Kerajaan Malayu adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau
Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu
Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwan, dan
Kerajaan Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama
Kerajaan Malayu. Menurut tambo Minangkabau, Kerajaan Malayu didirikan
oleh Sri Jayanaga yang turun dari gunung Marapi ke Minanga Tamwan
sekitar tahun 603. Sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut
dengan nama Kerajaan Dharmasraya. Dharmasraya didirikan oleh Sri
Tribuana Raja Mauliwarmadewa yang masih seketurunan dengan Sri Jayanaga.
Sumber Berita Cina
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina
berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah
kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar keCina pada tahun
644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu
tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun671–685 menuju India juga
sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu
masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu
telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya
menganut agama Buddhaaliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak
disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.
Lokasi Malayu Tua
Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu
dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi. Sedangkan
menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun
istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes
lebih yakin bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan
ibu kota Malayu.
Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayuberasal dari kata
Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah
kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia
tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah
itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang
terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang
tanahnya agak tinggi.
Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi
oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana
berpendapat bahwa istana Malayu terletak diMinanga Tamwan sebagaimana
yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwan
adalah nama kuno dari Muara Tebo (atauKabupaten Tebo di Provinsi Jambi).
Menurut tambo Minangkabau, Minanga Tamwan berada di bukit barisan
tepatnya di hulu sungai Kampar, atau di sebelah timur Kabupaten Lima
Puluh Kota sekarang. Minanga Tamwan atau Minanga Kabwa merupakan asal
usul dari nama Minangkabau.
Dikalahkan Sriwijaya
Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang
membawa 20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwan dengan
perasaan suka cita penuh kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa
prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya
di bawah pimpinan Dapunta Hyang.
Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I
Tsing bahwa pada tahun 671Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan,
bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat
memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.
Prof. Slamet Muljana yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwan sebagai
ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa, prasasti Kedukan Bukit
merupakan piagam penaklukan Melayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti
tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta
Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwan, dan meninggalkan kota itu dalam
suka cita.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat
ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju
India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan
ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh
Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintasSelat Malaka saat itu.
Dengan direbutnya Minanga Tamwan, secara otomatis pelabuhan Malayu pun
jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan
Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat
Malaka menggantikan peran Kerajaan Malayu.
Tentang Raja Chan-pi
Setelah beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami
kekalahan akibat seranganRajendra Chola dari India sekitar tahun 1025.
Kekuasaan Wangsa Sailendra di Sumatra danSemenanjung Malaya pun
berakhir. Sejak saat itu Sriwijaya menjadi negeri taklukan Rajendra.
Dalam berita Cina berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan
San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat
dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang
diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Pada zaman Dinasti Sung, istilah San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya.
Tidak diketahui dengan pasti apakah putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang saat itu telah
menguasai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja Chan-pi
kemungkinan besar adalah ejaan Cina untuk istilah Jambi.
Munculnya Wangsa Mauli
Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja
Chola telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru
yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan
nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah
Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi
perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada
bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca
Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang
mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti
Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja
bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat
kiriman Arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja
Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di
Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri Bhumi Malayu.
Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu.
Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari
Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap
sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan
jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun
1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya
sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu
bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya
kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina
disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi)
sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan
dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga
Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan
Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”.
Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh
kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin
kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum
dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli
yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik
dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada
tahun1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah
kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225
disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu
Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia (Langkasuka),
Ki-lan-tan(Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta(Batak ?,
Patani ?), Tan-ma-ling, Kia-lo-hi (Kamboja), Pa-lin-fong (Palembang),
Sin-to (Sunda), Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?). Dengan
demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dariSrilangka
(Si-lan), Kamboja (Kia-lo-hi), sampai Sunda(Sin-to).
Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini
akan bertentangan denganprasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu
Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung
Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong
yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya,
maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya, daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun
nama lain yang mirip Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang
mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama
dengan Dharmasraya karena kedua tempat tersebut terletak berjauhan.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15
negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan
Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan
dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun
kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa
terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan
sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah
saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit
berjudulNagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut
adanya negeri bernama Sriwijaya.
Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan
Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra yang di dalamya
antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.
Persahabatan dengan Singhasari
Untuk membendung kekuasaan Khubilai Khan atas kerajaan-kerajaan
Nusantara, Kertanagara rajaSinghasari di Jawa memutuskan untuk menjalin
kerja sama dengan Kerajaan Malayu di Sumatera. Pada tahun 1275,
Kertanagara mengirimkan utusannya ke Malayu yang dipimpin oleh Kebo
Anabrang. Perjalanan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera ini dikenal
dengan Ekspedisi Pamalayu.
Prasasti Padangroco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca
Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan
Dharmasraya.
Sepasang Putri Melayu
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakramamenyebutkan bahwa utusan
Kebo Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu
bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara
Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan denganRaden Wijaya
menantu Kertanagara. Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan
Majapahit. Pernikahan antara Raden Wijaya dan Dara Petak kemudian
melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga
diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka
yang kelak menjadi raja Pagaruyungbergelar Mantrolot Warmadewa. Namun
ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga
sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu
telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan
Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan
kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.
Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan
Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini
mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa
dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat
sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini
merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa”
dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya
menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini
menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat
disimpulkan kalau Dara Jingga (dan juga Dara Petak) adalah putri dari
raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir
dari permaisuri raja Melayu bernama Putri Reno Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai
salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di
Pulau Sumatra. Namun menurut tambo Minangkabau, dua kali penyerangan
Majapahit atas Dharmasraya pada tahun 1348 dan 1409 mengalami kegagalan.
Dalam catatan Dinasti Ming, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi
manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas
dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing
dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan
Ma-na-cha-wu-li.
Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan1377 ketiganya
mengirimkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377
tentara She-po menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu
ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi
Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman Raja Pagaruyung.
Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja Palembang.
Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli raja
Dharmasraya.
Rupanya setelah Gajah Mada meninggal tahun 1364, negeri-negeri jajahan
di Sumatra berusaha untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan
Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi, Maharaja Hayam Wuruk yang saat itu
masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Pagaruyung,
Palembang, dan Dharmasraya pada tahun 1377.
Catatan Cina menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut,
kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang.
Menurut naskah Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan
Po-lin-pang. Itu berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit
di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.
Dari Dharmasraya ke Malayapura
Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada
tahun 1347 Masehi atau 1267 tahun Saka, Adityawarman memproklamirkan
dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman
Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya
dengan nama Malayapura dan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Melayu sebelumnya dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya
(sekarang Jambi) ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso).
Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia
menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk
garis keturunannya kepada Bangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar
Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta
menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari
Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh
keluarga penguasa di Swarnabhumi.
Walaupun ibukota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman,
di Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya tetapi
statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab
Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman
Adityawarman.
Daftar Raja Dharmasraya
Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:
1) 1183 – Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand).
2) 1286 – Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntu).
3) 1300 – Akarendrawarman (Prasasti Suruaso di (Kab. Tanah Datar sekarang)).
4) 1347 - Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra
Maulimali Warmadewa (Manuskrip pada Arca Amoghapasa bertarikh 1347 di
Kab. Dharmasraya sekarang, Prasasti Suruaso dan Prasasti Kuburajo di
Kab. Tanah Datar sekarang).
Situs peninggalan
Komplek candi Muaro Jambi
Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi adalah sebuah kompleks
percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang kemungkinan
besar merupakan peninggalan Kerajaan Melayu Dharmasraya. Kompleks
percandian ini terletak di Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi,
Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari, sekitar 26 kilometer
arah timur Kota Jambi. Koordinat Selatan 01* 28’32″ Timur 103* 40’04″.
Candi tersebut diperkirakakn berasal dari abad ke-11 M. Candi Muaro
Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di
pulau Sumatera.
Penemuan dan pemugaran
Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1823
oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan
daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975,
pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin
R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno pada beberapa lempeng yang
ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar
dari abad ke-9-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang
telah dipugar. dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan
candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong
Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.
Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo
menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu
berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, Republik
Rakyat Cina, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi
agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan
“wajra” pada beberapa candi yang membentuk mandala.
Struktur kompleks percandian
Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada tanggul alam kuno Sungai
Batanghari. Situs ini mempunyai luas 12 km persegi, panjang lebih dari 7
kilometer serta luas sebesar 260 hektar yang membentang searah dengan
jalur sungai. Situs ini berisi 61 candi yang sebagian besar masih berupa
gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks
percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.
Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Untuk sampai
ke sana, bisa menempuh jalur darat atau pakai kapal cepat lewat sungai.
Luas situs Candi Muaro Jambi sebesar 12 kilometer persegi. Candi Muaro
Jambi memiliki 80-an candi, sembilan candi besar. Ada sembilan candi
yang besar: Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, candi Gedong satu dan
Gedong dua, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu
dan Candi Astano. Candi Gedong Satu terhitung unik di kompleks candi
Muaro Jambi. Luas halamannya sekitar 500an meter persegi, terdiri dari
bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya
di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata.
Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini
ada yang disimpan di museum.
Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi tetapi juga
ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam tempat
penammpungan air serta gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur
bata kuno. Dalam kompleks tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang
saat ini masih dimiliki oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang
berupa bangunan, dalam kompleks tersebut juga ditemukan arca
prajnyaparamita, dwarapala, gajahsimha, umpak batu, lumpang/lesung batu.
Gong perunggu dengan tulisan Cina, mantra Buddhis yang ditulis pada
kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga besar dari perunggu, mata
uang Cina, manik-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda,
fragmen pecahan arca batu, batu mulia serta fragmen besi dan perunggu.
Selain candi pada kompleks tersebut juga ditemukan gundukan tanah
(gunung kecil) yang juga buatan manusia. Oleh masyarakat setempat gunung
kecil tersebut disebut sebagai Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar