Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki gunung sawal (1764 m dpl) jawa barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga.
Secara geografis pada abad ke-13
sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu
berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah
utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota
Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan
Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan
Kerajaan Sumedang Larang.
Asal mula. Panjalu berasal dari kata ”[[jalu]]” (bhs. [[Sunda]]) yang
berarti ”jantan, jago, maskulin”, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata
[[panjalu]] berkonotasi dengan kata-kata: ”[[jagoan]], [[jawara]],
[[pendekar]], [[warrior]]” (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan
”[[knight]]” (bhs. Inggeris: [[kesatria]], [[perwira]]).
Ada pula orang Panjalu yang
mengatakan bahwa kata panjalu berarti “perempuan” karena berasal dari kata
”jalu” yang diberi awalan ”pan”, sama seperti kata ”male” (bhs. Inggeris :
laki-laki) yang apabila diberi prefiks ”fe” + ”male” menjadi ”female”
(bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah
diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.
Mengingat sterotip atau anggapan
umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau
dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih
keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan
warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang
pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
Menurut Munoz (2006) Kerajaan
Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur)
karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan
Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja
Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua
kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah
penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama Panjalu sendiri mulai dikenal
ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang;
sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan ”’Kabuyutan Sawal”’
atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah [[Kabuyutan]] identik dengan daerah
[[Kabataraan]] yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti
Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan adalah suatu tempat atau
kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi
dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan
situs-situs [[megalitik]] (batu-batuan purba) peninggalan masa [[prasejarah]].
Kekuasaan Kabataraan ([[Tahta
Suci]])
Pendiri Kerajaan Panjalu adalah
Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Mengingat gelar [[Batara]] yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal
berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan
Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang
Wretikandayun ([[670-702]]), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan adalah tahta suci
yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual,
dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan
sebagai [[Brahmana]] atau [[Resiguru]]. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai satu
kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau
menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan
Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara
Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan
Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang
dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13
Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan
Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten [[Sukapura]]
([[Tasikmalaya]]).
Besar kemungkinan setelah
berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di
Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal
Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal
adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa
kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera
Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah
kerajaan.
Diperkirakan kekuasaan kabataraan
Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong
Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan
Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama
Prabu Resi [[Tajimalela]], menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi
Tajimalela hidup sezaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya
Luhurprabawa ([[1340-1350]]).
Prabu Resi Tajimalela digantikan
oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu
Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan
di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang
bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan
Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal
Kerajaan Talaga ([[Majalengka]]). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata,
sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama
Ajiguna Linggawisesa ([[1333-1340]]), Batara Gunung Picung digantikan oleh
puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu
Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang.
Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama
Sunan Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku
kerajaan.
Hubungan dengan Kemaharajaan.
[[Kemaharajaan Sunda]] adalah suatu
kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling
terkait erat, yaitu [[Kerajaan Sunda]] yang didirikan Maharaja Tarusbawa
(669-723) dan terletak di sebelah barat Sungai Citarum serta [[Kerajaan Galuh]]
yang didirikan Sang Wretikandayun (670-702) dan terletak di sebelah timur
Sungai Citarum. Kerajaan Sunda dan Galuh adalah pecahan dari [[Kerajaan
Tarumanagara]] (358-669), kemudian kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali
dibawah satu mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama
[[Sanjaya]] (723-732).
Putera Sena atau Bratasenawa
(709-716) Raja Galuh ketiga ini sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan setelah
menjadi menantu Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan
Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma setelah berhasil menyatukan
Galuh dengan Sunda bergelar Sanjaya.
Berdasarkan peninggalan sejarah
seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang
sekarang menjadi kota [[Bogor]] yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota
Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota [[Ciamis]], tepatnya di
[[Kawali]]. Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut
perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya Kemaharajaan
Sunda dan penduduknya sampai sekarang disebut sebagai orang [[Sunda]].
Panjalu adalah salah satu kerajaan
daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah
Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya ([[723]]-[[732]]) sampai dengan [[Sri
Baduga Maharaja]] ([[1482-1521]]) adalah seluruh [[Jawa Barat]] termasuk
Provinsi [[Banten]] dan [[DKI Jakarta]] serta bagian barat Provinsi [[Jawa
Tengah]], yaitu mulai dari [[Ujung Kulon]] di sebelah barat sampai ke Sungai
Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut [[Naskah Wangsakerta]],
wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi [[Lampung]] sekarang sebagai
akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah
[[Niskala Wastu Kancana]] ([[1371-1475]]) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri
penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik
tahta Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai [[Prabu Susuktunggal]] ([[1475-1482]]),
sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung [[Hyang Bunisora]]
([[1357-1371]]), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik
tahta Kawali (Galuh) sebagai [[Prabu Dewa Niskala]] ([[1475-1482]]).
Lokasi Kerajaan Panjalu yang
berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang
erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat
kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: [[Galuh]], [[Parahajyan
Sunda]], [[Kawali]], dan [[Pakwan Pajajaran]].
Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi
bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang,
Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang
Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru,
Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda
juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar
yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa
(Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao, 1944:196).
Kaitan lain yang menarik antara
Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan
sejarah Sunda, [[Hyang Bunisora]] digantikan oleh keponakan sekaligus
menantunya yaitu [[Niskala Wastu Kancana]] yang setelah mangkat dipusarakan di
[[Nusa Larang]], sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di
[[Nusa Larang]] adalah [[Prabu Rahyang Kancana]] putera dari [[Prabu Sanghyang
Borosngora]].
Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang
menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja
Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun
1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili
keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta
Kawali . Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru
di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang
(Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.
Sementara itu sumber lain dari luar
mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari [[Wawacan Sajarah Galuh]]
memapaparkan bahwa setelah runtuhnya [[Kerajaan Pajajaran|Pajajaran]], maka
putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali,
dan Kuningan.
Kaitan dengan Kerajaan Panjalu
([[Kediri]]) di [[Jawa Timur]]
Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah
[[Airlangga]] atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun
1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat.
Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana
dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali
dari Wangsa Warmadewa.
Airlangga memiliki dua orang adik,
yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu
(naik takhta sepeninggal Marakata).
Menurut [[Prasasti Pucangan]], pada
tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu [[Dharmawangsa]]
(saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota [[Kerajaan Medang]]. Tiba-tiba kota
Watan diserbu [[Raja Wurawari]] dari [[Lwaram]], yang merupakan sekutu
[[Kerajaan Sriwijaya]]. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan
Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang
bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup
sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian
dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan
Airlangga pada umumnya lazim disebut [[Kerajaan Kahuripan]]. Padahal
sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah
dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi
utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang.
Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama
Watan Mas di dekat [[Gunung Penanggungan]]. Nama kota ini tercatat dalam
[[Prasasti Cane]] (1021).
Menurut [[Prasasti Terep]] (1032),
Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa
Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah
ke [[Kahuripan]] (daerah Sidoarjo sekarang).
Menurut [[Prasasti Pamwatan]]
(1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita
ini sesuai dengan naskah [[Serat Calon Arang]] yang menyebut Airlangga sebagai
raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja”’
Panjalu”’ yang berpusat di [[Daha]].
Ketika Airlangga naik takhta tahun
1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah [[Sidoarjo]] dan [[Pasuruan]]
saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan
diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan [[Wangsa Isyana]] atas pulau Jawa.
Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya
yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja
[[Colamandala]] dari [[India]]. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa
mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan
oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan
Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja
Lewa.
Pada tahun 1031 putera Panuda
mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa
dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita
dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan
Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani
Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita
itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu
Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.
Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga
menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu.
Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya
sendiri.
Setelah keadaan aman, Airlangga
mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya.
Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
* Membangun Sri Wijaya Asrama tahun
1036.
* Membangun Bendungan Waringin Sapta
tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
* Memperbaiki Pelabuhan Hujung
Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
* Membangun jalan-jalan yang
menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
* Meresmikan pertapaan Gunung
Pucangan tahun 1041.
* Memindahkan ibukota dari Kahuripan
ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian
terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis [[Arjuna Wiwaha]] yang
diadaptasi dari epik [[Mahabharata]]. Kitab tersebut menceritakan perjuangan
Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pada tahun 1042 Airlangga turun
takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi
Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi
Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042)
yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang
Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut cerita rakyat, putri mahkota
Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi
Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai
[[Prasasti Turun Hyang]] (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga
kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan
salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke
Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana
digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata
kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua
wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian
barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang,
Nagarakretagama, dan [[Prasasti Turun Hyang II]]. Maka terciptalah dua kerajaan
baru. Kerajaan barat disebut ”’[[Panjalu]]”’ atau Kadiri berpusat di kota baru,
yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama
[[Janggala]] berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji
Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November
1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam [[Prasasti
Gandhakuti]], 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku.
Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara
kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal.
[[Prasasti Sumengka]] (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan,
Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di ”tirtha” atau pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai
dengan berita prasasti Sumengka adalah [[Candi Belahan]] di lereng Gunung
Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi.
Berdasarkan [[Prasasti Pucangan]] (1041) diketahui Airlangga adalah penganut
Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai
lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu
Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka
tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian
Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Maharaja [[Jayabhaya]] adalah Raja
Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai
masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha
(1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa
juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan”’ Panjalu Jayati”’, yang
artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan
anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang
melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah
raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan
Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan
Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh tahun 1157.
Sri Maharaja [[Kertajaya]] adalah
raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir
pemerintahannya, ia dikalahkan oleh [[Ken Arok]] dari [[Tumapel]] atau
[[Singhasari]], yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.
Nama Kertajaya terdapat dalam
Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti
sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya [[Prasasti
Galunggung]] ([[1194]]), [[Prasasti Kamulan]] (1194), [[Prasasti Palah]]
(1197), dan [[Prasasti Wates Kulon]] (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut
dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri
Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Dalam [[Pararaton]], Kertajaya
disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir
pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha.
Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian
dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.
Para pendeta memilih berlindung pada
Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu
mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri.
Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh
Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain
Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Kadiri
terjadi dekat Desa Ganter tahun [[1222]]. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan
(adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang
Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Nagarakretagama juga mengisahkan
secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya
melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah
tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya
adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam
sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam
halus (akhirat).
Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi
daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya
yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258
Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271
Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292
Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.
Berita tersebut tidak sesuai dengan
naskah [[Prasasti Mula Malurung]] (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri
setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra [[Bhatara Siwa]] (alias Ken
Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati
Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel
tahun 1292.
Sumber-sumber sejarah Kerajaan
Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang
hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua
kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya,
apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga
disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).
Paul Michel Munoz (2006)
mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir
Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah ”’Panjalu
(Sukapura/Ciamis)”’ pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok
(Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri
sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan
pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.
Berdasarkan kitab Nagarakretagama,
Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka
bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken
Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang
merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.
Ibukota Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu
berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah
menjadi pusat kerajaan adalah :
Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi
pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa
kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di
Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa
situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m.
Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan,
termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi
pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan
Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi
Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan
larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon
Presiden I RI [[Ir Soekarno]] juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu
mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan
kemerdekaan RI.
Nusa Larang
Prabu Sanghyang Borosngora
memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke [[Nusa Larang]]. Nusa
Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah [[Situ Lengkong]].
Dinamai juga [[Nusa Gede]] karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih
kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan
daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton
Nusa Larang dibangun sebuah ”Cukang Padung” (jembatan) yang dijaga oleh
Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel
dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih
Sanghyang Panji Barani.
Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman
raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan
Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah
Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang
Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh
seorang ”Dalem” (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam
kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah Ciomas Panjalu
1.”’Buyut Asuh.”’
2.”’Buyut Pangasuh.”’
3.”’Buyut Surangganta.”’
4.”’Buyut Suranggading.”’
5.”’Dalem Mangkubumi.”’
6.”’Dalem Penghulu Gusti.”’
7.”’Dalem Wangsaniangga.”’
8.”’Dalem Wangsanangga.”’
9.”’Dalem Margabangsa.”’
10.”’Demang Wangsadipraja”’.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran
Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11.”’Demang Wargabangsa I”’.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera
Demang Wargabangsa II.
12.”’Demang Wargabangsa II”’.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja,
memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya
Sacanata, berputera Demang Diramantri I
13.”’Demang Diramantri I”’. Menjabat
sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I,
memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan
mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang
Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.”’Demang Diramantri II”’.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II
menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu ”’Demang
Wangsadipraja”’ menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung
Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang
Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15.”’Demang Prajanagara”’ diangkat
menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama ”’Demang Cakrayuda”’
diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden
Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama
Demang Dendareja.
16.”’Demang Dendareja”’ diangkat
menjadi Patih Galuh.
Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian
memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Sementara itu pusat kerajaan Panjalu
ditandai dengan sembilan ”tutunggul gada-gada perjagaan” yaitu patok-patok yang
menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang
dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
# Sri Manggelong di Kubang Kelong,
Rinduwangi
# Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
# Kebo Patenggel di Muhara Cilutung,
Hujungtiwu
# Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di
Ranca Gaul, Tengger
# Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
# Sang Bukas Tangan di Citaman,
Citatah
# Batara Terus Patala di Ganjar
Ciroke, Golat
# Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung
Cilimus, Banjarangsana
# Sri Pakuntilan di Curug Goong,
Maparah
Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat
kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan
Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung
Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik
berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga
kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan
raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi
pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan
Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi
Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan
larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon
Presiden I RI [[Ir Soekarno]] juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu
mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan
kemerdekaan RI.
Masuknya [[Islam]] dan Pengaruh
[[Cirebon]]
Menurut cerita yang disampaikan
secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang
Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh
[[Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A.]] Legenda rakyat ini mirip dengan kisah
Pangeran [[Kian Santang]] atau Sunan Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang
atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah
diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya
Sang [[Prabu Siliwangi]].
Sementara itu menurut [[Babad
Panjalu]]: dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata
berupa [[air zamzam]], pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam
tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan
pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di
[[Pasucian]] [[Bumi Alit]] dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud
dalam upacara [[Nyangku]] di Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir
bulan Maulud ([[Rabiul Awal]]).
Penyebaran Islam secara serentak dan
menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak [[Syarif Hidayatullah]]
([[1448-1568]]) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana
bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan
diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun
[[1479]]. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang
Haliwungan Prabu Susuktunggal ([[1475-1482]]) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat
Kancana Prabu Dewa Niskala ([[1475-1482]]) di Kawali. Jauh sebelum itu, para
pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau
pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau
pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah.
Puteri Prabu Susuktunggal yang
bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu
Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai
penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga
mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan
Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.
Sri Baduga Maharaja juga memindahkan
ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali
pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun
salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi
semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga
Maharaja ([[1481]]-[[1521]]) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya
ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh,
Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal
itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan
Cirebon.
Raja Talaga Sunan Parunggangsa
ditaklukkan Cirebon pada tahun [[1529]] dan kemudian bersama puterinya Ratu
Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk
Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk
Umun ([[1530]]-[[1579]]) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam.
Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati
menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan
dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya
kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena
Kuningan menjadi bagian dari Cirebon.
Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh
yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha
mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan
yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang
kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana ([[1595-1608]])
juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam
dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih
(Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan pada periode yang
bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran
Islam.
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya
semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan
Banten di sebelah barat. Pada tahun [[1579]] pasukan koalisi Banten-Cirebon
dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan
terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan
Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda
diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm
x 160cm x 20cm yang bernama ”Palangka Sriman Sriwacana” (orang Banten
menyebutnya ”Watu Gilang” atau batu berkilau) . Akibat peristiwa ini, Prabu
Ragamulya Surya Kancana ([[1567-1579]]) beserta seluruh anggota keluarganya
menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda.
Menurut sumber sejarah Sumedang
Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya
Surya Kancana yang dikenal dengan ”Kandaga Lante” yang terdiri dari Sanghyang
Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang
Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan
atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol
kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya
seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran
tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata
([[1530-1579]]) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan
Ulun ([[1579-1601]]).
Pengaruh [[Mataram]]
Sepeninggal Kemaharajaan Sunda
(723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang
pada mulanya merupakan bawahan Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling
berhubungan darah itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten
yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan
kerajaan yang mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang,
Rahyang, Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan
Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas wilayahnya
adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap sebagai penerus
Kemaharajaan Sunda.
Pada tahun [[1595]] Sutawijaya atau
[[Panembahan Senopati]] ([[1586]]-[[1601]]) memperluas wilayah kekuasaan
[[Mataram]] ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan
kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh
wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk mempererat
hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah seorang saudarinya
bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu
([[1570]]-[[1649]]).
Panembahan Senopati digantikan
puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai [[Prabu Hanyokrowati]]
([[1601-1613]]), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang bernama
Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai [[Sultan Agung]] Hanyokrokusumo
([[1613-1645]]).
Pada tahun 1618 Sultan Agung
mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) yang bernama Ujang
Ngoko atau Prabu Muda sebagai Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram
atas Galuh, sebagai bupati bawahan Mataram ia kemudian bergelar Adipati Panekan
(1608-1625). Adipati Panaekan juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati
(Gubernur) yang mengepalai Bupati-bupati Priangan (Djadja Sukardja, 1999:
12-6).
Priangan sendiri berasal dari kata
”parahyangan” yang berarti tempat para ”hyang” (dewata), suatu sebutan bagi
wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang sebelumnya menganut agama Hindu, selain
itu raja-raja Sunda sering memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya
dewa.
Peristiwa pendudukan Mataram ini di
Panjalu diperkirakan terjadi pada masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang
Natabaya karena puteranya yaitu Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar
Prabu seperti ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi
salah satu kabupaten di bawah Mataram.
Pada tahun 1620 Arya Suryadiwangsa
menyerahkan kekuasaannya atas Sumedang Larang kepada Mataram, Sultan Agung
kemudian mengangkat Arya Suryadiwangsa ([[1601-1624]]) sebagai Bupati Sumedang
Larang bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata. Pada tahun 1624 Rangga
Gempol ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah [[Sampang]],
[[Pulau Madura|Madura]]. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang
dipegang adiknya yang bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus
merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan.
Pada waktu itu Sultan Agung tengah
menyiapkan serangan besar-besaran untuk merebut Benteng Batavia dari tangan
Kompeni Belanda dan meminta para bupati Priangan menunjukkan kesetiaannya
dengan mengirimkan pasukan gabungan untuk menggempur Batavia. Rencana Sultan
Agung ini menimbulkan perbedaan pendapat diantara para bupati Priangan, tahun
1625 Adipati Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati Bojonglopang bernama
Adipati Kertabumi (Wiraperbangsa) tewas di tangan adik iparnya itu. Kedudukan
mendiang Adipati Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan oleh puteranya
yang bernama Ujang Purba bergelar Adipati Imbanagara (1625-1636).
Pangeran Rangga Gede sebagai Wedana
Bupati Priangan oleh Sultan Agung dianggap tidak mampu mengatasi
serangan-serangan Banten di daerah perbatasan sekitar Sungai Citarum yang
saling bersaing berebut pengaruh dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan
Wedana Bupati Priangan pada tahun 1628 digantikan oleh Bupati Ukur (Bandung)
yang dikenal dengan nama [[Adipati Ukur]] putera Sanghyang Lembu Alas. Ia
mengepalai wilayah Ukur (Bandung), Sumedang Larang, Sukapura, Limbangan,
Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem, sedangkan Rangga Gede dijebloskan ke
dalam tahanan.
Adipati Ukur juga sekaligus diangkat
menjadi Panglima pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan pasukan
kabupaten-kabupaten bawahan Mataram di Priangan untuk merebut Benteng Batavia
dari [[VOC]] (”Vereenigde Oostindische Compagnie” atau Perkumpulan Dagang India
Timur) yang dipimpin oleh Gubernur [[Jan Pieterszoon Coen]] ([[1619-1623]] dan
[[1627-1629]]). Setiap Kabupaten kala itu mengirimkan kontingen pasukannya
dalam penyerbuan ke Batavia dan pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah
Bagus Sutapura.
Penyerbuan ke Batavia kali ini
sesungguhnya adalah penyerbuan yang kedua. Pada tahun 1628 Mataram telah
mengirimkan pasukannya berjumlah sekitar 10.000 orang untuk merebut Batavia,
gelombang pertama pasukan dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal)
yang tiba di Batavia Agustus 1628. Pasukan kedua tiba di Batavia Oktober 1628
dipimpin Pangeran Madureja, mereka dibantu oleh para senapati (komandan) yaitu
Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Upasanta. Penyerbuan pertama ini
mengalami kegagalan karena pasukan mengalami kekurangan logistik/perbekalan.
Atas kegagalan ini Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung
Bahureksa beserta orang-orang setianya dengan memenggal kepala mereka di
sekitar Batavia.
Dalam penyerbuan kedua ini Mataram
mengirimkan 14.000 orang tentara gabungan Sunda-Jawa untuk merebut Batavia.
Pasukan pertama dipimpin oleh Adipati Ukur dengan balatentara Priangannya yang
berangkat ke Batavia Mei 1629, sedangkan pasukan berikutnya berangkat ke
Batavia Juni 1629 dipimpin oleh Adipati Juminah. Pasukan ini juga dibantu oleh
senapati-senapati lainnya yaitu Adipati Purbaya, Adipati Puger, Tumenggung
Singaranu, Raden Arya Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep.
Sejarah mencatat bahwa akibat kurang
koordinasi dan kesalahpahaman dengan armada laut Mataram yang mengepung dari
arah laut mengakibatkan pasukan darat pimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah
menyerang Batavia lebih dahulu sehingga penyerbuan ini tidak terjadi secara
serempak sesuai dengan siasat perang, akibatnya penyerbuan kedua ini pun
mengalami kegagalan. Sultan Agung yang kecewa segera menjatuhkan vonis mati
kepada Adipati Ukur yang masih berada di sekitar Batavia dan mengirimkan
utusannya untuk memenggal kepala Adipati Ukur beserta para perwiranya yang
setia seperti yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa.
Mengetahui dirinya telah dijatuhi
vonis mati oleh Sultan Agung, Adipati Ukur bersama sebagian pasukannya yang
setia berbalik memberontak terhadap Mataram (1628-1632), perlawanan Adipati
Ukur bersama pengikutnya ini terhitung alot karena secara diam-diam sebagian
Bupati-bupati Priangan mendukung pemberontakan Adipati Ukur. Perlawanan Adipati
Ukur baru berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan bantuan Ki Wirawangsa
dari Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ki Somahita
dari Umbul Sindangkasih.
Atas jasa-jasa mereka memadamkan
pemberontakan Adipati Ukur itu, pada tahun 1633 Sultan Agung mengangkat Ki
Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan Gelar [[Tumenggung Wiradadaha]], Ki
Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar [[Tumenggung Wiraangun-angun]],
dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan Muncang dengan gelar [[Tumenggung
Tanubaya]]. Bagus Sutapura yang juga berjasa kepada Mataram diangkat sebagai
Bupati Kawasen.
Sementara itu Bupati Galuh Adipati
Imbanagara dijatuhi hukum mati oleh Sultan Agung karena dianggap terlibat dalam
pemberontakan Adipati Ukur. Jabatan Wedana Bupati Priangan kemudian
dikembalikan kepada Pangeran Rangga Gede sekaligus menjabat sebagai Bupati
Sumedang Larang.
Sewaktu tahta Mataram dipegang oleh
putera Sultan Agung yaitu Sunan [[Amangkurat I]] ([[1645-1677]]), antara tahun
1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram Barat
(Priangan) dibagi menjadi 12 ”Ajeg” (daerah setingkat kabupaten) yaitu:
Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura ([[Tasikmalaya]]),
[[Karawang]], Imbanagara ([[Ciamis]]), Kawasen (Ciamis Selatan),
”’[[Wirabaya]]”’ (Ciamis Utara termasuk wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan
Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), [[Banyumas]], Ayah/Dayeuhluhur
([[Kebumen]], [[Cilacap]]), dan [[Banjar]] (Ciamis Timur). Pada waktu itu Raden
Arya Wirabaya keponakan Bupati Panjalu Pangeran Arya Sacanata diangkat menjadi
kepala Ajeg Wirabaya.
Pada tahun [[1677]] Sunan
[[Amangkurat II]] ([[1677-1703]]) menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah
kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC dalam usaha menumpas pemberontakan
[[Trunajaya]], menyusul kemudian pada tahun [[1705]] Cirebon beserta Priangan
Timur juga diserahkan [[Pakubuwana I]] kepada VOC pasca perselisihan antara [[Amangkurat
III]] dengan sang paman [[Pangeran Puger]] atau Pakubuwana I (1704-1719).
Dalam masa pendudukan Mataram selama
110 tahun ini (1595-1705), yang menjabat menjadi Bupati Panjalu secara
berturut-turut adalah:
# Raden Arya Sumalah
# Pangeran Arya Sacanata (Pangeran
Arya Salingsingan/Pangeran Gandakerta)
# Raden Arya Wirabaya
# Raden Tumenggung Wirapraja
Masa [[VOC]] dan [[Hindia Belanda]]
[[Berkas:Voc.jpeg|thumb|left|VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur)]]
[[Berkas:hindia
belanda.jpeg|thumb|left|Peta Hindia Belanda]]
Berdasarkan perjanjian VOC dengan
Mataram tanggal [[5 Oktober 1705]], maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali
Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati
Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC [[Joan van Hoorn]]
(1704-1709) mengangkat [[Pangeran Arya Cirebon]] ([[1706-1723]]) sebagai
”opzigter” atau Pemangku Wilayah Priangan.
Gubernur Jendral VOC menjadikan para
Bupati sebagai pelaksana atau ”agen verplichte leverantie” atau agen penyerahan
wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi,
indigo dan tebu.
Kebijakan VOC ini sangat membebani
kehidupan rakyat kecil, akibatnya pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang
digerakkan oleh Raden Alit atau RH Prawatasari seorang ”menak” (bangsawan)
Cianjur keturunan Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi). Kerusuhan yang
digerakkan RH Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan VOC di wilayah
Priangan (Jawa Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan Sumedang. Di Priangan
timur terutama Galuh, kerusuhan ini melanda wilayah Utama, Bojonglopang dan
Kawasen.
Namun pemberontakan RH Prawatasari
ini akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli tahun 1707, Raden Haji
Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru di daerah Bagelen, Banyumas
yang lalu kemudian di asingkan ke Kartasura.
Pasca pemberontakan RH Prawatasari,
pada masa kepemimpinan Pangeran Arya Cirebon, Raden Prajasasana (putera Raden
Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan
Pangeran Arya Cirebon diangkat sebagai Bupati Panjalu yang berada dalam wilayah
administratif Cirebon dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan
Raden Tumenggung Wirapraja.
Pada tahun 1810 wilayah Kabupaten
Panjalu di bawah pimpinan Raden Tumenggung Cakranagara III diperluas dengan
wilayah Kawali yang sebelumnya dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III
(1801-1810). Wilayah Kawali yang menginduk ke Panjalu ini kemudian dikepalai
oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819).
Pada tahun [[1819]], Gubernur
Jenderal [[Hindia Belanda]] [[G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen]]
([[1816]]-[[1826]]) menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu, Kawali,
Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu
Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan sebagai Bupati Panjalu, sementara
di kabupaten Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh puteranya yang
bernama Adipati Adikusumah ([[1819-1839]]).
Semenjak itu Panjalu menjadi daerah
kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung Cakranagara
III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang Panjalu
(Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh Cakranagara
III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana Kawali. Pada
masa itu wedana adalah jabatan satu tingkat diatas camat (asisten wedana).
Raden Demang Sumawijaya setelah
mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang Aldakusumah
sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana Kawali Raden Arya
Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi
Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara
IV.
Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh
berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis dan dimasukkan kedalam Keresidenan
Priangan setelah dilepaskan dari wilayah administrasi Cirebon. Antara tahun
1926-1942 Ciamis dimasukkan kedalam ”afdeeling” Priangan Timur bersama-sama
dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut dengan ibukota ”afdeeling” di
Tasikmalaya. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pemerintah Hindia Belanda membagi
Pulau Jawa menjadi tiga provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Panjalu dewasa ini adalah sebuah kecamatan di [[Kabupaten Ciamis]] Provinsi
Jawa Barat.
Raden Tumenggung Cakranagara III,
Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung
Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu,
berada satu lokasi dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang
Borosngora.
Dewasa ini Nusa Larang dan Situ
Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di
Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh
Indonesia terutama dari [[Jawa Timur]], apalagi setelah Presiden IV RI [[K.H.
Abdurrahman Wahid]] atau [[Gus Dur]] diketahui beberapa kali berziarah di Nusa
Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Silsilah Panjalu. Batara Tesnajati ……….
Batara Tesnajati adalah tokoh
pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara
Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Batara Layah
Batara Layah menggantikan ayahnya
sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera
bernama Batara Karimun Putih.
Ia menggantikan ayahnya menjadi
Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu
Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir
Kaputihan, Gunung Sawal.
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta
Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti
dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di
Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung
Sawal Panjalu.
Sanghyang Rangga Gumilang menikahi
seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera
bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
terletak di Cipanjalu.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I
Sanghyang Lembu Sampulur I naik
tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang
Cakradewa.
Prabu Sanghyang Cakradewa
Sanghyang Cakradewa memperisteri
seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam
orang anak yaitu:
1) Sanghyang Lembu Sampulur II,
2) ”’Sanghyang Borosngora”’,
3) Sanghyang Panji Barani,
4) Sanghyang Anggarunting,
5) Ratu Mamprang Kancana
Artaswayang, dan
6) Ratu Pundut Agung (diperisteri
Maharaja Sunda).
Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa
terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad Panjalu,
Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah
pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu
ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan
singgasana dan menjadi Resi atau petapa (”lengser kaprabon ngadeg pendita”).
Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II
menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora
dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh
karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana,
petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk
mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.
Beberapa tahun kemudian sang
pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan
yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat
terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut.
Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk
mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan
kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan
para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang
itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan
tampaklah sebentuk rajah (”tattoo”) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu
kesaktian aliran hitam.
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat
kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan
””’Anggon-anggon Kapanjaluan””’ (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu” mangan
kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul
rahayu, tangkal waluya”. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora
untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari ””Ilmu Sajati”” yaitu ilmu
yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang
Borosngora telah menguasai ”ilmu sajati” atau belum, maka sang prabu
membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang
sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah
menguasai ”ilmu sajati”, maka ia bisa menciduk air dengan gayung
berlubang-lubang tersebut.
Untuk kedua kalinya Sanghyang
Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah
karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu.
Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta,
memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu
Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu
yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci [[Mekkah]],
[[Jazirah Arab]]. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah
dalam sekejap mata.
Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora
bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan
seseorang yang mewarisi ”Ilmu Sajati” yang dimaksud. Orang-orang yang tidak
mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang
tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju
tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang
pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan
tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah
berpasir.
Lelaki misterius itu menegur sang
pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya
dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya
lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada
pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu.
Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta
Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang
pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena
yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun
segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang
sedikitpun.
Sanghyang Borosngora segera
menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan.
Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas
kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius
itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian
diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang
Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh
ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.
Setelah peristiwa itu Sanghyang
Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba ”Ilmu Sajati” kepada
Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah ”Dien Al Islam” (Agama Islam). Di akhir
masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar
melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang
bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang,
Cis (tombak bermata dua atau [[dwisula]]), dan pakaian kebesaran. Sebelum
pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang
pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia
telah berhasil menguasai ”ilmu sajati” dengan sempurna.
Ringkas cerita Sanghyang Borosngora
kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta
seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada
seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan
puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu
dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.
Air zam-zam yang dibawa Sanghyang
Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan
sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang
pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis
tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan
syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang
sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah
Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di
sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta
Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai
kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai media syiar Islam, Sanghyang
Borosngora mempelopori tradisi upacara adat ”Nyangku” yang diadakan setiap
Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka
yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian
dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak
ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan
mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.
Sanghyang Lembu Sampulur II naik
tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian
menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang
Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka
[[Gunung Tampomas]] (Sumedang).
Prabu Sanghyang Borosngora
Sanghyang Borosngora naik tahta
Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di
Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih
Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal
sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam,
benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan
dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam
rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua
orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuning, dan
2) ”’Rahyang Kancana.”’
Prabu Sanghyang Borosngora juga
didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang
juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.
Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora
terdapat di Jampang Manggung ([[Kabupaten Sukabumi|Sukabumi]]), sedangkan
petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).
Sanghyang Borosngora dan Hyang
Bunisora Suradipati
Hyang Bunisora Suradipati adalah
adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal
sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan
tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi
puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu
Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu
atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai
Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau
resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan
Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan
adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan
apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini
adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang
tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi
Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja
Sukardja,2007):
1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di
Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng
Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji
Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri
Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan
di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas
(Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai
makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).
Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali
RA
Legenda pertemuan antara Sanghyang
Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial
mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad
ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah
berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam
sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya
(723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya
mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan
sahabat ayahnya, Sena (709-716).
Sementara itu jika dirunut melalui
catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang
Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman
dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti
cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian
kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya
pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya
menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan
berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan
Pandai Besi di Nusantara.
Sanghyang Borosngora, Walangsungsang
dan Kian Santang
Kisah masuk Islamnya Sanghyang
Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian
Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang
bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari
isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu
Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja
Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari
Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh
penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana
berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah
menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Sementara itu, berbeda dengan kedua
kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda
Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah:
Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu
menghilang beserta seluruh pengikutnya di ”Leuweung Sancang” (hutan Sancang di
daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur,
melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau
Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.
Sanghyang Borosngora versi Sejarah
Cianjur
Menurut versi Sejarah Cianjur,
Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya
adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala
(Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera
Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.
Sanghyang Borosngora adalah putera
Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari
Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi
Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai empat
orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke
tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke
Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.
Sepulang dari tanah suci, Sanghyang
Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di
kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal
dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran
Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu
Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama,
Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di
Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung
Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari
Wanayasa Rajamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang
sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke
Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung
Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk
Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela
Kancana, Cipanengah, Cimandiri.
Windu ketiga Sanghyang Borosngora
pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman
Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama
Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung
Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Sanghyang Borosngora menikahi
seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang.
Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya,
Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang
dan Tengah.
Pada windu ketiga, ia memiliki dua
orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang
Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta
dimakamkan di suatu tempat di tepi [[sungai Cileuleuy]], Kp Langkob, Desa
Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang
Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang
dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di
Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah
Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia
dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk “Karaman Jawa”.
Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati
Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri
Wanakusumah, Situ Panjalu.
”’Pertemuan para raja di Gunung
Rompang”’
Pada suatu masa beberapa orang raja
dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang
mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung
yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu
di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah ”rompang” menunjukan keadaan
senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu
sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya
kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para
prajurit Pajajaran telah menjadi ”rompang” karena dipakai bertempur
terus-menerus.
Lokasi ini dikenal juga sebagai
“Karamat Pasamoan”, adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
1. Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang
Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan
Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai
Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
2. Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul
atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji
Nata Kusumah.
3. Raden Sanghyang Panaitan atau
Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di
Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
4. Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih
Nagara di Cimapag.
5. Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta
dari Tarekolot, Cikartanagara.
6. Kanjeng Dalem Nala Merta dari
Cipamingkis.
7. Pangeran Hyang Jaya Loka dari
Cidamar.
8. Pangeran Hyang Jatuna dari
Kadipaten Kandang Wesi.
9. Pangeran Hyang Krutu Wana dari
Parakan Tiga.
10. Pangeran Hyang Manda Agung dari
Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini
adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama
yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk
itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang
tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu
Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk
sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.
Akhirnya, setelah menjalankan Salat
Jum’ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September
1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak
tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT.
Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.
”’Pemberontakan Raden Haji Alit
Prawatasari”’
[[Berkas:RH
Prawatasari.jpeg|thumb|left|RH Alit Prawatasari]]Raden Haji Alit Prawatasari
adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning
dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai
pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup
memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC
kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah
tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring
seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di
Batavia melewati Cianjur.
Tujuan VOC tidak lain adalah untuk
menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk
Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan,
yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka
kemudian digiring terus menuju ke Bayabang.
Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit
Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan ”wadya balad” (pengikut)
yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan
(timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan
kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.
Dikarenakan VOC tak mampu menangkap
RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung
Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari
membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit
Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan
menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.
Akibat kegagalan-kegalannya
menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa
saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan
berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada
perjuangannya.
Pihak Belanda lalu mengeluarkan
ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda
agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari
meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya
tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.
Makam pahlawan yang terlupakan ini
terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam
turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh
penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis.
Prabu Rahyang Kuning
Rahyang Kuning atau Hariang Kuning
menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman
dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang
akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang
Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang
Kancana.
Menurut Babad Panjalu, perselisihan
ini dikenal dengan peristiwa ”Ranca Beureum”. Peristiwa ini terjadi sewaktu
Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya
(Sunda:”ngabedahkeun”). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput
sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu.
Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana
untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.
Berhubung hari yang telah ditentukan
untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya
untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air
pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu
turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah
cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning
menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap
ke arah barat.
Pada saat yang bersamaan dari arah
barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di
sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ
Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil
sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan
air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat
itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga
sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda:” butut”
artinya jelek).
Rahyang Kuning yang tengah
menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat
kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi.
Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk
menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya
tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel
pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang
Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban
yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ”ranca” (rawa atau
danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga
sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: ”beureum”
artinya merah).
Perang saudara ini baru berakhir
setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat
dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang
menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta
Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke
wilayah selatan Galuh.
Rahyang Kuning di akhir hayatnya
menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan
dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, [[Kertamandala, Panjalu, Ciamis|Desa
Kertamandala]], [[Panjalu, Ciamis|Kecamatan Panjalu]].
Prabu Rahyang Kancana
Rahyang Kancana atau Hariang Kancana
melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah
perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke
Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
Rahyang Kancana mempunyai dua orang
putera yaitu:
1) ”’Rahyang Kuluk Kukunangteko”’,
dan
2) Rahyang Ageung.
Prabu Rahyang Kancana setelah
mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana
sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di
Indonesia.
Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko
Rahyang Kuluk Kukunangteko atau
Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta
Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih
Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali
Kancana.
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko
terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.
Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana
Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau
Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia
mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut
Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.
Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya
Rahyang Kadacayut Martabaya atau
Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia
mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya
dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.
Prabu Rahyang Kunang Natabaya
Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang
Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan
Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran
Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali
(1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33).
Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu
di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun
Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
1) Raden Arya Sumalah,
2)”’ Raden Arya Sacanata”’, dan
3) Raden Arya Dipanata (kelak
diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).
Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang
Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati ([[1586]]-[[1601]]) berhasil
menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan
Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya
terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
Raden Arya Sumalah
Arya Sumalah naik tahta Panjalu
bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah
dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy
atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu
Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
1) Ratu Latibrangsari dan
2) Raden Arya Wirabaya.
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan
di Buninagara Simpar, Panjalu.
Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran
Arya Salingsingan
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia
muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi
kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh
Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar
Pangeran Arya Sacanata.
Pangeran Arya Sacanata juga
memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan
janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik
dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya
(ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi
pembesar-pembesar di tanah Pasundan.
Dua belas diantara putera-puteri
Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
3) Raden Wiralaksana (Tengger,
Panjalu),
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran,
Panjalu),
5) Raden Dalem Singalaksana
(Cianjur),
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
7) ”’Raden Arya Wiradipa”’ (Maparah,
Panjalu),
8) Nyi Raden Lenggang,
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli,
Sukabumi),
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli,
Sukabumi), dan
12) Raden Ngabehi Dipanata.
Putera Sultan Agung, Sunan
Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan
Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung
serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12
”Ajeg”; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten
Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak
tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata
mendendam kepada Mataram.
Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata
ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili
Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya
Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan
memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram.
Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga
akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh
pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam
Bahasa Sunda kata “”salingsingan”” berarti saling berpapasan tapi tidak
dikenali).
Pangeran Arya Sacanata menghabiskan
hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti
petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan
dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai
tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan
Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung
Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo,
Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, [[Kecamatan
Dayeuhluhur]], [[Kabupaten Cilacap]], [[Jawa Tengah]].
Raden Arya Wirabaya
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa
([[1645-1677]]) pada sekitar tahun [[1656-1657]] wilayah ”Mancanagara Kilen”
(Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas ”Ajeg” (daerah setingkat kabupaten)
serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah:
Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya),
Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), ”’Wirabaya”’ (Ciamis
Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih
(Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis
Timur).
Pada waktu itulah Arya Wirabaya
diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus
menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten
Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.
Arya Wirabaya mempunyai seorang
putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya
dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis
Raden Tumenggung Wirapraja
Raden Wirapraja menggantikan ayahnya
menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa
pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke
Dayeuh Panjalu sekarang.
Tumenggung Wirapraja setelah mangkat
dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.
Raden Tumenggung Cakranagara I
Salah seorang putera Pangeran Arya
Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri
Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para ”kawula-balad” (abdi dan
rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa
Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang
anak, yaitu:
1) Raden Ardinata,
2) Raden Cakradijaya,
3) ”’Raden Prajasasana”’, dan
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
Raden Prajasasana yang setelah
dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja
bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai ”Opzigter”
(Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas
mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap
berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh
Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung
Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.
Tumenggung Cakranagara I
memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya
Wirabaya) sebagai ”garwa padmi” (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera,
yaitu:
1) ”’Raden Cakranagara II”’,
2) Raden Suradipraja, dan
3) Raden Martadijaya.
Sementara dari ”garwa ampil” (isteri
selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
1) Nyi Raden Panatamantri,
2) Nyi Raden Widaresmi.
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
Tumenggung Cakranagara I setelah
wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
Raden Tumenggung Cakranagara II
Raden Cakranagara II menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung
Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat
menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.
Tumenggung Cakranagara II mempunyai
enam belas orang anak dari ”garwa padmi” dan isteri selirnya, keenambelas
putera-puterinya itu adalah:
1) Nyi Raden Wijayapura,
2) Nyi Raden Natakapraja,
3) Nyi Raden Sacadinata,
4) Raden Cakradipraja,
5) Raden Ngabehi Angreh,
6) ”’Raden Dalem Cakranagara III”’,
7) Nyi Raden Puraresmi,
8) Nyi Raden Adiratna,
9) Nyi Raden Rengganingrum,
10) Nyi Raden Janingrum,
11) Nyi Raden Widayaresmi,
12) Nyi Raden Murdaningsih,
13) Raden Demang Kertanata,
14) Raden Demang Argawijaya,
15) Nyi Raden Adipura, dan
16) Nyi Raden Siti Sarana.
Tumenggung Cakranagara II setelah
wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
Raden Tumenggung Cakranagara III
Raden Cakranagara III sebagai putera
tertua dari” garwa padmi” (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai
Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.
Tahun 1810 wilayah Kawali yang
dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah
Kabupaten Panjalu dibawah Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama
berada dalam wilayah administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian
dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke
Kabupaten Panjalu.
Pada tahun 1819 ketika Pemerintah
[[Hindia-Belanda]] dibawah pimpinan Gubernur Jenderal [[G.A.G.Ph. Baron Van der
Capellen]] ([[1816-1836]]) dikeluarkanlah kebijakan untuk ”’menggabungkan
Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh”’.
Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari
jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan
(daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.
Pada tahun itu Bupati Galuh
Tumenggung Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati
Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera
tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat
menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar ”’Raden Demang Sumawijaya”’,
sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden
Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar ”’Raden Arya
Cakradikusumah”’.
Tumenggung Cakranagara III mempunyai
dua belas orang putera-puteri, yaitu:
1) ”’Raden Sumawijaya”’ Demang
Panjalu (Nusa Larang, Panjalu),
2) Raden Prajasasana Kyai Sakti
(Nusa Larang, Panjalu),
3) Raden Aldakanata,
4) Raden Wiradipa,
5) Nyi Raden Wijayaningrum,
6) Raden Jibjakusumah,
7) Raden Cakradikusumah (Wedana
Kawali),
8) Raden Cakradipraja,
9) Raden Baka,
10) Nyi Raden Kuraesin,
11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas,
Panjalu), dan
12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah,
Panjalu), penulis naskah Babad Panjalu dalam bahasa Sunda dengan aksara latin
(tersimpan di Perpustakaan Nasional RI), wafat di Mekkah.
”’Tumenggung Cakranagara III wafat
pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan
dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.”’
Raden Demang Sumawijaya
Raden Sumawijaya pada tahun 1819
diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya
yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat
menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya
mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1) ”’Raden Aldakusumah”’,
2) Nyi Raden Asitaningsih, dan
3) Nyi Raden Sumaningsih.
”’Demang Sumawijaya setelah wafat
dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu”’.
Raden Demang Aldakusumah
Raden Aldakusumah menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah,
ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan
mempunyai empat orang anak, yaitu:
1)”’ Raden Kertadipraja”’
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Wijayaningsih,
3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega,
Desa Kertamandala, Panjalu), dan
4) Nyi Raden Sukarsa-Karamasasmita
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).
Semantara itu adik sepupunya yang
bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah)
diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang [[Indramayu]]) dengan gelar Raden
Tumenggung Cakranagara IV. ”’Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung
Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ
Lengkong Panjalu”’.
Raden Kertadipraja
Putera tertua Demang Aldakusumah
yang bernama ”’Raden Kertadipraja”’ tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu
karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam
wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia
diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh
berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa
Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala,
Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:
1) ”’Raden Hanafi Argadipraja”’
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
2) Nyi Raden Aminah – Adkar
(Cirebon),
3)Nyi Raden Hasibah – Junaedi
(Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),
4) Nyi Raden Halimah – Suminta
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),
5)”’ Raden Ahmad Kertadipraja”’
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan
6) Nyi Raden Aisah – Padma
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu)
Raden Hanafi Argadipraja
Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega,
Desa Kertamandala, Panjalu) mempersunting Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih
(Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang
Desa Jayagiri Kecamatan Panumbangan Ciamis) yang bernama Raden Nitidipraja,
penulis ”’catatan sejarah & silsilah Panjalu”’ dalam bahasa Sunda dengan
aksara arab dan latin (makamnya di Puspaligar, Panjalu), dan dari pernikahannya
itu menurunkan lima orang putera-puteri:
1) Nyi Raden Sukaesih-Raden Abdullah
Suriaatmaja,
2) ”’H. Raden Muhammad Tisna
Argadipraja”’,
3) ”’Raden Galil Aldar
Argadipraja”’,
4) Hj. Nyi Raden Siti Maryam-H.Encur
Mansyur,
5) Nyi Raden Siti Rukomih-Raden
Sukarsana Sadhi Pasha.
Sedangkan adik Raden Hanafi
Argadipraja, yakni ”’Raden Ahmad Kertadipraja”’ (Reumalega, Desa Kertamandala,
Panjalu) menurunkan empat orang anak:
1) H. Raden Afdanil Ahmad,
2) Raden Nasuha Ahmad,
3) Nyi Raden Nia Kania, dan
4) Raden Ghia Subagia.
Batara Tesnajati
Batara Tesnajati adalah tokoh
pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara
Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Batara Layah
Batara Layah menggantikan ayahnya
sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera
bernama Batara Karimun Putih.
Batara Karimun Putih
Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara
di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang
Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan,
Gunung Sawal.
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta
Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti
dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di
Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung
Sawal Panjalu.
Sanghyang Rangga Gumilang menikahi
seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera
bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
terletak di Cipanjalu.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta
menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan
singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia
sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka [[Gunung Tampomas]]
(Sumedang).
Prabu Sanghyang Borosngora
Sanghyang Borosngora naik tahta
Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di
Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih
Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal
sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam,
benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan
dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian
prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua
orang putera yaitu:
1) Rahyang Kuning, dan
2) ”’Rahyang Kancana.”’
Prabu Sanghyang Borosngora juga
didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang
juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.
Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora
terdapat di Jampang Manggung ([[Kabupaten Sukabumi|Sukabumi]]), sedangkan
petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).
Sanghyang Borosngora dan Hyang
Bunisora Suradipati
Hyang Bunisora Suradipati adalah
adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal
sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan
tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi
puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu
Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu
atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai
Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau
resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan
Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan
adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan
apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini
adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang
tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi
Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja
Sukardja,2007):
1). Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di
Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng
Gunung Ciremai.
2). Bratalegawa (Haji baharudin/Haji
Purwa) menikahi puteri Gujarat.
3). Ratu Banawati.
4). Ratu Mayangsari yang diperisteri
Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan
di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas
(Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai
makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).
Situ Lengkong
Situ Lengkong sekarang termasuk
kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam
Bahasa Sunda; kata ”situ” artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan
Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 m dpl. Di tengah danau tersebut
terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede atau ada juga
yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad
Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini adalah
kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu
(Bhs. Sunda: ”pasir” artinya bukit).
Ketika Sanghyang Borosngora pulang
menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia membawa cinderamata yang salah satunya
berupa air zamzam yang dibawa dalam gayung batok kelapa berlubang-lubang
(”gayung bungbas”). Air zamzam itu ditumpahkan ke dalam lembah dan menjadi
cikal-bakal atau induk air Situ Lengkong. Bukit yang ada di tengah lembah itu
menjelma menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang, artinya pulau terlarang
atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota Mekkah yang berjuluk tanah
haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan; artinya tidak sembarang
orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal yang melanggar pantangan atau hukum
di kawasan itu.
Pada masa pemerintahan Prabu
Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu.
Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu
”’Prabu Rahyang Kancana”’, ”’Raden Tumenggung Cakranagara III”’, ”’Raden Demang
Sumawijaya”’, ”’Raden Demang Aldakusumah”’, ”’Raden Tumenggung Argakusumah
(Cakranagara IV)”’ dan ”’Raden Prajasasana Kyai Sakti”’.
Situ Lengkong memiliki luas kurang
lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare.
Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919.
Nusa Larang ini pada zaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai
bentuk penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama
”Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming”, yaitu sebuah
perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Sebagai seorang yang menaruh
perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai
jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaannya mengumpulkan ”herbarium” tersebut
dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli” botani” yang membantu melakukan
penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.
Koorders dan rekannya itu pada
akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat
kerja kerasnya kemudian terlahir buku ”Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten
van Java”, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon
yang tumbuh di Pulau Jawa.
Sebagai cagar alam, Nusa Larang
memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami.
Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang (”Ficus variegata”),
Kileho (”Sauraula Sp”), dan Kihaji (”Dysoxylum”). Di bagian pulau yang lebih
rendah tumbuh tanaman Rotan (”Calamus Sp”), Tepus (”Zingiberaceae”), dan
Langkap (”Arenga”).
Sedangkan fauna yang hidup di pulau
itu antara lain adalah Tupai (”Calosciurus nigrittatus”), Burung Hantu (”Otus
scop”), dan Kelelawar (”Pteropus vampyrus”).
Nyangku ;
Nyangku adalah suatu rangkaian
prosesi adat penjamasan (penyucian) benda-benda pusaka peninggalan Prabu
Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang
tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab
“”yanko”” yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah
orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata ”yanko” berubah menjadi
”nyangku”.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir
Bulan Maulud (Rabiul Awal).
Dalam rangka mempersiapkan
bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada jaman dahulu biasanya
semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas
dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan
untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai
sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku.
Disamping itu, semua warga keturunan
Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu dan bupati-bupati
penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong.
Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa petugas yang ditunjuk
panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air suci untuk membersihkan
benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung
Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam
Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
Bahan-bahan lain yang diperlukan
dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk
umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh
macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya
adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Pada malam harinya sebelum upacara
Nyangku, dilaksanakanlah acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang
datang dari berbagai pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah,
apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang
semarak.
Keesokan paginya dengan berpakaian
adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat
benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi
Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih
mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi
dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.
Setibanya di Situ Lengkong, dengan
menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju
Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka
kemudian diarak lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda
pusaka itu kemudian diletakan diatas alas kasur yang khusus disediakan untuk
upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka
dari kain putih pembungkusnya.
Setelah itu benda-benda pusaka
segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan
pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka
yang lain.
Tahap akhir, setelah benda-benda
pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus
untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan
janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan
memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan
asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit.
Upacara adat Nyangku ini mirip
dengan upacara [[Sekaten]] di Yogyakarta juga [[Panjang Jimat]] di Cirebon,
hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara
Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang
telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.
Tradisi Nyangku ini konon telah
dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu
itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar
Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.
Bumi Alit
Pasucian Bumi Alit atau lebih
populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan
pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di
Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata ”bumi alit” dalam Bahasa Sunda berarti
“rumah kecil” .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di
Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda
Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka
menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua
atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam
berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang
digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja
Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para
Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai
senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai
senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai
alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda
peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki
Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu.
Pada masa pemerintahan Raden
Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan dari Dayeuh Nagasari,
Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung
Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon
Alas, Alun-alun Panjalu.
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman
berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon
Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat
Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat
dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan
atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian
akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan
di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga
Panjalu yaitu ”’Raden Hanafi Argadipradja”’, cucu Raden Demang Aldakusumah di
Kebon Alas, Panjalu.
Begitu pula ketika wilayah Jawa
Barat berkecamuk pemberontakan [[DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)]]
pimpinan [[S.M. Kartosuwiryo]] (1949-1962) yang marak dengan perampokan,
pembantaian dan pembakaran rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat
merampas benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu
kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu
diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang
tidak diketahui keberadaannya.
Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar
oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan
Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan
bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid zaman
dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi
Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung
kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah
Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas
Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.
Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan
Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1. ”’Batara Tesnajati”’ di
Karantenan Gunung Sawal.
2. ”’Batara Layah”’ di Karantenan
Gunung Sawal.
3. ”’Batara Karimun Putih”’ di Pasir
Kaputihan Gunung Sawal.
4. ”’Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
atau Sanghyang Rangga Sakti”’ di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5. ”’Prabu Sanghyang Lembu Sampulur
I”’ di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6. ”’Prabu Sanghyang Cakradewa”’ di
Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. ”’Prabu Sanghyang Lembu
Sampulur”’ II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8. ”’Prabu Sanghyang Borosngora”’
(adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi.
9. ”’Prabu Rahyang Kuning”’ di
Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10. ”’Prabu Rahyang Kancana”’ (adik
Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11. ”’Prabu Rahyang Kuluk
Kukunangteko”’ di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12. ”’Prabu Rahyang Kanjut Kadali
Kancana”’ di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13. ”’Prabu Rahyang Kadacayut
Martabaya”’ di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
14. ”’Prabu Rahyang Kunang
Natabaya”’ di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15. ”’Raden Arya Sumalah”’ di
Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. ”’Pangeran Arya Sacanata”’ (adik
R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. ”’Raden Arya Wirabaya”’ (anak R.
Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18. ”’Raden Tumenggung Wirapraja”’
(anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. ”’Raden Tumenggung Cakranagara
I”’ (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. ”’Raden Tumenggung Cakranagara II”’
di Puspaligar, Panjalu.
21. ”’Raden Tumenggung Cakranagara
III”’ di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22. ”’Raden Demang Sumawijaya”’ di
Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23. ”’Raden Demang Aldakusumah”’ di
Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Mitos Maung Panjalu
Mempelajari sejarah dan kebudayaan
Panjalu tidak akan lepas dari berbagai tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi
dasar nilai-nilai kearifan budaya lokal, salah satunya adalah mitos Maung
Panjalu (Harimau Panjalu). Sekelumit kisah mengenai Maung Panjalu adalah
berlatar belakang hubungan dua kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran
(Sunda) dan Majapahit.
Menurut Babad Panjalu kisah Maung
Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi
Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang
diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama
Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi
sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya.
Ketika Dewi Sucilarang telah
mengandung dan usia kandungannya semakin mendekati persalinan, ia meminta agar
dapat melahirkan di tanah kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak
mau harus menyetujui permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan
puteri kerajaan Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara
kerajaan.
Suatu ketika iring-iringan tiba di
kawasan hutan belantara Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan
Panjalu dan berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah
gelapnya malam tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri
kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang
perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam
sebuah ”pendil” (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di atas sebuah
batu besar.
Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju
remaja di lingkungan Keraton Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan
mereka adalah mengenal dan menemui sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya
keinginan itu sehingga Bongbang Larang dan Bongbang Kancana sepakat untuk
”minggat”, pergi secara diam-diam menemui ayah mereka di Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh mereka tiba dan beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal,
Bongbang Larang dan Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di
sekitar tempat itu dan menemukan sebuah ”pendil” berisi air di atas sebuah batu
besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri.
Bongbang Larang yang tak sabar
langsung menenggak isi ”pendil” itu dengan lahap sehingga kepalanya masuk dan
tersangkut di dalam ”pendil” seukuran kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan
kemudian menuntun Bongbang Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil
itu dari kepala kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu
seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa menolong
Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini menemui Aki
Garahang di pondoknya arah ke utara.
Aki Garahang yang ternyata adalah
seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana itu lalu memecahkan
”pendil” dengan sebuah kujang sehingga terbelah menjadi dua (kujang milik sang
pendeta ini sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit). Karena
karomah atau kesaktian sang pendeta, maka ”pendil” yang terbelah dua itu yang
sebelah membentuk menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya
menjadi ”kulah” (kolam mata air) bernama Pangbuangan.
Sebagai tanda terima kasih, kedua
remaja itu kemudian mengabdi kepada Aki Garahang di padepokannya, sebelum
mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Suatu ketika sang pendeta bepergian
untuk suatu keperluan dan menitipkan padepokannya kepada Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana dan berpesan agar tidak mendekati ”kulah” yang berada tidak
jauh dari padepokan.
Kedua remaja yang penuh rasa ingin
tahu itu tak bisa menahan diri untuk mendatangi kulah terlarang yang ternyata
berair jernih, penuh dengan ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan
diri kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan
wajah sambil merendamkan kedua kakinya.
Betapa terkejutnya sang adik ketika
Bongbang Larang naik ke darat ternyata wajah dan seluruh tubuhnya telah
ditumbuhi bulu seperti seekor harimau loreng. Tak kalah kagetnya ketika
Bongbang Kancana bercermin ke permukaan air dan ternyata wajahnya pun telah
berubah seperti harimau sehingga tak sadar menceburkan diri kedalam ”kulah”.
Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan
dibunuh oleh Aki Garahang karena dikira telah memangsa Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana. Namun ketika mengetahui kedua harimau itu adalah jelmaan dua
putera-puteri kerajaan Pajajaran yang menjaga padepokannya sang Pendeta tidak
bisa berbuat apa-apa. Ia berpendapat bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak
Yang Mahakuasa, ia berpesan agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan
peliharaan orang Panjalu, apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka mereka
akan mendapat kutukan darinya.
Kedua harimau jejadian itu berjalan
tak tentu arah hingga tiba di Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon
Panjalu yang ditanami aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya
terdapat pancuran tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu
tak sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman ”paria oyong” (sayuran sejenis
terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam ”gawul” (saluran air tertutup
terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi) sehingga aliran air ke pemandian
itu tersumbat oleh tubuh mereka.
Prabu Sanghyang Cakradewa
terheran-heran ketika melihat air pancuran di pemandiannya tidak mengeluarkan
air, ia sangat terkejut manakala diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh
dua ekor harimau. Hampir saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir
membahayakan masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah
jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba dan
menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu.
Sebagai tanda terima kasih kedua
harimau itu bersumpah dihadapan Prabu Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak
akan mengganggu orang Panjalu dan keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka
bersedia datang membantu orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali
orang Panjalu yang meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air
minum (teko, ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong,
orang Panjalu yang membuat ”gawul” (saluran air tertutup), maka orang-orang itu
berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut.
Selanjutnya kedua harimau kembar itu
melanjutkan perjalanan hingga tiba di Keraton Majapahit dan ternyata setibanya
di Majapahit sang ayah telah bertahta sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat
terharu dengan kisah perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian
memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di Keraton
Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga Keraton
Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua
saudara kembar ini diperkenankan untuk saling menjenguk. Maka menurut
kepercayaan leluhur Panjalu, kedua harimau itu selalu berkeliaran untuk saling
menjenguk pada setiap bulan Maulud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar