Tersebutlah dalam sebuah kisah, pada mulanya yang memerintah di negeri
Sungai Serut ini ialah seorang raja yang berasal dari Majapahit, namanya
Ratu Agung. Sebagai cikal-bakal dari kerajaan Sungai Serut, konon
ceritanya, Ratu Agung adalah jelmaan bangsa dewa dari Gunung Bungkuk
yang mendapat tugas untuk mengatur bangsa manusia di bumi.
Adapun rakyat yang diperintahkan oleh Ratu Agung ialah rakyat Rejang
Sawah. Rakyatnya berperawakan tinggi, tegap, dan besar melebihi ukuran
manusia pada umumnya. Disamping itu, dibagian tulang sulbinya agak
sedikit menonjol yang panjangnya sekitar satu jari. Oleh sebab itulah,
rakyat Ratu Agung ini juga disebut oleh orang sebagai Rejang Berekor.
Sebagai jelmaan dewa dari Gunung Bungkuk, Ratu Agung tidak saja mampu
memerintah dengan adil, bijak, dan penuh wibawa, tetapi juga telah
berhasil membangun negeri Sungai Serut hingga menjadi negeri yang kaya
dan makmur.
Sebuah istana yang sangat megah juga telah didirikan di mudik kuala
Sungai Serut. Di singgasana yang amat megah inilah yang dijadikan
sebagai pusat pemerintahan dan juga tempat kediaman sang Ratu Agung
bersama kerabat kerajaan dan ketujuh putra-putrinya, yang terdiri atas
enam laki-laki dan seorang perempuan.
Anak yang pertama bernama Kelamba Api, yang juga dikenal dengan nama
Raden Cili. Yang kedua bernama Manuk Mincur, dan yang ketiga bernama
Lemang Batu. Yang keempat bernama Tajuk Rompong, yang kelima bernama
Rindang Papan, yang keenam bernama Anak Dalam, dan yang ketujuh atau
bungsu bernama Putri Gading Cempaka.
Si Bungsu nan Jelita.
Selanjutnya dikisahkan, bahwa negeri Sungai Serut kian lama kian
Masyhur. Bahkan nama negeri Sungai Serut pun semakin harum di
negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan manca lainnya. Terlebih lagi,
keharuman nama negeri Sungai Serut ini disebabkan oleh putri bungsu yang
bernama Putri Gading Cempaka yang kian hari kian tumbuh dan berkembang
menjadi seorang remaja putri nan cantik jelita.
Meskipun belum menginjak usia dewasa, tetapi keelokan paras Putri Gading
Cempaka ini sudah terlihat dengan jelas pada usia yang masih remaja.
Kecantikannya sungguh tiada taranya, bagai bidadari yang turun dari
kayangan. Karena kecantikannya yang sungguh tiada bandingnya, maka
banyak putra dari kaum bangsawan yang berniat untuk mempersunting
sebagai pemdamping hidupnya.
Akan tetapi karena saat itu si bungsu masih belum menginjak usia dewasa,
maka semua pinangan yang datang menghadap Ratu Agung pun selalu
ditolaknya dengan cara yang bijaksana.
Wasiat Sang Raja
Bulan telah berjalan silih berganti, tahun pun terus berlari, dan juga
usia manusia semakin berkurang jatahnya. Yang semula masih kanak-kanak,
kemudian menjadi remaja, meningkat dewasa dan kemudian menjadi tua.
Begitulah hukum alam dari Sang Pencipta yang berlaku bagi makhluk
ciptaan-Nya, tanpa kecuali bangsa manusia.
Demikian pula dengan sang Ratu Agung yang kian menua usianya. Pada suatu
hari, Ratu Agung pun jatuh sakit karena dimakan usia yang memang sudah
tua. Kian hari, sakit yang dideritanya pun tiada kunjung sembuh, bahkan
kian bertambah parah saja.
Sebagai raja jelmaan dari dewa yang telah menjadi manusia, nalurinya
masih kuat, bahwa ajalnya tak lama lagi akan tiba. Oleh sebab itu,
sebelum ajalnya tiba, sang Ratu Agung nan bijaksana itu segera memanggil
ketujuh putra-putrinya. Setelah ketujuh putra–putrinya itu berkumpul
sujud di sekeliling ayahandanya, syahdan bersabdalah ayahanda dengan
suara pelan penuh wibawa :”Duhai anakandaku semua, kini rasanya ayahanda
tiadalah kuasa hidup berlama-lama. Sebelum Ayahanda meregang jasad
melepas nyawa meninggalkan dunia nan fana, maka Ayahanda hendak
menitipkan dua buah wasiat kerajaan ini kepada anakandaku semua.”
Mendengar sabda ayahanda sang Baginda Ratu Agung yang hendak sekarat
itu, raut muka dari ketujuh putra-putrinya itu langsung lesu, memucat.
Terlebih si bungsu Putri Gading Cempaka yang tak kuasa menahan gejolak
emosi dalam batinnya. Dan perlahan-lahan berderailah air matanya
mengucur membasahi kedua pipinya, meskipun belum tampak suara rintihan
isak tangis yang keluar dari mulut mungilnya.
Ayahanda Baginda Ratu Agung pun lalu melanjutkan sabdanya. “Demi
menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketentraman di dalam
negeri ini, maka Ayahanda berwasiat tahta kerajaan Sungai Serut ini
kepada anakandaku Anak Dalam. Namun demikian Ayahanda berpesan hendaknya
kalian semua tetap bersatu dalam suka maupun duka, dalam bahagia maupun
derita.
Adapun wasiat yang kedua adalah, apabila terjadi sesuatu hal yang
menimpa negeri Sungai Serut ini, dan negeri ini sudah tidak dapat lagi
dipertaruhkan, maka hendaklah kalian semua menyingkir ke Gunung Bungkuk.
Di Gunung Bungkuk itulah nanti datang seorang raja yang akan menjadi
jodoh anakandaku Putri Gading Cempaka.”
Wasiat tahta Sungai Serut itupun kemudian diterima oleh Anak Dalam tanpa
menimbulkan rasa iri hati pada saudara-saudaranya yang lebih tua.
Bahkan semua saudara tuanya telah sepakat mendukung kedua wasiat
ayahandanya, meskipun diliputi dengan suasana yang amat mengharukan
serta menegangkan.
Kabut Duka Sungai Serut
Untung tak dapat diraih, nasib pun tak dapat ditolak. Begitulah kalau
ajal manusia hendak sirna kembali ke pangkuan Illahi. Setelah ayahanda
Putri Gading Cempaka memberikan wasiat kerajaannya kepada Anak Dalam,
maka tak seberapa lama, wafatlah sang Baginda Ratu Agung, pendiri
dinasti kerajaan Sungai Serut.
Melihat Sang Ayahanda Baginda Ratu Agung membisu membujur kaku, serta
menutup mata, maka gemuruhlah isak tangis ketujuh putra-putrinya, yang
membuat gempar seisi istana. Maka si bungsu Putri Gading Cempaka pun
meratap sejadi-jadinya. Seakan si bungsu nan cantik jelita ini tak rela
mengantar kepergian Ayahandanya Baginda Ratu Agung untuk selama-lamanya.
Demikian buah ratapan Putri Gading Cempaka :
“Ya ayahku ratu jujungan,
Tajuk mahkota lepas di tangan,
Malang sangat anak gerangan,
Seumur hidup mabuk kenangan,
Ayuhai ayahku ayuhai paduka ratu,
Tempat bergantung anakanda satu,
Sekarang anakanda tujuh piatu,
Tentu bercinta setiap waktu,
Ya ayahku raja bestari,
Anakanda piatu di dalam negeri,
Duduk bercinta setiap hari,
Pilu dan sedih menyerang diri.
Ya Ayahku yang amat kucinta,
Tempat bergantung ayah semata,
Sekarang patah sudahlah nyata,
Karam dunia pemandangan beta.
Aduhai ayahku aduhai gusti,
Meninggalkan anak sampailah hati,
Jadi sesalan tiada terhenti,
Kenang-kenangku sebelum mati.
Nyata anakmu berhati rindu,
Ayah tiada tempat mengadu,
Nasi dimakan rasa empedu,
Air serasa getah mengkudu.
Isak tangis yang tiada terperi itu meriuhkan seisi istana. Kemudian
menggema dan menggetarkan seluruh rakyat di negeri Sungai Serut. Kini
seluruh anak negeri telah dirundung kabut duka nestapa yang amat dalam,
karena Baginda Ratu Agung nan amat dicintai oleh seluruh rakyatnya telah
tiada lagi di dunia.
Gegap gempitalah segenap pejabat serta kerabat kerajaan, para sanak
famili handai taulan, Bilal, Katib, Kadi, serta hamba kerajaan pun
berdatangan serta menghatur sembah dihadapan ketujuh putra-putri
kerajaan. Sementara tuan Putri Gading Cempaka terlihat masih meratapi
jasad Ayahandanya yang telah terbujur kaku. Maka berkatalah salah
seorang hamba kerajaan, “Ampun diperbanyak ampun, tuan Putri hari sudah
tinggi, Ayah tuan harus dimandikan.
Anak Dalam lalu bertitahlah kepada salah seorang mamandanya:
“Mandikanlah dengan segera Mamanda, supaya jasad ayahanda dapat segera
kita makamkan.“ Maka segeralah jasad ayahanda Ratu Agung itupun
dimandikan melalui upacara dengan penuh khitmad sebagaimana adat
istiadat bagi raja-raja yang wafat pada zaman itu.
Anak Dalam Naik Tahta
Beberapa lama telah berlalu, kabut duka nestapa di negeri Sungai Serut
perlahan lahan telah tersibak dengan sendirinya. Sang mentari pun telah
memancarkan lagi keceriaannya meninggalkan kenangan lama yang teramat
kelam. Maka segeralah Anak Dalam dinobatkan menjadi raja di Negeri
Sungai Serut, menggantikan kedudukan Ayahanda Baginda Ratu Agung.
Sebagai anak yang sangat patuh dan berbakti kepada orang tuanya, maka
sebelum menjadi raja di negeri Sungai Serut ini, Anak Dalam selalu
teringat dan mematuhi apa yang telah dipesankan oleh almarhum ayahanda
Baginda Ratu Agung.
Pesan ayahanda agar tujuh bersaudara tetap bersatu dalam suka maupun
duka, bersama dalam derita maupun bahagia itupun selalu dipegang teguh
oleh Anak Dalam. Terlebih terhadap si bungsu, adinda Putri Gading
Cempaka yang sangat dicintai oleh kakanda Anak Dalam. Wasiat tahta yang
telah diwariskan oleh almarhum Baginda Ratu Agung itu kepada Anak Dalam
ternyata mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya.
Oleh sebab itulah raja Anak Dalam memerintah negeri Sungai Serut dengan
adil dan bijaksana. Terbukti, bahwa negeri sungai Serut semasa dibawah
pimpinan Anak Dalam itupun kemashyurannya tidak kalah pada masa Baginda
Ratu Agung. Bahkan semakin terkenal karena si bungsu Putri Gading
Cempaka kini telah beranjak dewasa dan banyaklah kaum putra bangsawan
dari negeri manca yang ingin sekali meminangnya.
Pangeran Muda Aceh Terpikat
Konon berita tentang keelokan Putri Gading Cempaka yang tiada bandingnya
itu telah tersebar di seluruh penjuru wilayah kerajaan manca, tanpa
kecuali kerajaan Aceh. Tak pelak lagi, putra mahkota kerajaan Aceh pun
sangat terpikat oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Timbulah dalam
pikiran Pangeran Muda Aceh hendak pergi ke negeri Sungai Serut untuk
meminang Putri Gading Cempaka. Ketika pikiran itu telah mengganggu dalam
tidurnya, maka Pangeran Muda Aceh itupun segera memutuskan untuk segera
menghadap ayahanda Baginda Sultan, memohon kebawah cerpu baginda hendak
berangkat ke negeri Sungai Serut.
Tatkala Ayahanda Baginda Sultan melihat dari dekat guratan wajah
anakanda Pangeran Muda yang penuh maksud dan asa itu, maka bertitahlah
sang baginda : “Hai anakku, biji mata ayahanda, apa sebabnya maka
anakanda datang dengan bermuram durja ini ? Adakah seorang dayang telah
bersalah dalam melayani anakanda. Dayang dan inang pengasuh yang mana
kali yang kurang melayani anakanda?”
Maka segeralah Pangeran Muda itu berlutut di hadapan Baginda, seraya
bersembah diri. “Ya ayahanda baginda, tiadalah kiranya kekurangan suatu
apa pada anakanda, dan tiadalah seorang jua pengiring anakanda yang
salah melayani anakanda,” jawab Pangeran Muda.
“Kalau demikian adanya, giranglah sangat ayahanda mendengarkan perkataan
biji mata ayahanda. Akan tetapi terangkanlah, hai anakku, agar ayahanda
mengetahui apakah hajat anakanda datang bersembah dihadapanku ini?”
Ketika didesak perkataannya oleh baginda, maka berteranglah Pangeran
Muda Aceh itu kepada ayahandanya. “Ya Baginda ayahanda, adapun anakanda
datang kehadapan ayahanda, tiadalah lain hendak memohon restu dari
Ayahanda, agar ayahanda memberikan izin kepada anakanda yang hendak
pergi berlayar ke negeri Sungai Serut. Untuk meminang Putri Gading
Cempaka yang telah menjadi tambatan hati hamba. Selain daripada itu,
anakanda juga ingin mengetahui adat lembaga dari negeri lain, agar kelak
anakanda dalam menggantikan ayahanda telah banyak menimba pengetahuan
tentang segala suatu adat negeri lain.”
Setelah mendengar permintaan yang sungguh-sunguh dari Pangeran Muda itu,
dengan sukacita Baginda memberikan izin kepadanya. Baginda segera
memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan perbekalan dan segera
menurunkan perahu yang terkalang dan beberapa perahu lain yang disertai
dengan anak-anak muda secukupnya untuk mengiringnya. Pada keesokan
harinya, bersamaan dengan terbitnya sang mentari dari ufuk timur, serta
merta diiringi oleh kicauan burung yang terbang bebas menyongsong pagi
nan cerah, maka berpamitanlah anak raja Aceh kepada Ayah-bundanya.
Pangeran Muda Aceh pun segera berangkat ke negeri Sungai Serut hendak
meminang Putri Gading Cempaka, agar kelak dikemudian hari dapat menjadi
permaisuri sebagai pendamping Pangeran Muda. Dengan disertai do’a restu
dari ayah-bunda, maka Pangeran Raja Muda Aceh bersama segenap hulubalang
pengiringnya naik kedalam perahu, dan siaplah berlayar meninggalkan
daratan tanah rencong.
Asal Nama Bangkahulu
(Ada versi berbeda asal kata bengkulu dari Legenda Bangkahulu, akan di publish lain kesempatan)
Setelah sekian lama mengarungi badai ombak lautan yang ganasnya tak
terperikan baik disiang hari maupun dimalam hari, maka sampailah kiranya
perahu rombongan Pangeran Muda Aceh memasuki perbatasan wilayah negeri
Sungai Serut. Ketika perahu-perahu itu hendak memasuki wilayah negeri
Serut, kebetulan air laut sedang dalam keadaan naik pasang. Oleh sebab
itu, banyak kotoran, reba-reba serta empang-empang yang terbawa arus
menghulu. Rombongan perahu Pangeran Raja Muda Aceh itupun terkejut
melihat bayaknya empang menghulu yang mengganggu perahu-perahu mereka
yang akan menepi. Maka berteriaklah orang-orang Aceh itu “Empang ka
hulu! Empang ka hulu!”
Pangeran Raja Muda Aceh segera memerintahkan anak buahnya untuk
membersihkan empang-empang yang menghalangi perahu-perahunya. Tampaknya
hati Pangeran Raja Muda Aceh itu sangat terkesan melihat pemandangan di
wilayah ini, maka Pangeran Raja Muda Aceh itu lalu menitahkan kepada
para hulubalangnya agar wilayah ini diberi nama Empangkahulu. Dan sejak
saat itulah orang-orang kemudian menyebut negeri Sungai Serut dengan
sebutan negeri Bangkahulu.
Tatkala perahu rombongan Pangeran Raja Muda Aceh itu sudah sampai di
kualanya, maka dibongkarlah sauhnya, dan layar-layarnyapun digulung dan
diturunkan. Sebagaimana adat kebiasaanya, maka rombongan Raja Muda Aceh
itupun segera membunyikan meriam meriamnya sebagai tanda pemberitahuan
akan kedatangan tamu dari negeri luar.
Perang Besar
Bunyi dentuman meriam itu cukup mengejutkan rakyat negeri Sungai Serut,
tidak kecuali Anak Dalam. Maka segeralah Anak Dalam menitahkan
anak-buahnya turun ke bawah untuk melihat adakah gerangan yang telah
terjadi di negerinya itu. Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan
dari anak raja Aceh yang memohon izin hendak menghadap Baginda Anak
Dalam. Maka bersembahlah utusan anak raja Aceh itu seraya mengemukakan
hajatnya, bahwa maksud kedatangan anak raja Aceh ke negeri Sungai Serut
tiada lain adalah hendak meminang Putri Gading Cempaka. Sebagai seorang
raja nan adil dan bijaksana, setelah mendengar penuturan dari utusan
anak raja Aceh itu,
Anak Dalam segera mengadakan mufakat kepada keenam saudara-saudaranya,
terlebih kepada si bungsu Putri Gading Cempaka. Sementara itu, para
utusan dari negeri Aceh dipersilahkan menunggu di luar istana barang
sejenak. Tak seberapa lama, setelah diadakan mufakat diantara ketujuh
saudara itu, kemudian disuruhnyalah utusan anak raja Aceh itu masuk
menghadap Baginda Anak Dalam. Kemudian diberitahukan bahwa permohonan
anak raja Aceh untuk meminang Putri Gading Cempaka tidak dapat di
kabulkan.
Pangeran Raja Muda Aceh amat marah mendengar hasil laporan dari para
utusanya, bahwa hajatnya hendak meminang Putri Gading Cempaka itu
ditolak. Maka segeralah Pangeran Raja Muda Aceh itu memerintahkan para
hulubalang dan seluruh anak-buahnya untuk menantang perang Baginda Anak
Dalam.
Perang besar antara pasukan Baginda Anak Dalam dari negeri Sungai Serut
dengan pasukan Pangeran Muda Aceh rupanya tidak dapat dielakkan.
Genderang perang telah dibunyikan bertalu-talu oleh kedua belah pihak.
Dan perang itupun terus berkobar sampai berhari-hari lamanya. Sudah
banyak korban yang sudah berjatuhan, tetapi perang terus berkecamuk tak
kunjung selesai.
Belum diketahui pihak yang menang maupun yang kalah, tetapi
bangkai-bangkai manusia terus bergelipangan dimana-mana hingga
menimbulkan bau yang tak sedap. Anak Dalam dan saudara-saudaranya pun
semakin tak tahan mencium bau busuk dari bangkai-bangkai manusia yang
bertumpuk-tumpuk akibat peperangan.
Teringat akan wasiat almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung, maka Anak
Dalam bersama keenam saudara-saudaranya segera memutuskan untuk menarik
diri dan kemudian menyingkir ke gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran
Raja Muda Aceh bersama laskarnya yang masih hidup segera menarik diri
kembali ke negeri Aceh dengan tangan hampa.
Pasirah Empat Petulai
Semenjak Anak Dalam beserta keenam saudaranya meninggalkan Sungai Serut
atau Bangkahulu menuju Gunung Bungkuk, negeri ini dalam keadaan kacau.
Rakyatnya menjadi tidak menentu lagi karena tidak ada lagi rajanya.
Berita tentang keadaan negeri Bangkahulu yang telah ditinggalkan oleh
rajanya itu rupanya terdengar di telinga keempat pasirah.
Adapun keempat pasirah itu masing-masing adalah : Pasirah Merigi,
Pasirah Bermani, Pasirah Salupuh , dan Pasirah Jurukalung. Tidak
seberapa lama, setelah mengadakan mufakat maka berangkatlah segera
keempat pasirah itu dari Lebong balik bukit menuju negeri Bangkahulu
hendak menjadi raja di sana.
Beberapa lama kemudian, keempat pasirah itu berhasil menduduki negeri
Bangkahulu. Akan tetapi setelah berhasil menguasai negeri Bangkahulu,
timbulah perselisihan diantara keempat pasirah itu. Adapun yang menjadi
pokok permasalahan mereka itu adalah mengenai pembagian tanah sebagai
wilayah kekuasaanya. Oleh karena itu masing-masing berkehendak untuk
mendapatkan bagian tanah yang lebih besar, maka pertikaian pun tidak
dapat dihindarkan.
Baginda Maharaja Sakti
Beruntunglah keempat pasirah itu, karena sebelum terjadinya jatuh korban
diantara mereka, tiba-tiba munculah seseorang berperawakan tinggi tegap
dengan pakaian kebesaranya diiringi oleh empat belas pengiringnya,
mendamaikan perselisihan mereka. Keempat pasirah itupun segera
menghentikan pertikaian dan menyambut kelimabelas tamunya dengan penuh
suka cita .
Kemudian salah seorang pemimpin rombongan tamu itu memperkenalkan diri
kepada keempat pasirah itu. ”Nama hamba ini adalah Baginda Maharaja
Sakti. Adapun nama daripada negeri hamba adalah Sungai Terap di Alam
Minangkabau. Empat orang diantara hamba ini adalah bergelar menteri
sedangkan sembilan lainnya adalah anak buah hamba, dan seorang lagi
adalah panakawan hamba”.
Setelah mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti itu, Keempat
pesirah itu segera menjamu tamu agungnya. Baginda Maharaja Sakti pun
segera melanjutkan ceritanya. ”Adapun pekerjaan hamba berjalan kelana
ini karena titah oleh daulat tuanku Sultan Pagar Ruyung, Seri Maharaja
Diraja. Hamba mendapat titah untuk melihat-lihat segala isi pulau Perca
ini yang telah berada di bawah daulat di Pagar Ruyung.”
Setelah mendengar hal ikhwal cerita dari Baginda Maharaja Sakti, maka
makin bertambah suka cita keempat pasirah itu. Keempat pasirah itu
kemudian bersepakat memohon kepada Baginda Maharaja Sakti supaya menjadi
raja dinegeri Bangkahulu.
Baginda Maharaja Sakti menjadi girang dan terharu mendegarnya. “Hamba
terima permohonan tuan-tuan dengan senang hati. Sungguh permintaan
tuan-tuan itu suatu gunung intan bagi hamba.
Memang sudah barang semestinya, bahwa tiap-tiap kampung itu tentu ada
penghulunya, tiap luhak ada larasnya, tiap-tiap negeri ada rajanya.
Sedangkan dinegeri tuan-tuan ini belum lagi berdiri kerajaan. Oleh
karenanya, sudah barang sepatutnya bilamana tuan-tuan mencari seorang
raja yang asli yang hendak menjadi raja di negeri ini, supaya segala
sesuatunya dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana. Namun demikian,
permintaan tuan itu mesti dihadapkan kepada daulat di Pagar Ruyung.
Jika nanti diperkenankan oleh yang dipertuan Alam Minangkabau di Pagar
Ruyung, sudah barang tentu Baginda Seri Maharaja Diraja akan menitahkan
anak cucunya, atau kaum kerabatnya dari Pagar Ruyung ataupun dari Sungai
Terap untuk menjadi raja disini dengan memakai segala adat kebesaran
kerajaan cara Alam Minangkabau, dan memberi tanda keturunan kerajaan
dari Sultan Seri Baginda Maharaja Diraja.
Jikalau tuan-tuan memang bersungguh-sungguh hendak mendirikan kerajaan
disini, maka sebaiknya tuan-tuan pergi menghadap daulat di Pagar Ruyung.
Dan oleh karena pekerjaan hamba ini masih belum selesai, hamba mohon
undur di hadapan tuan-tuan, sebab hamba hendak melanjutkan perjalanan
hamba menuju selatan”.
Setelah berpamitan, Baginda Maharaja Sakti bersama rombongannya itu
segera berangkat meninggalkan negeri Bangkahulu. Keempat pesirah itupun
mengantarkanya dengan hati yang masghul.
Menghadap Istana Pagar Ruyung
Sepeninggal Baginda Maharaja Sakti, keempat pasirah itu lalu bermufakat
untuk segera berangkat ke negeri Alam Minangkabau menghadap Seri Baginda
Maharaja Diraja. Setelah terjadi kata sepakat, maka keempat pasirah
segera berangkat ke Pagar Ruyung. Tak seberapa lama kemudian, sampailah
mereka di negeri Pagar Ruyung. Keempat pasirah itu lalu menghadap
Menteri Empat Balai terlebih dulu, dan setelah itu kemudian baru
diterima daulat tuanku di Pagar Ruyung. Dihadapan Seri Baginda Maharaja
Diraja, keempat pasirah itu bersembah diri, lalu menceritakan hal ikhwal
keadaan di negeri Bangkahulu, serta mengemukaan maksud dan tujuan
kedatangan mereka.
Mendengar persembahan keempat pesirah itu, Seri Baginda Maharaja Diraja
amat bersukacita kemudian bertitah, “Hamba amat berkenan mendengar
permintaan tuan-tuan hendak mendirikan kerajaan, tetapi siapakah yang
akan menjadi raja di negeri tuan-tuan? Ataukah hamba yang akan
menentukan orangnya”?.
Keempat pasirah itupun lalu menuturkan : “ Ya tuanku syah alam, mohon
diampun, bilamana hamba-hamba ini diperkenankan, hamba hendak memilih
tuanku Baginda Maharaja Sakti untuk menjadi raja di negeri hamba. Karena
tatkala tuanku Baginda Maharaja Sakti datang dinegeri hamba, dengan
penuh adil dan bijaksana beliau telah mendamaikan pertikaian diantara
hamba berempat. Maka, kemudian hamba berempat bermufakat hendak
menjadikan beliau menjadi raja di negeri hamba. Namun demikian, tuanku
Baginda Maharaja Sakti tiada kuasa menerima permohonan hamba berempat,
karena harus berizin dahulu dengan tuanku Seri Baginda Maharaja Diraja.
Oleh karena itulah, hamba berempat menghadap kemari. Hamba berempat akan
menerima dengan senang hati siapa saja yang hendak dititahkan oleh yang
dipertuan di Pagar Ruyung ini, niscaya hamba junjung tinggi.
Mendengar penuturan yang amat tulus dari keempat pasirah itu, lalu
bersabdalah Baginda, “Jikalau demikian halnya ayuhai pasirah, tunggulah
barang sebentar, sebab Baginda Maharaja Sakti hingga saat ini belumlah
kembali dari rantauannya”.
Maka dengan senang hati keempat pasirah itupun menuruti permintaan yang
dipertuan di Pagar Ruyung untuk menetap beberapa saat lamanya. Tak
seberapa lama kemudian, Seri Baginda Maharaja Diraja lalu memerintahkan
hulubalangnya untuk mencari Baginda Maharaja Sakti yang ketika itu masih
berada di bukit Siguntang-guntang.
Perjanjian Pagarruyung
Hulubalang yang diperintahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung itu
telah bertemu dengan Baginda Maharaja Sakti di bukit Siguntang-guntang.
Atas titah tuanku Pagar Ruyung, maka segeralah Baginda Maharaja Sakti
menghadap dan bersembah diri kepada Seri Baginda Maharaja Diraja seraya
menuturkan hal ikhwal tentang hasil perjalanannya. Yang dipertuan Sultan
Baginda Maharaja Diraja itupun segera melepaskan hal ikhwalnya, serta
mengharap agar Baginda Maharaja Sakti bersedia menjadi raja dinegeri
Bangkahulu.
Mendengar sabda Sultan Pagar Ruyung, lalu bersembahlah Baginda Maharaja
Sakti : “Ya tuanku syah alam, senang sungguh patik mendengarkan titah
tuanku, tetapi patik tiadalah mempunyai syarat-sayarat yang cukup. Oleh
karena itu baiknya tuanku memilih yang lain saja. Bukankah banyak putra,
atau cucu dari tuanku di dalam Pagar Ruyung ini atau di Sungai Terap
yang patut dirajakan. Adapun perkataan patik ini sungguhlah bukan
berkias gurindam, bukan bersanding beranjung, bukan dengki atau
berkhianat, melainkan sebenar-benarnya perkataan.
Mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti yang sangat tulus itu,
daulat Tuanku Sri baginda Maharaja Diraja menjadi terharu. Demikian
halnya dengan para menteri dan segenap hulubalang, serta keempat pasirah
yang ada disekelilingnya. Suasana di balairung alam Minangkabau ketika
itu juga menjadi larut dalam keheningan.
Malam pun segera menjelang, permufakatan untuk sementara waktu
dihentikan. Setelah berjalan tiga hari tiga malam, daulat Tuanku Sultan
pun bermimpi. Beliau bermimpi, melihat suatu perarakan yang amat ramai
dan menyenangkan. Dalam perarakan itu terlihat Baginda Maharaja Sakti
sedang ditandu menuju hulu Bangkahulu, untuk diangkat menjadi raja di
sana.
Mimpi Baginda Sutan Pagar Ruyung itu sangat jelas arahnya. Maka, pada
pagi harinya, Sultan segera menitahkan hulubalang memanggil Baginda
Maharaja Sakti, beserta menteri empat balai, dan keempat pasirah untuk
datang menghadap beliau.
Daulat yang dipertuan Baginda Seri Maharaja Diraja itupun bertitah :
“Pada hari ini, disaksikan oleh yang hadir dalam majelis di Balairung
ini, kami mengizinkan Baginda Maharaja Sakti mendirikan kerajaan di
negeri Bangkahulu.” Mendengar titah Baginda Seri Maharaja Diraja itu,
keempat pasirah lalu bersuka cta. Maka Baginda Maharaja Sakti pun segera
bersembah diri : “Ampun tuanku, jikalau demikian halnya, patik mohon
sudilah kiranya tuanku membuatkan suatu permufakatan yang teguh antara
pasirah-pasirah ini dengan rajanya, agar jangan ada perselisihan dikelak
kemudian hari.”
Atas permufakatan dengan keempat pasirah itu, maka dibuatkanlah sebuah
permufakatan di hadapan daulat tuanku di Pagar Ruyung, disaksikan oleh
menteri empat balai. Adapun isi perjanjian itu ada sepuluh butir. Inilah
bunyi isi perjanjiannya :
1. Raja tinggal di pesisir laut, sedangkan pasirah, dan perowatin tinggal di hulu.
2. Wilayah pesisir laut menjadi tanggung jawab raja, sedangkan wilayah pegunungan menjadi tanggung jawab pasirah perowatin.
3. Raja atau anak cucung raja, dan kerabatnya bebas berladang atau
berkebun, atau mengambil kayu pendek dan panjang di segala hutan dan
rimba, dan pasirah maupun perowatin tiadalah boleh melarangnya; jikalau
ada orang luar datang menumpang berladang atau berkebun, atau mengambil
kayu, rotan, damar, dan segala jenis hutan, hendaklah dengan izin raja.
4. Tiap-tiap tahun, bilamana anak-buah sudah memotong padi, hendaklah
mengantarkan persembahan kepada raja beras sekulak, ayam seekor, kelapa
sebuah dalam satu bubungan rumah. Maka itu semua akan menjadi makanan
raja. Itulah tanda anak-buah yang membuat raja, bukan raja yang minta
diangkat.
5. Waktu raja mudik ke hulu, memeriksa hal anak-buah yang meminta raja,
maka anak-buah harus memberi beras sekulak, kelapa sebuah, ayam
segantang tunjuk banyak kakinya. Itulah makanan raja serta segala
pengiringnya selama berjalan di hulu.
6. Raja atau anak cucung raja, jika raja mufakat dengan pasirah –
perowatin serta memberi garam atau kain hitam. Tak dapat tiada anak-buah
perowatin menolong dengan beras, dan tukarannya sekulak garam, 10 kulak
beras, sebubung kain hitam begitu juga. Itulah tukon namanya.
7. Bea dari segala labuhan dan kuala semuanya raja yang punya, tidak
dapat tidak oleh pasirah dan perowatin, tetapi pasirah perowatin sendiri
tiada kena bea labuhan atau kuala.
8. Segala jenis perkara yang kecil, pasirah dan perowatin yang berkuasa
menyelesaikannya di tanah hulu; jika perkara itu besar maka hendaklah
pasirah dan perowatin membawanya kehadapan raja untuk diselesaikannya
bersama-sama.
9. Orang kerap gawe dibagi dua, satu bagian oleh pasirah yang punya
marga dengan perowatin yang punya dusun, dan satu bagian kembali pada
raja.
10. Jikalau hilang pasirah, raja mencarikan ganti pasirah; jikalau hilang raja, pasirah mencarikan ganti raja.
Demikianlah isi perjanjian antara Baginda Maharaja sakti dengan keempat
pasirah yang disaksikan oleh daulat seri Baginda maharaja Diraja di
Pagar Ruyung, serta menteri empat balai. Kemudian kedua belah pihak,
baik Baginda Maharaja sakti maupun keempat pasirah itupun sama-sama
berikrar.
“Kami bersumpah untuk memegang teguh selama-lamanya, tidak lapuk
dihujan, tidak lekang dipanas, selama gagak hitam, selama air hilir,
kalau lurah sama dituruni, kalau bukit sama didaki, hilang sama dicari,
tenggelam sama diselami, bersumpah bersetia, minum air dituntung keris.
Barang siapa mungkir dari perjanjian, dimakan kutuk bisa kawi, dikutuk
Qur’an tiga puluh juz, di bawah tidak berakar, di atas tidak berpucuk,
di tengah digerek kumbang, ke darat tak boleh makan, ke air tak boleh
minum, jatuh murka Allah ta’ala dengan seberat-beratnya.”
Setelah selesai bersumpah di balairung kampung dalam kerajaan Pagar
Ruyung di hadapan tuanku Seri Maharaja Diraja, dan disaksikan pula oleh
menteri empat balai, serta para hulubalang kerajaan, maka segeralah
didirikan sebuah Alam Halipan yang dilengkapi dengan tunggul, dan
panji-panji serta segala angkatan kerajan, pudai tinggi, bantal berapit
kiri kanan, kain terbentang sampai ke atas, dilingkung pucuk beranyam,
dayang-dayang sebanyak dua kali tujuh (empat belas) yang berdiri emas
ditanai, juga terbentang cindai jajakan, serta dupa sebanyak dua kali
tujuh (empat belas).
Tak seberapa lama, dupa-dupa tersebut dinyalakan, gendang kalang luari
dibunyikan, meriam seletus dipasang sebagai tanda penobatan raja.
Selanjutnya, yang dipertuan Baginda Sultan Seri Maharaja Diraja di Pagar
Ruyung segera memberikan sebelas tanda kebesaran kerajaan kepada
Baginda Maharaja Sakti.
Adapun sebelas tanda kebesaran kerajaan itu ialah :
1). Dua buah meriam secorong besar dan satunya kecil;
2). Sebuah curik semandang giri retak seratus tiga puluh memancung sakti munuh, yang bentuknya seperti pedang;
3). Sebuah payung gedang berubur-ubur dengan kain kuning;
4). Sebuah tombak benderangan berambu janggut janggi;
5).Sebuah pedang jabatan;
6). Satu Alam Halipan;
7).Satu Marawal;
8). Satu panji;
9). Sebuah kotak tempat sirih berpakut emas;
10). Sebuah tempat air minum kendi berpalur emas ;
11). Sebuah gong mu’tabir alam.
Tatkala Baginda Maharaja Sakti menerima sebelas tanda kebesaran kerajaan
dan berjabat tangan dengan daulat tuanku yang dipertuan di Pagar
Ruyung, saat itulah bergetar puncak istana balairung, tempat penobatan
sang Baginda hingga menimbulkan bunyi petus tunggal. Oleh karenanya,
kelak dikemudian hari, marga bawaan dari baginda Maharaja sakti itu
dinamai orang Marga Semitul.
Kembali ke Negeri Bangkahulu
Tak seberapa lama setelah usai penobatan, maka berpamitanlah Baginda
Maharaja sakti beserta para pengiringnya, serta keempat pasirah menuju
negeri Bangkahulu. Empat menteri yang telah mengiring Baginda Maharaja
Sakti ketika berkelana itu juga dibawanya turun ke negeri Bangkahulu.
Mereka berempat masing-masing bernama:
Menteri Agam,
Menteri Sumpu
Melalo, Menteri Singkarak, dan
Menteri Sandingbaka (Sending Bungkah).
Beberapa waktu kemudian, sampailah rombongan baginda Maharaja sakti di
suatu kuala Sungai Lemau yang hulunya menuju Gunung Bungkuk. Maka mereka
pun lalu berhenti berjalan melepas kelelahan. Di situlah kiranya
rombongan Baginda sudah berada di wilayah negeri Bangkahulu yang
terbentang luas.
Setibanya di negeri Bangkahulu, keempat pasirah lalu mengumpulkan adik
sanak kerabat serta segenap perowatin dan anak-buahnya di tiap-tiap
dusun. Mereka segera menyambut kedatangan rajanya dengan suka cita dan
menjamunya.
Upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti sebagai raja di negeri
Bangkahulu segera dipersiapkan. Akan tetapi ketika upacara penobatan
Baginda Maharaja Sakti hendak dimulai, tiba-tiba datang hujan badai yang
amat kencang, disertai gemuruhnya sang halilintar menyambar-nyambar
tiada henti-hentinya. Atas permufakatan bersama, upacara penobatan
Baginda Maharaja Sakti untuk sementara ditunda menunggu redanya hujan
badai, dan tenangnya hari.
Bidadari dari Gunung Bungkuk
Hari telah berjalan tiga malam. Ternyata hujan badai yang disertai
sambaran petir itu tak kunjung berhenti. Anehnya, pada malam harinya
berturut-turut hingga malam ketiga, Baginda Maharaja Sakti bermimpi
melihat seorang bidadari nan cantik jelita. Bidadari itu sedang
menari-nari di tengah hujan badai. Baginda sungguh keheranan karena sang
bidadari itu tiada terkena hujan barang sedikitpun jua. Kemudian sang
bidadari itu terbang menuju ke arah Gunung Bungkuk.
Pada keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti segera memanggil keempat
pasirah. Lalu diceritakanlah tentang mimpinya yang amat menakjubkan.
Baginda bertambah pikiran, dan amat terpikat oleh kecantikan bidadari
dalam mimpinya. Baginda lalu meminta pendapat kepada keempat pasirah
untuk mencarikan keterangan, apa makna dalam mimpinya itu.
Mendengar penuturan sang baginda itu, keempat pasirah segera mengadakan
permufakatan untuk mencarikan jalan keluarnya. Mereka berempat lalu
sepakat untuk mencari seorang ahli nujum yang dapat meramalkan, gerangan
apakah yang ada dalam mimpi rajanya itu. Maka, disuruhlah anak-buahnya
untuk segera mencari seorang ahli nujum yang sakti.
Tak seberapa kemudian, datanglah utusan itu menghadap keempat pasirah
dengan membawa seorang ahli nujum. Kemudian oleh keempat pasirah, ahli
nujum itu dihadapkan kepada Baginda Maharaja Sakti. Ahli nujum itupun
segera bersembah diri.
”Ampun Baginda, hamba datang ingin menghadap duli Baginda, adakah
gerangan yang hendak hamba terima titah Baginda?” Maka bertitahlah
Baginda Maharaja Sakti: “Hai ahli nujum, tiadalah kiranya kubentangkan
kata nan panjang di hadapan tuan, karena tuan pastilah telah membawa
beritanya.” Ahli nujum pun menjawabnya, “Ampun ya Baginda, sungguh
tiadalah hamba berani mendahului sabda tuanku, sebab takabur itu sifat
yang sangat tidak baik bagi seorang hamba Allah.”
Mendengar penuturan si ahli nujum itu, Baginda pun segera maklum, maka
berceritalah Baginda Maharaja Sakti hal ikhwal tentang mimpinya itu.
Ahli nujum itupun segera memberikan keterangan dihadapan Baginda
Maharaja Sakti, perihal bidadari nan elok dan juwita itu.
“Ampun hamba, ya Tuanku Baginda, adapun bidadari nan elok juwita yang
mengganggu pikiran Baginda itu sesungguhnya adalah tuanku Putri Gading
Cempaka, putri bungsu dari mendiang tuanku Baginda Ratu Agung di negeri
Sungai serut. Kini tuan Putri Gading Cempaka masih berada di Gunung
Bungkuk, tinggal bersama keenam saudara tuanya. Menurut ramalan hamba,
Tuanku Baginda akan dapat mendirikan negeri Bangkahulu ini tegak kembali
dengan selamat, bilamana tuanku dapat serta membawa tuanku Putri Gading
Cempaka. Berdasarkan ramalan hamba, tuanku Putri Gading Cempaka inilah
yang dapat menurunkan raja-raja di negeri ini, karena tuan Putri itu
sesungguhnya anak daripada Ratu Agung jelmaan Dewa dari Gunung Bungkuk”.
Betapa sukacitanya Baginda Maharaja Sakti mendengar uraian dari ahli
nujum itu. Maka timbullah hasrat yang amat kuat dalam hati dan pikiran
Baginda Maharaja Sakti untuk segera dapat meminang Putri Gading Cempaka.
Sebab tatkala itu Baginda Maharaja Sakti memang belum memiliki calon
permaisuri yang akan mendampinginya sebagai raja di negeri Bangkahulu.
Menjemput ke Gunung Bungkuk
Setelah Baginda Maharaja Sakti mengadakan permufakatan dengan keempat
pasirah, serta para menterinya itu, maka diputuskanlah untuk segera
mengutus hulubalang menuju Gunung Bungkuk menjemput Putri Gading Cempaka
beserta keenam saudara-saudaranya. Keempat pesirah beserta para
perowatinnya itupun menjadi penunjuk jalan menuju Gunung Bungkuk.
Pada hari yang dianggap baik, berangkatlah utusan dari Baginda Maharaja
Sakti menuju Gunung Bungkuk. Tak seberapa lama, keempat pasirah dan
segenap perowatin beserta para hulubalang utusan Baginda Maharaja Sakti
itupun sampailah di kaki Gunung Bungkuk.
Anak Dalam beserta keenam sudaranya yang tinggal di Gunung Bungkuk itu
amatlah terkejut melihat dari kejauhan ada serombongan pasukan yang
hendak menuju ke tempatnya. Ketujuh saudara itupun menjadi sangat cemas
hatinya, dan takut kalau-kalau yang datang itu musuh. Maka segeralah
Anak Dalam menyuruh si bungsu Putri Gading Cempaka untuk bersembunyi.
Sementara itu Anak Dalam bersama dengan saudara-saudaranya yang lain siap menghadapi para tamunya yang tiada diundang itu.
Betapa terkejutnya Anak Dalam beserta saudara-saudaranya itu, tatkala
sudah saling berhadapan, ternyata para tamunya itu segera berlutut
menghaturkan sembah. “Ampun diperbanyak ampun tuanku, hamba-hamba ini
adalah utusan dari tuanku Baginda Maharaja Sakti, raja di negeri
Bangkahulu. Adapun kedatangan hamba kemari tiada lain atas titah Baginda
untuk menjemput tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian,
serta hendak mengangkat tuan Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri
Baginda di negeri Bangkahulu.”
Selanjutnya diceritakan bahwa Baginda Maharaja Sakti belum kuasa
mendirikan kerajaannya, sebelum dapat bersanding dengan tuan Putri
Gading Cempaka untuk mendampingi menjadi permaisurinya. Pasirah yang
lain pun ikut melengkapi ceritanya, bahwa tatkala hendak mendirikan Alam
Halipan untuk upacara penobatan sang raja, tiba-tiba datang hujan badai
yang disertai halilintar yang amat menyeramkan. Bahkan selama tiga
malam Baginda telah bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita
sedang menari-nari ditengah hujan badai. Menurut salah seorang ahli
nujum, bidadari nan cantik jelita itu tiada lain adalah tuanku Putri
Gading Cempaka.
Setelah mendengar penuturan dari salah satu pasirah, maka sangatlah
lapang hati Anak Dalam beserta kelima saudara tuanya itu. Anak Dalam pun
segera memanggil si bungsu Putri Gading Cempaka keluar dari tempat
persembunyiannya.
Ketujuh bersaudara itupun kemudian teringat akan pesan dari almarhum
ayahnya, bahwa pada suatu waktu, akan datang seorang raja yang akan
mengangkat si bungsu untuk menjadikannya permaisuri di kerajaannya.
Ketujuh bersaudara iutpun kemudian menyetujui permohonan keempat pasirah
utusan Baginda Maharaja Sakti. Maka, segeralah mereka bertujuh itu
berkemas diri dengan membawa perbekalan secukupnya.
Pad keesokan harinya, berangkatlah ketujuh bersaudara itu diiringi oleh
keempat pasirah dan segenap perowatinya beserta hulubalang kembali
menuju negeri Bangkahulu.
Berdirinya Kerajaan Sungai Lemau
Tak seberapa kemudian sampailah utusan Baginda bersama dengan Putri
Gadinga Cempaka dan keenam saudara-saudaranya di negeri Bangkahulu.
Baginda Maharaja Sakti segera menyambut para tamunya dengan rasa
sukacita. Maka segera dipersiapkan pesta besar-besaran untuk
melangsungkan acara perkawinan antara Baginda Maharaja Sakti dengan
Putri Gading Cempaka.
Pada kesempatan yang sama juga dilangsungkan upacara penobatan sang
Baginda Maharaja Sakti menjadi raja di negeri Bangkahulu, sedangkan tuan
Putri Gading Cempaka duduk disampingnya menjadi permaisurinya. Tak
seberapa lama kemudian, dibangunkannya sebuah istana kerajaan sebagai
pusat pemerintahan serta kediaman Baginda dan permaisuri Putri Gading
Cempaka.
Adapun letak istana kerajaannya di kuala Sungai Lemau. Oleh sebab itu,
maka nama kerajaan dari Baginda Maharaja Sakti itu kemudian disebut
kerajaan Sungai Lemau.
Dibawah pemerintahan Baginda Maharaja Sakti yang didampingi oleh tuanku
Putri Gading Cempaka, negeri Sungai Lemau kian lama kian masyhur
namanya. Kehidupan rakyatnya semakin bertambah makmur, negerinya amat
subur. Padipun mudah menjadi, beras amatlah murah, anak-buahpun semakin
berkembang banyak. Adat dengan lembaga berdiri kokoh. Adat yang dipakai ,
lembaga yang dituang, bak air mengarus hilir, adat mengarus mudik.
Mengarut cupak dengan gantang, mengatur ukuran dengan timbangan.
Lahirnya Sang Putra Mahkota
Beberapa bulan kemudian, tuan Putri Gading Cempaka itupun sudah mulai
menujukkan tanda-tanda kehamilan. Maka tidak lama lagi Baginda dan
permaisuri akan segera mendapatkan karunia seorang anak. Setelah bulan
berjalan sembilan lebih sepuluh hari, Putri Gading Cempak kemudian
melahirkan seorang putra laki-laki.
Bukan kepalang girangnya Baginda Maharaja Sakti serta Putri Gading
Cempaka setelah mendapatkan putra laki-laki yang mungil dan lucu itu.
Maka pada hari yang baik segeralah Baginda Maharaja Sakti mengumpulkan
segenap kerabat kerajaan, anak-buah serta para dayang untuk mengadakan
upacara selamatan menyambut kelahiran putra mahkota negeri Sungai Lemau
itu. Kemudian Baginda Maharaja Sakti memberinya nama : Aria Bago.
Demikianlah ceritera Putri Gading Cempaka yang menurunkan raja-raja dinegeri Sungai Lemau.
Nama Kerajaan Sungai Lemau dipilih karena Baginda Maharaja Sakti memilih
pusat pemerintahan di muara Sungai Lemau (dekat Dusun Pondok Kelapa
sekarang). Kepemimpinan Baginda Maharaja Sakti di Kerajaan Sungai Lemau
bertahan sekitar 30 tahun.
Setelah Baginda Maharaja Sakti turun tahta, naiklah putera beliau yang
bernama Baginda Sebayan bergelar Tuan Pati Bangun Negara. Di masa
pemerintahan Baginda Sebayan, dijalinlah hubungan dengan Sultan Ageng
Tirtayasa, penguasa di Kesultanan Banten. Hubungan dua kerajaan terjadi
sekitar tahun 1668 M.
Alasan Baginda Sebayan menjalin hubungan dengan Kesultanan Banten adalah
untuk mencari perlindungan. Bahkan kedatangan Baginda Sebayan ke Banten
untuk menyatakan bahwa Kerajaan Sungai Lemau berada di bawah lindungan
Kesultanan Banten Dari hubungan tersebut, Baginda Sebayan mendapatkan
gelar Pangeran Raja Muda dari Kesultanan Banten.
Pada masa pemerintahan Pangeran Raja Muda, untuk pertama kalinya di
wilayah Kerajaan Sungai Lemau kedatangan kapal dagang berbendera
Inggris. Kapal tersebut masuk ke muara Sungai Bengkulu pada 24 Juni
1685. Atas persetujuan rakyat sekitar, para awak kapal diizinkan untuk
turun ke darat. Tidak lama berselang, pada 12 Juli 1685 dibuat
perjanjian untuk mendirikan bangunan dan perdagangan antara Pangeran
Raja Muda dengan Komisaris Ralph Ord (wakil dari English East India
Company of Merchants) Selepas mengadakan perjanjian, Komisaris Ralph Ord
bertolak ke Inderapura dan meninggalkan Benyamin Bloome sebagai kepala
di Fork York (wilayah pendudukan Inggris yang diizinkan oleh pihak
Kerajaan )
Pasca penandatanganan perjanjian, Inggris yang telah mendapatkan
legalitas untuk mendirikan bangunan dan berdagang di Bengkulu (wilayah
kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau), segera membangun tempat pemukiman.
Pada 1714-1719 Inggris membangun Benteng Fort Marlborough dan juga
mendirikan benteng kecil di Muko-Muko bernama Anna. Pembangunan Benteng
Fort Marlborough dikerjakan oleh orang-orang India (sepehi) yang dibawa
sebagai buruh dan tentara pembantu Kerajaan Inggris.
Setelah turun tahta, Pangeran Raja Muda digantikan oleh Pangeran Mangku
Raja. Di era pemerintahan Pangeran Mangku Raja, untuk kedua kalinya
diadakan perjanjian perdagangan dengan pihak Inggris pada 17 April 1724
Bagi Kerajaan Sungai Lemau, perjanjian tersebut sangat menguntungkan
karena pemasukan ke kerajaan menjadi bertambah besar. Bisa dikatakan di
masa inilah, pos keuangan di Kerajaan Sungai Lemau mencapai puncak
kejayaan dengan melimpahnya pemasukan dari beberapa sektor seperti: bea
cukai, premi, judi ayam, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, pihak Inggris juga diuntungkan dengan. Dengan perjanjian
ini, Inggris yang telah memiliki Benteng Fort Marlborough, semakin
kuat.. Untuk semakin memperkuat kedudukannya tersebut, Inggris
mendirikan pasar perdagangan yang dikenal sebagai Pasar Marlborough,
sebuah kampung (setingkat dusun) yang diperuntukkan bagi penduduk non
Bumiputera, seperti etnis Cina.
Keadaan ini semakin memperkuat kedudukan Inggris di wilayah Kerajaan
Sungai Lemau. Pusat perdagangan yang sebelumnya dikendalikan oleh
kerajaan, kini praktis mulai diambil alih oleh Inggris dengan
didirikannya pusat perdagangan tandingan di Ujung Karang. Etnis Cina
yang datang untuk turut serta mengadu nasib di Ujung Karang, ternyata
memberikan andil yang cukup signifikan untuk memutar roda perekonomian,
sehingga kendali perdagangan, pelan tapi pasti mulai diambil alih oleh
Inggris.
Inggris juga memperkuat diri dengan memperbesar benteng dan menempatkan
banyak meriam. Situasi ini membuat pihak Kerajaan Sungai Lemau tidak
kuasa untuk mengusik keabsahan Inggris di sekitar Benteng Fort
Marlborough. Bahkan Inggris mulai memperluas kekuasaan dengan
mengakuisisi daerah sekitar benteng dan semakin meluas lagi sampai ke
seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau, bahkan sampai ke
wilayah Bengkulu secara umum.
Perkembangan situasi yang tidak menguntungkan ini memaksa pihak Kerajaan
Sungai Lemau untuk membuat perjanjian dengan Inggris. Pada 4 Juli 1818
terjadi penandatanganan perjanjian antara Kerajaan Sungai Lemau yang
diwakili oleh Pangeran Linggang Alam (pengganti Pangeran Mangku Raja)
dengan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles. Di dalam
perjanjian disebutkan bahwa secara resmi Kerajaan Sungai Lemau
menyatakan sikap untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan Inggris
Meskipun dilebur, kedudukan raja tetap dipertahankan dan tetap dianggap
sebagai penguasa yang mewakili Kerajaan Sungai Lemau. Hanya saja
kedudukan raja tersebut kini berada di bawah Pemerintahan Inggris di
Bengkulu.
Sebagai kompensasi dari peleburan tersebut, Pangeran Linggang Alam
dijadikan pegawai pemerintahan jajahan Inggris dengan pangkat regent
(bupati) dan bertempat tinggal di Kota Bengkulu. Sebagai pegawai
pemerintah, Pangeran Linggang Alam mendapat gaji 700 Ringgit Inggris per
bulan. Perjanjian tersebut juga menyebutkan bahwa lada dapat dijual
bebas .
Pasca penyerahan kekuasaan, kedudukan Pangeran Linggang Alam selaku
wakil dari Kerajaan Sungai Lemau tetap bertahan sampai beliau mangkat
pada 1833 Pangeran Linggang Alam tetap diakui sebagai wakil dari
Kerajaan Sungai Lemau ketika berada di di dalam Dewan Pangeran (Pangeran
Court). Sebelum beliau meninggal, terjadi perpindahan kekuasaan dari
Inggris ke Belanda sebagai konsekuensi atas ditandatanganinya Traktat
London pada 1824.
Traktat London merupakan perundingan antara wakil dari Pemerintah
Britania Raya (Inggris) dengan Kerajaan Belanda. Perundingan tersebut
dilakukan di London. Belanda diwakili oleh H. Hegel dan A.R. Falck dan
Inggris diwakili oleh G. Canning dan C.W.W. Wynn. Di dalam perundingan
yang telah dimulai sejak akhir 1823 tersebut, Inggris sejak awal telah
menetapkan bahwa Malaka dan daerah sekitarnya termasuk Singapura akan
berada di bawah kekuasaan Inggris. Sedang wakil dari Belanda,
menginginkan bahwa kedua belah pihak akan berpegang pada garis yang
dimulai dari pintu masuk ke Selat Malaka sejajar dengan Kedah atau 6˚ LU
dan berakhir di Laut Cina Selatan pada ujung Selat Singapura, dan
memasukkan pulau tersebut ke pihak Utara (Inggris), sedangkan
pulau-pulau Karimun, Batam, Bintan, dan Riau ke sebelah selatan garis
(pihak Selatan atau Belanda). Pembagian wilayah pendudukan untuk Inggris
dan Belanda, secara tersurat dapat dilihat dalam Traktat London yang
ditandatangani pada 17 Maret 1824. Isi Traktat London tersebut, antara
lain:
Kota dan benteng Melaka beserta rantau jajahan takluknya dengan ini
diserahkan kepada Kemaharajaan Britania Raya dan Raja Kerajaan Belanda
berjanji, untuk dirinya dan untuk rakyatnya, tidak akan pernah
mendirikan kantor dalam bahagian Semenanjung Melaka atau memperbuat
perjanjian dengan raja-raja Melayu, kepala-kepala negara yang
berkedudukan di semenanjung itu.
Z.M. Raja Belanda tidak akan mencampuri mengenai pendudukan Pulau Singapura oleh Kemaharajaan Britania Raya.
Imbangan dari itu, maka Kemaharajaan Britania Raya tidak akan mendirikan
kantor di Kepulauan Karimun, atau di Pulau Batam, Bintan, Lingga atau
lain-lain pulau yang terletak di sebelah Selatan Selat Singapura, dan
tidak akan memperbuat perjanjian dengan kepala-kepala yang ada di situ.
Semua koloni, hak milik dan etablisemen, sebagai akibat pasal-pasal di
atas ikut diserahkan, kepada perwira-perwira yang berkedaulatan pada
tanggal 1 Maret 1825. d.s.b.”
Bersulihnya pemegang kekuasaan di Bengkulu dari Inggris ke Belanda, pada
dasarnya tetap menyudutkan Kerajaan Sungai Lemau. Raja Kerajaan Sungai
Lemau berada di bawah pengaruh Belanda. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi pergantian kepemimpinan dari Pangeran Linggang Alam kepada
putera beliau bernama Putu Negara.
Secara de facto Putu Negara langsung dapat menggantikan kedudukan
Pangeran Linggang Alam sebagai raja. Akan tetapi secarade jure (menurut
pihak Belanda) baru terealisasi pada 1835. Pengangkatan dilakukan oleh
Residen Bengkulu, De Vries sebagai wakil dari Gubernemen Hindia Belanda
di Bengkulu yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Pemerintah Jajahan
Belanda tertanggal 3 Agustus 1836 no. 5 Atas pengangkatan tersebut, Putu
Negara mendapat gelar Pangeran Muhammad Syah 2
Pengangkatan Pangeran Muhammad Syah II pada 1835 ternyata menjadi
pengangkatan raja terakhir di Kerajaan Sungai Lemau. Pada 1861,
berdasarkan Keputusan Pemerintah Jajahan Belanda tertanggal 5 Desember
1861, dikatakan bahwa Pangeran Muhammad Syah II atas permintaan sendiri
meletakkan jabatan sebagai raja di Kerajaan Sungai Lemau. Setelah
Pangeran Muhammad Syah II tidak memerintah, Belanda menggantikan
kedudukan raja dengan datukdan pasirah sebagai pelaksana bawahan Dengan
dihapuskannya kedudukan raja di Kerajaan Sungai Lemau, maka sejak
itulah, secara de facto dan de jure, berakhirlah riwayat Kerajaan Sungai
Lemau yang telah bertahan sekitar 200 tahun.
Silsilah Kerajaan Sungai Lemau dapat ditemukan dalam beberapa buku,
seperti Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bengkulu(1978/197), Sejarah
Sosial Daerah Kota Bengkulu (1984) dan Hukum Adat Rejang (1980). Hanya
saja sedikitnya ketersediaan sumber untuk merangkai silsilah para raja
yang telah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, membuat silsilah para
raja di Kerajaan Sungai Lemau tidak bisa disajikan secara utuh. Berikut
ini adalah silsilah para raja yang telah berhasil ditemukan:
Baginda Maharaja Sakti (naik tahta sekitar 1625-1630).
Baginda Sebayan bergelar Tuan Pati Bangun Negara atau Pangeran Raja Muda
(gelar pemberian dari Kesultanan Banten) (memerintah kurun waktu 1668)
Pangeran Mangku Raja (memerintah kurun waktu 1724)
Pangeran Linggang Alam (memerintah sampai dengan 1833)
Putu Negara bergelar Pangeran Muhammad Syah II (1833-1861).
3. Sistem Pemerintahan
Dalam perjanjian yang dilakukan antara Baginda Maharaja Sakti dan para
Depati Tiang Empat, disepakatilah aturan tentang sistem pemerintahan
yang berlaku di Kerajaan Sungai Lemau perjanjian tersebut adalah:
Raja Ulu Bengkulu berdiri sendiri.
Kalau ada musuh datang dari laut, maka merupakan tanggungan Raja Ulu
Bengkulu untuk menghalaunya dan kalau ada musuh datang dari darat, maka
Depati Tiang Empat yang menghadapinya.
Kalimat “Raja Ulu berdiri sendiri” dalam perjanjian di atas dapat
dimaknai sebagai keabsahan seorang raja sebagai pucuk pimpinan
tertinggi. Sedangkan penyebutan Kerajaan Ulu Bengkulu merupakan nama
lain dari penyebutan Kerajaan Sungai Lemau.
Pembagian tugas antara raja dan para Depati Tiang Empat, pada
perkembangannya kemudian melahirkan sistem pengaturan Adat Lembaga di
wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau. Sistem Adat Lembaga di Kerajaan
Sungai Lemau disusun bertingkat berdasarkan banyak-sedikitnya jumlah
penduduk yang mendiami wilayah tertentu.
Diurutan paling bawah dari struktur pangaturan Adat Lembaga, terdapat
dusun yang dipimpin oleh seorang kepala dusun yang disebut patai yang
bergelardepati atau pangawa. Gabungan dari beberapa dusun disebut marga
yang dipimpin oleh seorang pasirah. Di pusat kerajaan (kota), dusun
disebut dengan pasar. Satu atau beberapa pasar dipimpin oleh seorang
pemangku yag dibantu oleh seorang atau beberapapemangku muda. Beberapa
daerah kepemangkuan, diatur oleh seorang datuk. Lama jabatan seorang
datuk ± 8 tahun.
Sebelum kedatangan Inggris dan Belanda, pengaturan Adat Lembaga diatur
di dalam buku Undang-Undang Simbur Cahaya .Undang-Undang ini mengatur
tentang kewajiban dan hak beberapa kepala Adat Lembaga, seperti patai,
pasirah, dandatuk. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan produk dari
Kerajaan Islam Palembang. Undang-Undang Simbur Cahaya disusun oleh Ratu
Sinuhun (1622-1635), istri dari Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630),
salah satu Sultan di Kesultanan Islam Palembang. Undang-Undang Simbur
Cahaya berlaku di seluruh Sumatera Selatan.
Masih di seputar pengaturan Adat Lembaga, sebelum Inggris datang ke
Bengkulu dan Kerajaan Sungai Lemau masih mengakui berada di bawah
lindungan Kesultanan Banten, di Bengkulu telah terdapat empat marga,
yaitu Sukau, Kembahang, Buai Kanjangan (Batu Brak), dan Blungu (semua
marga ini terdapat di daerah Krui)
Saat Bengkulu berada dalam kekuasaan Inggris, sekitar tahun 1770
dibentuk suatu Dewan Pangeran (Pangeran Court) di Kota Bengkulu, sebagai
dewan banding terhadap keputusan-keputusan perkara yang telah
diputuskan oleh kepala-kepala dusun. Pangeran Linggang Alam duduk dalam
Dewan Pangeran tersebut, akan tetapi kekuasaannya sudah jauh berkurang,
meskipun beliau masih sangat dihormati dan mendapatkan tempat duduk di
sebelah kanan Residen Inggris dalam upacara-upacara resmi.
Seiring dengan mulai berkuasanya Belanda di Bengkulu, sistem
pemerintahan di Kerajaan Sungai Lemau mengalami perubahan. Pada 1838,
Pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu mulai menetapkan susunan
pemerintahan sebagai berikut :
Bengkulu merupakan afdeling (daerah) Bengkulu yang terbagi ke dalam beberapa onder afdeeling, yaitu :
Muko-Muko dengan 5 distrik
Lais dengan 5 distrik
Bengkulu
Sekitar Bengkulu dengan 8 distrik
Seluma dengan 5 distrik
Manna dengan 5 distrik
Kaur dengan 7 distrik
Krui dengan 13 distrik
Ampat Lawang termasuk Rejang Musi
Format pemerintahan di atas selesai disusun ketika J. Walland (1861-1865) menjabat sebagai Asisten Residen di Bengkulu.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Ulu Bengkulu (Kerajaan Sungai Lemau) meliputi
Renah Pesisir di Utara sampai ke Air Urai (Kerajaan Inderapura), di
selatan sampai Air Lempuing (Kerajaan Silebar), dan di timur Kerajaan
Rejang Belek Tebo (Kerajaan Rejang di Bukit Barisan)
Wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau semakin meluas pasca
penandatanganan perjanjian perdagangan antara Inggris dan Kerajaan
Sungai Lemau pada 17 April 1724. Perluasan wilayah tersebut kini
meliputi, dari Sungai Bengkulu sampai ke perbatasan Kerajaan Anak Sungai
(sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Muko-Muko)
Kehidupan sosial-budaya di Kerajaan Sungai Lemau dapat ditinjau dari
beberapa segi, misalnya pengaruh kerajaan tetangga dan kedatangan bangsa
asing. Kehidupan budaya, khususnya adat istiadat hingga bahasa di
Kerajaan Sungai Lemau, sedikit-banyak mendapat pengaruh dari beberapa
pihak, seperti dari Kerajaan Melayu, Banten, Majapahit, Pagaruyung,
sampai pengaruh dari bangsa asing seperti Inggris dan India.
Pengaruh kedatangan orang Inggris yang membawa orang-orang India
(sepehi) ke Kerajaan Sungai Lemau pada abad ke-17, membawa pula pengaruh
kebudayaan seperti tabot. Kebudayaan ini sampai sekarang masih
dilestarikan oleh orang-orang Bengkulu sebagai kesenian rakyat yang
dipertunjukkan antara tanggal 1-10 Muharram
Selain itu unsur Islam yang dibawa bersamaan dengan masuknya orang Aceh,
Kerajaan Pagaruyung, dan hubungan dengan Kesultanan Banten, juga
mempengaruhi kehidupan budaya di Kerajaan Sungai Lemau. Pengaruh
tersebut terutama tampak pada tulisan Arab, baik tulisan Arab Melayu
maupun tulisan Arab.
Masih di seputar agama, Menurut Benyamin Bloome, penguasa di Fork York
(wilayah pendudukan Inggris yang diizinkan oleh pihak kerajaan), ketika
perjanjian untuk mendirikan bangunan dan perdagangan ditandatangani oleh
pihak Inggris dan Kerajaan Lemau pada 24 Juni 1685, di tempat tersebut
para penduduk telah menganut agama Islam. Kesaksian Bloome ini kembali
dilanjutkan bahwa perjanjian tersebut terjadi pada bulan puasa di mana
para penduduk Kerajaan Sungai Lemau sedang menunaikan ibadah puasa.
Selain itu, Bloome juga menyatakan bahwa ketika penduduk melakukan
sumpah (di pengadilan adat misalnya) mereka mempergunakan Al-Qur‘an.
Khusus untuk Kerajaan Pagaruyung, hijrahnya orang-orang dari Kerajaan
Pagaruyung ke Kerajaan Sungai Lemau, membawa pula adat istiadat yang
biasa dilakukan di Minangkabau. Terutama di daaerah pesisir, pengaruh
dari Kerajaan Pagaruyung tampak pada bahasa dan kesusasteraan, adat
istiadat perkawinan, prinsip keturunan matrialineal, hukum waris mamak
kemenakan, sistem pertanian, dan lain-lain.
Ketertarikan para pendatang untuk datang ke wilayah Kerajaan Sungai
Lemau (Bengkulu), erat kaitannya dengan fungsi dan letak Bengkulu yag
terkenal sebagai penghasil lada, cengkeh, kopi, dan hasil hutan yang
telah terkenal sejak dahulu. Di samping itu, Kerajaan Sungai Lemau juga
mempunyai letak strategis di Swarnnabhumi (Sumatera). Letak strategis
tersebut berguna untuk membangun kekuatan diplomatis bagi beberapa
kerajaan, seperti Kesultanan Aceh dan Pagaruyung di sebelah utara,
Kerajaaan Banten di sebelah selatan, Kerajaan Sriwijaya di Timur, dan
Kerajaan Melayu di Jambi dan Riau.
Kedudukan Kerajaan Sungai Lemau sebagai bandar dagang di ujung bawah
Pulau Sumatera juga memberikan daya tarik tersendiri bagi banyak bangsa
untuk menanamkan pengaruh di sana. Mulai bangsa Aceh, Kesultanan Banten,
sampai Inggris mencoba menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Sungai
Lemau. Keuntungan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh penguasa
Kerajaan Sungai Lemau untuk membuat perjanjian dagang yang menguntungkan
bagi perekonomian di Kerajaaan Sungai Lemau.
Di bidang perekonomian, pemasukan ke kas Kerajaan Sungai Lemau mengalami
kemajuan pesat ketika diadakan perjanjian perdagangan untuk kali kedua
dengan Inggris pada 17 April 1724 pasca penandatanganan perjanjian
tersebut, penghasilan Kerajaan Sungai Lemau meningkat pesat. Pos-pos
peningkatan penghasilan kerajaan didapatkan dari komisi dan premi
(termasuk bea cukai kapal yang masuk ke pelabuhan) atas pengumpulan lada
dari para pedagang Inggris. Selain itu kerajaan juga menarik pajak dari
izin judi adu ayam, hasil-hasil denda yang dijatuhkan oleh pengadilan
dan 10% pajak ternak, ditambah lagi bahwa semua kerbau jalang menjadi
milik Pangeran Mangku Raja.
Dengan melimpahnya pendapatan yang diterima oleh Kerajaan Sungai Lemau,
maka didirikanlah Balai Buntar. Dikemudian hari Balai Buntar dikenal
sebagai lambang kebesaran dan kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau.Di balai
inilah, raja Kerajaan Sungai Lemau menerima para tamu agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar