Kerajaan Banawa adalah salah satu kerajaan Melayu yang terdapat di
Sulawesi Tengah. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Donggala Banawa
karena lahir di wilayah Donggala. Kerajaan yang berdiri pada medio abad
ke-15 Masehi ini terlahir berkat andil tokoh legendaris yang
berpetualang dari tanah Bugis, yaitu Sawerigading. Sejak pertama kali
didirikan, kerajaan ini mampu mempertahankan eksistensinya hingga era
pascakemerdekaan Republik Indonesia. Saat ini, Banawa menjadi wilayah
kecamatan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Donggala, Provinsi
Sulawesi Tengah.
Sejarah
Penduduk Donggala adalah percampuran dari berbagai ras dan suku bangsa,
hasil persilangan ras Wedoid dan Negroid yang berkembang menjadi suku
bangsa baru menyusul datangnya orang-orang Proto-Melayu pada tahun 3000
SM. Aroma Melayu semakin kental ketika pada era 300 SM kaum perantau
yang berasal dari ras Deutro-Melayu juga menyambangi Donggala dan
tempat-tempat di Sulawesi Tengah lainnya .Mayoritas penduduk Kerajaan
Banawa adalah orang-orang dari Suku Kaili.
Cikal-Bakal Berdirinya Kerajaan Banawa
Pendahulu Kerajaan Banawa adalah suatu perabadan monarki milik Suku
Kaili yang bernama Kerajaan Pudjananti atau yang sering juga disebut
sebagai Kerajaan Banawa Lama. Kerajaan ini diperkirakan masih eksis pada
abad ke-11 hingga 13 M, sezaman dengan Kerajaan Singasari yang
dilanjutkan oleh Majapahit. Diperkirakan, Kerajaan Pudjananti mengalami
masa kejayaan antara kurun tahun 1220 sampai 1485 M. Kerajaan Pudjananti
menjadi salah satu dari tiga kerajaan tua yang terdapat di Sulawesi
Tengah, yaitu Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi.
Versi legenda, diceritakan bahwa raja yang paling terkenal dalam riwayat
Kerajaan Pudjananti bernama Raja Lian. Sang penguasa dikisahkan
menikahi seorang wanita dipercaya datang dari alam gaib. Perkawinan ini
membuahkan seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang memberi Raja
Lian tujuh orang cucu, masing-masing enam cucu laki-laki dan satu cucu
perempuan. Keenam cucu laki-laki tersebut kemudian menyebar ke
daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat, dan menjadi penguasa
di daerah-daerah baru tersebut.
Sesuai namanya, pusat pemerintahan Kerajaan Pudjananti diduga kuat
berlokasi di daerah yang bernama Pudjananti atau Ganti. Jarak Pudjananti
tidak begitu jauh dari Donggala, yang kelak menjadi ibukota Kerajaan
Banawa, hanya sekitar 2 kilometer. Pudjananti merupakan kawasan tua yang
sudah lama berpenghuni.
Donggala sudah kesohor sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai.
Bahkan, Donggala merupakan kota pelabuhan tertua di Sulawesi Tengah.
Kota pelabuhan ini oleh orang Eropa disebut dengan nama Banava, yang
boleh jadi merupakan akar dari kata Banawa.
Ketenaran bandar niaga Donggala sempat disebutkan dalam lembaran naskah
catatan perjalanan yang ditulis oleh pengelana dari negeri Cina. Seorang
pedagang Eropa, bernama Antonio de Paiva, pada kurun tahun 1542-1543
bertolak ke Donggala dengan maksud untuk mencari kayu cendana. Pada saat
itu, wilayah Banawa memang banyak ditumbuhi pohon cendana. Dimana bisa
ditemukan batang-batang pohon cendana di pegunungan di sekitar Palu dan
Donggala.
Penamaan Banawa sebagai kerajaan dimungkinkan juga terkait erat dengan
nama kapal yang ditumpangi Sawerigading untuk mengarungi samudera,
termasuk mengunjungi Ganti dan Donggala. Sawerigading adalah seorang
pangeran dari Kerajaan Luwu Purba, putera dari Sang Raja Batara Lattu.
Nama Sawerigading dikenal melalui cerita dan kisah dari epik sastra
Bugis yang legendaris, yakni La Galigo.
Di suatu tempat yang tidak jauh dari Ganti dan Donggala, kapal yang
ditumpangi rombongan Sawerigading terpaksa berlabuh karena mengalami
sedikit kerusakan. Menurut kepercayaan masyarakat lokal di sana, tempat
di mana Sawerigading menyangga bahteranya itu lantas dikenal dengan nama
Langgalopi yang dalam bahasa Bugis-Donggala berarti “galangan perahu"
Langgalopi termasuk wilayah kekuasaan milik Kerajaan Pudjananti.
Sawerigading kemudian memutuskan untuk mengunjungi kerajaan itu. Bukti
bahwa rombongan Sawerigading pernah melalukan pelayaran sampai ke
wilayah kekuasaan Kerajaan Pudjananti termaktub dalam Kitab Bahasa
Bugis. Dalam kitab itu disebutkan bahwa salah satu daerah jelajah
Sawerigading adalah Pudjananti.
Sawerigading sempat berkunjung ke Kerajaan Sigi di Teluk Kaili dan
bermaksud menyunting Ratu Ngilinayo, pemimpin Kerajaan Sigi, untuk
dijadikan istrinya. Akan tetapi, pernikahan itu tidak pernah terjadi
karena terjadi gempa bumi pada saat pembicaraan pinang-meminang
dilangsungkan sehingga rencana tersebut menjadi kacau-balau. Akibat
bencana itulah, seperti yang diyakini dalam legenda, perairan Teluk Palu
menjadi kering. Orang-orang yang semula berdomisili di pegunungan pun
mulai turun dan mendirikan permukiman baru di lembah bekas laut itu
serta beranak-pinak hingga sekarang.
Singkat cerita, dari hasil kunjungan ke Kerajaan Pudjananti itu muncul
gagasan untuk menikahkan anak lelaki Sawerigading, yakni La Galigo,
dengan puteri Kerajaan Pudjananti yang bernama Daeng Malino Karaeng
Tompo Ri Pudjananti. Dari perkawinan itu, La Galigo dikarunai dua orang
anak, masing-masing laki-laki dan perempuan. Cucu laki-laki
Sawerigading diberi nama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro, yang
artinya “pergi menantang, menang, dan akhirnya semua menyembah
kepadanya”. Sedangkan anak yang perempuan diberi nama Wettoi Tungki
Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti, yang bermakna “bintang tunggal
yang diikuti semua orang”
Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro dinikahkan dengan I Badan Tassa
Batari Bana, puteri dari kakak Raja Bone. Setelah pernikahan itu,
Sawerigading dan La Galigo mulai menggagas pendirian pemerintahan baru
sebagai pengganti Kerajaan Pudjananti. Dibuatlah kesepakatan dari
raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai
menghadiahkan seluruh wilayah Kerajaan Pudjananti. Sejak saat itu,
sebuah pemerintahan hasil afiliasi Bugis dan Kaili dengan nama baru,
yaitu Kerajaan Banawa.
b. Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Banawa
Kerajaan Banawa resmi berdiri di bawah kepemimpinan seorang ratu, yakni I
Badan Tassa Batari Bana yang bertahta sejak tahun 1485 hingga 1552 M
Penerus kepemimpinan I Badan Tassa Batari Bana juga seorang perempuan,
bernama I Tassa Banawa. Ratu ke-2 Kerajaan Banawa ini memerintah sejak
tahun 1552 sampai dengan 1650 M. Pada masa pemerintahan I Tassa Banawa,
wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa semakin bertambah luas. Selain itu,
kabinet I Tassa Banawa juga berhasil merumuskan tata cara atau sistem
pemerintahan dan membentuk Dewan Adat Pittunggota atau semacam lembaga
legislatif kerajaan.
Masa pemerintahan I Tassa Banawa berakhir pada tahun 1650 M. Penerus I
Tassa Banawa adalah cucu perempuannya, yaitu Puteri Intoraya. Ratu ke-3
Kerajaan Banawa ini menikah dengan dengan seorang lelaki bernama La
Masanreseng Arung dari Cendana Mandar. Pernikahan pasangan ini
dikaruniai empat orang anak, masing-masing dua laki-laki dan dua
perempuan, yang diberi nama La Bugia, La Lotako, Puteri Nanggiwa, dan
Puteri Nanggiana.
Pada era kepemimpinan Ratu Intoraya, pengaruh Islam mulai masuk ke
wilayah Donggala. Penyebaran dan perkembangan ajaran Islam di lingkungan
Kerajaan Banawa, dan juga di seluruh wilayah Sulawesi Tengah, pada
medio abad ke-16 M itu dipelopori oleh kerajaan-kerajaan dari Sulawesi
Selatan yang sudah terlebih dulu memeluk Islam. Pelopor syiar Islam di
kawasan Sulawesi Tengah adalah orang-orang dari Kerajaan Bone dan Wajo.
Sejalan dengan itu, Ratu Intoraya pun menjadi penguasa Kerajaan Banawa
pertama yang memeluk Islam. Tindakan yang dilakukan oleh Ratu Intoraya
dan segenap keluarga Kerajaan Banawa itu membuat sebagian besar rakyat
juga turut berbondong-bondong masuk Islam.
Tidak cuma masuknya ajaran Islam saja yang mewarnai dinamika kehidupan
Kerajaan Banawa pada masa pemerintahan Ratu Intoraya, melainkan juga
pengaruh bangsa-bangsa asing yang datang dari Eropa. Portugis adalah
wakil dari kaum Barat pertama yang memasuki wilayah ini, kemudian
disusul oleh Spanyol dan Belanda lewat kongsi niaganya yakni Vereniging
Oost-indische Compagine (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya,
peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi pengaruh kompeni
Belanda.
Memasuki tahun ke-19 pemerintahan Ratu Intoraya, VOC sudah menjalin
mitra niaga dengan sejumlah kerajaan di kawasan Sulawesi Tengah,
termasuk dengan Kerajaan Banawa, dan kerajaan-kerajaan Suku Kaili
lainnya seperti Kerajaan Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan
kontrak penambangan emas dengan masing-masing penguasa kerajaan
tersebut.
Belanda menawarkan kepada raja-raja lokal yang bersemayam di wilayah itu
untuk pemberian bantuan dalam bidang penanggulangan keamanan. Peluang
Belanda terbuka kian lebar karena pada waktu itu wilayah Kerajaan Banawa
dan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Tengah sedang rawan kejahatan
yang dilakukan oleh gerombolan perompak dari wilayah Mindanao, Filipina,
itu seringkali menganggu kawasan perairan di Selat Makassar .
Kaum kompeni kian mendapat angin dengan diizinkannya membangun benteng
atau loji. Pemerintahan Ratu Intoraya sebagai orang nomor satu di
Kerajaan Banawa berakhir pada tahun 1698 M. Putra sulung Ratu Inoraya,
yakni La Bugia, naik ke puncak kekuasaan tertinggi kerajaan. Dengan
demikian, La Bugia adalah laki-laki pertama yang menempati singgasana
Kerajaan Banawa di mana tiga penguasa sebelumnya adalah perempuan.
Setelah ditabalkan sebagai raja, La Bugia menyandang gelar kehormatan
sebagai La Bugia Pue Uva.
Pada era kepemimpinan Raja La Bugia Pue Uva, kemakmuran warga masyarakat
Kerajaan Banawa semakin maju. Bandar niaga Donggala semakin mendapat
perhatian dari berbagai kalangan sebagai salah satu sentra jaringan
perniagaan di nusantara. Bahkan, saking kondangnya citra Donggala, pada
masa pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva ini datang gangguan dari bangsa
Portugis yang berambisi untuk merebut pelabuhan dagang Donggala sehingga
terjadi pertempuran melawan pihak Kerajaan Banawa. Dalam peperangan
laut ini, Raja La Bugia Pue Uva berhasil mempertahankan Donggala dari
ancaman Portugis.
Periode pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva usai pada tahun 1758 M.
Sebagai anak pertama, Puteri I Sabida adalah orang yang paling berhak
untuk meneruskan tahta ayahandanya. Dengan demikian, Kerajaan Banawa
kembali dipimpin oleh seorang perempuan. Ratu I Sabida mengakhiri masa
lajangnya dengan menikahi seorang pejabat kerajaan yang bernama Madika
Matua Banawa. Pernikahan ini membuahkan tiga orang putera dan seorang
puteri, masing-masing bernama La Bunia, Kalaya, Lauju, dan Puteri I
Sandudongie.
Sosok Ratu I Sabida digambarkan sebagai tokoh wanita yang pemberani dan
sakti mandraguna. Ia memimpin dengan penuh wibawa, tegas, disegani oleh
kawan maupun lawan, dan berhasil membawa Kerajaan Banawa menjadi
peradaban yang sejahtera. Selain itu, Ratu I Sabida juga membuka ruang
interaksi dengan kaum pedagang asing yang singgah di pelabuhan Donggala
dan yang menetap untuk sementara di wilayah Kerajaan Banawa. Pada masa
ini, mulai diperkenalkan cara merajut tenun sutra, yang kini dikenal
sebagai kain tenun Donggala, oleh para saudagar dari Gujarat.
Dalam urusan pewarisan tahta, Ratu I Sabida tampaknya cenderung memilih
Puteri I Sandudongie sebagai calon penerusnya kendati ketiga anaknya
yang lain adalah laki-laki, termasuk anak yang paling sulung. Setelah
Ratu I Sabida meninggal dunia, puteri bungsunya itulah yang diangkat
sebagai pelanjut tahta Kerajaan Banawa. I Sandudongie naik jabatan
sebagai ratu pada tahun 1800. Raja perempuan terakhir dalam sejarah
Kerajaan Banawa ini menikah dengan Magau Lando Dolo dan memperoleh
seorang anak laki-laki yang diberi nama La Sa Banawa.
Pada masa kuasa Ratu Kerajaan Banawa yang ke-6 ini, Belanda juga
berhasil memaksa Ratu I Sandudongie untuk menandatangani sejumlah
kesepakatan yang tentu saja merugikan pihak Kerajaan Banawa. Kontrak
perjanjian yang disodorkan oleh Belanda kepada Ratu I Sandudongie pada
tahun 1824, misalnya, memuat isi yang pada intinya semakin menguatkan
dominasi Belanda dalam monopoli perdagangan di Donggala. Salah satu
keuntungan istimewa yang diperoleh Belanda dengan kontrak tersebut
adalah bahwa Belanda diperbolehkan mendirikan Kantor Bea dan Cukai
(Doane), beserta macam-macam fasilitas, dengan dalih memperlancar
kegiatan ekonominya.
Setelah menjadi ratu selama 45 tahun, Ratu I Sandudongie wafat pada
tahun 1845. Putera semata wayangnya, La Sa Banawa, ditetapkan selaku
pemimpin Kerajaan Banawa yang berikutnya. Setelah ditahbiskan menjadi
raja, La Sa Banawa memperoleh nama kehormatan La Sa Banawa I Sanggalea
Dg Paloera dan menyandang gelar adat Mpue Mputi. Penguasa ke-7 Kerajaan
Banawa ini mengawini I Palusia dan dikaruniai dua orang anak laki-laki
yang diberi nama I Tolare dan La Marauna.
Di era kepemimpinan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera, meski
masih berada di bawah bayang-bayang pengaruh Belanda, populeritas
Donggala kian menjulang. Donggala tidak hanya sebagai kota pelabuhan
saja, tetapi juga sebagai kota pelajar, kota perdagangan, kota
pemerintahan, kota perjuangan, dan kota budaya yang sering menjadi
rujukan dan didatangi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia.
Josep Condrad, pengelana sekaligus penulis berkebangsaan Inggris
kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat
penjelajahan yang dilakoninya. Selama masa kunjungan ke Kerajaan Banawa
sejak tahun 1858, Condrad menjalin persahabatan yang erat dengan Raja La
Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera .
Kepala pemerintahan Kerajaan Banawa yang berikutnya adalah La Makagili
yang tidak lain adalah cucu dari Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg
Paloera. Penguasa Kerajaan Banawa yang ke-8 ini menduduki puncak
singgasana sejak tahun 1888 dengan gelar La Makagili Tomai Doda Pue
Nggeu dan dikenal sebagai sosok pemimpin yang paling berani dan gigih
melawan penjajah Belanda.
Tepat pada tanggal 23 Juli 1893, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa yang
selama ini berlokasi di Pudjananti alias Ganti dipindahkan ke Donggala.
Penetapan Donggala sebagai ibukota Kerajaan Banawa ini bertahan hingga
Kerajaan Banawa bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sementara itu, tahta Raja La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu
berakhir pada permulaan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1902
Kerajaan di Era Kemerdekaan
Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kuat
menancapkan pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan yang terdapat di
Sulawesi Tengah, tidak terkecuali Kerajaan Banawa. Kerajaan-kerajaan
lokal tersebut telah diikat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
dengan berbagai macam kontrak politik dan ekonomi .Pada periode tahun
1902 hingga 1926, pemimpin Kerajaan Banawa adalah La Marauna dengan
gelar La Marauna Pue Totua dan mendapat julukan kehormatan sebagai. Mpue
Totua
Pengemban estafet kepemimpinan Kerajaan Banawa yang ke-10 ialah Raja La
Gaga Pue Tanamea yang bertahta sejak tahun 1926 sampai dengan tahun
1932. Raja La Gaga Pue Tanamea adalah anak dari kakak kandung Raja La
Marauna Pue Totua yang telah menjabat sebelumnya. Setelah Raja La
Marauna Pue Totua mangkat, yang diangkat sebagai penggantinya adalah
putera keempat almarhum raja, bernama La Ruhana Lamarauna. Pada masa
pemerintahan Raja Banawa ke-11 ini, terjadi pertempuran sengit antara
Belanda dengan Jepang yang mendarat di wilayah Sulawesi Tengah pada
tanggal 15 Mei 1942. Akhirnya, Jepang berhasil mengambil-alih penguasaan
wilayah Kerajaan Banawa.
Raja La Ruhana Lamarauna harus menjalankan pemerintahannya dengan
waspada dan berhati-hati selama era penjajahan Jepang. Pada masa ini,
Kerajaan Banawa nyaris tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan secara
politik lagi dan hanya sekadar menjalani kehidupan sembari menunggu
terjadinya perubahan. Harapan itu terwujud ketika pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Raja La Ruhana
Lamarauna pun leluasa dapat menjalankan roda pemerintahan Kerajaan
Banawa hingga tutup usia pada tahun 1947
Pemangku tahta Kerajaan Banawa yang selanjutnya adalah putera bungsu
Raja La Ruhana Lamarauna, bernama La Parenrengi Lamarauna. Selain
sebagai pemangku tahta, Raja Banawa ke-12 ini juga berkecimpung di ranah
perpolitikan nasional dengan merangkap jabatan sebagai Ketua Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang pertama di Sulawesi Tengah. Suami dari
Hajja Sania Tombolotutu ini merupakan raja terakhir Kerajaan Banawa dan
memungkasi riwayat hidupnya pada tahun 1986. Raja La Ruhana Lamarauna
menghembuskan nafas terakhirnya di Palu.
Raja La Parenrengi Lamarauna disebut sebagai raja terakhir Kerajaan
Banawa karena sejak tanggal 12 Agustus 1952, Donggala ditetapkan sebagai
salah satu dari dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, selain
Kabupaten Poso. Status daerah Banawa pun dialihkan menjadi kecamatan dan
ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Donggala. Sejak saat itu,
kehidupan Banawa selaku pemerintahan kerajaan dinyatakan usai.
Silsilah
I Badan Tassa Batari Bana (1485-1552 M).
I Tassa Banawa (1552-1650 M).
I Toraya (1650-1698M).
La Bugia Pue Uva (1698-1758 M).
I Sabida (1758-1800).
I Sandudongie (1800-1845).
La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888).
La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902).
La Marauna Pue Totua (1902-1926).
La Gaga Pue Tanamea (1926-1932).
La Ruhana Lamarauna (1932-1947).
La Parenrengi Lamarauna (1947-1959)
Sistem Pemerintahan
Kerajaan Banawa mengadopsi sistem pemerintahan yang telah diberlakukan
dalam tata cara pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Kemiripan pola pengaturan kehidupan di Kerajaan Banawa dengan
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan tersebut terlihat dari bentuk
bangunan dan pemakaian gelar kehormatan untuk bangsawan.
Bangunan adat khas Kerajaan Banawa dikenal dengan sebutanbaruga yang
merupakan lambang kewibawaan dan kekuasaan kerajaan. Sedangkan
gelar-gelar kehormatan kerajaan yang dianugerahkan kepada para bangsawan
di Kerajaan Banawa juga nyaris persis dengan gelar bangsawan di
Sulawesi Selatan, sebut saja pemakaian gelar yang berawalan La, Daeng,
Andi, dan sebagainya.
Di samping itu, format dan struktur pemerintahan yang dijalankan di
Kerajaan Banawa juga memakai gaya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
yakni dengan menganut sistem Pitunggota.
Pitunggota adalah suatu susunan pemerintahan kerajaan dan lembaga
legislatif yang dipimpin oleh seorang Baligau. Keanggotaan Pitunggota
terdiri dari tujuh pejabat tinggi kerajaan, termasuk menteri dan pejabat
daerah, yaitu antara lain Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa,
Tadulako, Galara, Pabicara, dan Sabandara.
Madika Malolo adalah sebutan untuk raja muda sebagai wakil dari Raja
Banawa dalam mengurusi persoalan-persoalan tertentu. Pengangkatan Madika
Malolo dilakukan langsung secara adat oleh raja dan harus mendapat
restu dari dewan kerajaan. Madika Matuamerupakan jabatan perdana menteri
yang merangkap sebagai pejabat urusan luar negeri dan ekonomi. Seorang
Madika Matuadiangkat dan diberhentikan oleh raja atas persetujuan
Baligau. Anggota Pitunggota lainnya yakni Ponggawa atau menteri dalam
negeri, Tadulako atau menteri pertahanan dan keamanan, Galaraatau
menteri kehakiman, Pabicara atau menteri penerangan, dan Sabandara alias
menteri perhubungan kelautan
Tata cara pemerintahan di Kerajaan Banawa juga terdapat dua lembaga
tinggi, yakni Libu Nu Maradika (semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat)
dan Libu Nto Deya (semacam Dewan Permusyawaratan Rakyat). Tugas Libu Nu
Maradika adalah mengesahkan penobatan raja terpilih. Sedangkan Libu Nto
Deya ialah dewan yang mewakili tujuh penjuru wilayah atau Kota
Pitunggota. Bentuk Kota Pitunggota ditetapkan berdasarkan luas wilayah
kerajaan yang memiliki perwakilan Soki (kampung). Selain itu, dalam
tradisi Kerajaan Banawa dikenal tingkat penggolongan strata sosial
masyarakat, antara lain yaitu Madika/Maradika (kaum raja dan bangsawan),
Totua Nungata (keturunan tokoh-tokoh masyarakat), To Dea (rakyat
biasa), dan Batua yang merupakan kasta hamba atau budak.
Wilayah Kekuasaan
Sejak era pemerintahan Raja La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera
(1845-1888) hingga Raja La Ruhana Lamarauna (1932-1947), Kerajaan Banawa
memiliki luas wilayah sekitar 460.000 hektare yang terbagi atas tiga
daerah. Pertama adalah kawasan Banawa Selatan yang memiliki area wilayah
dari Loli Watusampu sampai Surumana yang berbatasan dengan daerah
Mamuju. Berikutnya adalah kawasan Banawa Tengah yang membentang dari
Pantoloan sampai Sindue. Bagian ketiga adalah kawasan Banawa Utara
dengan cakupan daerah yang terhampar dari Balaesang hingga Dampelas
Sojol, termasuk Pulau Pasoso dan Pangalasing.
Daerah-daerah yang dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan
Banawa pada masa sekarang menjadi desa-desa yang bernaung di wilayah
administratif Kecamatan Banawa. Daerah-daerah itu meliputi Ganti,
Bambarimi, Boneoge, Boya, Gunling Bale, Kabonga Besar, Kabonga Kecil,
Kola-Kola, Labuanbajo, Lalombi, Limboro, Lolioge, Lolitasiburi,
Lumbudolo, Lumbumarara, Maleni, Mbuwu, Powelliwa, Salengkaenu,
Salubomba, Salumpaku, Surlimana, Tanahmea, Tanjung Batu, Tolongano,
Tosale, Towale, dan Watatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar