanya tarik
menarik antara Karo, Melayu dan Aceh hingga Batak Timur.
Dalam banyak literatur, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan
ARU dan belum pernah diteliti. Namun, dan saya menolak apabila kawasan
tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila
Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru.
Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau
Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi
berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu
centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun
hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung
adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun
ke Sei Deli, Sepuluh dua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur
sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke
Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli.
Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang
berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat
kerajaan Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan
oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro
(1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini
berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur),
Lingga, Mabar, maupun Barumun.
Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh
Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang
Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat
Syah pada tahun 1492-1537. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru
Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana
unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan
keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan
bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.
Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah
kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak
menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Nama
ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU
mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan
Kublai-Khan (Dinasti Yuan) Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu”
yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah
menganut Islam.
Bahwa data-data yang bersumber dari tulisan China dari abad ke 13-15
bukan nyata dari penelitian namun sebatas pengamatan pintas. Oleh sebab
itu, pembuktian terhadap tulisan itu harus diarahkan kedalam tanah
(ekskavasi) yakni untuk merekontruksi jejak-jejak peradaban (H)ARU di
lokasi dimaksud.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota
Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis banyak ditemukan batu
kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan
ornamentasi Jawi dan nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh.
Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak
diketemukan selain sebuah meriam buatan portugis bertuliskan aksara Arab
dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho
yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU
pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar
upeti ke Tiongkok.
Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa
ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum
penyerbuan Iskandar Muda pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat
dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud
pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah
Kota Rentang.
Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga
dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari
sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton
(1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia
palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia
palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
Palapa”.
Demikian pula dalam hikayat ”Parpadanan Na Bolag” yang mengisahkan
kerajaan ”Nagur” yakni kerajaan Batak Timur Raya. Dalam catatan
pengembara asing, kerajaan ini sering disebut ”Nakur”, atau ”Nakureh”
maupun ”Jakur”. Kerajaan ini, berdiri pada abad ke 6-12. Rajanya yang
terkenal adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga
Ginting Pase dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik.
Nama Mara Silu banyak disebut didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”,
”Sejarah Melayu”, dan ”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja
Nagur dari Batak Timur Raya. Menurut catatan MOP dalam bukunya ”Tuanku
Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa
menghancurkan bandar Pase (Aceh) pada tahun 1285 dan masuk Islam serta
berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama.
Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam
tulisan-tulisan selanjutnya.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka
kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan
NAGUR pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota
Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti
arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama
dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan
earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak
ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan
bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar
Aceh.
Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and
treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an
elephant and eventually made her way to Johor, where she married the
ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”.
Pada akhirnya, sebagai dampak serangan Aceh yang terus menerus ke Kota
Rentang, maka ARU pindah ke Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14,
dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar.
A sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that
Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of
Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.
Kisah Putri Hijau
Diatas telah disebut bahwa pasca serangan Aceh ke ARU terdahulu, telah
menyebabkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Bukti-bukti peninggalan ARU
Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan
manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi di
Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki
dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka
tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang
dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga
mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan
benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam
benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang
pelarian Portugis.
Temuan lainnya adalah mata uang Aceh yang terbuat dari emas, dimana
masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini
sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan
menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, di Deli
Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini
tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa
keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota
Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota
Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan
Aceh.
Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat
ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari
bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli
Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua
adalah Islam didasarkan pada sebuah meriam bertuliskan Arab dengan
bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de
Raet pada tahun 1868 di Deli Tua Akan tetapi di tengah meriam tersebut
terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto
bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian
di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus
hingga terbagi dua.
Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus
adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh.
Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu
ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli
Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan
Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor
serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk
dinikahkan dengan Raja Aceh.
Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu,
sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali
serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan
Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada
pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh
menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan
untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan
Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua. Benteng dapat
direbut dan rajanya dapat ditewaskan.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng,
tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya
berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia
tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor,
Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikah dengan raja Johor
apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU
telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan.
Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan
sebagai wali negeri Aceh di ARU yakni kesultanan DELI.
Putri Hijau (Green Princess) adalah salah satu ’cerita’ kepahlawanan
(folk hero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada tiga
kelompok suku yakni Melayu, Karo dan Aceh. Sebagai cerita rakyat
(folktale) kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral)
milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local)
dan diturunkan secara informal
Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami
perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak
mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang
berbeda-beda.
Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan
yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan
tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni
menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, bisa
disimpulkan bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan cerita yang benar-benar
terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau adalah suatu peristiwa yang
benar-benar terjadi. Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan
nalar manusia-yang terdapat dapat kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan
secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.
Akan tetapi, penelitian dan ekskavasi arkeologi belum pernah dilakukan sehingga menyulitkan rekontruksi masa lalu ARU Deli Tua.
Kearah Penelitian Arkeologi
Penelitian dan ekskavasi arkeologis telah dilakukan di Kota Cina
terutama oleh Edward McKinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al.,
(1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b),
Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Temuan-temuan
spektakuler di situs seluas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum
Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi
ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina
berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming,
archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini
terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang
terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu,
ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti
Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.
Situs Kota Rentang seluas 500-1000 Ha ini diteliti dan dilakukan
penggalian oleh McKinnon pada bulan Maret 2008. Temuan penting dan
berharga dari penelitian dan penggalian tersebut adalah ditemukannya
stonewares dan earthenwares terutama dari dinasti Yuan dan Ming, mata
uang maupun batu kubur (nisan) yang tersebar luas di situs sejarah
(historical sites) tersebut. Temuan berupa batu kubur yang percis sama
dengan di Aceh, sekaligus menguatkan dugaan bahwa kawasan ini pernah
dikuasai oleh Islam terutama yang datang dari Aceh.
Namun demikian, sebelum di kuasai oleh Aceh, kawasan ini lebih dahulu
dipengaruhi oleh Hindu maupun Budha karena adanya temuan batu dan kayu
besar yang diduga bekas bangunan candi.
Daerah ini dijelajahi oleh E. E. McKinnon, (Arkeolog Inggris) pada tahun
1972, sebelum memutuskan menggali di Kota Cina. Beliau menulis:
”beberapa nisan batu Aceh yang besar dan signifikan yang ada di Kota
Rentang pada tahun 1972 sekarang sudah menghilang, tetapi dari
jenis-jenisnya yang dilihat dahulu, maka mendukung anggapan lokasi di
Kota Rentang sebagai pemukiman orang-orang bangsawan. Sama juga dengan
mutu keramik dari awal abad ke-13 yang telah ditemui dilokasi-lokasi
yang sama, yaitu dari misi pelayaran Laksamana Cheng Ho (Zhenghe) dan
kunjungannya ke ARU pada tahun 1411-1431”.
Pendudukan Aceh di Kota Rentang, telah mengubah populasinya dengan warna
Islam. Batu nisan di impor dari Aceh dan menjadi pertanda bagi orang
meninggal dunia dan umumnya mereka itu adalah kaum bangsawan Kota
Rentang. Dan yang terpenting adalah dibentuk dan didirikannya sebuah
kerajaan dengan corak Islam yang dikemudian hari dikenal dengan ARU
(abad ke-13). Hal ini senada dengan bukti-bukti yang ada berupa tulisan
dan laporan yang menyebutkan bahwa nama kerajaan (H)Aru telah disebut
pada abad ke -13.
Situs Benteng Putri Hijau (Ijo) terdapat di Deli Tua-Namu Rambe luasnya
adalah 150 x 60 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah
(splendid area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli.
Temuan penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan
yang terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Situs ini termasuk
dalam kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh
yang datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai,
kemudian mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di
benteng bentukan manusia.
Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk bisa
sampai kepusat benteng. jenis benteng seperti ini banyak terdapat di
Scotlandia maupun Inggris sebelum abad pertengahan.
Temuan lain adalah banyaknya keramik ataupun tembikar yang menunjuk
tarik yang hampir sama dengan temuan di Kota Rentang, juga temuan mata
uang (koin) Dirham, mata uang emas dari Aceh yang banyak ditemukan oleh
masyarakat sekaligus menjadi bukti sejarah bahwa pasukan Aceh pernah
menaklukkan kawasan ini dengan menembakkan meriam ber-peluru emas
sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat Putri Hijau (green princess).
Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah
Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1571, (bukan Iskandar Muda) pada tahun
1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua
ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis
dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga
sekarang. Di mana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda
(1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar.
Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda ini, tidak terdapat
suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan. Diyakini
bahwa lokasi ini merupakan pusat kerajaan Aru Deli Tua dimana kisah
Puteri Hijau sangat popular dan banyak diketahui oleh masyarakat.
Bandar Niaga
Kota Cina dan Kota Rentang dipercaya merupakan bandar internasional yang
sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain
dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal
mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab.
Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk
perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares
dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan
tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil
apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk
diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus
dengan masyarakat setempat.
Jalur perdagangan sungai (riverine) merupakan entrance ke pusat
perdagangan seperti Kota Cina dan Kota Rentang melalui sungai Deli,
sungai Wampu dan sungai Sunggal yang bermuara ke Belawan (Belawan
ertuary). Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya
jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula,
temuan bongkahan perahu yang ditemukan di kedua lokasi (Kota Rentang dan
Kota Cina) menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar
niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang
berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan kedua daerah ini
seakan menjauh dari laut.
Situs yang telah ditemukan di pesisir pantai Timur Sumatra ini
menandakan bahwa wilayah ini pernah menjadi bandar niaga bertaraf
internasional sesuai zamanya, sekaligus menjadi centrum kerajaan Aru
yang besar dan penting dalam menjelaskan peradaban Sumatra Timur. Namun,
kekurang perhatian masyarakat dan instansi terkait terhadap situs-situs
sejarah menjadi faktor utama (main factor) penyebab kemusnahan situs
ini. Ironisnya, ketiga situs ini tak satupun yang terawat dan bahkan
semuanya hampir musnah.
Kota Cina telah diserobot dan diduduki oleh masyarakat dengan
menjadikannya sebagai areal pemukiman dan pertanian, sama halnya dengan
Kota Rentang. Sedangkan Benteng Putri Hijau terancam musnah sebagai
dampak pembangunan perumahan yang percis menempel ke badan Benteng.
Bahkan, sebagian badan benteng telah dirusak untuk memberi jalan ke
perumahan yang tengah dibangun .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar