Kerajaan Panembahan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini
menjadi wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Indonesia. Nama
Mempawah diambil dari istilah "Mempauh", yaitu nama pohon yang tumbuh di
hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah.
Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu
kerajaan/kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat
pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni
pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa
pengaruh Islam (kesultanan).
Sejarah
Mempawah berasal dari kata ‘Buah Asam Paoh’, sementara sumber lain dari
Mempawah Hilir menyebutkan bahwa Mempawah berasal dari kata ‘Mempelam
Paoh’. Baik pohon maupun buah mempelam paoh ini dulunya banyak di
temukan di sekitar kota Mempawah, tepatnya disela-sela pohon nipah, di
daratan yang tidak jauh dari laut Pendapat berbeda juga di kemukakan
oleh sejumlah sumber lain, dimana mereka menyebutkan mempawah berasal
dari bahasa Cina, yakni ‘Nam Pa Wa’,yang berarti ‘Arah Selatan’.
Pendapat ini terbilang cukup mendasar karena berdasarkan catatan sejarah
yang ada orang-orang Cina dulu pernah datang ke daerah pesisir pantai
Kalimantan Barat, sekitar pertengahan abad ke 16 (ketika itu Kerajaan
Bangkule masih berdiri) sampai abad ke 18 (saat Belanda menduduki tanah
air). Karena dialeg orang-orang Cina, kata Nam Pa Wa di lafaskan menjadi
kata Mempawah.Catatan sejarah yang lain menyebutkan bahwa Pendiri
kerajaan Mempawah, Panembahan Adijaya, menamakan kerajaannya dengan nama
Mempawah.
Nama ini terinspirasi dari imbasan kata Asam Paoh, Mempelam Paoh, dan
Nam Pa Wah. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, mereka kemudian
mengubah nama Mempawah menjadi Mempawa. Seiring dengan berjalannya
waktu, oleh almarhum Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin (sumber Buku
Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah oleh M. Yusuf Sahar) nama Mempawa
dikembalikan lagi ke nama asalnya, yakni Mempawah.Lantas, mengapa setiap
tanggal 15 Februari diperingati sebagai hari jadi kota Mempawah?
Menurut catatan yang di buat oleh M. Yusuf Sahar dalam bukunya yang
berjudul Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah, disana dituliskan hari Rabu,
tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M sebagai hari lahirnya kota
Mempawah. Pendapat Yusuf Sahar ini terbilang cukup beralasan karena
dirinya mencatat ada 3 peristiwa penting yang satu sama lain saling
bertalian.
Ke 3 peristiwa itu adalah berpindahnya ibukota Kerajaan yang di sebut
Mempawah sekarang dari Sebukit Kerajaan oleh Panembahan Adijaya yang
menamakannya; hapusnya sebuah kerajaan bernama Bungkale Rajakng secara
otomatis; dan berdirinya sebuah kerajaan Mempawah dengan raja pertamanya
Panembahan Adijaya pada hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau
1761 M.Dalam sarasehan kedua, 15 Februari 1980, pendapat M. Yusuf Sahar
ini sempat di bahas secara mendalam oleh para peserta. Di akhir
pertemuan tersebut, para peserta sepakat menerima pendapat tersebut dan
menetapkan penggunaan hitungan tahun Masehi sebagai metode penghitungan
hari jadi kota Mempawah. Sedangkan ritual acara Robok-Robok di sepakati
untuk digelar pada hari Rabu, minggu terakhir di bulan Syafar.Sebagai
upaya pelestarian sejarah, sekaligus mensukseskan program pemerintah
dalam penanaman seribu pohon, Marsupandi, salah seorang staf di Kantor
Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak, memberikan
secara simbolis bibit pohon Mempelam Paoh kepada bupati Pontianak, Ria
Norsan. Penyerahan pohon bersejarah ini disampaikan diacara peringatan
HUT ke-49 Pemindahan Ibukota Kabupaten Pontianak di Mempawah. Upacara
bendera ini digelar di Halaman Kantor Bupati Pontianak. Baik pemimpin,
pembina maupun panitia upacara semuanya mengenakan busana Telok Belaga’
bermotifkan Awan Berarak. Tak ketinggalan peserta upacaranya pun
mengenakan busana bermotif Awan Berarak.
Mempawah pada Masa Kerajaan (Dayak)
Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan
riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan
Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang. Kerajaan Bangkule Sultankng
merupakan kerajaan orang-orang Suku Dayak yang didirikan oleh Ne‘Rumaga
di sebuah tempat yang bernama Bahana.
Karlina Maryadi dalam tulisan berjudul “Menguak Misteri Sebukit Rama”
menyebutkan, pemerintahan Ne‘Rumaga dilanjutkan oleh Patih Gumantar.
Namun, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Suku Dayak
yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang berdiri
sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 Masehi. Dikarenakan
pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah Sangking,
Mempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan
Sidiniang.
Dikisahkan, Patih Gumantar pernah menjalin hubungan dengan Gajah Mada
dari Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di
nusantara di bawah naungan Majapahit. Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah
Mada konon pernah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung
serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol. Menurut Lontaan bukti
hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah
adanya keris yang dihadiahkan kepada Patih Gumantar. Keris ini masih
disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga setempat keris pusaka ini
disebut sebagai Keris Susuhunan.
Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman. Salah satunya
adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju. Dalam pertempuran yang terjadi
pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau
perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar .
Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir.
Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar
diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng. Namun, masa
pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan
Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di
Sungai Raya Negeri Sambas. Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayat
Kerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah
pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang.
Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih
Gumantar. Dari sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa
pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung. Raja
Kudung kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Sidiniang ke
Pekana.
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana.
Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal
dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M.
Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan
dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah
daerah di hulu Sungai Mempawah. Panembahan Senggaok menyunting puteri
Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri
Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati.
Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad
Zainuddin dari Kerajaan Matan Tanjungpura. Dari perkawinan tersebut,
mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba. Puteri Kesumba
inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh
Islam di Mempawah.
Mempawah pada Masa Kesultanan (Islam)
Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi
Selatan. Dalam Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji (2002) disebutkan
tentang ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu Tendriburang Dilaga, yang
melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu. Opu
Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis
pertama yang memeluk Islam. Opu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang
putera yang diajak berkelana ke tanah Melayu. Kelima anak Opu
Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Perani, Opu
Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi Kedatangan mereka
ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang-orang Bugis yang
terjadi pada abad ke-17. Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak
lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan
Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.
Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenarnya atas permintaan
Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724
M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh
Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin. Opu Daeng Menambun
bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk
membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke Tanjungpura.
Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad
Zainuddin dapat diselamatkan. Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan
dengan Ratu Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin. Tidak lama
kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.
Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi
lagi di Kesultanan Matan. Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan
siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah
mereka wafat. Sultan Muhammad Zainuddin kembali meminta bantuan Opu
Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor. Opu Daeng Menambun memenuhi
permintaan Sultan Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk
yang kedua kalinya, sedangkan keempat saudaranya tidak ikut serta
karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu Kesultanan Johor.
Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera
diselesaikan dengan cara damai. Atas jasa Opu Daeng Menambun itu,
Sultan Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun
dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Surya Negara. Opu Daeng Menambun
sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya,
dan mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama
Puteri Candramidi, Gusti Jamiril, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif
Alwie, dan Syarif Muhammad.
Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan
Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan
Muhammad Muazzuddin. Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok
wafat pada tahun 1737 M. Karena Panembahan Senggaok tidak mempunyai
putera, maka tahta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin
yang tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang
menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin. Namun, setahun kemudian atau
pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad Muazzuddin pun mangkat dan digantikan
puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung bergelar
Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap
bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun
yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu
diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang
pertama. Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang
gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun. Pada era Opu Daeng Menambun inilah
Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan. Selaras dengan itu,
penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan. Opu Daeng Menambun
memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang
merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum
pedagang.
Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun
semakin kental berkat peran Sayid Husein Alqadrie, seorang pengelana
yang datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan. Sayid Husein Alqadrie
sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan
Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin. Husein Alqadrie dinikahkan
dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua. Di
Kesultanan Matan, Husein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan
sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang menggantikan Sultan
Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M. Namun, pada tahun 1755 M, Sayid
Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang
penerapan hukuman mati.
Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Sayid Husein
Alqadrie untuk tinggal di Mempawah. Tawaran itu disambut baik oleh Sayid
Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun. Sayid
Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai Patih sekaligus imam besar
Mempawah. Selain itu, Sayid Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah
Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran
agama Islam. Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein
Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak
lelaki Sayid Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie
dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi .
Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan
Kesultanan Kadriah di Pontianak.
Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambun wafat dan dimakamkan di Sebukit
Rama. Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu
Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya
Kusumajaya. Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah
kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan
yang ramai.
Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial
Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787
M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang
dipimpin Panembahan Adiwijaya Kusumajaya. Syarif Kasim, anak lelaki
Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil
dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah. Panembahan
Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur
siasat Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum
sempat melancarkan serangan balasan. Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8
orang anak dari dua istri.
Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan
Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk
Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang
dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah. Akibatnya, peperangan
kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh
orang-orang Tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan
Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai
pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku
Dayak dan Kesultanan Singkawang. Namun, karena Kesultanan Kadriah
disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami
kekalahan dalam perang tersebut.
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah
dengan gelar Panembahan Mempawah. Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie,
ayahanda Syarif Kasim, sebenarnya tidak menyetujui pengangkatan itu
karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat
ikatan kekerabatan yang erat. Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie,
Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon.
Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian
tanggal 27 Agustus 1787.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat. Belanda
kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah
dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie. Kedudukan Syarif Kasim di
Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein. Namun,
kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di
Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang
putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan
saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas. Ketika akhirnya Belanda
berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan
Mempawah. Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di
bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar
tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Gusti Mas tetap
setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan
keamanan rakyat Mempawah. Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat
pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di
Pulau Pedalaman. Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal
sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat.
Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian
menyusun taktik. Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan
Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah
disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.
Taktik Belanda berhasil. Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah
terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah
menyerbu Pulau Pedalaman. Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada
bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana
Mempawah. Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin
terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan. Serangan
balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah
dapat dikalahkan. Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau
Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi
Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal
Abidin yang bernama Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar
Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin. Pada tahun 1831 itu,
Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda. Sejak itu,
setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur
oleh Belanda. Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada
aturan-aturan buatan Belanda.
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839, Belanda menobatkan Gusti
Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya
Kusuma. Selanjutnya, pada tahun 1858, Belanda menabalkan Gusti Makhmud
sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin.
J.U. Lontaan dalam buku berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat-Istiadat
Kalimantan Barat (1975) menyebutkan bahwa pada tahun 1858 itu telah
diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah. Dari tulisan itu,
dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti
Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk
sementara. Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti
Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan
Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad
Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.
Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti
Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat
sebagai penggantinya. Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku
adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak
perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin. Gusti Muhammad Thaufiq
Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902. Sultan ini membangun
Istana Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922.
Pemerintahan Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung
hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.
Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Mempawah. Pada tahun 1944, Sultan
Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir
hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq
Accamuddin belum ditemukan. Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad
Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil
Panembahan Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955. Namun,
waktu itu Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi
Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan pendidikannya di
Yogyakarta. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah
terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan
pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada
tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem
pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah. Hal itu terjadi
juga di Kalimantan Barat. Dengan terbentuknya Republik Indonesia, segala
wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan
Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan
Melayu-Bugis, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan
sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah. Karena telah bergabung dan
menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang
menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah
Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung
sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan
Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu
Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan
sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta
hingga saat ini. Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim
wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat
Kesultanan Mempawah.
Silsilah
Berikut silsilah para Raja/Sultan/Pemangku Adat Mempawah yang dihimpun
dari beberapa sumber, antara lain: Sejarah Hukum Adat dan Adat-istiadat
Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan (1975), Kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat karya Musni Umberan, et.al.
(1996-1997), dan tulisan Erwin Rizal berjudul “Kesultanan Mempawah dan
Kubu” yang terhimpun dalam buku Inventarisasi Istana-Istana di
Kalimantan Barat:
Masa Suku Dayak Hindu (Kerajaan):
Patih Gumantar (± 1380 M).
Raja Kudung (± 1610 M).
Panembahan Senggaok (± 1680 M).
Masa Islam (Kesultanan):
Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740 – 1761 M).
Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761 – 1787).
Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787 – 1808).
Syarif Hussein (1808 – 1820).
Gusti Jati bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin (1820 – 1831).
Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831 – 1839).
Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839 – 1858).
Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858).
Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858 – 1872).
Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872 – 1892).
Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892 – 1902 ).
Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902 – 1944).
Gusti Mustaan (1944 – 1955); diangkat oleh Jepang.
Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (s/d 2002).
Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002- sekarang).
Sistem Pemerintahan
Sistem dan pola pemerintahan cikal-bakal Kesultanan Mempawah, yakni
Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang, masih bersumber
berdasarkan adat-istiadat setempat, yakni hukum adat yang berlaku pada
masyarakat Suku Dayak. Sistem pemerintahan tradisional yang lekat dengan
ritual-ritual adat dan kepercayaan kepada hal-hal gaib masih berlaku
dalam kehidupan kerajaan yang masih menganut ajaran agama Hindu itu.
Pada masa pemerintahan Panembahan Senggaok, sistem pemerintahan
tradisional masih dipertahankan meski pengaruh ajaran Islam mulai masuk
ke dalam kehidupan kerajaan. Pengaruh Islam di Mempawah semakin kuat
pada era kepemimpinan Opu Daeng Menambun yang bertahta sejak tahun 1740
M. Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis yang telah
cukup lama menjadi kerajaan bercorak Islam.
Pemerintahan Opu Daeng Menambun di Kesultanan Mempawah memadukan antara
hukum-hukum adat lama dengan hukum syara yang bersumber pada ajaran
agama Islam. Pengaruh hukum-hukum Islam dalam kehidupan pemerintahan
Kesultanan Mempawah semakin kuat berkat peran sentral Sayid Habib Husein
Alqadrie, seorang penyebar ajaran Islam dari Timur Tengah, tepatnya
Hadramaut atau Yaman Selatan.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Opu Daeng Menambon berhasil membentuk
suatu pemerintahan kesultanan yang demokratis. Hal ini terlihat dari
banyaknya tokoh lintas etnis yang dengan sukarela menyatakan tunduk
untuk mendukung Kesultanan Mempawah, terutama tokoh-tokoh dari kalangan
Tionghoa dan Suku Dayak. Bergabungnya tokoh-tokoh tersebut justru
semakin mempermudah Opu Daeng Manambon dalam mengatur pemerintahan
Kesultanan Mempawah.
Sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah mulai mengalami reduksi
kedaulatan sejak kedatangan bangsa Belanda pada sekitar tahun 1787 M.
Meski penguasa Kesultanan Mempawah pada saat itu, Panembahan Adiwijaya
Kusumajaya dan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin,
memberikan perlawanan dan bahkan sempat mengalahkan Belanda yang
disokong oleh Syarif Kasim dari Kesultanan Kadriah di Pontianak, namun
pada akhirnya kekuasaan Kesultanan Mempawah sepenuhnya dalam cengkeraman
penjajah Belanda. Sejak saat itu hingga sebelum kedatangan Jepang pada
tahun 1942, sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah dikendalikan oleh
Belanda dalam banyak bidang, dari ekonomi, pertahanan, politik, bahkan
hingga urusan internal kesultanan sekalipun. Salah satu contohnya adalah
bagaimana Belanda sangat berwenang dalam hal suksesi kekuasaan
Kesultanan Mempawah.
Ketika Belanda mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya dan
kemudian Jepang mengambil-alih kekuasaan Belanda di nusantara, tara cara
dan sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah pun berubah lagi karena
harus menuruti apa yang digariskan oleh penjajah Jepang. Pada zaman
pendudukan Jepang (1942-1945), Mempawah dijadikan sebagai salah satu
dari 12 swapraja di Kalimantan Barat yang berada di bawah kekuasaan
lembaga bentukan Jepang bernama Borneo Minseibu Cokaan. Sejak akhir
bulan Desember 1942, wilayah Kesultanan Mempawah berada di bawah
wewenang Bun Kei Kai Ri Kan, jabatan yang sederajat dengan wedana.
Setelah kekuasaan Jepang berakhir dan Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan Mempawah
menyatakan bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah yang termasuk ke
dalam wilayah administratif Provinsi Kalimantan Barat. Dengan demikian,
Kesultanan Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan secara politik lagi
untuk mengatur pemerintahannya, namun pihak kesultanan masih sering
menghelat ritual/upacara yang dilakukan secara adat, semisal upacara
Robo-Robo, ritual Naik Tojang, dan lain sebagainya..
Wilayah Kekuasaan
Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku
Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan
Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan
tempat. Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah Hulu
atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi
Kalimantan Barat. Beberapa tempat yang pernah menjadi wilayah kekuasaan
Kesultanan Mempawah tersebut antara lainBahana, Sidiniang (Sangking),
Pekana (Karangan), Senggaok, Sebukit Rama, Kuala Mempawah (Galah
Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.
Makam Opu Daeng Menambon
Kawasan Makam Opu Daeng Manambom terletak di Sebukit Rama, sekitar 5 Km
dari Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak,
Kalimantan Barat. Di tempat ini bersemayam raja pertama Kerajaan
Mempawah, Opu Daeng Manambun bergelar Pangeran Mas Surya Negara yang
mangkat pada tahun 1763 Masehi.
Opu Daeng Manambon (1695-1763) adalah putra Opu Tandre Borong Daeng
Rilekke, Raja dari Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan yang menikah dengan
Putri Kesumba, anak dari pasangan Utin Indrawati (putri Panembahan
Senggaok, Mempawah) dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan
Tanjungpura. Pasangan Puteri Kesumba dan Opu Daeng Manambun inilah yang
kemudian menurunkan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mempawah.
Makam Opu Daeng Menambon terletak di atas sebuah bukit. Jalan menuju
makam harus melalui ratusan anak tangga yang berjumlah 256 anak tangga.
Menurut mitos, jika seseorang mencoba untuk menghitung jumlah anak
tangga dari bawah, jumlah tersebut tidak akan pernah benar. Makam ini
selalu menjadi salah satu agenda kunjungan utama Raja Mempawah ketika
melaksanakan prosesi Robo-Robo yang dihelat setiap tahun pada hari Rabu
terakhir di bulan Safar. Selain pada saat Robo-Robo, Makam Opu Daeng
menambon juga ramai dikunjungi para peziarah pada hari Kamis dan Minggu.
Kompleks Makam Opu Daeng Menambon merupakan saksi sekaligus bukti
sejarah. Pada zaman dahulu, di tempat ini merupakan pusat pemerintahan
Kerajaan Mempawah. Atas dasar hal tersebut, maka selain makam, di tempat
ini juga ditemukan bukti sejarah lain seperti Batu Tempat Semedi, Kolam
Batu Berbentuk Teratai, Prasasti Balai Pertemuan, dan Tongkat Kayu
Belian.
Makam Raja-raja Mempawah
Makam Raja-raja Mempawah terletak di Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.
Di tempat ini bersemayam para Raja Mempawah beserta para kerabat, antara lain:
Gusti Mu’min bergelar Panembahan Mu’min Nata Jaya,
Gusti Mahmud bergelar, Panembahan Muda Mahmud Accamaddin,
Gusti Usman bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma,
Haji Gusti Amiruddin Hamid bergelar Pangeran Ratu,
Hajjah Encik Kamariah bergelar Ratu Mas Sri Negara,
Pangeran Faitsal Ibrahim dan
Panembahan Ibrohim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar