Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan salah satu kesultanan terbesar
di Provinsi Riau. Awalnya Riau merupakan provinsi yang mencakup Riau
(Daratan) danKepulauan Riau (Kepri). Tetapi sejak 24 September 2004,
Provinsi Kepri ditetapkan sebagai daerah otonom di Provinsi Riau dengan
ditetapkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang pembentukan
Provinsi Kepri sebagai pemekaran Provinsi Riau. Pada 1 Juli 2004,
secara resmi Provinsi Kepri mengalami pemekaran dan menjadi provinsi ke
32 di Indonesia.
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja
yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan
indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud
dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu
sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang
yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat
dikatakan sebagai Orang Siak.
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan
dan India,Sihag atau Asiagh yang bermaksudpedang. Masyarakat ini
dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh
masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh
Straboseorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada
sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing
yang dinamakan sebagai Orang Sakai.
Kesultanan Siak Sri Indrapura kini berada di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau. Kabupaten ini meliputi wilayah seluas 8.233,57 km² dengan pusat
administrasi di Kota Siak Sri Indrapura. Daerah ini berada pada posisi
1º16‘30" LU dan 100º54‘21" 102º54‘21" 102º10‘59" BT dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut : di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Bengkalis; di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan
Pelalawan; di sebelah Barat berbatasan dengan Kota Pekanbaru; dan di
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan.
Sebelum menetap di daerah yang dinamakan Kabupaten Siak, Kesultanan Siak
Sri Indrapura beberapa kali mengalami perpindahan pusat kekuasaan.
Ketika pertama kali didirikan, pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri
Indrapura berada di Buantan, kemudian berpindah ke Mempura, Senapelan
Pekanbaru, kembali lagi ke Mempura, dan ketika diperintah oleh Tengku
Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil
Syarifuddin (1827-1864) pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Siak Sri
Indrapura dan akhirnya menetap di sana sampai pemerintahan Sultan Siak
Sri Indrapura yang terakhir, Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar
Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946).
Pada masa awal Kesultanan Melayu Melaka, Riau menjadi tempat pusat agama
islam. Setelah itu perkembangan agamaIslam di Siak menjadikan kawasan
ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak
lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika
dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’
mendaki dapat bermakna masuknya Islam atau mengislamkan dataran tinggi
pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam
agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan
Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih
digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama
Islam.
Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun sedikit
pengaruh Minangkabau masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam
pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris
sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka
menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk rumah hanya
diserahkan kepada anak perempuan saja.
Menurut sejarahnya Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan sebuah
kesultanan yang didirikan oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul
Jalil Rakhmat Syah (13-1746) pada 1723. Raja Kecil merupakan keturunan
dari Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Sultan Johor) dan Encik Pung.
Disebutkan dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja
Kecil) Sultan Siak Pertama.
“Maka Baginda (Raja Kecil) itu, adalah putera dari pada Sulthan Mahmud
Abdul Jalil Ra‘yat Syah, almarhum mangkat Dijulang Johor dengan … Encik
Pung binti Datuk Laksamana Johor … Maka Sulthan Mahmud Abdul Jalil
Ra‘yat Syah itu keturunan daripada Sultan mahmud Syah Malaka.- Setelah
Malaka kalah dari Alphonso Alburqueque (Portugis) pada tahun 1511
Masehi, maka berpindahlah Raja Malaka ke Johor turun-temurun hingga
sampai pada Sulthan Mahmud yang tersebut”
Sebagai pewaris Kesultanan Johor, Raja Kecil tidak serta merta langsung
bisa menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Sultan Johor. Kesulitan
ini terjadi karena sebelum Raja Kecil dilahirkan, Sultan Abdul Jalil
Rahmat Syah dibunuh oleh Megat Sri Rama pada 1699. Istri sang sultan,
Encik Pung yang sedang mengandung Raja Kecil, akhirnya dilarikan ke
Singapura (Temasik) kemudian ke Jambi. Dalam pelarian inilah, Raja Kecil
lahir dan dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sedangkan
tahta Kesultanan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara Tun Habib yang
bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Shah.
Setelah dewasa Raja Kecil menuntut haknya selaku pewaris tahta
Kesultanan Johor. Kesultanan Johor akhirnya diserang dan ditaklukkan
pada 21 Maret 1717. Raja Kecil akhirnya ditabalkan sebagai sultan di
Kesultanan Johor dengan gelar bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah.
Akan tetapi pada 1722 terjadi perebutan tahta antara Raja Kecil dengan
Tengku Sulaiman yang merupakan putera dari Datuk Bendahara Tun Habib.
Dalam upaya merebut tahta Kesultanan Johor, Tengku Sulaiman dibantu oleh
beberapa bangsawan dari Bugis. Seperti tertulis dalam Hikayat Baginda
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) Sultan Siak Pertama (1985),
bangsawan Bugis yang membantu Tengku Sulaiman adalah Daeng Relak alias
Opu Tandriburung, putera ketiga dari Raja Negeri Luok (Bugis) yang
bernama Landu Salat. Dalam membantu Tengku Sulaiman, Daeng Relak
mengikutsertakan kelima anaknya yang bernama Daeng Parani (Daeng
Berani), Daeng Menambung, Daeng Merewah, Daeng Celak (Daeng Pulai), dan
Daeng Kemasi.
Perebutan tahta Kesultanan Johor antara Raja Kecil dan Tengku Sulaiman
sebenarnya tidak pernah berakhir. Kedua belah kubu bisa dikatakan
sama-sama kuat. Akibat dari perebutan tahta ini, banyak korban yang
diderita oleh kedua belah pihak. Akhirnya kedua belah pihak membuat
kesepakatan (perjanjian) untuk mengakhiri konflik perebutan tahta.
Seperti dikutip dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
(Raja Kecil) Sultan Siak Pertama, kesepakatan tersebut berbunyi:
“Satu : Kerajaan Riau dibagi dua, yakni Pulau-pulau Riau, Lingga, Negeri
Johor serta Negeri Pahang, menjadi Kerajaan Raja Suleman yang
ditabalkan dengan seruan: ‘Sultan Suleman Badra‘ Alamsyah‘
Dua : Siak serta jajahan yang di pulau Sumatera dan pulau yang
berhampiran mulai dari Karimun, menjadi Kerajaan Siak, pulang kepada
Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah).
Tiga : Segala alat kebesaran seperti nobat dan lain-lainnya pun dibagi
dua, demikian juga orang-orang jadi jawatan adat-adat seperti suku
Bintang ada di Siak dan kerjanya memasang meriam nobat, kepalanya
bernama Jenang, karena itu orang Bolang dinamakan Bolang Biduanda”
Berdasarkan kesepakatan inilah, kubu dari Tengku Sulaiman menyingkir ke
Pahang, sedangkan kubu Raja Kecil menyingkir ke Buantan. Buantan
merupakan daerah pedalaman sungai Siak yang terletak kurang lebih 10 km
di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang. Dari Buantan inilah pada
1723, Kesultanan Siak Sri Indrapura didirikan oleh Raja Kecil sampai
menjadi pusat penyebaran agama Islam di Sumatera Timur.
Pemerintahan Raja Kecil ditandai dengan pembuatan landasan sistem
pemerintahan, militer, dan sistem perekonomian untuk menentang monopoli
Belanda dan Bugis. Beliau juga mengarahkan sistem pemerintahan untuk
menjalin hubungan dengan luar khususnya negeri Islam, seperti
negeri-negeri Islam Minangkabau, Turki, Arab, dan Mesir. Seperti
disebutkan dalam buku Sejarah Riau (2004), untuk membangun kekuatan di
bidang militer, Raja Kecil memerintahkan kepada Datuk Laksmana Raja Di
Laut untuk membangun armada laut yang kuat. Perintah ini dilaksanakan
oleh Laksmana Raja Di Laut dengan menjadikan Bintan sebagai tempat
pembuatan kapal-kapal perang di mana persenjataan kapal-kapal tersebut
didatangkan dari negeri-negeri Islam. Sedang dalam bidang perekonomian,
Raja Kecil memanfaatkan Bandar Sabah Auh untuk melakukan hubungan dagang
dengan negeri pesisir timur Sumatera sampai Aceh dan Minangkabau. Raja
Kecil juga memberlakukan pajak yang dinamakan pancung alas(pajak atas
hasil hutan) dan tapak lawang (pajak kepala). Setelah kekuatan militer,
pemerintahan, dan ekonomi telah memadai, Raja Kecil kembali menyerang
Kesultanan Johor pada 1724-1726. Dalam sebuah pertempuran di Kedah, Raja
Kecil berhasil membunuh Daeng Parani akan tetapi tidak berhasil
menguasai Kedah. Tetapi keberhasilan penyerangan ini dapat dilihat dari
masuknya wilayah Rokan, Tanah Putih, Bangka, dan Kulo ke dalam wilayah
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Selepas penyerangan ke Kesultanan Johor,
Raja Kecil yang kini telah bekerjasama dengan orang-orang Bugis,
berkali-kali muncul di Selat Malaka untuk mengacaukan alur perdagangan
Belanda. Kejadian ini berlangsung antara 1740-1745. Pada 1746, Raja
Kecil wafat dan dimakamkan di Buantan. Sebagai pengganti Raja Kecil,
tampuk kekuasaan dipegang oleh Tengku Buang Asmara bergelar Sultan
Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765).
Perpindahan kekuasaan dari Raja Kecil ke Sultan Muhammad Abdul Jalil
Jalaluddin Muzafar Syah sebenarnya diwarnai dengan sengketa perebutan
tahta. Hal ini terjadi karena sultan pengganti merupakan anak bungsu
dari Raja Kecil. Raja Kecil sebenarnya mempunyai 3 orang putera, yaitu
Tengku Alamuddin, Tengku Muda, dan Tengku Buang Asmara. Perebutan tahta
terjadi antara Tengku Buang Asmara dan Tengku Alamuddin. Sedangkan
Tengku Muda telah meninggal dunia di usia yang masih sangat muda.
Akhirnya perebutan tahta dimenangkan oleh Tengku Muda, sedangkan Tengku
Alamuddin mengundurkan diri ke Johor.
Pemerintahan Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah
ditandai dengan perpindahan pusat kekuasaan dari Buantan ke Mempura pada
1760 dan penggantian nama Sungai Jantan menjadi Sungai Siak. Oleh
karena itu dinamakan pula Kesultanan Siak dan pusatnya bernama Siak Sri
Indrapura. Sejak saat itulah, Kesultanan Siak resmi memakai nama
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Selain itu, pemerintahan Sultan Muhammad
Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah juga ditandai dengan konfrontasi
secara langsung dengan Belanda untuk pertama kalinya. Perang terjadi di
daerah Guntung pada 1760. Inilah kemenangan terbesar Kesultanan Siak Sri
Indrapura atas Belanda. Atas kekalahan ini, Belanda mundur dan untuk
sementara menghentikan upaya penaklukan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Pada 1765 Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah wafat dan
dimakamkan di Mempura. Sebagai pengganti naiklah puteranya bernama
Tengku Ismail bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah
(1765-1767). Pergantian pemegang kekuasaan di Kesultanan Siak Sri
Indrapura membuat keinginan Belanda untuk menaklukkan Kesultanan Siak
Sri Indrapura muncul kembali. Dengan memperalat Tengku Alamuddin,
Belanda kembali menyerang Kesultanan Siak Sri Indrapura dan berhasil
menaklukkannya pada 1766. Pada 1967 bertahtalah Tengku Alamuddin dengan
gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, pusat
pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berpindah ke Senapelan.
Beliau membuat sebuah pekan (pasar) untuk perdagangan. Tempat tersebut
kini dikenal sebagai Pekanbaru. Selama memerintah beliau memperbesar
pusat perdagangan dan membuka alur perdagangan dengan daerah pedalaman
yang menghubungkan dengan Senapelan.
Kebijakan untuk memelihara dan mengembangkan perdagangan di Senapelan
tetap dilanjutkan pada masa pemerintahan Tengku Muhammad Ali Panglima
Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782).
Akan tetapi kegemilangan menjadikan Senapelan sebagai pusat perdagangan
mulai goyah, ketika terjadi perpindahan pusat kekuasaan dari Senapelan
ke Mempura. Perpindahan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yahya
Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784). Perpindahan pusat kekuasaan
Kesultanan Siak Sri Indrapura dilakukan karena terjadi perebutan tahta
sultan antara Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah dan Said Ali.
Perebutan tahta sebenarnya dimulai ketika Sultan Muhammad Ali selaku
pemegang tahta Kesultanan Siak Sri Indrapura berhasil dikalahkan oleh
Sultan Ismail yang dulu pernah dikalahkan oleh Sultan Alamuddin (ayah
dari Sultan Muhammad Ali) dan menyingkir ke Pelalawan hingga ke Langkat.
Ketika Sultan Ismail wafat, beliau telah menyiapkan pengganti yaitu
Sultan Yahya. Akan tetapi karena Sultan Yahya masih kecil, tampuk
kekuasaan diserahkan kepada Tengku Muhammad Ali yang sebelumnya telah
mendapat pengampunan oleh Sultan Ismail dan diangkat sebagai Raja Muda.
Setelah dewasa Sultan Yahya akhirnya naik tahta pada 1782. Naiknya
Sultan Yahya ditandai dengan perebutan tahta antara Sultan Yahya dengan
keturunan dari Sultan Alamuddin yaitu Said Ali (cucu dari Sultan
Alamuddin).
Kedudukan Sultan Yahya sebagai pemegang tampuk kekuasaan ternyata tidak
berlangsung lama karena terus menerus mendapat tekanan dari Said Ali.
Sultan Yahya akhirnya menyingkir ke Kampar kemudian ke Trenggano dan
akhirnya ke Dungun dan wafat di sana pada 1784. Said Ali akhirnya naik
sebagai pengganti dari Sultan Yahya. Said Ali yang bergelar Sultan
Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) adalah putra dari
Tengku Embung Badariah dan Said Syarif Usman, seorang bangsawan Arab,
sehingga beliau merupakan Sultan Siak pertama berdarah Arab. Pada masa
pemerintahannya Kesultanan Siak Sri Indrapura memiliki 12 daerah
jajahan, di antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh,
Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang. Masa
pemerintahan Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi ditandai
dengan kembali berpindahnya pusat kekuasaan Kesultanan Siak Sri
Indrapura dari Mempura ke Kota Tinggi.
Kejayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mulai pudar pasca turunnya Sultan
Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi dan digantikan oleh putera
beliau, Tengku Said Ibrahim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim
Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1827). Kemunduran Kesultanan Siak Sri
Indrapura dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama, penduduk Kesultanan
Siak Sri Indrapura mulai banyak yang berpindah tempat ke Lingga,
Tambelan, Trenggano, bahkan Pontianak. Kedua, masuknya intervensi Barat
seperti perjanjian dengan Kolonel William Farquhar (Kepala Perwakilan
Kompeni Hindia Inggris di Penang) dan Belanda, turut memberikan andil
mundurnya Kesultanan Siak Sri Indrapura. Perjanjian dengan kedua belah
pihak ini (Inggris dan Belanda) merupakan perjanjian yang mengikat dan
tidak jarang merugikan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Seperti tertulis di dalam buku Sejarah Riau (2004), kemunduran
Kesultanan Siak Sri Indrapura semakin parah ketika terjadi pemberontakan
dari dalam ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Tengku
Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil
Syarifuddin (1827-1864). Perselisihan ini dimulai ketika Sultan
Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin mengalami gangguan jiwa
dan terpaksa meletakkan tampuk kekuasaan. Para Dewan Kesultanan
akhirnya berunding dan disepakati untuk mengangkat Tengku Said Ismail
sebagai pengganti sultan. Padahal jika dirunut dari garis keturunan,
Tengku Said Ismail adalah anak dari Tengku Muhammad dengan saudara
perempuan sultan, yaitu Tengku Mandah. Naiknya Tengku Ismail sebagai
pengganti sultan praktis membuat garis keturunan langsung dari Sultan
Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin terputus karena terjadi
alih keturunan. Beberapa kalangan yang tidak sependapat dengan
pengangkatan ini akhirnya melancarkan pemberontakan. Mereka di antaranya
adalah Tengku Do yang bergelar Yam Mertuan Raja Di Laut dari daerah
Bangko, Kubu, dan Tanah Putih, serta pemberontakan yang berasal dari
dalam kalangan istana yang dipimpin oleh Tengku Putera. Di luar
Kesultanan Siak Sri Indrapura, ternyata Aceh mengambil keuntungan dengan
merebut daerah jajahan Kesultanan Siak Sri Indrapura di Temiang dan
Kualuh. Atas dasar pemberontakan ini, Sultan Assyaidis Syarif Ismail
Abdul Jalil Syarifuddin meminta bantuan dari pihak Inggris yang dipimpin
oleh Wilson. Wilson sukses menghalau pemberontakan dan meminta upah
dengan menduduki Bengkalis. Tindakan Wilson tidak berkenan di hati
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin, sehingga beliau
meminta bantuan Belanda untuk mengusir Wilson dari Bengkalis. Belanda
menyanggupinya dan berhasil mengusir Wilson dari Bengkalis. Sebagai
balas jasa, Belanda mengadakan perjanjian kepada Kesultanan Siak Sri
Indrapura. Perjanjian kemudian dilakukan pada 1 Februari 1858 yang
dikenal dengan Traktat Siak.
Penandatangan Traktat Siak justru semakin memperparah kemunduran
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Baik dilihat dari sistem pemerintahan
maupun wilayah kekuasaan, Kesultanan Siak Sri Indrapura berada dalam
pengaruh kekuasaan Belanda. Akan tetapi masuknya kekuasaan Belanda di
dalam Kesultanan Siak Sri Indrapura, menjadi tanda bahwa kehidupan
modern mulai berlaku di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kehidupan modern,
khususnya di dalam lingkungan istana dimulai ketika Tengku (Panglima
Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil
Syarifuddin naik tahta pada 1864-1889. Beliau berhasil mendirikan Masjid
Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota kesultanan, memulai
modernisasi pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.
Kehidupan modern di Kesultanan Siak Sri Indrapura berlanjut ketika
Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim
Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada 1889-1908. Seperti tertulis di
dalam buku Siak Sri Indrapura(2005), beliau meneruskan modernisasi dalam
pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya kesultanan
dengan eksport hasil bumi Siak. Beliau juga membangun Balai Kerapatan
Tinggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi
dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dari
perak, tempat gula yang khusus dipesan dari Limoges, Perancis, dan alat
musik Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan
menyusun Al Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan
Siak Sri Indrapura). Khususnya di bidang pendidikan, beliau berupaya
menandingi dominasi pendidikan Belanda lewat HIS (Hollandsche Inlandsche
Schoolatau Sekolah Dasar). Sekolah yang didirikan oleh Belanda ini
seluruh pembiayaannya dibebankan kepada Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Sekolah ini hanya menampung anak-anak pembesar kesultanan, kaum
bangsawan, dan anak-anak hartawan Cina, Arab, serta India. Untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan bagi rakyat yang tidak tertampung dalam
HIS, Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin mendirikan
Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah untuk anak laki-laki dengan lama
pendidikan 7 tahun. Sedangkan Tengku Agong, permaisuri pertama
mendirikan sekolah kepandaian puteri, Latifah School. Sepeninggal
permaisuri pertama pada 1927, Tengku Maharatu yang merupakan permaisuri
kedua mendirikan asrama puteri bernama Istana Limas yang menampung
anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah School dan diberi
tugas di lingkungan istana membantu semua kegiatan istana, seperti
menerima tamu, memasak, dan membersihkan istana. Di samping itu
didirikan pula Madrasyahtul Nisak untuk kaum perempuan dengan lama
pendidikan 7 tahun, serta sebuah Taman Kanak-kanak.
Sultan terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah Tengku (Putera)
Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil
Syarifuddin (1908-1946). Ketika Sultan Said Kasim II memerintah, beliau
melakukan beberapa hal, antara lain: penanaman kapuk, pembukaan jalan
raya Tratak Buluh-Si Malinjang-Gunung Sahilan-Teluk (Sumatera Barat),
peningkatan jalan Siak-Pekanbaru-hulu Sungai Siak, pembukaan bank kredit
rakyat di Bagansiapi-api atas nama Bank Bagan Madjoe pada 1917, dan
membentuk Dewan Kesultanan Siak yang telah dihapuskan Belanda sejak
Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858.
Sultan Said Kasim II juga menaruh perhatian di bidang kesenian. Seperti
tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Sultan Kasim II
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kesenian di istana, terutama pada
Hari Ulang Tahun Kesultanan Siak Sri Indrapura, pada saat menerima tamu
kerajaan, dan pada saat upacara persembahan kepada sultan. Istana juga
mempunyai korps musik, serta grup kesenian tonil. Grup tonil ini
dipimpin oleh Teungku Juned, abang ipar sultan. Tarian Zapin mendapat
tempat terhormat dan dipertunjukkan di istana. Tari-tarian rakyat
lainnya yang dipertunjukkan di istana adalah Tari Olang-olang, Lukah,
dan Joget. Teater tonil dimainkan oleh orang-orang istana, sedang teater
rakyat, Makyong, dimainkan oleh sanggar teater masyarakat.
Selain memberikan perhatian dibidang perekonomian, pembangunan, dan
kesenian, Sultan Said Kasim II juga merupakan seorang nasionalis. Hal
ini dibuktikan ketika terjadi Revolusi Sosial di sebagian wilayah
Sumatera Timur pada minggu pertama bulan Maret 1946, lima istana
kesultanan yang ada di pantai timur Sumatera dibakar, kecuali Istana
Maimoon di Medan dan Istana Asserayah Al Hasyimiah di Kesultanan Siak
Sri Indrapura. Penyebab utama tidak ikut dibakarnya Istana Asserayah Al
Hasyimiah di Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah tindakan Sultan Said
Kasim II yang dengan tegas telah menunjukkan keberpihakan pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sikap sang sultan juga diwujudkan secara
nyata dengan pemberian dukungan dari pihak Kesultanan Siak Sri Indrapura
kepada Negara Kesatuan republik Indonesia sejak awal kemerdekaan 17
Agustus 1945. Bahkan pada bulan Oktober 1945, Sultan Said Kasim II
membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di Siak yang segera disusul
dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan upacara
pengibaran Bendera Merah-Putih di halaman istana. Sebagai tanda menjadi
bagian dari Republik Indonesia, Sultan Said Kasim II menyerahkan mahkota
dan pedang Kesultanan Siak yang kini menjadi koleksi Museum Nasional
Indonesia (Museum Gajah) dan menyerahkan sebagain hartanya untuk
membantu perjuangan kemerdekaan.
Silsilah
Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah diperintah oleh 12 sultan, yaitu:
1. Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah (1723-1746).
Raja Kecil adalah pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura setelah
sebelumnya merebut Kesultanan Johor pada 1717.
2. Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin
Muzafar Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahannya nama Siak Sri
Indrapura resmi digunakan.
3. Tengku Ismail bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah
(1765-1767). Beliau juga dikenal dengan sebutan “Sultan Kudung” karena
tangannya kudung dalam peperangan melawan Belanda pada 1766.
4. Tengku Alamuddin bergelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780).
5. Tengku Muhammad Ali Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul
Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Pada masa pemerintahannya Pekanbaru
berkembang menjadi pusat perdagangan.
6. Tengku Sulung/Yahya bergelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784).
7. Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil
Baalawi (1784-1810). Beliau adalah putra dari Tengku Embung Badariah dan
Said Syarif Usman, seorang bangsawan Arab, sehingga beliau merupakan
Sultan Siak pertama berdarah Arab. Pada masa pemerintahannya Siak
memiliki 12 daerah jajahan, di antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara
Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan
Temiang.
8. Tengku Said Ibrahim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1827).
9. Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul
Jalil Syarifuddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya Traktat Siak
ditandatangani pada 1 Februari 1858.
10. Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis
Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889). Beliau berhasil
mendirikan Masjid Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota
kesultanan, memulai modernisasi pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.
11. Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Beliau meneruskan modernisasi
dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya
kesultanan dengan eksport hasil bumi Siak. Beliau juga membangun Balai
Kerapatan Tinggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang
diisi dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat
dari perak, tempat gula yang khusus dipesan dari Limoges, Perancis, dan
alat musik Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan
menyusun Al Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan
Siak Sri Indrapura). Babul Qawa‘id diartikan sebagai “Pintu Segala
Pegangan”.
12. Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim
Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946). Sultan Kasim II adalah sultan
terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura. Pada 25 April 1968 beliau
ditetapkan sebagai Warga Utama Daerah Riau, dan pada 6 November 1998
beliau mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Sistem Pemerintahan
Raja Kecil (1723-1746) merupakan pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura
sekaligus sultan pertama yang membangun landasan sistem pemerintahan di
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sistem pemerintahan di Kesultanan Siak
Sri Indrapura mengatur bahwa seorang sultan dibantu oleh Dewan
Kesultanan yang berfungsi sebagai pelaksana dan penasehat sultan.
Di dalam buku Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan
Peninggalannya (1999/2000), Dewan Kesultanan tersebut terdiri dari:
Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Paduka Raja
Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa
Datuk Pesisir dengan gelar Sri Dewa Raja
Datuk Kampar dengan gelar Maharaja Sri Wangsa
Di samping keempat datuk tersebut ada pula Datuk Bintara Kanan dan Kiri
yang mengatur tata pemerintahan, hukum dan undang-undang kesultanan;
Datuk Laksmana untuk mengatur laut; dan Panglima untuk kawasan darat.
Di luar pusat pemerintahan, Kesultanan Siak Sri Indrapura juga mengatur
sistem pemerintahan di daerah. Sebagaimana tercatat di buku Sejarah Riau
(2004), pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh Kepala Suku yang
bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin. Ketiga jabatan tersebut sama
kedudukannya, hanya saja Penghulu tidak mempunyai hutan tanah. Dalam
menjalankan tugasnya Penghulu dibantu oleh:
Sangko Penghulu (wakil Penghulu)
Malim Penghulu (pembantu urusan kepercayaan/agama)
Lelo Penghulu (pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang).
Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku asli.
Jabatan ini didapat secara turun temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat).
Dalam menjalankan tugasnya, Batin dibantu oleh:
Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan)
Monti (pembantu Batin urusan adat)
Antan-antan (pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan).
Pada masa pemerintahan Raja Kecil, terdapat beberapa perbatinan di
sepanjang aliran Sungai Siak, antara lain: Perbatinan Gassib, Senapelan,
Sejaleh, dan Perawang. Perbatinan sebelah selatan Sungai Siak antara
lain: Perbatinan Sakai dan Petalangan. Sedangkan perbatinan di
pulau-pulau, antara lain : Perbatinan Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau,
dan Rangsang. Sementara itu, daerah asli yang kepala sukunya disebut
penghulu antara lain: Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah.
Model sistem pemerintahan yang dirancang oleh Raja Kecil bertahan hingga
Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif
Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Sultan Assyaidis Syarif Hasim
Abdul Jalil Syarifuddin merubah sistem pemerintahan dan meletakkan
landasan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional. Sistem ini ditandai
dengan penyusunan dan pemberlakukanAl Qawa‘id atau Babul Qawa‘id
(konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura).
Babul Qawa‘id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri
Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang
dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan
orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005) dijelaskan bahwa
bagian pertama Babul Qawa‘id merupakan bagian pembukaan yang terdiri
dari dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, latar belakang, nama
dari naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak berlaku sebagai
hukum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai
Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terlibat perkara dengan orang
Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan melibatkan pejabat Kesultanan
Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda.
Masih di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), pada bagian utama Babul
Qawa‘idterdiri dari 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci
pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya
tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain: “Gelar yang Berkuasa
di Kerapatan Tinggi, Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan
Tinggi, Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi, Tugas Hakim
Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan, Nama-nama Suku” .
Selain Babul Qawa‘id, perubahan sistem pemeritahan juga terlihat pada
lembaga pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di dalam buku
Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya
(1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, sultan
dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di
pusat maupun di daerah yang terdiri dari:
Sultan
Merupakan kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi.
Dewan Menteri (Dewan Kesultanan)
Dewan ini bertugas memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama dengan sultan membuat undang-undang dan peraturan.
Hakim Kerapatan Tinggi
Hakim Kerapatan Tinggi bertugas dalam pelaksanaan pengadilan umum.
Sedang Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang terjadi pada rakyat Siak. Kepala dari Kerapatan Tinggi
adalah sultan dan didampingi oleh para Datuk. Kadi negeri Siak dan
Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
Hakim Polisi
Merupakan kepala pemerintahan di tingkat provinsi sebagai wakil sultan.
Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura terdiri dari 10 provinsi.
Hakim Syariah
Hakim Syariah terbagi menjadi dua, pertama berkedudukan di Negeri Siak
Sri Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dari Kadi Siak menangani
pengadilan tentang harta pusaka atau warisan dan masalah hukum adat.
Kedua berkedudukan di daerah provinsi yang bergelar Imam Jajahan. Tugas
Imam jajahan adalah membantu Kadi Siak.
Hakim Kepala Suku/Hinduk
Merupakan pemerintahan yang terendah menurut hierarki Kesultanan Siak
Sri Indrapura. Hakim Kepala Suku/Hinduk bertugas melaksanakan
pemerintahan dan mengatur kehidupan bermasyarakat, beragama, dan
berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku/Hinduk
tunduk pada Hakim Polisi Provinsi.
Perubahan sistem pemerintahan ini bertahan hingga muncul pewaris tahta,
yaitu Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Hanya saja ketika pewaris tahta ini
ditunjuk untuk menggantikan sultan yang telah mangkat, usia beliau masih
terlalu muda yaitu berumur 16 tahun dan masih menempuh pendidikan di
Batavia. Oleh karena itu diangkatlah dua pejabat sebagai wakil sultan,
yaitu Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh. Tengku (Putera)
Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil
Syarifuddin sendiri akhirnya menduduki tahta Kesultanan Siak Sri
Indrapura pada 1915. Sehingga praktis mulai 1908-1915, pengampu
kekuasaan tertinggi di Kesultanan Siak Sri Indrapura dipegang oleh dua
pejabat pengganti sultan.
Ketika Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin resmi ditabalkan sebagai sultan,
sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura telah diubah oleh
Belanda. Wilayah kesultanan yang sebelumnya terdiri dari 10 provisi
telah disempitkan menjadi 5 distrik. Sultan juga memerintah tanpa
didampingi oleh Dewan Menteri (Dewan Kesultanan) karena kedudukan
lembaga ini telah dihapuskan oleh Belanda. Sistem pemerintahan ini tetap
berlangsung sampai Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil
Syarifuddin menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura menjadi
bagian dari Republik Indonesia pada 1946.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami pasang surut
sejak didirikan oleh Raja Kecil pada 1723 sampai pewaris tahta terakhir,
Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Wilayah
kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura setidaknya mengalami pasang
surut pada tiga fase (kejadian). Pertama ketika diperintah oleh Raja
Kecil (1723-1746), wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura mencakup
wilayah Buantan sebagai pusat pemerintahan hingga wilayah perbatinan
yang merupakan daerah perluasan wilayah. Sehingga dilihat dari wilayah
perbatinan inilah, pada masa pemerintahan Raja Kecil, wilayah Kesultanan
Siak Sri Indrapura mencakup wilayah Buantan, Gassib, Senapelan,
Sejaleh, Perawang, Sakai, Petalangan, Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau,
dan Rangsang, Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah. Ditambahkan
pula bahwa wilayah Kesultanan Siak mencakup pula daerah Panai, Bilah,
Asahan, dan Batu Bara.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mencapai puncak
perluasannya ketika diperintah oleh Tengku Said Ali bergelar Sultan
Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Ketika diperintah
oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi, luas wilayah
kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami perluasan wilayah
sehingga mencakup 12 jajahan, yaitu Kotapinang Pagarawan, Batubara
Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, dan
Temiang yang berbatasan dengan Aceh, selain daerah taklukan Sambas di
Kalimantan, dan daerah kekuasaan Riau sendiri yang meliputi Kubu,
Bangka, Tanah Putih, dan Pelalawan.
Perluasan wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura akhirnya
mengalami penyempitan ketika Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari
1858. Perjanjian ini sendiri diwakili oleh dua orang, yaitu Residen
Riau J.F. Niewenhuyzen dan Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis
Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Isi dari Traktat Siak
tersebut adalah:
Belanda mengakui hak otonomi Siak atas daerah Siak asli.
Siak menyerahkan daerah jajahannya, yaitu Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan kepada Belanda.
Dengan ditandatanganinya Traktat Siak berarti masa kolonial di Siak
telah dimulai karena Kesultanan Siak Sri Indrapura dinyatakan bernaung
di bawah Kerajaan Belanda.
Kehidupan Sosial-Budaya
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial di lingkungan Kesultanan Siak Sri Indrapura setidaknya
dapat dipetakan ke dalam beberapa hal, antara lain: perekonomian,
pendidikan, perluasan wilayah, dan pembangunan. Di bidang perekonomian,
Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah menjadi pusat perdagangan (bandar
dagang) ketika pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berada
di Senapelan. Puncak kejayaan bandar dagang dicapai ketika Kesultanan
Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
(1766-1780) dan dilanjutkan oleh puteranya, Tengku Muhammad Ali Panglima
Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
(1780-1782). Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah membuat sebuah pekan
(pasar) untuk perdagangan. Tempat tersebut kini dikenal sebagai
Pekanbaru. Selama memerintah beliau memperbesar pusat perdagangan dan
membuka alur perdagangan dengan daerah pedalaman yang menghubungkan
antara Senapelan dengan daerah-daerah penghasil bahan yang
diperdagangkan (lada, gambir, rotan, damar, kayu, dan lain-lain). Jalur
pedagangan tersebut menuju ke arah selatan dan barat. Jalur ke arah
selatan sampai Teratak Bulu dan Buluh Cina. Sedangkan jalur ke arah
barat sampai Bangkinang terus ke Rantau Berangin. Semakin besarnya
pengaruh Pekanbaru sebagai pusat perdagangan di Sumatera Timur,
menjadikan Belanda yang menguasai Guntung dan mendirikan loji di sana,
terpaksa menutup loji karena pusat perdagangan kini tidak lagi melewati
Guntung akan tetapi ke Pekanbaru.
Di bidang pendidikan, kemajuan yang sangat signifikan ditunjukkan ketika
Kesultanan Siak Sri Indrapura dipimpin oleh Tengku (Panglima Besar)
Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil
Syarifuddin pada 1864-1889. Beliau adalah Sultan Siak yang meletakkan
pondasi kehidupan modern di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Beliau juga
berusaha menandingi pengaruh Belanda yang mendirikan HIS (Hollandsche
Inlandsche School atau Sekolah Dasar) dengan mendirikan sekolah Madrasah
Taufiqiyah al Hasyimiah untuk anak laki-laki dengan lama pendidikan 7
tahun. Sedangkan Tengku Agong, permaisuri pertama mendirikan sekolah
kepandaian puteri, Latifah School. Sepeninggal permaisuri pertama pada
1927, Tengku Maharatu yang merupakan permaisuri kedua mendirikan asrama
puteri bernama Istana Limas yang menampung anak-anak yatim piatu yang
disekolahkan di Latifah School dan diberi tugas di lingkungan istana
membantu semua kegiatan istana, seperti menerima tamu, memasak, dan
membersihkan istana. Di samping itu didirikan pula Madrasyahtul Nisak
untuk kaum perempuan dengan lama pendidikan 7 tahun, serta sebuah Taman
Kanak-kanak.
Di bidang perluasan wilayah, Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah
mencapai puncak kekuasaan penguasaan wilayah ketika diperintah oleh
Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi
(1784-1810). Pada masa pemerintahannya Siak memiliki 12 daerah jajahan,
yaitu Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah,
Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang di samping daerah taklukan
di Sambas, Kalimantan dan daerah kekuasaan di Riau sendiri seperti Kubu,
Bangka, Tanah Putih, dan Pelalawan. Perluasan daerah jajahan ini
menimbulkan implikasi terhadap Kesultanan Siak Sri Indrapura. Khususnya
di daerah jajahan di Sambas, Kalimantanhingga saat ini di Sambas masih
terdapat perkampungan yang bernama Kampung Siak. Selain itu implikasi
dari penaklukan Sambas ternyata berpengaruh pada corak tenunan Siak.
Corak tenun Sambas mempunyai kesamaan dengan tenun Siak. Sisi positif
lainnya adalah setiap daerah jajahan memberikan upeti kepada Kesultanan
Siak Sri Indrapura sebagai yang dipertuan (pengakuan kedaulatan).
Kehidupan sosial yang lain dapat ditunjukkan lewat sisi pembangunan,
baik secara non fisik maupun secara fisik di Kesultanan Siak Sri
Indrapura. Pembangunan secara non fisik dapat dilihat ketika Kesultanan
Siak Sri Indrapura mengubah sistem dari Monarki ke Monarki
Konstitusional yang ditandai dengan penyusunan dan pemberlakukan Al
Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri
Indrapura). Sistem ini berlaku ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura
dipimpin oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin
(1889-1908). Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), dijelaskan bahwa
Babul Qawa‘id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri
Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang
dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan
orang Melayu. Dijelaskan bahwa bagian pertama Babul Qawa‘id merupakan
bagian pembukaan yang terdiri dari dua pasal dan menjelaskan tentang
motivasi, latar belakang, nama dari naskah ini, dan menyebutkan bahwa
isinya tidak berlaku sebagai hukum bagi penduduk bukan Melayu atau
Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang
terlibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan
melibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah
Hindia Belanda.
Pembangunan secara fisik di Kesultanan Siak Sri Indrapura juga dilakukan
dengan pembuatan Istana Istana Asserayah Hasyimiah pada 1889 dan Balai
Kerapatan Tinggi pada 1886 ketika diperintah oleh Tengku Putera (Ngah)
Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil
Syarifuddin (1889-1908). Istana Asserayah Hasyimiah dibangun dengan
bantuan arsitek dari Jerman yang memadukan gaya Eropa, Spanyol, Arab,
dan Melayu tradisional. Istana ini dikenal pula dengan nama Istana
Matahari Timur.
Balai Kerapatan Tinggi atau Balai Rung Sari digunakan untuk sidang
kerajaan dan Mahkamah Kerapatan Tinggi, sidang-sidang perkara kejahatan,
hutang, sengketa tanah, warisan, pelanggaran adat istiadat,
penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya.
“Di kedua sisi ruang sidang terdapat tangga besi berbentuk spiral dan
tangga kayu. Jika suatu perkara sudah diputuskan, maka yang menang akan
turun melalui tangga besi dan yang kalah akan turun ke lantai dasar
dengan menggunakan tangga kayu dan langsung menuju Djil (penjara) yang
terletak tidak jauh dari situ”.
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya di Kesultanan Siak Sri Indrapura di antaranya dapat
dilihat ketika Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali
Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) memerintah, tenun khas Siak mendapatkan
tempat karena kerajinan tenun ini mulai dikenal luas. Selin itu pada
masa pemerintahan Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan
Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946) kesenian
mendapat tempat terhormat di istana pada. Beliau merupakan sultan yang
menaruh perhatian pada kesenian di Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Seperti tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Sultan Kasim
II menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kesenian di istana, terutama pada
Hari Ulang Tahun Kesultanan Siak Sri Indrapura, pada saat menerima tamu
kerajaan, dan pada saat upacara persembahan kepada sultan. Istana juga
mempunyai korps musik, serta grup kesenian tonil. Grup tonil ini
dipimpin oleh Teungku Juned, abang ipar sultan. Tarian Zapin mendapat
tempat terhormat dan dipertunjukkan di istana. Tari-tarian rakyat
lainnya yang dipertunjukkan di istana adalah Tari Olang-olang, Lukah,
dan Joget. Teater tonil dimainkan oleh orang-orang istana, sedang teater
rakyat, Makyong, dimainkan oleh sanggar teater masyarakat.
Kemajuan Perdagangan Kesultanan Siak
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan
perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para
perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari
catatan Belanda yg menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal
dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga
perdagangan antara Belanda di Malaka & Inggris di Pulau Pinang.
Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan
Yang Dipertuan Muda terutama sesudah hilangnya kekuasaan mereka pada
kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan & permusuhan terhadap
Sultan Siak, terlihat dlm Tuhfat al-Nafis, di mana dlm deskripsi
ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yg rakus akan
kekayaan dunia. Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari
kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri
Inderapura.
Sungai Siak merupaken kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan,
mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah & emas. Sementara pada
saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yg
utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama
untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yg
berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat
akses langsung kepada sumber beras & garam di Pulau Jawa, tanpa
harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda
juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yg mereka
sebut sebagai kawasan hutan hujan yg tak berujung. Dominasi Kesultanan
Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera &Semenanjung
Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor
sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak
juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau,
melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, & Kuantan, yg
sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian
kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di
pedalaman Minangkabau yg dikenal dengan Perang Padri.
Bergabung dengan Indonesia
Sultan Syarif Kasim II, merupaken Sultan Siak terakhir yg tak memiliki
putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia,Sultan Syarif Kasim II
menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.
Pengaruh Pagaruyung
Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada
Kesultanan Siak, sesudah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yg mirip
dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini
memiliki kekuasaan untuk memilih & mengangkat Sultan Siak, sama
dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama
dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi
masyarakatnya.
Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan
pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tak lepas dari
pengaruh model birokrasi pemerintahan yg berlaku di Eropa maupun yg
diterapkan pada kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi
sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat
Jabatan yg diterbitkan tahun 1897.
Naskah ini terdiri dari 33 halaman yg panjang serta ditulis dengan Abjad
Jawi. Ingat Jabatan merupaken dokumen resmi Siak Sri Inderapura yg
dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi
atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan
di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari
setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan
serta perintah untuk tak khianat kepada sultan & nagari.
Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah
satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa’id.
Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yg dikenakan
kepada masyarakat Melayu & masyarakat lain yg terlibat perkara
dengan masyarakat Melayu.
Namun tak mengikat orang Melayu yg bekerja dengan pihak pemerintah
Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan
secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak
diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yg dipimpin oleh Sultan
Siak, Dewan Menteri & dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak
sebagai anggota.
Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dlm pemerintahan Siak antara
lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas
Polisi. Kemudian terdapat juga warga dlm yg bertanggung jawab terhadap
harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa
Raja yg bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan. Dalam administrasi
pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu &
hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dlm bentuk distrik yg
dipimpin oleh seseorang yg bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang
Dipertuan & bertanggungjawab kepada Sultan Siak yg juga bergelar
Yang Dipertuan Besar.
Pengaruh Islam & keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah
satunya keturunan Al-Jufri yg bergelar Bendahara Patapahan. Pada
kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yg
bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta
Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan
yg sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan
yg tak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat,
Monti & Antan-antan.
Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dlm Kesultanan
Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di
Minangkabau terutama pada kawasan pesisir. Siak Sri Inderapura sampai
sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak,
& Balai Kerapatan Tinggi yg dibangun tahun 1886 serta Istana Siak
Sri Inderapura yg dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai
simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin & Tari Olang-olang
yg pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk
ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura.
Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di
Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yg bermuara pada kawasan
timur pulau Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar