Wilayah Kerajaan Banggai saat ini mencakup Kabupaten Banggai Kepulauan
dan atau Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad
Banggai Sepintas Kilas, kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1525.
Jika merujuk kepada Nagarakretagamakarangan Mpu Prapanca yang bertarikh
1278 Saka (1365 M), Prapanca menyebut sebuah tempat bernama Banggawi.
“Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang
Ling Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa
Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara”.
Untuk saat ini, masih cukup sulit menulisan sejarah Kerajaan Banggai
sebelum abad ke-14. Apakah Banggawi yang dibicarakan Prapanca itu
Banggai, atau lebih jauh lagi apakah Prapanca itu menyebut Banggawi
sebagai sebuah kerajaan atau hanya nama tempat?
Banggai dipercaya telah menjadi kerajaan sebelum abad ke-14, informasi
tersebut oleh beberapa pihak —selain dihubungkan dengan pernyataan
Prapanca dalamNagarakrtagama— juga kerap dihubungkan dengan kronik Cina
karya Chu Ku fei (1178 M) yang dalam bukunya berjudul Ling-wai,
menulis bahwa kerajaan Banggai merupakan kerajaan kecil yang masuk dalam
sebelas wilayah Kerajaan Kediri (Panjalu, 1041 M), dengan nama Ping ye =
Banggai, meliputi kerajaan kecil pertama, Pai Hua yuan = Pacitan,
kedua Me tung = Medang, ketiga Ta pen = Tumapel, keempat Jung ya lu =
Hujung Galu, kelima Ta kang = Sumba, keenam Huang ma chu = Irian Barat
daya, ketujuh Ma li = Bali, kedelapan Khu lun = Gurun Lombok, kesembilan
Ti wu = Timor, kesepuluh Ping ye = Banggai dan kesebelas Wa nu ku =
Maluku.
Dalam khasanah masyarakat Banggai sendiri, sumber untuk mengungkap
cerita ini bisa ditemukan dari tradisi lisan mereka atau dari balelee,
yakni cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang
dinilai “kemasukan” roh halus.
Bagaimanapun hasil temuan kita sekarang, penulisan sejarah untuk
kerajaan Banggai —dan umumnya untuk penulisan sejarah kuna Indonesia—
seharusnya tidak berada dalam posisi final, masih banyak data dan fakta
yang bisa berkembang seiring bukti baru yang kelak ditemukan.
Sejarah Kerajaan Banggai
Konon, nama Banggai dahulu bernama “Tano Bolukan”. Tano Bolukan
merupakan suatu kerajaan tertua di daerah Banggai Kepulauan yang
merupakan hasil penggabungan kerajaan-kerajaan kecil. Syarif (2008) yang
menulis tentang sejarah kerajaan Banggai dalam bukunya “Sekilas Tentang
Kerajaan Banggai” memberi gambaran tentang empat kerajaan ini. Bahwa di
wilayah kekuasaan kerajaan Banggai berdiri empat kerajaan yang memiliki
wilayah yang berdaulat atas wilayahnya; Babulau + 5 km dari desa Tolise
Tubuno, Kokini berkedudukan di desa Lambako, Katapean berkedudukan di
desa Sasaba + 5 km. Monsongan dan Singgolok berkedudukan di Bungkuko
Tatandak+ 7 km dari desa Gonggong.
Keempat kerajaan tersebut dipimpin oleh sekumpulan pemimpin yang di
sebut dengan “Basalo Sangkap” (Empat Besar) yang pada masa Kerajaan
Banggai mereka selanjutnya berfungsi sebagai Dewan Kerajaan. Basalo
Sangkap inilah orang-orang Tano Bolukan, atau orang-orang Banggai
menamakan dan menganggap mereka itu “Tano Bukuno” atau “Tano Tumbuno”
artinya yang mempunyai tanah atau orang Banggai asli.
Pada awalnya daerah yang sekarang dikenal sebagai kabupaten daerah
tingkat II tingkat Banggai banyak berdiri kerajaan. Satu dari sekian
kerajaan itu, yang tertua bernama kerajaan bersaudara Buko-Bulagi. Letak
kerajaan itu di Pulau Peling (Peleng) belahan barat. Belakangan muncul
pula kerajaan-kerajaan baru seperti, kerajaan Sisipan, kerajaan
Liputomundo, Kadupang. Kesemuanya ada di pulau Peling tengah. Masa
itupun telah berdiri kerajaan yang cukup besar yakni Bongganan di
sebelah timur Peling. Upaya memekarkan kerajaan Bongganan dilakukan
salah seorang pangeran dan beberapa bangsawan kerajaan Banggai. Kala itu
kerajaan Banggai wilayahnya hanya meliputi pulau Banggai.
Di Banggai Darat pada masa itu berdiri pula kerajaan Bualemo di sebelah
utara. Di bagian selatan, ada kerajaan tiga bersaudara Motiandok,
Balalowa, di tambah satu kerajaan lagi bernama Gori-Gori di bagian
paling selatan. Perkembangan kerajaan Banggai yang terpusat di pulau
Banggai, mulai pesat dan menjadi Primus Inter Peres atau yang utama dari
beberapa kerajaan yang ada. Ketika pemerintahan kerajaan Banggai masih
berada di bawah pimpinan kesultanan Ternate akhir abad 16.
Di Banggai kepulauan terdapat beberapa kerajaan kecil yaitu kerajaan
Buko (di kecamatan Buko sekarang), Bulagi, Peling, dan Saluap (di
kecamatan Bulagi sekrang), Lipotomundo, Kadupang dan Sisipan (di
kecamatan Liang sekarang), Bonggananan (di kecamtan Tinakung dan
kecamatan Totikum sekarang) dan Banggai (kecamatan Banggai, kecamatan
Bangkurung dan kecamatan Labobo sekarang).
Semua yang berada di kerajaan-kerajaan tersebut adalah penduduk asli
yang mengunakan bahasa Aki (bahasa Banggai, artinya: Tidak). Kerajaan
yang terkenal dari semua kerajaan itu, termasuk kerajaan Tompotikka di
Banggai Darat dan kerajaan Bongganan di Banggai kepulauan, ialah
kerajaan Banggai di Banggai kepulauan. Bahkan, sampai saat ini nama
“Banggai“ masih tetap di pakai sebagai nama dan kabupaten yaitu
kabupaten Banggai dan kabupaten kepulauan.
Sistem pemerintahan Kerajaan Banggai
Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi sangat terasa pada abad
ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi khususnya di Sulawesi Tengah ini
merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan
Wajo. Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama
Islam. Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah
pesisir.
Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental mengatakan bahwa di
zamannya itu sebagian besar raja-raja yang ada Nusantara sudah beragama
Islam, akan tetapi masih tetap ada daerah-daerah atau negeri yang belum
menganut agama Isalam di Nusantara. Penyebaran agama Islam di lakukan
di daerah-daerah pesisir pantai para pedangang- pedangang muslim dari
Gujarat (Persia) dan para pedangang tersebut menikah dengan masyarakat
setempat dan terjadilah percampuran kepercayaan. Selanjutnya di
Indonesia bagian timur agama Islam tiba dan berkembang di “kepulaun
rempah-rempah” Maluku Indonesia Timur. Para pedangang muslim dari Jawa
dan Melayu menetap di pesisir Banda, tetapi tidak ada seorang raja pun
disana, dan daerah pedalaman masih di huni oleh penduduk nonmuslim.
Ternate, Tidore, dan Bacan mempunyai raja-raja muslim. Penguasa-penguasa
Tidore dan Bacan memekai gelar “Raja”, tetapi penguasa Ternate telah
menggunakan gelar “Sultan”, dan raja Tidore bernama Arab, al-Mansur.
Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di
Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur
pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua,
yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota.
Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh
anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini
mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa
dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan
pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan
Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan
Baiya.
Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk
Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar
lainnya adalah dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini
masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah
yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh
Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo
dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang
sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate
tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala
negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan),
Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu
(menteri penerangan).
Untuk urusan pemerintahan di Kerajaan Banggai, di pegang langsung oleh
seorang Raja atau Tomundo atau Tuutuu. Raja di pilih dan di angkat oleh
Basalo Sangkap (Dewan Kerajaan) langsung dari keturunan atau
sekurang-kurangnya ada ikatan hubungan keluarga dengan raja. Selain itu,
Basalo Sangkap juga memperhatikan kecakapan dan kesanggupan untuk
memimpin. Basalo Sangkap menjadi seperti lembaga legislatif yang
kemudian bertugas memilih, melantik, dan memberhentikan raja Banggai.
Basalo Sangkap dengan kedudukan sebagai lembaga tinggi sejajar dengan
Tomundo (Raja). Basalo Sangkap membidangi urusan Legislatif dan
penasihat Tomundo. Sedangkan Tomundomembidangi urusan Eksekutif /
pemerintahan kerajaan.
Adapun Dewan Kerajaan (Basalo Sangkap) yaitu terdiri dari:
Raja Singgolok atau Basalo Gong-gong.
Raja Katapean atau Basalo Monsongan.
Raja Boobulau atau Raja Dodung.
Raja Kokini atau Basalo Tano Bonunungan.
Ketika empat raja yang menjadi Basalo Sangkap itu mangkat, posisi
mereka digantikan oleh keturunannya atau setidak-tidaknya oleh orang
yang memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Sampai saat ini
keturunan dari Basalo Sangkap itu masih dapat kita temui.
Selain Basalo Sangkep, Raja juga dibantu oleh “komisi empat” yang
diangkat secara langsung oleh raja yang sedang berkuasa dengan
persetujuan Basalo Sangkap, yang terdiri dari:
Mayor Ngopa atau Raja Muda
Kapitan Laut Kepala Angkatan Perang
Jogugu atau Mentri Dalam Negeri
Hukum Tua atau Pengadilan
Komisi empat juga mempunyai wilayah kekuasaan yang dipegang mereka dan
masing-masing mempunyai staf inti yang dipilih dan diangkat langsung
oleh raja dengan persetujuan Basalo Sangkap seperti : Jogugu yang
memegang kekuasaan di Banggai dan Labobo Bangkurung dan sekitarnya,
mempunyai staf Kapitan, Kapitan Lonas, Kapitan Kota. Mayor Ngopa yang
berwenang di Teluk Tomini memiliki staf seperti Letnan Ngofa, Kaputan
Prang, dan Letnan Dua. Kapitan laut mempunyai wilayah kekuasaan Dari
Batui sampai ke Balantak mempunyai Staf Syah Bandar, Bea Cukai. Hukum
Tua yang memiliki cakupan kekuasaan di Seluruh Peling mempunyai Staf
Mahkamah dan Pengadilan.
Selain dari komisi empat tersebut, raja juga mempunyai staf pribadi
untuk urusan pemerintahan dan rumah tangga istana, seperti untuk bagian
pemerintahan raja dibantu oleh Gimlaha Sadeha-Saseba, Panebela Bayu,
Mian Tu Liang, Mian Tu Baasaan, Panebela Tololak, Mian Tu Palabatu.
Untuk urusan Rumah Tangga dibantu oleh Genti dan Jeufana.
Sehubungan dengan struktur pemerintahan tersebut di atas, di bidang
agama Islam pun giat di pelajari dan disebarluaskan. Pada masa Maulana
Prins Mandapar memerintah di kerajaan Banggai ia di dampingi oleh
seorang ulama sekretarisnya yang bernama “Tengku Hasan Alam” yang
biasanya orang-orang kerajaan Banggai menamakan beliau “Tanduwalang”.
Oleh sekretarisnya “Tengku Hasan Alam” sehingga agama tersebut dianut
oleh masyarakat, teristimewa masyarakat pantai sehingga pemerintahan pun
bersemboyan “Adat bersendi syara, Syara Bersendi Adat” yang menandakan
budaya rakyat Banggai yang sopan santun, berbudi luhur, ramah tamah, dan
bersahaja.
Adapun yang mengepalai urusan agama Islam disebut “kale” atau “gadhi”.
kale atau Gandi ini dibantu oleh beberapa iman diantaranya: Iman Sohi,
Iman Tano Bonunungan, Iman Dodung, Iman Gong-gong dan Imam Monsongan.
Iman dibantu oleh beberapa Hatibi atau Khatib. Dan Khatib-khatib ini
juga dibantu oleh bebrapa Mojim Muazzim.
Silsilah raja raja Banggai
Pada awal abad ke-16 empat kerajaan (Babolau, Singgolok, Kookini, dan
Katapean) dikuasai Kesultanan Ternate. Adi Cokro (Mbumbu Doi Jawa),
seorang Pangeran dari kerajaan Demak yang juga merupakan panglima Perang
Kesultanan Ternate, pada tahun 1530 M kemudian menyatukan empat
kerajaan itu menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai yang
beribukota di Pulau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai
pendiri Kerajaan Banggai dan tokoh yang menyebarkan Islam di wilayah
tersebut. Masyarakat Banggai juga mengenal seorang tokoh bernama Adi
Soko, apakah tokoh ini sama dengan Adi Cokro? Dari fonologi dan atau
juga fonetik memang cukup mirip.
Tokoh Adi Cokro ini sebagai Raden Cokro yang merupakan keponakan Dipati
Unus. Raden Cokro mendapat perintah ke Ternate untuk tujuan membantu
Sultan ternate mengembangkan Islam serta memperkuat pasukan armada
Ternate dari serangan Portugis. Sedangkan Albert C. Kruyt dalam bukunya
De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai) secara terang-terangan
mengatakan bahwa Adi Cokro adalah orang yang menaklukan Pulau Banggai,
Peling dan Daratan Timur Sulawesi. Adi Cokro kemudian mempersunting
seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia
(Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra bernama
Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah ” Adi” merupakan
gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar
RM (Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan bugis.
Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas dikatakan, sebelum Kerajaan Banggai
berdiri, empat kerajaan ini selalu berselisih. Masing-masing ingin
menguasai yang lain, saling bersitegang. Namun, persaingan tersebut
tidak sampai pada peperangan, melainkan hanya adu kesaktian raja
masing-masing. Mungkin karena selalu berselisih, maka empat kerajaan
tersebut jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Temate, sekitar abad
ke-16. Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu, ia kembali ke
Jawa. Basalo Sangkap lalu memilih Abu Kasim, putra Adi Cokro hasil
perkawinan dengan Nurussapa, putri Raja Singgolok, menjadi Raja
Banggai. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut. Basalo
Sangkap pun memilih Maulana Prins Mandapar.
Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang lain, hasil perkawinannya
dengan seorang putri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik
Mandapar menjadi raja pertama Banggai yang berkuasa mulai tahun 1600
sampai 1625. Menurut Machmud, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571
sampai tahun 1601.
Pelantikan Mandapar dan raja-raja setelahnya konon dilakukan di atas
sebuah batu yang dipahat menyerupai tempat duduk. Sampai saat ini batu
tersebut masih ada di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari Kota
Banggai.
Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, raja-raja Banggai
berikutnya berusaha melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka
menolak bekerja sama dengan Belanda, yang pada 1602 sudah menginjakkan
kaki di Banggai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Ternate ini
mengakibatkan sejumlah raja Banggai ditangkap lalu dibuang ke Maluku
Utara.
Perlawanan paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Banggai
ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada masanya meletuslah Perang
Tobelo.
Raja- raja yang Memerintah di Kerajaan Banggai dapat diuraikan sebagai berikut :
Maulana Prins Mandapar/Mumbu doi Godong (1571-1601 M)
Mumbu doi Kintom (1602-1630 M)
Mumbu doi Benteng (1630-1650M)
Mumbu doi Balantak Mulang (1650-1689 M)
Mumbu doi Kota (1690-1705 M)
Mumbu doi Bacan / Abu Kasim (1705- 1749M)
Mumbu doi Mendono (1749-1753 M)
Mumbu doi Pedongko (1754-1763 M)
Mumbu doi Dinadat Raja Mandaria (1763-1808 M)
Mumbu doi Galela Raja Atondeng (1808-1815 M)
Mumbu Tenebak Raja Laota (1815-1831 M)
Mumbu doi Pawu Raja Taja (1831-1847 M)
Mumbu doi Bugis Raja Agama (1847-1852 M)
Mumbu doi Jere Raja Tatu Tanga (1852-1858 M)
Raja Saok (1858-1870 M)
Raja Nurdin (1872-1880)
Raja H. Abdul Azis (1880-1900)
Raja H. Abdurracman (1901-1922 M)
Haji Awaludin (1925-1940 M)
Raja Nurdin Daud (1940-1949 M))
Raja H. Syukuran Aminuddin Amir (1941-1957 M)
Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah 21 orang. Jika dinilai tidak
mampu memimpin, raja-rajanya dapat diberhentikan oleh Basalo sangkap.
Pada waktu raja Awaludin wafat pada akhir tahun 1940, sudah menjadi
aturan atau adat, bahwa sebelum raja di makamkan, sudah harus ada
penggantinya maka Basalo Sangkap mengangkat Nuridun Daud yang waktu itu
masih anak-anak dan masih berumur 10 tahun. Pengangkatan dan pelantikan
tersebut disaksikan oleh tuan Asisten Residen Posso yang kebetulan ada
di Banggai untuk menghadiri rapat kerja kerajaan Banggai. Pada tanggal 1
Maret 1941 ditunjuklah Syukuran Aminuddin Amir yang saat itu menjadi
Mayor Ngofa menjadi “Raja”.
Abdul Bary dalam artikelnya yang berjudul ”Meluruskan Sejarah
Banggai”mengulas mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir
dalam sejarah Kerajaan Banggai yang menurutnya bukanlahTomundo yang
“terlegitimasi” secara sah oleh tata aturan hukum kerajaan Banggai,
melainkan hanya sekedar sebagai pelaksana tugas harian dari Tomundo
Banggai Nurdin Daud yang masih muda. Syukuran Aminudin Amir ini
tercatat sebagai Tomundo karena ia kemudian mengukuhkan diri sebagai
Tomundo meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo
Sangkap sebagaimana “ketentuan adat” kerajaan Banggai.
Berakhirnya Kerajaan Banggai.
Kerajaan Banggai berada dibawah kekuasaan Bangsa Portugis setelah
Ternate jatuh ke tangan Portugis. Bukti adanya pengaruh Portugis di
kerajaan Banggai setidaknya dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa
peninggalan Bangsa Portugis di daerah ini di antaranya meriam kuno atau
benda peninggalan lainnya.
Nuansa Portugis yang ditularkan oleh Kesultanan Ternate dan selama ini
cukup kental di Kerajaan Banggai pun mulai melemah seiring pengaruh
Belanda yang kian kuat. Menurut kesaksian seorang pelaut berkebangsaan
Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai,
pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak masa pemerintahan raja pertama
kerajaan Banggai Maulana Prins Mandapar.
Bangsa Belanda datang ke Banggai pada tahun 1630 pada saat itu di
kerajaan Banggai raja yang berkuasa yaitu raja Doi Benteng, dan rakyat
mengira kedatangan Belanda merupakan niat baik dan punya tujuan untuk
membantu rakyat Banggai yang pada saat itu masih di kuasai oleh
kesultanan Ternate. Nyatanya Belanda pula menjajah Banggai dan mengambil
semua hak dagang yang di peroleh oleh masyarakat Banggai. Lama-lama
kelamaan Belanda juga menjadi penguasa di kerajaan Banggai serta
membagi-membagi daerah kekuasaan di tanah Banggai menjadi Banggai Darat
dan Banggai Kepulauan.
Setelah Kerajaan Ternate dapat ditaklukan dan direbut oleh Sultan
Alaudin dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) maka Banggai ikut menjadi
bagian dari Kerajaan Gowa. Dalam sejarah tercatat Kerajaan Gowa sempat
berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat di
Indonesia Timur.
Kerajaan Banggai berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa berlangsung
sejak tahun 1625-1667. Pada tahun 1667 dilakukan perjanjian Bongaya yang
sangat terkenal antara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa melepaskan
semua wilayah yang tadinya masuka dalam kekuasaan Kerajaan Ternate
seperti Selayar, Muna, Manado, Banggai, Gapi (Pulau Peling), Kaidipan,
Buol Toli-Toli, Dampelas, Balaesang, Silensak dan kaili.
Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan
Belanda. Bentuk perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan
pengaruh tersendiri bagi Raja Banggai ke-4, yakni Raja Mbulang dengan
gelar Mumbu Doi Balantak ( 1681-1689 ) hingga Mbulang memberontak
terhadap Belanda. Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk
berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang terapkan Belanda
hanya menguntungkan Belanda, sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi
apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan
Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa
Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat
VOC (Belanda).
Tahun 1741 tepatnya tangga l 9 November perjanjian antara VOC dengan
Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu
Doi Bacan. Meski perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi
secara sembunyi-sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru
dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin
melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim
ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul oleh rakyat Banggai
sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja Abu Kasim
menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang
(marah). Abu Kasim lantas ditagkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku
Utara), hingga akhirnya meninggal disana.
Usaha Raja-raja Banggai untuk melepaskan diri dari belenggu Kerajaan
Ternate berulang kali dilakukan dan kejadian serupa dilakukan Raja
Banggai ke-9 bernama Antondeng yang bergelar Mumbu Doi Galela (1808 –
1829). Serupa dengan Raja-raja Banggai sebelumnya, Antondeng juga
melakukan perlawanan kepada Kesultanan Ternate. Sebenarnya perlawanan
Anondeng ditujukan kepada VOC (Belanda). Karena Antondeng menilai
perjanjian yang disebut selama ini hanya menguntungkan Hindia Belanda
dan menjepit rakyatnya. Karena itulah Antondeng berontak. Karena
perlawanan kurang seimbang, Antondeng kemudian ditangkap dan dibuang ke
Galela (Pulau Halmahera).
Setelah Antondeng dibuang ke Halmahera, Kerajaan Banggai kemudian
dipimpin Raja Agama, bergelar Mumbu Doi Bugis. Memerintah tahun 1829 –
1847. Raja Agama sempat melakukan perlawanan yang sangat heroik dalam
perang Tobelo yang sangat terkenal. Tetapi Kerajaan ternate didukung
armada laut yang modern, akhirnya mereka berhasil mematahkan perlawanan
Raja Agama. Pusat perlawanan Raja Agama dilakukan dari Kota Tua –
Banggai (Lalongo). Dalam perang Tobelo, Raja Agama sempat dikepung
secara rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat yang sangat mencintainya,
Raja Agama dapat diloloskan dan diungsikan ke wilayah Bone Sulawesi
Selatan, sampai akhirnya wafat di sana tahun 1874.
Setelah Raja Agama hijrah ke Bone, munculah dua bersaudara Lauta dan
Taja. Kepemimpinan Raja Lauta dan Raja Taja tidak berlangsung lama.
Meski hanya sebentar memimpin tetapi keduanya sempat melakukan
perlawanan, hingga akhirnya Raja Lauta dibuang ke Halmahera sedang Raja
Taja diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku Utara.
Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan
kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari
serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada
abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah.
Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan
Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC
berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut.
Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang
contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai
Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya
dengan kekerasan senjata.
Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali
di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah
itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang
berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Keadaan ini berlangsung
sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia.
Secara De Jure kerajaan Banggai berakhir pada tahun 1952 dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1952, tanggal 12
Agustus 1952 Tentang Penghapusan Daerah Otonom Federasi Kerajaan
Banggai. Pada tanggal 4 Juli 1959, wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai
resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat kabupaten) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II
di Sulawesi, wilayah onderafdeling Banggai yang meliputi seluruh bekas
wilayah Swapraja Banggai sebagai bagian dari daerah afdeling Poso,
dinyatakan berdiri sendiri sebagai daerah swatantra tingkat II, dengan
nama “Daerah Tingkat II Banggai” dengan kedudukan pemerintahan berada di
Luwuk. Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai masih dapat ditemui
hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang ada di Kota Banggai
dan beberapa peninggalan lainnya yang tersebar di Kabupaten Banggai
Kepulauan dan Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar