Kerajaan Segati didirikan oleh Tuk Jayo Sati, cucu dari Maharajo Olang
dari Kuantan. Lokasi kerajaan berada di hulu Sungai Segati, 15 km dari
Negeri Langgam sekarang, di tepi Sungai Kampar. Pada awalnya, pusat
kerajaan berada di Ranah Tanjung Bungo, Negeri Langgam sekarang.
Kemudian, oleh putranya yang bernama Tuk Jayo Tunggal, pusat kerajaan
dipindahkan ke Ranah Gunung Setawar, di hulu Sungai Segati.
Dalam perkembangannya, kemudian datang utusan dari Negeri Gunung Sahilan
ke Segati membawa lada hitam. Raja Segati, Tuk Jayo Tunggal membeli
lada tersebut dan menjualnya ke Kota Macang Pandak Kuantan. Sejak saat
itu, perdagangan lada antara Segati dengan Kuantan mulai ramai dan
berkembang. Perdagangan bertambah ramai, seiring dengan datangnya utusan
dari Gunung Hijau (diduga Pagaruyung) yang menawarkan timah. Tuk Jayo
Tunggal membeli timah ini dan memperdagangkannya di Bandar Sangar, Kuala
Kampar. Setelah Tuk Jayo Tunggal meninggal, putranya, Tuk Jayo Alam
naik tahta menggantikannya
Di masa Tuk Jayo Alam berkuasa, Kerajaan Segati yang berpusat di Negeri
Ranah Gunung Setawar mencapai kejayaannya. Dalam relasi perdagangan
antara Segati dengan Kuantan dan Sangar, berbagai komoditas
diperdagangkan, seperti rempah-rempah, terutama cabe.
Perkembangan pesat Kerajaan Segati ternyata telah menimbulkan perasaan
iri pada kerajaan tetangga, yaitu Gassib. Dengan dipimpin oleh
Hulubalang Panglima Puto, Raja Gassib kemudian menyerang Kerajaan Segati
dan dapat menguasai Negeri Ranah Gunung Setawar. Raja Segati, Datuk
Jayo Alam melarikan diri ke hulu Sungai Segati. Di sini, raja dan para
pengikutnya membangun negeri baru yang mereka sebut Negeri Segati.
Disebut demikian, karena perbekalan raja ketika itu tinggal sekati lada.
Oleh karena itu, negerinya dinamai negeri Segati. Dari Segati, raja
kembali menyusun kekuatan dan menyerang Gassib yang menguasai negerinya.
Dalam serangan tersebut, Datuk Jayo Alam berhasil merebut kembali Ranah
Gunung Setawar, sementara hulubalang Gassib melarikan diri ke negeri
asalnya. Walaupun Ranah Gunung Setawar telah dikuasainya kembali, namun,
Datuk Jayo Alam tetap memerintah dari Segati, sehingga pusat
kerajaannya tetap di sana.
Setelah Tuk Jayo Alam meninggal dunia, ia diganti oleh putranya, Tuk
Jayo Laut. Dinamakan demikian, karena ia sering berlayar ke laut. Pada
masa ini, perdagangan lada bertambah ramai. Tuk Jayo Laut digantikan
oleh putranya, Tuk Jayo Tinggi, kemudian digantikan oleh Tuk Jayo Gagah.
Tuk Jayo Gagah digantikan oleh Tuk Jayo Kolombai dan kemudian
digantikan oleh Tuk Jayo Bedil. Tuk Jayo Bedil adalah raja yang pertama
menggunakan bedil.
Pada masa Tuk Jayo Bedil, perdagangan dengan Malaka tak dapat lagi
dilakukan, karena Malaka telah dikalahkan oleh bajak laut Peringgi
(Portugis). Oleh karena itu, perdagangan hanya dilakukan dengan Kuantan
melalui Negeri Ranah Koto Macang Pandak.
Pada waktu itu, datanglah utusan dari Tuk Sangar Raja Dilaut meminta
bantuan untuk menyerang Peringgi di Malaka. Tuk Jayo Bedil menyetujui
permintaan itu dan mengirimkan angkatan perangnya, dipimpin oleh
Panglima Kuntu. Bersama Tuk Sangar Raja Dilaut, Panglima Kuntu menyerang
Peringgi di Laut Simpang Empat, di Pulau Siapung Atas (Serapung). Saat
itu, kedua panglima ini sangat terkenal dengan angkatan lautnya yang
tangguh, yang menguasai Kuala Kampar. Setelah Tuk Sangar Raja Dilaut
tua, beliau digantikan oleh putranya, Tuk Sangar Raja Dilaut Muda.
Berkaitan dengan Panglima Kuntu, ia ditarik kembali ke Segati, dan
pasukan dipimpin oleh Orang Besar Segati yang berasal dari Gunung Hijau
bersama dengan Sultan Peminggih. Di bawah pimpinan kedua hulubalang muda
ini, banyak kapal Peringgi dikaramkan.
Bertahun-tahun kemudian, datanglah utusan dari Aceh. Karena penduduk
Segati masih memeluk agama Hindu-Budha, maka Aceh menuntut agar Segati
memeluk agama Islam. Tuntutan Aceh ini ditolak oleh Tuk Jayo Bedil.
Dalam perkembangannya, Aceh terus melakukan ekspedisi untuk menaklukkan
daerah pesisir timur Sumatra. Karena Segati adalah salah satu negeri
yang memperdagangkan lada, Aceh menganggap perlu untuk menaklukkan
Segati. Dengan alasan penyebaran agama Islam, Aceh kemudian menyerang
dan menghancurkan Segati hingga rata dengan tanah. Dalam proses
serangan tersebut, ekspedisi Aceh menggunakan jalur sungai, dengan
berperahu ke arah hulu Sungai Kampar. Ketika itu, pasukan Aceh melewati
daerah kekuasaan Tuk Raja Sangar Dilaut di Sungai Kampar, namun, Tuk
Sangar tidak menghalangi Aceh, sebab dianggap teman sejawat dalam
memerangi Portugis. Selanjutnya, dengan leluasa, Aceh terus berlayar ke
arah hulu Sungai Kampar dan langsung dapat menyerang Segati.
Tentu saja Segati bukan tandingan Aceh yang memiliki pasukan terlatih
itu. Setelah bertempur selama beberapa hari, Segati dapat ditaklukkan
dan diratakan dengan tanah. Pasukan Aceh selanjutnya melanjutkan
serangan ke arah Siak di mana berdiri Kerajaan Gasib. Sebagaimana
Segati, Gassib dapat ditaklukkan oleh pasukan Aceh.
Setelah Segati kalah, Tuk Jayo melarikan diri ke daerah Petalangan
Napuh, kemudian terus ke Kuantan. Bekas-bekas penaklukan Aceh saat ini
masih dapat kita jumpai dengan adanya tempat-tempat yang bernama Rencong
Aceh, Pangkalan Aceh, dan Lubuk Aceh. Pada tahun-tahun berikutnya, di
Segati didirikan negeri baru dengan nama Tambak, tak lama kemudian,
lokasinya dipindahkan ke muara sungai dengan nama baru: Langgam.
Silsilah
Berikut ini silsilah raja yang pernah berkuasa di Segati, yaitu:
Tuk Jayo Sati
Tuk Jayo Tunggal
Tuk Jayo Alam
Tuk Jayo Laut
Tuk Jayo Tinggi
Tuk Jayo Gagah
Tuk Jayo Kolombai
Tuk Jayo Bedil
Periode Pemerintahan
Sepanjang sejarah Kerajaan Segati, sekurangnya telah berkuasa delapan
orang raja. Namun, belum diketahui secara detail periode masing-masing
raja tersebut. Kerajaan Segati ini sezaman dengan Kerajaan Aceh dan
Malaka. Maka, bisa diperkirakan bahwa, kerajaan ini berdiri sekitar abad
ke-15 hingga ke-16 M.
Wilayah Kekuasaan
Segati hanyalah sebuah kerajaan kecil, dengan luas wilayah diperkirakan
hanya mencakup beberapa desa yang ada di hulu Sungai Segati. Jika
dibandingkan secara geografis, mungkin luas wilayahnya setara dengan
luas kecamatan saat ini. Saat itu, Kerajaan Segati menguasai bagian hulu
Sungai Segati, sekitar daerah Langgam sekarang.
Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Segati menganut agama Budha, namun, tidak ada penjelasan
bagaimana sikap relijiusitas masyarakat Segati saat itu. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bergantung dari sektor pertanian.
Ketika kerajaan masih dalam keadaan jaya, masyarakat banyak juga yang
aktif di sektor perdagangan.
Bagaimana dengan tradisi tulis baca, ritual keagamaan maupun sisi sosial
budaya lainnya? karena minimnya data sejarah, terutama peninggalan
tertulis, maka agak sulit untuk menggambarkan secara detil mengenai
kehidupan sosial budaya saat itu.
Kejatuhan Kerajaan Segati
Pada masa pemerintahan Tuk Jayo Bedil, perdagangan dengan Malaka tidak
dilakukan lagi. Hal ini disebabkan telah kalahnya Malaka atas bajak
laut Peringgi (Portugis). Oleh karena itu, Kerajaan Segati hanya
melakukan perdagangan dengan Kuantan melalui Negeri Ranah Koto Macang
Pandak. Pada waktu itu, datang seorang utusan Tuk Sanggar Raja Dilaut
yang meminta bantuan Kerajaan Segati untuk menyerang Peringgi di Malaka.
Tuk Jayo Bedil menyetujui permintaan tersebut dan mengirimkan angkatan
perangnya yang dipimpin oleh Panglima Kuntu. Dengan gabungan kekuatan
dua kerajaan ini, terkenallah mereka dengan angkatan lautnya yang
tangguh, yang menguasai Kuala Kampar.
Setelah tua, Tuk Sanggar Raja Dilaut digantikan oleh Tuk Sanggar Dilaut
Muda dan Panglima Kuntu dipanggil kembali ke Segati. Pemimpin pasukan
digantikan oleh orang Besar Segati, yang berasal dari Gunung Hijau
(Pagaruyung) yang bernama Sutan Peringgih. Di bawah pimpinan kedua
hulubalang (Panglima Kuntu dan Sutan Peringgih), banyak kapal Peringgi
dikaramkan. Beberapa tahun kemudian, datanglah utusan dari Aceh. Utusan
Aceh tersebut menuntut agar Segati memeluk agama Islam. Karena Segati
sebagai salah satu negeri yang memperdagangkan lada, maka, Aceh merasa
perlu menaklukan negeri Segati. Saat itu, penduduk Segati memeluk agama
Hindu atau Budha. Namun, tuntutan tersebut ditolak oleh Tuk Jayo Bedil.
Setelah bertempur selama beberapa hari, Kerajaan Segati dapat ditaklukan
dan diratakan dengan tanah oleh Kerajaan Aceh. Setelah Segati kalah,
Tuk Jayo Bedil melarikan diri ke daerah Petalangan Napuh, kemudian ke
Kuantan. Bekas-bekas serangan Aceh masih dapat dijumpai dengan adanya
tempat-tempat yang bernama Rencong Aceh, Pangkalan Aceh, dan Lubuk Aceh
di Riau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar