Kerajaan Negara Daha adalah sebuah Kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha) yang
pernah berdiri di Kalimantan Selatan sezaman dengan kerajaan Islam Giri
Kedaton. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar.
Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan ini berada di Muhara Hulak atau
dikenal sebagai kota Negara (sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu
Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan
lama Kerajaan Negara Dipa yaitu Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau)
ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan,
Barito Kuala).
Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Melayu pra-Islam yang pernah
eksis di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari dua
kerajaan sebelumnya, yakni Kerajaan Nan Sarunai yang dikelola oleh
orang-orang Suku Dayak Maanyan dan Kerajaan Negara Dipa oleh orang-orang
dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Negara Daha juga merupakan salah satu
rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma menjadi Kesultanan Banjar
yang bercorak Islam.
Pusat Kerajaan Negara Daha terletak di tepi sungai Negara dan berjarak
165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibukota provinsi Kalimantan
Selatan.
Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang
saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai).
Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana
karena kota itu dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan
dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama
kerajaan juga berubah sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai
letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara
Daha.
Sejarah berdirinya Kerajaan
Riwayat berdirinya Kerajaan Negara Daha sangat bersinggungan dengan
sejarah dua kerajaan lain yang menjadi cikal-bakal kemunculan kerajaan
bercorak Hindu di Kalimantan Selatan. Dua kerajaan yang menjadi
pendahulu Kerajaan Negara Daha tersebut adalah Kerajaan Nan Sarunai dan
Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan
purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Bukti
arkeologis yang ditemukan menyebutkan bahwa kerajaan ini mulai muncul
antara tahun 242-226 Sebelum Masehi dan dikelola oleh orang-orang Suku
Dayak Maanyan.
Eksistensi Kerajaan Nan Sarunai bertahan cukup lama. Memasuki abad
ke-14, benih-benih keruntuhan kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan
Majapahit yang berpusat di Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur), berambisi
untuk menguasainya. Pada sekitar tahun 1355 Masehi, Hayam Wuruk,
penguasa Kerajaan Majapahit waktu itu, memerintahkan panglimanya yang
bernama Empu Jatmika untuk menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Akhirnya,
Kerajaan Nan Sarunai menjadi bagian dari kekuasaan imperium Majapahit.
Peristiwa ini dikenang oleh para seniman lokal dalam tutur wadian atau
puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman lokal
mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai sebagai peristiwa “Usak Jawa”
atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa”. Sedangkan Fridolin Ukur (1977)
menyebutnya sebagai “kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa”.
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang
merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru
ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari bahasa
Dayak Maanyan, yakni “dipah ten” yang berarti “kerajaan yang terletak di
seberang". Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di
seberang” ini sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa
yang berada di seberang lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit
yang berlokasi di Jawa.
Berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai yang eksis hingga ratusan tahun
lamanya, Kerajaan Negara Dipa yang mulai berdiri pada tahun 1355 M itu
hanya bertahan kurang dari satu abad saja. Keruntuhan Kerajaan Negara
Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sekar Sungsang atau yang dikenal
juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak
tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai
keruntuhannya dan pada akhirnya digantikan oleh sebuah kerajaan baru,
yaitu Kerajaan Negara Daha.
Sama halnya dengan Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa, para
sejarawan dan peneliti menggunakan Hikayat Banjar sebagai sumber utama
dalam upaya melacak riwayat Kerajaan Negara Daha, yaitu dari cerita
tutur yang termaktub dalam hikayat ini. Sejarah Indonesia pada umumnya
dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada
historiografi tradisional, seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat.
Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling
berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme.
Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman. Informasi
yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat mistis,
legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya. Menurut
Johannes Jacobus Ras (1968), penulisan Hikayat Banjar terbagi menjadi
dua versi. Pertama adalah versi yang diubah dan disusun pada masa
Kesultanan Banjar yang telah memeluk Islam, sedangkan versi kedua adalah
versi dari Kerajaan Negara Dipa (dan Kerajaan Negara Daha) yang memeluk
agama Hindu.
Hikayat Banjar meriwayatkan, beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi
Kerajaan Negara Daha terjadi pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang
atau Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448
M. Terdapat peristiwa yang mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara Dipa
pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi
raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini telah menikahi ibunya
sendiri, yaitu Putri (Ratu) Kalungsu. Ratu Kalungsu adalah pemimpin
Kerajaan Negara Dipa sebelum era pemerintahan Raden Sekar Sungsang,
yakni pada periode 1436-1448 M.
Kisah perkawinan ibu dan anak itu diceritakan dalam Hikayat Banjar.
Dikisahkan, Putri Kalungsu melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi
nama Raden Sekar Sungsang. Pada suatu hari, ketika sang pangeran
berusia enam tahun, Putri Kalungsu sedang membuat kue (dalam Hikayat
Banjar disebutkan dengan nama juadah) dan Raden Sekar Sungsang sesekali
mendekati ibundanya untuk meminta makan. Putri Kalungsu meminta anaknya
pergi sejenak sembari menunggu matangnya juadah. Namun, rupanya Raden
Sekar Sungsang tidak dapat lagi menahan seleranya, juadah yang belum
matang itu dimakannya. Putri Kalungsu menjadi marah dan kemudian memukul
kepala Raden Sekar Sungsang dengan sendok. Akibat kemurkaan sang ibu,
Raden Sekar Sungsang melarikan diri dengan kepala yang masih bercucuran
darah menuju pelabuhan. Seorang saudagar dari Jawa bernama Juragan
Balaba melihat Raden Sekar Sungsang yang sedang kalut kemudian
mengajaknya untuk ikut berlayar ke Jawa. Juragan Balaba merasa anak muda
yang dilihatnya itu bukan anak sembarangan karena dari tubuhnya
mengeluarkan cahaya terang.
Sementara itu di istana, Putri Kalungsu memerintahkan pencarian Raden
Sekar Sungsang ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya diperoleh kabar bahwa
tentang sebuah kapal yang berlayar dengan membawa anak kecil, namun
belum dapat dipastikan apakah anak yang dimaksud adalah Raden Sekar
Sungsang atau bukan. Mangkubumi (patih/perdana menteri) Kerajaan Negara
Dipa, Lambung Mangkurat, kemudian mengirim empat kapal untuk mengejar
kapal itu. Empat kapal milik Kerajaan Negara Dipa itu akhirnya tiba di
seberang lautan, tepatnya di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Surabaya (Jawa Timur). Akan tetapi, meskipun Lambung Mangkurat
telah mengirim sejumlah penyidik untuk mencari tahu keberadaan Raden
Sekar Sungsang, namun keberadaan sang pangeran masih belum dapat dilacak
juga.
Sebenarnya Raden Sungsang ada Surabaya. Ia diangkat anak oleh Juragan
Balaba dan memakai nama Ki Mas Lelana (Kiai Mas Lalana). Setelah ayah
angkatnya meninggal dunia, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya
bersama ibu angkatnya. Pada suatu hari, Ki Mas Lelana mengungkapkan
keinginannya ingin pergi ke Kerajaan Negara Dipa dengan menumpang kapal
Juragan Dampu Awang, teman Juragan Balaba. Pada awalnya, ibu angkat Ki
Mas Lelana keberatan. Akan tetapi, karena melihat ketetapan hati anak
angkatnya, maka kemudian janda Juragan Balaba itu mengizinkan Ki Mas
Lelana untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa bersama Juragan Dampu Awang.
Sesampainya di pelabuhan Muara Bahan, Juragan Dampu Awang yang dibantu
Ki Mas Lelana mulai berdagang. Kebetulan, Lambung Mangkurat sedang
berada di pelabuhan. Lambung Mangkurat tampaknya tertarik pada kecakapan
Ki Mas Lelana dan kemudian membujuk Ki Mas Lelana untuk tinggal di
istana Kerajaan Negara Dipa (Sahriadi, 2009). Rupa-rupanya, Lambung
Mangkurat, yang tidak mengetahui bahwa Ki Mas Lelana sebenarnya adalah
Raden Sekar Sungsang, berniat menjodohkan anak muda itu dengan Ratu
Kalungsu yang sudah lama menjanda. Pada waktu itu, Ratu Kalungsu adalah
penguasa Kerajaan Negara Dipa. Ratu Kalungsu (berkuasa pada periode
(1436-1448 M) meneruskan tahta suaminya, yakni Raden (Maharaja) Carang
Lalean (berkuasa pada kurun 1421-1436 M), karena putra mahkota, yaitu
Raden Sekar Sungsang, tidak diketahui keberadaannya.
Singkat cerita, akhirnya digelarlah pesta perkawinan antara Ki Mas
Lelana dengan Ratu Kalungsu. Pada suatu waktu, ketika Ratu Kalungsu
sedang membersihkan kepala Ki Mas Lelana, ia melihat tanda bekas luka di
kepala suaminya itu. Ratu Kalungsu kemudian bertanya mengapa luka itu
bisa terjadi. Mula-mula Ki Mas Lelana menerangkan bahwa ia sendiri pun
tidak mengetahuinya. Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak,
akhirnya ia menceritakan kisahnya. Ki Mas Lelana berkisah, saat masih
kecil, ia pernah mendapat pukulan di kepala dari ibunya hingga terluka.
Diceritakan juga oleh Ki Mas Lelana bahwa ia kemudian lari dan beberapa
tahun tinggal di Jawa, ikut dengan Juragan Balaba. Alangkah terkejutnya
Ratu Kalungsu mendengar cerita itu. Ki Mas Lelana pun sama
terperanjatnya dan memohon ampun serta meminta supaya Ratu Kalungsu
membunuhnya. Ratu Kalungsu memutuskan bahwa mereka harus bercerai untuk
selama-lamanya. Selain itu, Ratu Kalungsu mengganti nama Ki Mas Lelana
atau Raden Sekar Sungsang dengan Raden Sari Kaburangan.
Pada tahun 1448 M, Raden Sari Kaburangan dinobatkan sebagai pemimpin
Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar sebagai Maharaja
sebagai simbol penguasa tertinggi. Maharaja Sari Kaburangan berhak
menjadi Raja Kerajaan Negara Dipa karena ia adalah putra mahkota yang
memang sudah diproyeksikan untuk menduduki tahta Kerajaan Negara Dipa
meski kemudian terjadi berbagai kejadian yang menggemparkan, yakni
dimulai dari hilangnya Raden Sekar Sungsang hingga peristiwa
pernikahannya dengan ibu kandungnya sendiri.
Setahun setelah Maharaja Raden Sari Kaburangan berkuasa di Kerajaan
Negara Dipa, ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan ke Muara Hulak,
atau di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Negara. Sejak tahun
1449 M itulah, Kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Dalam Hikayat Banjar
dikisahkan bahwa tidak lama setelah Kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu
Kalungsu yang masih tinggal di bekas istana Kerajaan Negara Dipa,
menghilang secara misterius (muksa) bersama 500 orang pengiringinya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, sang Mangkubumi, Lambung Mangkurat
meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat adalah Aria Taranggana
untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengelola pemerintahan
Kerajaan Negara Daha.
Tampilnya Maharaja Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha
merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Suku
Dayak Maanyan sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti
yang berlaku pada masa Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam tubuh
Maharaja Sari Kaburangan memang mengalir darah Jawa (dari Majapahit)
yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata (penguasa
Kerajaan Negara Dipa pada kurun 1362-1358 M). Namun, darah Jawa itu
sudah semakin memudar karena Maharaja Sari Kaburangan merupakan generasi
ke-4 alias buyut. Ini berarti, secara genetik, darah yang mengalir di
dalam tubuhnya didominasi oleh darah Suku Dayak Maanyan.
Baik Kerajaan Negara Dipa maupun Kerajaan Negara Daha, masih memiliki
koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Anton Abraham Cense (1928) dalam penelitiannya bertajuk De Kroniek van
Bandjarmasin menyebutkan beberapa jenis pusaka tersebut, antara lain
mahkota kerajaan, gamelan yang bernama Larasati, gong yang bernama
Rambut Peradah, canang bernama Macan Papatuk, tombak bernama Panutus,
dan keris yang bernama Masagirang dan Jokopiturun. Kerajaan Negara
Daha juga masih memiliki pusaka peninggalan Majapahit lainnya, yaitu
singgasana, emas, payung kerajaan, keris bernama Baru Lembah dan Naga
Salira dengan sarungnya yang terbalut dari emas dan gagangnya
bertahtakan berlian, sebilah pedang, lima buah tombak, beberapa buah
perisai yang terbuat dari emas dan perak, serta seperangkat gamelan dan
kain langgundi.
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman Kerajaan
Negara Daha adalah penemuan sebuah candi yang kemudian dikenal sebagai
Candi Laras. Candi ini terletak di pinggiran Desa Margasari, Kecamatan
Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa
Margasari terkenal akan wisata sungainya serta masyarakatnya yang
berprofesi sebagai perajin anyaman rotan sejak ratusan tahun. Pada abad
ke-14 M, desa ini merupakan gerbang bandar Kerajaan Negara Dipa.
Pengujian yang dilakukan terhadap tiang bangunan Candi Laras
menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426 M. Selain itu, Candi
Agung, prasasti yang ditemukan sebelumnya dan yang diduga sudah ada
sejak zaman Kerajaan Nan Sarunai, juga masih digunakan pada masa
Kerajaan Negara Daha.
Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada tahun 1486 M.
Selanjutnya, tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha
dilanjutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai
Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha
ini, tepatnya pada tahun 1511 M, Kerajaan Negara Daha menerima
kedatangan orang-orang Melayu dari Kesultanan Melaka. Orang-orang Melayu
Semenanjung tersebut melakukan migrasi massal seiring dengan takluknya
Kesultanan Melaka oleh bangsa Portugis. Para imigran dari Melaka ini
kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin atau di Muara Kuin
(Banjarmasin) dan bergabung dengan suku bangsa Melayu lainnya.
Pada akhir era pemerintahan Maharaja Sukarama, terjadi pertikaian di
lingkungan internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai ketika
pada tahun 1515 M, Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat agar kelak
kekuasaan tertinggi Kerajaan Negara Daha dilimpahkan kepada cucunya yang
bernama Pangeran Samudera. Kebijakan ini mendapat tentangan dari ketiga
putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangeran
Tumenggung (Tomonggong), dan Pangeran Bagalung.
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan keluarga istana Kerajaan
Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada tahun 1525
M, atau sepuluh tahun setelah dikeluarkannya wasiat yang menunjuk
Pangeran Samudera (Cucu Maharaja) sebagai calon raja, terjadilah
perselisihan di antara keturunan Maharaja Sukarama. Putra sulung
Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, yang merasa
dilangkahi oleh keponakannya sendiri (Pangeran Samudera), merasa tidak
terima dan kemudian merebut tahta Kerajaan Negara Daha yang sebenarnya
bukan menjadi haknya.
Pangeran Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir Sungai
Barito, tepatnya di Muara Kuin. Pangeran Samudera mendapat perlindungan
dari beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin, terutama
oleh komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak Manyaan,
kampung orang-orang Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar Oloh
Masih”, yang berarti kampungnya orang Melayu dengan pemimpinnya yang
bernama Pati Masih. Banjar Oloh Masih lambat-laun disingkat menjadi
Banjarmasih hingga akhirnya menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun,
pada tahun 1525 M itu, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh.
Setelah Aria Pangeran Mangkubumi meninggal dunia, Pangeran Tumanggung
menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Negara Daha yang baru.
Sementara itu, Pangeran Samudera, pewaris tahta Kerajaan Negara Daha
yang sah, semakin mendapat tempat di kalangan orang-orang Melayu yang
bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya,
Pangeran Samudera melihat bahwa Banjarmasih merupakan kekuatan potensial
untuk mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi
Banjarmasih untuk menentang kekuatan pusat akhirnya mendapat pengakuan
ketika Pangeran Samudera diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu
di daerah itu.
Pengangkatan Pangeran Samudera sebagai pemimpin di Banjarmasih
melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan, perpaduan
kultural, dan kelak merupakan embrio bagi kelahiran urang Banjar dan
Kesultanan Banjar. Terbentuknya kekuatan politik baru di Banjarmasih
bagi Pangeran Samudera merupakan kekuatan tandingan untuk memperoleh
haknya sebagai calon raja yang sah di Kerajaan Negara Daha, sedangkan
bagi kelompok Melayu, independensi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk
perlawanan untuk tidak membayar pajak kepada Kerajaan Negara Daha.
Konflik yang terjadi kemudian adalah perang saudara yang melibatkan kubu
Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang saudara antara
keponakan dengan paman ini memakan korban jiwa yang cukup besar. Untuk
melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera
meminta bantuan dari Kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa yang
menggantikan hegemoni Kerajaan Majapahit) yang saat itu dipimpin oleh
Sultan Trenggono (berkuasa sejak tahun 1524 M). Sultan Trenggono
menyanggupi permintaan Pangeran Samudera dengan syarat, Pangeran
Samudera harus menggunakan hukum agama Islam di Kerajaan jika ia
berhasil memenangkan perang saudara itu.
Pada tahun 1526 M, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran
Tumenggung dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan
Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat
Kerajaan Negara Daha sekaligus menjadi awal dari berdirinya Kesultanan
Banjar yang bercorak Islam. Setelah mengalahkan Kerajaan Negara Daha,
Pangeran Samudera dinobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar
dengan gelar Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 September 1526 M. Pusat
pemerintahan Kesultanan Banjar berada di Banjarmasin. Selain itu, Sultan
Suriansyah memindahkan penduduk Kerajaan Negara Daha ke Banjarmasin.
Inilah masa dimulainya proses kemajemukan di Banjarmasin, di mana
masyarakatnya terdiri dari orang-orang dari berbagai suku bangsa, yaitu
orang-orang Dayak, Melayu, dan Jawa.
Silsilah Kerajaan Negara Daha
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah duduk sebagai pemimpin Kerajaan Negara Daha:
1. Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki Mas Lelana (1448-1486 M.)
2. Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M.)
3. Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M.)
4. Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M.).
Sistem Pemerintahan
Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional berakar kepada struktur sosial
yang tertata berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status. Status
seorang pemimpin cenderung berkaitan dengan penilaian sosial terhadap
kehormatan dan citra, sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial
bersifat pembagian politik. Dalam struktur politik pemerintahan Kerajaan
Negara Daha, raja adalah titik pusat kekuasaan. Raja Negara Daha
sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai
kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya
atribut-atribut kerajaan, seperti benda-benda pusaka, gelar, atau
mitos-mitos geneologi yang berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja
sebagai penguasa.
Kedudukan raja dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara Daha diwarisi
secara turun-temurun sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan.
Posisi raja bersifat keramat karena dianggap mempunyai kesaktian yang
dapat menambah wewenang. Wewenang raja pada dasarnya merupakan salah
satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan
tinggi yang juga berhak menguasai rakyat sebagai hambanya. Jika
dicermati, wewenang yang dimiliki oleh raja memungkinkan sekali baginya
untuk bertindak absolut. Namun, meskipun memiliki wewenang yang cukup
besar, namun belum berarti seorang raja dapat menguasai seluruh
kekuasaan karena faktor kekayaan turut menentukan kedudukan raja.
Proses suksesi kekuasaan yang berlaku di Kerajaan Negara Daha
diterangkan dalam Hikayat Banjar. Ada sejumlah persyaratan yang harus
dipenuhi oleh kandidat raja atau putra mahkota, yakni (1) pangeran yang
dipilih sebagai putra mahkota harus benar-benar keturunan raja dari
permaisuri, (2) dapat berbuat adil kepada rakyat dan keluarga, (3)
terbuka untuk menerima saran dan kritik, (4) tidak boleh memiliki sifat
iri dan dengki, (4) bersedia menyelesaikan setiap persoalan yang ada
melalui mufakat. Apabila putra mahkota dianggap belum cukup umur untuk
menjabat sebagai raja, maka untuk sementara, kendali pemerintahan
kerajaan dijalankan oleh sistem perwalian yang terdiri dari kerabat
raja. Orang yang biasanya bertindak sebagai pemimpin sementara sembari
menunggu putra mahkota dewasa dan dirasa berhak memimpin pemerintahan
adalah Mangkubumi (Patih), jabatan yang setara dengan perdana menteri.
Penobatan seorang putra mahkota menjadi raja dilakukan melalui suatu
ritual upacara. Ritual upacara suci yang dianggap sebagai simbol
kekuasaan raja ini dikenal sebagai upacara badudusan. Disebutkan bahwa
upacara ini dimulai ketika seluruh kerabat sudah berkumpul. Putra
mahkota atau calon raja duduk di sebelah kursi lalu diperciki dengan air
suci oleh keluarga yang sedarah dengan raja. Kemudian, air suci itu
dibawa ke dalam istana dan ditimbang sebanyak tiga kali. Jika sudah
diketahui beratnya, maka calon raja diukur dengan benang emas dan perak.
Setelah itu, diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Selanjutnya
adalah hari penobatan putra mahkota sebagai raja, yakni dilakukan pada
hari ke delapan. Sebenarnya upacara penobatan raja merupakan salah satu
cara untuk mengesahkan kedudukan raja. Upacara badudusan ini mulai
diperkenalkan sejak Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata diangkat
menjadi raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1362 M.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Negara Daha sebagai pemimpin
tertinggi mendelegasikan kekuasaannya ke bawah melalui jabatan
birokrasi. Jabatan birokrasi ini biasanya diemban oleh kerabat raja.
Model birokrasi seperti ini dikenal sebagai model birokrasi patrimonial.
Para pelaku dan jabatan sistem pemerintahan yang diterapkan di Kerajaan
Negara Daha hampir sama dengan yang berlaku di Kerajaan Negara Dipa
pada masa-masa sebelumnya. Raja Negara Dipa sebagai puncak piramida
kekuasaan didukung oleh seseorang yang dipercaya sebagai Mangkubumi.
Mangkubumi adalah jabatan yang paling strategis karena seorang
Mangkubumi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam segala kebijakan
yang dikeluarkan oleh raja. Dalam mengelola pemerintahan kerajaan,
Mangkubumi memimpin dan mengkoordinasi tugas pejabat-pejabat kerajaan
lainnya, seperti Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi, dan 40 orang Mantri
Sikep.
Selain itu, terdapat sejumlah jabatan dan wewenang yang berlaku dalam
pemerintahan Kerajaan Negara Daha, yaitu Lelawang (kepala distrik),
Sarabraja (koordinator pasukan penjaga keluarga istana), Sarayuda
(koordinator pasukan pengawal pribadi raja), Singapati (koordinator
pasukan Parabawa yang bertugas menjaga keamanan kerajaan, Saradipa
(koordinator pasukan penjaga senjata), Puspawana (koordinator pasukan
Tuhaburu yang bertugas mengawal raja ketika raja sedang pergi berburu),
Rasajiwa (koordinator petugas pembantu istana, Pamayungan (penghias
balai), Wargasari (koordinator petugas penyedia makanan kerajaan),
Anggaprana (koordinator pujangga istana), Mangkumbara (kepala urusan
upacara), Wiramartas (bertugas untuk mengadakan hubungan dagang dengan
luar negeri, Bujangga (kepala urusan bangunan rumah peribadatan), dan
Singabana (bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman umum).
Wilayah Kekuasaan
Dalam buku Sejarah Banjar suntingan Ideham dan kawan-kawan disebutkan
bahwa secara garis besar, keseluruhan wilayah Kerajaan Negara Daha
terbagi atas dua bagian, yakni wilayah negara (kraton) dan daerah
taklukan. Bagian yang pertama, yakni wilayah negara (kraton) merupakan
wilayah unit politik terbesar. Istilah “negara” sendiri menunjukkan
adanya suatu kawasan pemerintah di bawah seorang penguasa tertinggi yang
memakai gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan pemerintahan
yang merdeka. Wilayah negara disebut juga sebagai wilayah inti yang
merupakan pusat pemerintahan kerajaan sekaligus berfungsi sebagai
ibukota negara.
Pusat pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di sebuah tempat yang
dikenal dengan nama Muara Hulak. Selain itu, kerajaan ini juga mempunyai
pelabuhan dan bandar dagang yang terletak di Muara Bahan. Penyebutan
“muara” yang terdapat pada Muara Hulak dan Muara Bahan menunjukkan bahwa
kedua tempat itu dekat dengan daerah perairan. Sejak zaman purba hingga
saat ini, sungai-sungai di Kalimantan Selatan memang berfungsi sebagai
tempat konsentrasi permukiman penduduk dan menjadi prasarana lalulintas
yang menghubungkan daerah muara dengan daerah perdalaman. Di Kalimantan
Selatan, sungai adalah jantung kehidupan karena kehidupan mereka sangat
dekat dengan sungai. Antara masyarakat dengan sungai saling
berinteraksi, beradaptasi, dan saling mengisi. Bermula dari fakta inilah
maka etnis di Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya penduduk
Kerajaan Negara Daha, dikenal sebagai suku bangsa yang identik dengan
budaya sungai.
Nama Muara Hulak dan Muara Bahan sebagai pusat pemerintahan dan
pelabuhan Kerajaan Negara Daha disebutkan dalam Hikayat Banjar. Kemudian
Raden Sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja
memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru itu disebut
Negara Daha dan sampai sekarang ini tempat itu masih bernama Negara. Di
Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan (pelabuhan) yang kemudian ramai
sekali didatangi para pedagang.”.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha meliputi daerah-daerah yang
sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa, termasuk juga
wilayah yang merupakan daerah taklukan. Disebutkan bahwa daerah-daerah
yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dan
kemudian beralih menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Negara Daha.
Daerah-daerah tersebut antara lain Batang Tabalong, Batang Balangan,
Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Emas, Sukadana,
Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau.
Selain itu, Kerajaan Negara Daha memperluas daerah kekuasaannya dengan
menguasai Sewa Agung dan Bunyut. Sedangkan menurut C.A.L.M. Schwaner
(1953) dalam karyanya yang berjudul Borneo disebutkan bahwa selama masa
pemerintahan Kerajaan Negara Daha, penduduk yang mendiami aliran Sungai
Negara dan Sungai Bahan telah mengalami masa kemakmuran.
Bukti Peninggalan Sejarah
Kerajaan Negara Daha masih memiliki koleksi barang-barang atau pusaka
yang berasal dari kerajaan Majapahit, antara lain: mahkota kerajaan,
gamelan yang bernama larasati, gong yang bernama rambut peradah, canang
yang bernama Macan Papatuk, tombak yang bernama pnutos, dan keris yang
bernama masagirang dan jokopitoron, singasanam emas, payung kerajaan,
keris bernama baru lembah dan naga salira dengan sarungnya yang berbalut
dari emas dan gagangnya berlian, sebilah pedang, lima buah tombak,
beberpa buah perisai yang terbuat dari emas dan perak,Salah satu
peniggalan arkeologis adalah penemuan sebuah candi laras. Candi ini
terletak di pinggiran desa Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan.
Kerajaan negara daha adalah sebuah kerajaan Hindu yang pernah berdri di
Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan
Banjar. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari kerajaan Negara
DIpa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/ Candi Agung. Kerajaan Negara
Daha yang merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak
menjelma menjadi kesultanan Banjar yang bercorak Islam.
Sejarah perpindahan dari Negara Daha ke Kesultanan Banjarmasin
Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika
tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patihKerajaan
Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di
daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar
utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai
Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau
berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah
Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.
Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya.
Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di
Sungai Kuin.
Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi
bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari
berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa
disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.
Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara
Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit,
Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka
bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk
dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.
Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih
sebagai pusat kerajaansekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah
kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi
sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada
Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara
dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah
pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada
kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran
Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat
itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan
menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.
Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju
nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang
mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera
bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi
menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas
tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu
Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama
terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur
dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di
kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung
Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.
Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak
korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada
Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan,
yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai.
Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua
belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang
menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang
disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua,
belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa
parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.
Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung
dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya,
Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran
Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di
tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.
Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la
mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai
keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran
Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk.
Mereka bertangis-tangisan.
Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada
Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera.
Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau
Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat
dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota
perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar
Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di
Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha
pun menjadi daerah kosong.
Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah
namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera
atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota
Banjar Masih atau Bandar Masih.
Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin),
lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang
terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin
Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah
Tingkat II Banjarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat
berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah
atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja
Banjar pertama yang beragama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar