Kesultanan Pasir pada awalnya berada di Sadurungas, kemudian pindah ke
Pasir Belengkong. Kesultanan yang didirikan oleh pelarian dari Kerajaan
Kuripan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan Kesultanan Banjar dengan
status sebagai daerah taklukan.
Sejarah Awal Kerajaan Pasir
Sejarah Kerajaan Pasir (Sadurangas) tidak bisa dipisahkan dari perang
saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang terjadi sekitar abad ke-16.
Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang Kerajaan Kuripan,
yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga melarikan
diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam
pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa
seorang bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung.
Bayi ini adalah anak perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung
Duyung dan Tukiu.
Aria Manau yang mengetahui bahwa putrinya diselamatkan oleh Temenggung
Duyung dan Tukiu akhirnya menyusul ke Sadurangas. Bersama dengan
istrinya, mereka memutuskan untuk menetap di Sadurangas. Di tempat ini,
para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut membuat semacam
perkampungan. Setelah menetap sekian lama di Sadurangas, nama Aria Manau
mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan nama Kakah Ukop yang
berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop sementara sang
istri dikenal dengan nama Itak Ukop.
Perkampungan yang didirikan oleh para pelarian dari Kerajaan Kuripan
tersebut lama-lama berubah menjadi besar. Beberapa orang (suku) akhirnya
memutuskan untuk ikut serta menetap di Sadurangas. Melihat begitu pesat
perkembangan perkampungan di Sadurangas, Temenggung Duyung, Tukiu, Aria
Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin di
Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan dengan mengangkat Putri
Betung, yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di Sadurangas
sekitar tahun 1575 Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas,
kemudian Kerajaan Pasir, akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai
sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu
sungai Kandilo.
Versi legenda menyatakan bahwa Putri Betung lahir bukan dari hasil
perkawinan manusia melainkan dari sebutir telur yang tersimpan di dalam
sebilah bambu (betung atau petung). Ketika masih bayi, Putri Betung
hanya mau meminum susu dari kerbau putih . Di sini, terdapat kesamaan
antara versi legenda dan fakta sejarah yang menceritakan tentang adanya
kerbau putih, seekor hewan yang dipelihara oleh Aria Manau.
Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab (kemungkinan adalah
raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang berasal dari Gresik. Pernikahan
ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah menjadi ratu di Kerajaan
Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran Indera Jaya membawa
sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir (Benua)
tersebut dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang.
Perkawinan antara Putri Betung dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai
dua orang anak yang bernama Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter.
Adjie Patih akhirnya menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di
Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter menikah dengan seorang keturunan Arab
dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah
yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam di
Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M
Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturuan Arab dari
Mempawah dikaruniai 2 orang anak yang bernama Imam Mustafa dan Putri
Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan putra Adjie
Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan dari pernikahan antara
Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan
raja-raja di Kerajaan Pasir.
Pengaruh Islam di Kerajaan Pasir
Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan perkawinan
antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah,
Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian
membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir
sekitar tahun 1600M.
Putri Adjie Meter adalah adik dari Adjie Patih Indra (memerintah antara
tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir setelah Putri Betung turun
tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah yang menyebabkan
suami dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh Islam ke
dalam Keraton Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama Islam
telah menjadi agama negara di Kerajaan Pasir. Hanya saja, penyebutan
kesultanan belum lazim digunakan pada waktu itu karena gelar yang
digunakan oleh penguasa tertinggi Kerajaan Pasir adalah “adjie” atau
“aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan baru lazim digunakan ketika
Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie
Perdana) (1667 – 1680).
Pada masa pemerintahan Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger)
(1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan Sulaiman I) terjadi perang
antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang disebut Hulu Dusun dan
Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir dibakar oleh
pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie
Muhammad Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke
Pasir Benua, sebuah daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.
Dinamika Daerah Taklukan: Dari Kesultanan Banjar hingga Belanda
Daerah Pasir – yang kemudian menjadi Kerajaan Pasir -- telah menjadi
daerah taklukan Kesultanan Banjar yang berdiri pada tanggal 24 September
1526 Sebagai daerah taklukan, Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi
kesultanan diwajibkan untuk mengirimkan upeti setiap tahun kepada
Kesultanan Banjar berupa 10 kati emas urai, beras, dan padi.
Kebijakan pengiriman upeti tersebut dianggap terlalu memberatkan rakyat
di Kesultanan Pasir. Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 –
1766) berangkat ke Kesultanan Banjar untuk meminta keringanan pengiriman
upeti. Melalui langkah diplomasi, Sultan Sepuh I Alamsyah berhasil
menawarkan solusi bahwa Kesultanan Pasir tidak lagi harus mengirimkan
upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar, tetapi sebagai
konsekuensinya, Kesultanan Pasir harus mengirimkan upeti 50 kati emas
urai. Sultan Banjar memberikan waktu selama 1 tahun kepada Sultan Sepuh
dan rakyatnya untuk menambang emas dan memberikannya kepada Kesultanan
Banjar.
Usaha Sultan Sepuh dan rakyat Kesultanan Pasir tidak sia-sia. Mereka
berhasil menambang emas dan menyerahkannya kepada Sultan Banjar sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Atas dasar kesepakatan
ini, pada masa pemerintahan Sultan Sepuh, Kesultanan Pasir bisa menjadi
daerah merdeka, dalam arti tidak wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya
kepada Kesultanan Banjar.
Status sebagai sebuah negara yang merdeka bagi Kesultanan Banjar
bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie
Sembilan) (1766 – 1786). Setelah Sultan Ibrahim Alam Syah meninggal
dunia, kedudukannya digantikan oleh Ratu Agung (1786 – 1788). Pada masa
pemerintahan Ratu Agung, Kesultanan Banjar menjadi taklukan Pemerintah
Hindia Belanda (VOC).
Status Kerajaan Pasir sebagai daerah taklukan Pemerintah Hindia Belanda
(VOC) dimulai ketika Belanda membantu Sultan Tahmidillah II dalam perang
melawan Pangeran Amir. Perang ini adalah perang perebutan tahta yang
terjadi di Kesultanan Banjar. Dalam perang tersebut, Sultan Tahmidillah
II dibantu oleh Belanda sedangkan Pangeran Amir dibantu oleh orang-orang
Bugis. Di akhir perang, yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1786,
kekuatan gabungan Sultan Tahmidillah II dan Belanda berhasil mengalahkan
kekuatan gabungan Pangeran Amir dan orang-orang Bugis. Pangeran Amir
akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilangka).
Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah II berupa
lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di
Tabanio, Hulu ungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Permintaan ini dilakukan
setelah peperangan berakhir. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang
diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh
Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787.
Salah satu poin penting dari perjanjian itu yang menunjukkan bahwa
Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah
pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan
penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian
menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13
Agustus 1787, membentang dari pantai timur Kalimantan ke barat, termasuk
Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota
Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta
sebagian dari desa Tatas.
Kesultanan Pasir secara de facto telah menjadi daerah taklukan Belanda
melalui perjanjian tanggal 13 Agustus 1787 tersebut. Belanda sebenarnya
tidak mengetahui kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya (pada masa
pemerintahan Sultan Sepuh) bahwa Kesultanan Pasir sebenarnya telah
menjadi daerah yang merdeka dan bukan lagi sebagai daerah taklukan
Kesultanan Banjar. Meskipun demikian, Belanda tetap meminta pengakuan
kedaulatan atas Kesultanan Pasir.
Penyerahan kedaulatan Kerajaan Pasir kepada Belanda baru dilakukan pada
masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 –
1853). Ketika ditabalkan sebagai sultan, untuk pertama kalinya A.L.
Weddik, Residen Banjarmasin yang berpangkat Komisaris Gubernemen Belanda
menghadiri acara penabalan. Pada waktu penabalan, Belanda mengikat
secara de jureKesultanan Pasir melalui kontrak politik yang berisi:
Kesultanan Pasir mengakui sebagai daerah yang termasuk ke dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.
Kesultanan Pasir menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda dan taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kesultanan Pasir tidak akan mengadakan hubungan langsung ataupun membuat
perjanjian dengan negara lain. Selain itu, musuh dari Belanda juga
menjadi musuh Kesultanan Pasir.
Perlawanan terhadap Belanda
Perjanjian politik antara Sultan Adam II dan Pemerintah Hindia Belanda
yang diwakili oleh A.L. Weddik ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh
Sultan Adam II. Beberapa kerjasama dengan pihak asing tetap dilakukan
oleh Sultan Adam II tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda.
Salah satu kerjasama dengan pihak luar tersebut adalah kerja sama antara
Sultan Adam II dengan seorang pedagang keturunan Arab dari Semarang
yang bernama Syeh Syarif Hamid Alsegaf. Pedagang ini sering membawa
pistol dan senapan untuk Sultan Adam II. Keduanya kemudian menjalin
persahabatan yang dikukuhkan dengan perkawinan antara Syeh Syarif Hamid
Alsegaf dengan kemenakan sultan bernama Aji Musnah. Bahkan, Syeh Syarif
Hamid Alsegaf kemudian diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan diberi
gelar Pangeran.
Sultan Adam II juga menjalin hubungan dengan seorang pedagang lainnya
bernama La Kumai dari Sulawesi Selatan. La Kumai kemudian dikawinkan
dengan putri almarhum Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 –
1843) yang bernama Aji Rindu. La Kumai kemudian juga diangkat menjadi
Menteri Kesultanan dan bergelar Pangeran Mas.
Salah satu tujuan kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Adam II adalah
membantu gerakan perlawanan di Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran
Hidayatullah dan Pangeran Antasari. Sultam Adam II membantu gerakan
dengan cara menyuplai senjata melalui gerakan bahwah tanah. Belanda yang
mengetahui langkah-langkah Sultan Adam II mengambil tindakan tegas
dengan menangkap dan kemudian membuang Sultan Adam II ke Banjarmasin .
Belanda beralasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan Adam II
telah melanggar perjanjian politik yang telah disepakati sebelumnya.
“Pembangkangan” terhadap perjanjian politik terus menjalar sampai
pewaris Kesultanan Pasir selanjutnya naik tahta, yaitu Sultan Sepuh II
Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875). Di era pemerintahan Sultan
Sepuh II, kebijakan Kesultanan Pasir sepaham dengan kebijakan Kesultanan
Banjar yang melawab kepada Belanda. Perebutan tahta yang terjadi antara
Sultan Tamjidillah II dengan Pangeran Hidayatullah ternyata menjalar
pula ke Pasir. Sultan Sepuh secara tegas berada di belakang Pangeran
Hidayatullah yang nyata-nyata mempunyai kedudukan yang sah sebagai
pewaris tahta Kesultanan Banjar -- lain halnya dengan Sultan Tamjidillah
II yang merupakan putera dari seorang selir yang tidak berhak untuk
naik tahta. Pembangkangan ini semakin diperkuat dengan naiknya Sultan
Tamjidillah II yang merupakan buah karya Belanda. Sultan Tamjidillah II
dianggap sebagai pemimpin boneka buatan Belanda yang bertujuan untuk
mengatur Kesultanan Banjar agar tunduk pada kekuasaan Belanda.
Penyebab utama keberpihakan Kesultanan Pasir kepada Pangeran
Hidayatullah dan Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari. Dalam
sengketa perebutan tahta yang kemudian menimbulkan Perang Banjar
(1859-1905) tersebut, Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran
Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan
di daerah, dan rakyat. Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin
daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun,
sampai Pasir.
Pemimpin perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari meskipun
pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala
itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada
pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari sebagai
“Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum pertempuran pertama dalam
Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.
Pada saat Perang Banjar meletus, banyak pengikut Pangeran Antasari yang
disembunyikan oleh Sultan Sepuh II maupun sultan setelahnya di
Kesultanan Pasir. Tindakan inilah yang membuat Belanda menjadi murka
karena selain tidak mentaati perjanjian politik yang ditandatangani pada
masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 –
1853), Kesultanan Pasir juga memberikan tempat persembunyian bagi
pengikut Pangeran Antasari yang merupakan musuh Belanda – dalam
perjanjian tertera bahwa musuh Belanda adalah juga musuh dari Kesultanan
Pasir.
Belanda tidak segera mengambil tindakan yang tegas untuk menyikapi
“pembangkangan” dari beberapa sultan tersebut. Belanda hanya mewajibkan
kepada para sultan yang memimpin Kesultanan Pasir untuk melakukan
pelayanan sebaik-baiknya dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan,
khususnya yang berhubungan dengan perintah Residen Banjarmasin. Sikap
“lunak” Belanda ini tetap tidak ditaati oleh para Sultan Pasir.
Kesabaran Belanda sampai pada puncaknya ketika terjadi suatu peristiwa
di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan
Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898).
Kejadian ini berawal dari tindakan Sultan Muhammad Ali yang memberikan
kelonggaran kepada para pegawainya untuk melaksanakan ibadah di bulan
Ramadhan. Akibat kelonggaran tersebut, beberapa perintah dari Residen
Banjarmasin kurang mendapatkan pelayanan yang baik. Residen Banjarmasin
yang mendapatkan laporan dari Asisten Residen yang mengadakan
penyelidikan di Kesultanan Pasir kemudian memerintahkan kepada Sultan
Muhammad Ali untuk datang ke Banjarmasin dan melaporkan serta
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Di luar dugaan Residen Banjarmasin, Sultan Muhammad Ali menolak untuk
datang ke Banjarmasin. Bahkan, dengan tegas Sultan Muhammad Ali
menyatakan bahwa urusan pemerintahan serta kebijakan di dalamnya yang
menyangkut Kesultanan Pasir menjadi kewenangan Sultan Pasir, bukan
kewenangan Belanda. Menghadapi sikap Sultan Muhammad Ali ini, Belanda
kemudian mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan membuang Sultan
Muhammad Ali ke Banjarmasin. Sultan Muhammad Ali akhirnya meninggal di
tempat pembuangan.
Masa Akhir Kesultanan Pasir
Setelah Sultan Muhammad Ali dibuang ke Banjarmasin, terjadi kekosongan
pimpinan pemerintahan di Kesultanan Pasir. Belanda kemudian mengangkat
Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) yang dinobatkan sebagai sultan di Muara
Pasir. Akan tetapi rakyat Kesultanan Pasir menolak sultan baru yang
dinobatkan oleh Belanda ini. Rakyat kemudian mengangkat Sultan Abdur
Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) yang dinobatkan di Benua.
Untuk mengatasi situasi yang semakin tidak kondusif di Kesultanan
Banjar, maka Belanda mengambil tindakan tegas dengan mengambil alih
pemerintahan di Kesultanan Banjar dalam periode tahun 1898 – 1899.
Situasi di Kesultanan Banjar akhirnya dapat diredakan setelah rakyat
dan Belanda setuju untuk mengangkat sultan baru bernama Pangeran Ratu
Raja Besar pada tahun 1899.
Dalam menjalankan pemerintahnnya, Pangeran Ratu Raja Besar mempercayakan
urusan antara Kesultanan Pasir dengan Residen Banjamasin, J. Broes,
kepada beberapa orang menterinya, yaitu Pangeran Mangku Jaya Kesuma,
Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, Pangeran Panji Nata Kesuma, dan Pangeran
Dipati. Di antara keempat menterinya tersebut, hanya Pangeran Mangku
Jaya Kesuma yang mendapat kepercayaan yang lebih besar untuk berhubungan
dengan J. Broes.
Pada perkembangan kemudian, ternyata J. Broes lebih mempercayakan urusan
pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma
daripada Pangeran Ratu Raja Besar. Atas dasar kepercayaan inilah, J.
Broes akhirnya membuat surat pelimpahan kepercayaan yang berkembang
menjadi surat pengalihan kekuasaan dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada
Pangeran Mangku Jaya Kesuma.
Pengukuhan pengalihan kekuasaan Kesultanan Pasir dari Pangeran Ratu Raja
Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma diwakilkan kepada seorang
overste dan asisten residen sebagai wakil dari Residen Banjarmasin.
Kedua pegawai Pemerintah Hindia Belanda ini datang ke Kesultanan Pasir
menggunakan tiga buah kapal yang lengkap dengan serdadu militer untuk
mengantisipasi pergolakan yang mungkin terjadi sehubungan dengan
pengalihan kekuasaan tersebut. Serah-terima kekuasaan akhirnya terjadi
dan Pangeran Mangku Jaya Kesuma naik tahta dan bergelar Sultan Ibrahim
Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908).
Sultan Ibrahim Chaliluddin ternyata tidak dikehendaki oleh rakyat
Kesultanan Banjar. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan Ibrahim
Chaliluddin tidak ditaati oleh rakyat, misalnya kebijakan untuk menarik
belasting (pajak). Sebenarnya, Sultan Ibrahim Chaliluddin telah
melakukan beberapa hal untuk menarik simpati rakyat, misalnya dengan
mengangkat Aji Nyesei yang bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, putra
dari Pangeran Nata Panembahan Sulaiman (seorang pewaris tahta yang
memilih untuk tidak menggunakan haknya dan memberikan haknya kepada
kemenakannya, yaitu Sultan Abdur Rahman Alamsyah) untuk diangkat menjadi
raja muda. Akan tetapi semua upaya dari Sultan Ibrahim Chaliluddin
tetap tidak bisa menarik simpati rakyat.
Melihat sikap rakyat yang kurang kooperatif terhadap kebijakan
kesultanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mulai putus asa dalam memimpin
Kesultanan Pasir. Apalagi Sultan Ibrahim Chaliluddin mendengar bahwa
Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan kebijakan baru, yaitu
mengadakan peraturan heerendients atau kerja rodi yang mewajibkan rakyat
di Kesultanan Pasir untuk bekerja selama 20 hari tiap tahun, di samping
kewajiban untuk membayar belasting.
Sultan Ibrahim Chaliluddin menilai bahwa rakyat di Kesultanan Pasir yang
kurang dapat dikendalikan olehnya akan bersikap semakin melawan dengan
adanya peraturan yang akan diterapkan oleh Belanda tersebut. Di sisi
lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin juga tidak mampu melawan perintah dari
Pemerintah Hindia Belanda karena statusnya sebagai daerah taklukan yang
harus melaksanakan segala kebijakan yang datang dari Pemerintah Hindia
Belanda melalui Residen Banjarmasin. Sebagai jalan keluar, karena merasa
sudah tidak mampu lagi untuk memimpin Kesultanan Pasir akibat dari
berbagai tekanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mengajak para petinggi
Kesultanan Pasir untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Sultan
Ibrahim Chaliluddin menyarankan agar para petinggi dan kerabat
Kesultanan Pasir menyerahkan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada
Pemerintah Hindia Belanda dengan meminta ganti rugi bagi para bangsawan
yang berhak atas pewarisan tahta Kesultanan Pasir.
Sebagian peserta musyawarah setuju dengan usul dari Sultan Ibrahim
Chaliluddin, tetapi sebagian lainnya tidak setuju. Pangeran Jaya Kesuma
Ningrat tidak setuju apabila Kesultanan Pasir diserahkan kepada Belanda
karena pada suatu saat dia akan menjadi sultan. Pangeran Panji Nata
Kesuma bin Sultan Abdur Rahman juga tidak setuju dengan saran tersebut
karena Kesultanan Pasir adalah pusaka turun-temurun yang harus
diperintah oleh zuriat para Sultan Pasir. Di pihak lain, Aji Meja
Pangeran Menteri, Pangeran Mas, dan Pangeran Dipati menyetujui usul dari
Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada
Belanda.
Musyawarah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada
Belanda dengan kompensasi memberikan ganti rugi sejumlah uang kepada
para bangsawan Kesultanan Pasir. Pada bulan Oktober 1907, melalui
perantara Civil Gezaghebber (kepala pemerintahan sipil) Tanah Grogot,
Kapten Droest, Residen J. Van Weerk memberitahukan kepada Sultan Pasir
bahwa permohonan permintaan ganti rugi atas seluruh hak Kesultanan Pasir
diterima baik oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Uang ganti
rugi tersebut diputuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebesar N.F.
377.267.
Pada bulan April 1908, uang sebesar N.F. 377.267 yang dikirim oleh
Pemerintah Hindia Belanda di Batavia telah diterima oleh Gezaghebber
Tanah Grogot. Selanjutnya, Gezaghebber Tanah Grogot memanggil Sultan
Ibrahim Chaliluddin untuk mengumpulkan para bangsawan untuk diberi ganti
rugi. Dalam pertemuan yang digelar kemudian, Gezaghebber Tanah Grogot
mengeluarkan suatu akte tentang penyerahan Kesultanan Pasir kepada
Pemerintah Hindia Belanda. Sejak ditandatanganinya akte penyerahan
tersebut, secara de jure Kesultanan Pasir resmi diserahkan kepada
Pemerintah Hindia Belanda.
Beberapa bangsawan yang tidak setuju dengan penyerahan tersebut
memutuskan untuk mengadakan perlawanan. Pangeran Panji, Panglima Sentik,
dan beberapa bangsawan lainnya bergabung bersama-sama dengan rakyat
untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Para bangsawan ini
mengangkat Pangeran Panji Nata Kesuma sebagai sultan kesultanan Pasir
yang sah.
Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Panji berlangsung antara tahun
1908-1912. Perlawanan ini berakhir karena Pangeran Panji tertangkap dan
kemudian dibuang ke Banjarmasin. Tertangkapnya Pangeran Panji tidak
menyurutkan timbulnya perlawanan serupa. Pada tahun 1913, seorang
pengikut Pangeran Panji bernama Matjanang melancarkan perlawanan
terhadap Belanda.
Sejalan dengan bergolaknya rakyat Pasir menentang Belanda, berdiri
cabang Sarekat Islam (SI) pada tahun 1914 di wilayah Pasir. Para orator
SI kemudian mendekati para bangsawan Pasir untuk menguatkan keberadaan
organisasi ini di daerah Pasir. Karena merasa tertarik dengan propaganda
dari para orator SI, para bangsawan Pasir akhirnya bergabung dengan SI.
Bahkan, Sultan Ibrahim Chaliluddin menduduki posisi sebagai Presiden SI
sedangkan adiknya yang bernama Pangeran Menteri menjadi wakil presiden.
Keberadaan SI semakin kuat dan besar ketika Pangeran Ratu Raja Besar
juga ikut serta masuk menjadi anggota SI.
Melalui SI, para bangsawan tersebut ternyata mendapatkan pencerahan dan
sadar politik. Kesadaran berpolitik inilah yang akhirnya menjadi
kesadaran bersama untuk membangun kekuatan dalam menghadapi Belanda.
Para bangsawan yang sebelumnya setuju dengan penyerahan Kesultanan
pasir, kini berbalik sadar bahwa tindakan yang mereka ambil semata-mata
hanya menguntungkan Belanda. Mereka kini mulai melancarkan berbagai
perlawanan dari pedalaman Pasir.
Pangeran Ratu Raja Besar, Andin Ngoko, Andin Gedang, Andin Dek, Pangeran
Singa, Wana, Sebaya, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, dan Pangeran Perwira
melancarkan perlawanan fisik mulai dari Teluk Apar, Teluk Adang, Pasir
Benua, sampai pedalaman sungai Kadilo. Di sisi lain, Sultan Ibrahim
Chaliluddin terus menggempur Belanda melalui aksi politik di bawah
naungan SI. Perpaduan perlawanan fisik dan perlawanan politik ini mampu
membuat Belanda kewalahan dan terpaksa meminta bantuan pasukan dari
Banjarmasin pada tahun 1916.
Perlawanan para bangsawan Pasir berakhir dengan tertangkapnya para
pemimpin pergerakan pada akhir tahun 1916. Bahkan, melalui Surat
Keputusan Gubernemen tertanggal 19 November 1917 No. 43, Partai Sarekat
Islam dibubarkan. Semua pengurusnya dinyatakan bersalah karena dituduh
menghasut rakyat Pasir untuk mengadakan perlawanan. Melalui Surat
Keputusan Gubernemen tertanggal 31 Juli 1918 No. 25, Pemerintah Hindia
Belanda menetapkan dan memutuskan:
Sultan Ibrahim Chaliluddin dihukum buang seumur hidup ke Teluk Betung,
Pengeran Menteri dihukum seumur hidup dan diasingkan ke Padang,
Pangeran Perwira dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banyumas,
Aji Nyesei bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banjarmasin,
Pangeran Singa dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Garut,
Andin Dek dan Andin Ngoko masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Aceh dan Sawah Lunto,
Andin Gedang, Sebaya, dan Wana masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Cilacap, Semarang, dan Blitar.
Para pemimpin pergerakan perlawanan terhadap Belanda ini hampir semuanya
meninggal dunia dalam pembuangan, kecuali Andin Dek dan Pangeran Jaya
Kesuma Ningrat yang selamat menjalani hukuman dan kembali lagi ke Pasir.
Setelah meletusnya perlawanan rakyat dan bangsawan, Belanda meningkatkan
penarikan pajak, pembatasan kesempatan memperoleh pendidikan (bahkan
tidak pernah didirikan sekolah di Pasir), dan pengawasan secara ketat
terhadap segala aktivitas rakyat. Berbagai tekanan yang dialami rakyat
Pasir ini membuat kesempatan untuk bangkit melawan Belanda praktis
tertutup sama sekali. Sesudah tahun 1917, rakyat Pasir tidak mampu
mengadakan perlawanan.
Silsilah Raja Raja Pasir
Berikut ini adalah nama raja/ sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Pasir.
Ratu Putri Petung / Putri Di Dalam Petung (Sri Sukma Dewi Aria Manau Deng Giti) (1516 – 1567)
Raja Adjie Mas Patih Indra (1567 – 1607)
Raja Adjie Mas Anom Indra (1607 – 1644)
Raja Adjie Anom Singa Maulana (1644 – 1667)
Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680)
Sultan Panembahan Adam I (Adjie Duwo) (1680 – 1705)
Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726)
La Madukelleng (Arung Matoa dari Wajo, Bugis, Makasar) (1726 – 1736)
Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766)
Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan) (1766 – 1786) *
Ratu Agung (1786 – 1788)
Sultan Dipati Anom Alamsyah (Adjie Dipati) (1788 – 1799)
Sultan Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji) (1799 – 1811)
Sultan Ibrahim Alamsyah (Adjie Sembilan) (1811 – 1815)*
Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843)
Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853)
Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875)
Pangeran Adjie Inggu (Putra Mahkota) putera Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1875 – 1876)
Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) putera Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1876 – 1896) *
Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898) **
Kevakuman pemerintahan kesultanan (diambil-alih Pemerintah Belanda) (1898 – 1899)
Pangeran Ratu Raja Besar (1899)
Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908)
Sistem Pemerintahan
Sejak berdirinya Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi Kesultanan Pasir,
wilayah Pasir telah menjadi taklukan Kesultanan Banjar. Konsekuensi dari
sebuah daerah taklukan adalah menjalankan semua kebijakan yang telah
diputuskan oleh daerah induk (Kesultanan Banjar). Dalam urusan dengan
pemerintahan, segala hal yang berkenaan dengan pengambilan kebijakan di
Kesultanan Pasir harus mendapatkan persetujuan (izin) dari Kesultanan
Banjar, termasuk di dalamnya dalam urusan pengangkatan sultan.
Selain tunduk dan patuh kepada Kesultanan Banjar, untuk urusan dalam
negeri, Sultan Pasir juga memiliki beberapa perangkat pemerintahan. Di
bawah kedudukan sultan, terdapat menteri yang bertugas untuk menjalankan
perintah sultan. Perintah ini kemudian diteruskan kepada para kepala
daerah yang disebut dengan gelar pangeran. Selain menjadi pemimpin
daerah, seorang pangeran juga bertugas untuk menginformasikan dan
menjalankan perintah dari menteri. Selain menjalankan perintah sultan,
menteri juga bisa bertugas sebagai duta negara yang menggantikan fungsi
sultan jika ada urusan ke luar daerah, misalnya ke Kesultanan Banjar
ataupun ke tempat Residen Banjarmasin pada masa pendudukan Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kalimantan secara umum dibagi ke
dalam dua karesidenan yang terdiri dari beberapa swapraja atau daerah
bekas kerajaan/kesultanan (gewest). Kedua karesidenan ini adalah
Keresidenan Westerafdeling van Borneo dengan ibukota Pontianak dan
Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota
Banjarmasin.
Ketika Belanda berkuasa atas Kesultanan Pasir sebagai kompensasi atas
bantuan Belanda terhadap Kesultanan Banjar, secara struktur
pemerintahan, wilayah Kesultanan Pasir dimasukan ke dalam de afdeeling
Pasir en de Tanah Boemboe Landen, yaitu sebuah afdeeling yang termasuk
ke dalam wilayah Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan
ibukota Banjarmasin. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri
dari daerah-daerah “leenplichtige landschappen”, yaitu: Pasir, Pegatan,
dan Koesan.
Atas dasar pengaturan tersebut, Sultan Pasir wajib memberikan laporan
tentang kondisi pemerintahan dan segala kebijakan yang diambil, bahkan
dalam urusan internal kesultanan kepada Residen Banjarmasin. Dalam hal
ini, kedudukan Sultan Pasir dianggap sebagai kepala gewest saja. Akan
tetapi jika berada di lingkungan kesultanan, kedudukan sultan merupakan
kedudukan tertinggi.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kesultanan Pasir sejak pemerintahan Putri Betung (1575 M) sampai
dengan dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908,
meliputi daerah yang sekarang ini disebut Kabupaten Pasir dan Penajam
Paser Utara. Luas wilayah Kesultanan Pasir mencakup sekitar 14.937 Km2
atau 1.579.366 Ha, yang terdiri dari luas daratan 1.391.200 Ha dan luas
perairan laut 188.166 Ha. Kesultanan Pasir berbatasan dengan beberapa
wilayah, yaitu:
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai
Kartanegara, dan Kota Balikpapan di Provinsi Kalimantan Timur yang pada
saat itu berada dalam wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura,
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan,
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan
Selatan, dan Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah,
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar.
Luas wilayah Kerajaan Pasir diperkirakan juga meliputi sebagian kecil
wilayah yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini, mengingat
berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari daerah Kuripan (Amuntai)
yang berada di wilayah Kalimantan Selatan. Akan tetapi pada perkembangan
selanjutnya wilayah Kesultanan Pasir sedikit berkurang karena wilayah
timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah (berdiri sendiri),
yaitu menjadi Kerajaan Tanah Bumbu.
Dari mulai berdirinya Kesultanan Pasir sampai masa berakhirnya
kesultanan ini, telah terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan,
yaitu:
Kuripan (sekarang Amuntai, Kalsimantan Selatan) adalah tempat asal-muasal Kerajaan Pasir,
Desa Lempesu atau dikenal dengan nama Sadurangas (27 KM dari Tanah
Grogot, Kalimantan Timur) merupakan pusat kerajaan untuk pertama
kalinya,
Gunung Sahari (1 Km sebelah selatan Museum Istana Sadurangas terletak di Kecamatan Pasir Balengkong, Kalimantan Timur),
Benuwo (Pasir Belengkong, Kalimantan Timur),
Tanah Grogot (Pasir, Kalimantan Timur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar