Kerajaan Berau adalah sebuah kerajaan yang muncul pada era sebelum Islam
masuk ke wilayah Kalimantan Timur atau yang dulu masih termasuk dalam
wilayah Kalimantan bagian utara. Pendirian kerajaan yang diperkirakan
sudah ada sejak abad ke-15 Masehi ini dipelopori oleh orang-orang Melayu
yang datang dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatra
Selatan. Akibat konflik internal, Kerajaan Berau akhirnya mengalami
keruntuhan. Wilayah kekuasaan Kerajaan Berau pun terbagi menjadi dua
kerajaan baru, yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.
Daerah yang dulu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Berau sekarang
menjadi wilayah administratif Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan
Timur.
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Berau bukan berasal dari pecahan kerajaan lain
ataupun bekas taklukan dari kerajaan yang lebih besar. Terbentuknya
Kerajaan Berau justru muncul dari kesadaran masyarakatnya sendiri yang
berkeinginan untuk membentuk suatu pemerintahan yang bersatu. Penduduk
yang mendiami wilayah Berau ini terdiri dari beberapa kelompok atau
komunitas masyarakat yang menghuni di sekitar aliran sungai besar.
Sungai inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sungai Berau. Pesisir
sungai ini dihuni oleh orang-orang Suku Berau (Melayu Berau) atau yang
sering juga disebut sebagai komunitas adat Berau Banua. Pada akhirnya
nanti, hampir seluruh wilayah kelompok adat Berau Banua di wilayah ini
sepakat untuk bersatu di bawah pimpinan seorang Raja.
Asal-usul Pendiri Kerajaan Berau
Menurut data yang dihimpun oleh Joshua Project, sebuah lembaga
penelitian yang melakukan riset tentang berbagai suku bangsa di seluruh
dunia, masyarakat yang menjalani kehidupan di wilayah Berau tersebut
termasuk dalam suku bangsa Melayu. Kini, populasi Suku Berau kira-kira
berjumlah 12.000 orang. Mayoritas orang Suku Berau memeluk agama Islam
dan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.
Asal-usul Suku Berau yang diyakini masih tergolong dalam rumpun suku
bangsa Melayu termaktub juga dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh
seorang periset asal negeri Belanda, J.S. Krom. Di dalam catatannya yang
bertajuk Memorie Overgave en Overname tertanggal 31 Juli 1940, Krom
yang menyebut Suku Berau dengan nama Barrau, menulis bahwa penduduk asli
Berau pada zaman dahulu disebut sebagai orang Banuwa (Banua). Krom
meyakini, mereka adalah keturunan bangsa Melayu yang membentuk koloni
atau permukiman di berbagai tempat di Kalimantan, salah satunya di tepi
Sungai Berau.
Riset yang dilakukan untuk memastikan asal-usul Suku Berau diterapkan
dengan metode penelusuran golongan darah. Hasil dari penelitian ini
menghasilkan kesimpulan bahwa urang Barrau (orang Berau) berasal dari
ras Deutro Malay Sumatra atau ras Melayu Muda Sumatra. Bahasa lisan yang
digunakan dalam keseharian Suku Berau pada umumnya terdapat banyak
persamaan dengan bahasa Melayu, kendati ada sedikit pengaruh dari
bahasa-bahasa lainnya. Selain itu, meskipun pada akhirnya terjadi
percampuran darah dengan orang-orang Suku Bugis, Solok, Dayak Basap, dan
lain-lainnya, namun orang Berau tetap mempertahankan identitasnya
sebagai keturunan asli Melayu.
Terkait dengan asal wilayah orang-orang Suku Berau yang kelak mendirikan
Kerajaan Berau, mereka diperkirakan datang dari Kerajaan Sriwjaya yang
pernah sangat jaya sejak abad ke-7 M. Saat itu, Sriwijaya yang berpusat
di Palembang, Sumatra Selatan, adalah imperium yang besar hingga abad
ke-13 M. Penduduknya menyebar ke berbagai tempat untuk berdagang. Kuat
dugaan bahwa orang-orang Melayu dari Sriwijaya membangun permukiman baru
di sejumlah tempat di pesisir Kalimantan, termasuk Sukadana, Sambas,
Berunai, dan Berau. Di tempat-tempat baru ini, mereka berbaur dengan
orang-orang Melayu Kalimantan.
Orang-orang Suku Berau adalah kaum perintis yang memulai peradaban di
Berau. Sebelum kedatangan mereka, orang-orang yang menempati wilayah
Berau belum dapat dipastikan keberadaannya. Berdirinya Kerajaan Berau
juga berasal dari gagasan para perantau yang datang dari Sumatra
tersebut. Maka dari itu, awal lahirnya kebudayaan Berau dihitung dari
kelahiran Kerajaan Berau yang didirikan oleh orang-orang Melayu dari
Sriwijaya.
Sebelum terbentuk menjadi kesatuan kerajaan, Berau pernah termasuk ke
dalam wilayah Ekspedisi Pamalayu yang digalang oleh Kerajaan Majapahit
di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada. Sejarawan Belanda, J.
Eisenberger (1936), menulis bahwa pada pertengahan abad ke-14, tepatnya
pada tahun 1365 M, kerajaan-kerajaan di Kalimantan yang bersatu dengan
Majapahit antara lainKerajaan Kota Waringin, Sampit Kapuas, Tanjung
Pura-Sukadana, Muara Barito, Tabalong, Sebulu, Pulau Laut, Pasir, Kutai,
dan Berau.
Dalam kasus pendudukan Berau, sebenarnya bukan Kerajaan Majapahit
langsung yang menjadi eksekutornya, melainkan Kerajaan Negara Dipa yang
merupakan cikal-bakal Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan. Kerajaan
Negara Dipa memang mempunyai hubungan yang cukup erat dengan Kerajaan
Majapahit karena Pangeran Suryanata, pemimpin Kerajaan Negara Dipa,
adalah pangeran dari Majapahit. Tata cara kehidupan yang diberlakukan di
Kerajaan Negara Dipa pun mirip dengan apa yang diterapkan di Kerajaan
Majapahit.
Pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata itulah Kerajaan Negara Dipa
berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan menaklukkan beberapa negeri
lain, termasuk wilayah Berau. Wafatnya Raja Majapahit, Hayam Wuruk,
pada tahun 1389 M membuat Kerajaan Majapahit mengalami masa kemunduran
akibat konflik perebutan tahta. Kondisi internal Majapahit yang sedang
bergolak tersebut membuat proyek Ekspedisi Pamalayu menjadi berantakan,
termasuk dengan kondisi yang terjadi di Kerajaan Negara Dipa.
Kumpulan komunitas masyarakat yang ada di Berau pun akhirnya melepaskan
diri dari kekuasaan Majapahit. Di penghujung abad ke-14 itu, mereka
berupaya untuk menggagas penggabungan wilayah demi membentuk satu
pemerintahan besar yang berdaulat dan independen. Momen inilah yang
menjadi awal berdirinya Kerajaan Berau.
Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Berau
Penulisan historiografi tentang sejarah Kerajaan Berau pernah dilakukan
oleh J. S. Krom pada kurun tahun 1939-1940. Dalam melakukan penelitian,
periset sejarah asal Belanda ini dibantu oleh orang-orang yang masih
memiliki ikatan kekerabatan dengan keluarga besar Kerajaan Berau, antara
lain Sultan Sambaliung Muhammad Aminuddin, Sultan Gunung Tabur Achmad
Maulana, dengan tim peneliti yang terdiri dari Klerk Lauw dan
orang-orang lokal Berau termasuk Aji Berni Massuarno, Datu Ulang, Aji
Raden Ayub, Abdulwahab, Alluh Bachrun, Adam, dan Chairul Arif.
Penelitian riwayat Kerajaan Berau yang diperoleh dari penelusuran
data-data otentik dua pemerintahan pecahan Kerajaan Berau, yakni
Kesultanan Sambaliung danKesultanan Gunung Tabur, serta naskah-naskah
tradisional lainnya, menghasilkan rumusan tabir sejarah tentang Kerajaan
Berau. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Kerajaan Berau
didirikan oleh orang-orang Suku Berau yang pada awalnya terbagi atas
beberapa komunitas atau kelompok masyarakat yang kemudian menyatukan
diri.
Hasil penelitian yang dilakukan tim riset Krom menyebutkan bahwa adapun
asal mula Kerajaan Berau itu pada awalnya terdiri dari lima banuwa atau
nagri (banua atau nagari) dan dua kampung. Banua dan kampung adalah
tingkatan wilayah administratif yang berlaku pada zaman itu. Banua yang
pertama adalah Nagri Marancang yang dipimpin oleh Rangga Si Kannik
Saludai dan dibantu oleh para punggawa bernama Harimau Jantan, Lambu
Tunggal, dan Kuda Sambarani. Kedua adalah Nagri Kuran dengan pemimpinnya
yang bernama Tumanggung Macan Nagara.
Banua yang ketiga adalah Nagri Bulalung di bawah kepemimpinan Angka Yuda
yang mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kuripan. Yang keempat
adalah Nagri Sawakung yang berada di tepi Sungai Kelay (anak Sungai
Berau). Pemimpinnya adalah Si Patungut gelar Kahar Janggi dan wakilnya
Si Balamman gelar Kahar Pahlawan.
Selanjutnya, yang kelima, adalah Nagri Pantai di bawah komando Rangga
Batara yang mempunyai seorang anak perempuan yang terkenal cerdik
bernama Si Kannik Barrau Sanipah. Dalam menjalankan pemerintahannya,
Rangga Batara dibantu oleh sejumlah punggawa, antara lain Rantai
Tumiang, Unjit-Unjit Raja, Panas Karamian, dan Ujan Bawari.
Sedangkan dua kampung yang turut menggagas berdirinya Kerajaan Berau
adalah Kampung Bunyut dan Kampung Lati. Kampung Bunyut terletak di
Tanjung Batu, dengan pemimpinnya yang bernama Jaya Pati dan mempunyai
seorang anak angkat bernama Dayang Bunyut Anak Raja Mangindanao.
Terakhir adalah Kampung Lati yang berlokasi di cabang kiri Sungai Ulak
(anak Sungai Berau) dan dipimpin oleh Nini Barituk.
Kerajaan Berau diyakini berdiri tepat pada awal abad ke-15, yakni pada
tahun 1400 M. Atas kesepakatan dari ketujuh wilayah, maka yang ditunjuk
sebagai raja pertama Berau adalah Baddit Dippatung yang bergelar Aji
Raden Soerja Nata Kasoema dan permaisurinya yang bernama Baddit Kurindan
dengan gelar Aji Poetari Paramaisoeri. Masa pemerintahan Kerajaan Berau
yang pertama ini dimulai pada tahun 1400 dan berakhir pada 1432 M serta
menempati pusat pemerintahan di Sungai Lati.
Baddit Dippatung dan Baddit Kurindan adalah anak angkat dari Nini
Barituk, pemimpin Kampung Lati. Pemilihan pasangan ini sebagai pemimpin
Kerajaan Berau yang baru saja terbentuk bukannya tanpa alasan. Asal-usul
kelahiran Baddit Dippatung dan Baddit Kurindan yang konon terjadi
secara ajaib dipercaya oleh ketujuh pemimpin banua/kampung sebagai
petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Sosok Aji Raden Soerja Nata Kasoema dan
Aji Poetari Paramaisoeri dikenal sangat berpengaruh dan berwibawa
sehingga mereka berdua menjadi pemimpin yang sangat disegani.
Kondisi perpolitikan dan pemerintahan Kerajaan Berau berlangsung dengan
aman dan tenteram selama berpuluh-puluh tahun sejak berdiri pada 1400 M.
Perlahan tapi pasti, Kerajaan Berau mulai menapak masa-masa
kebesarannya. Wilayah yang dikuasainya pun semakin luas dengan
keberhasilan menaklukkan beberapa kerajaan lain, di antaranya termasuk
Kerajaan Bulungan, Tidung, Sabah, Alas, dan Tungku.
Perjalanan sejarah Kerajaan Berau juga mengalami periodesasi Islam.
Ajaran agama Islam mulai masuk dan berkembang di lingkungan Kerajaan
Berau diperkirakan terjadi pada era pemerintahan raja ke-6, yakni Aji
Temanggung Barani (1557-1589). Di masa ini, penerapan beberapa hukum
kerajaan dengan berdasarkan pada syariat Islam sudah mulai diterapkan.
Meskipun demikian, agama Islam belum menjadi agama wajib bagi seluruh
warga Kerajaan Berau. Ajaran agama Hindu dan Buddha, yang merupakan
bawaan dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, masih sangat kuat
dan menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Kerajaan
Berau.
Islam mulai mendapat tempat utama dalam keyakinan yang dipeluk Kerajaan
Berau pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767).
Gelar raja yang semula “Aji” dengan corak Hindu berganti menjadi
“Sultan” yang bernuansa Timur Tengah menegaskan bahwa sejak saat itu
Islam sudah menjadi agama resmi kerajaan. Syariat Islam semakin mantap
menjadi bagian dari hukum pemerintahan ketika Kerajaan Berau dipimpin
oleh Sultan Zainal Abidin (1779-1800) yang semasa hidupnya sangat
dihormati oleh segenap rakyat Kerajaan Berau.
Sementara itu, seperti halnya daerah-daerah lainnya di hampir seluruh
Nusantara, penjajah Belanda pun sampai ke wilayah kekuasaan Kerajaan
Berau. Pada tahun 1671, pihak Belanda mengirimkan utusannya yang bernama
Paulus de Beck dan Chialloup de Noorman mengunjungi wilayah Kutai dan
Berau untuk berusaha mengadakan hubungan dagang. Namun, di Berau usaha
tersebut tidak berhasil pemimpin Kerajaan Berau tidak pernah mau
menerima utusan Belanda tersebut. Pihak asing baru berhasil masuk ke
Berau pada sekitar tahun 1833 di mana waktu itu Kerajaan Berau sudah
terpisah menjadi dua pemerintahan yang berdiri sendiri-sendiri.
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu PrapaƱca tahun
1365 tidak menyebutkan nama Berau sebagai salah satu negeri yang telah
ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada, kemungkinan Berau masih
memakai nama kuno yang lainnya yaitu Sawaku/Sawakung (sebuah negeri lama
di Kabupaten Berau). Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada
tahun 1663, menyebutkan hubungan Berau dengan Banjar pada masa Maharaja
Suryanata, penguasa Banjar kuno abad ke-14 (waktu itu disebut Negara
Dipa). Menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata,
pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (sebutan Banjar
kuno pada masa Hindu), orang besar (penguasa) Berau sudah menjadi
taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut
raja seperti sebutan Raja Sambas dan Raja Sukadana.
Berau dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di
atas angin (= kerajaan di sebelah timur atau utara) yang telah membayar
upeti. Hubungan Berau dengan Kesultanan Banjar di masa Sultan
Suryanullah/Sultan Suriansyah/Pangeran Samudera (1520-1546) disebutkan
dalam Hikayat Banjar, waktu itu Berau salah satu negeri yang turut
mengirim pasukan membantu Pangeran Samudera/Sultan Suriansyah dan juga
salah satu negeri yang mengirim upeti. Menurut Hikayat Banjar, pada
pertengahan abad ke-17 Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir
termasuk daerah ring terluar seperti Kutai, Berau dan Karasikan sebagai
tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum
Panembahan pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan
perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang
Sultan Mahmud yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan
Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654. Maka sejak itu Berau tidak lagi
mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar.
Perpecahan Kerajaan Berau
Bibit perpecahan di dalam lingkungan Kerajaan Berau sebenarnya sudah
mulai muncul setelah masa pemerintahan penguasa Kerajaan Berau yang
ke-9, Aji Dilayas (1644-1673), atau jauh sebelum periode pemerintahan
Sultan Muhammad Hasanuddin ataupun Sultan Zainal Abidin. Almarhum Aji
Dilayas yang wafat pada tahun 1673 M mempunyai lebih dari satu istri
sehingga muncul dua orang pangeran yang menjadi kandidat kuat pewaris
tahta Kerajaan Berau selanjutnya, yakni Pangeran Tua dan Pangeran
Dipati.
Pada saat penentuan penerus tahta inilah seringkali terjadi perbedaan
pendapat yang tidak jarang memercikkan insiden di kalangan internal
keluarga besar Kerajaan Berau. Sebelum konflik sempat membesar, diadakan
forum musyawarah untuk menemukan solusi atas perbedaan pendapat tentang
penerus tahta kerajaan. Penyelesaian masalah ini dilakukan secara
internal oleh pihak kerajaan, tanpa adanya campur tangan dari pihak
manapun, termasuk pihak asing.
Sesuai dengan perundingan yang dilakukan oleh para sesepuh dan dewan
kerajaan, maka kemudian disepakati bahwa sejak saat itu pemerintahan
Kerajaan Berau dipimpin secara bergiliran oleh Pangeran Tua dan Pangeran
Dipati. Sebagai putera sulung, Aji Pangeran Tua (1673-1700) memperoleh
kesempatan pertama untuk melanjutkan tahta Kerajaan Berau. Memasuki abad
ke-18, giliran Aji Pangeran Dipati (1700-1731) yang berhak menjadi
raja, dan begitu seterusnya.
Menjelang abad ke-19 M, bibit perpecahan mulai menguat. Pemimpin
Kerajaan Berau yang berkuasa saat itu, yakni Sultan Zainal Abidin
(1779-1800) yang merupakan keturunan dari Aji Pangeran Dipati, menderita
penyakit cacar yang cukup parah. Dampak dari penyakit itu membuat
kondisi Sultan Zainal Abidin menjadi cacat, yakni sang sultan tidak bisa
lagi berbicara dengan lancar sehingga perkataannya tidak dapat dipahami
oleh orang lain.
Situasi ini memunculkan wacana bahwa Sultan Zainal Abidin dianggap sudah
tidak layak lagi memimpin kerajaan dan harus segera diganti. Pada saat
inilah terjadi kericuhan mengenai siapa yang berhak menggantikan Sultan
Zainal Abidin, apakah dari pihak keluarga Aji Pangeran Tua atau
keturunan Aji Pangeran Dipati.
Adik dari Sultan Zainal Abidin yang bernama Gazi Mahyudin bersikukuh
untuk menggantikan kakaknya. Di pihak lain, keturunan dari Aji Pangeran
Tua yakni Raja Alam, juga merasa berhak memimpin Kerajaan Berau.
Perselisihan ini membuat suasana menjadi semakin tegang dan
mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat yang melibatkan
gesekan antara pendukung kedua kubu. Jalan musyawarah pun tidak bisa
lagi ditempuh karena setiap diadakan sidang untuk membicarakan masalah
ini, pasti terjadi perdebatan yang tidak kunjung usai.
Sementara itu, konflik internal yang sedang melanda Kerajaan Berau
rupanya dimanfaatkan dengan jeli oleh beberapa daerah taklukannya untuk
mencoba lepas dari pendudukan Kerajaan Berau. Pada tahun 1800 M,
Bulungan dan Tidung berhasil memisahkan diri dari Kerajaan Berau dan
membentuk pemerintahan sendiri.
Pertikaian saudara yang terjadi di lingkungan keluarga besar Kerajaan
Berau pada akhirnya memang tidak mampu diselesaikan. Setelah melalui
proses sidang yang berbelit-belit dan berlangsung panas, maka diputuskan
bahwa Kerajaan Berau akan dibagi menjadi dua, masing-masing untuk kubu
yang merasa berhak memimpin kerajaan. Pihak keluarga Aji Pangeran Dipati
memperoleh wilayah di sebelah utara Sungai Berau, serta wilayah kiri
dan kanan Sungai Segah. Kubu keturunan Aji Pangeran Dipati ini kemudian
mendirikan Kesultanan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Gazi
Mahyudin.
Sedangkan kelompok keturunan Aji Pangeran Tua mendapat wilayah di
sebelah selatan Sungai Berau, serta wilayah kiri dan kanan Sungai Kelay.
Dipimpin oleh Raja Alam yang bergelar Sultan Alimuddin, kubu ini
mendirikan Kesultanan Sambaliung. Raja Alam terkenal sebagai pemimpin
yang gigih menentang Belanda dan diasingkan ke Makassar, Sulawesi
Selatan, karena perlawannya itu. Raja Alam sendiri diperkirakan masih
mempunyai darah keturunan Bugis Wajo.
Demikianlah, sejak tahun 1800 M itu, riwayat panjang Kerajaan Berau
berakhir dan peradaban rakyat Berau digantikan oleh dua pemerintahan
baru yang sesungguhnya masih bersaudara. Sebenarnya hubungan yang
terjalin antara dua kerajaan sedarah ini berjalan cukup harmonis meski
sesekali terjadi perselisihan yang disebabkan oleh pengaruh yang
diterapkan Belanda dengan politik adu dombanya.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1761)
dibuat perjanjian antara Sultan Sepuh/Tamjidullah I (1734-1759) dari
Banjar dengan Kompeni Belanda ditandatangani pada 20 Oktober 1756. Dalam
perjanjian tersebut Kompeni Belanda akan membantu Sultan Tamjidullah I
untuk menaklukkan kembali daerah Kesultanan Banjar yang telah memisahkan
diri termasuk di antaranya Berau, negeri-negeri tersebut yaitu Berau,
Kutai, Pasir, Sanggau, Sintang dan Lawai serta daerah taklukannya
masing-masing. Kalau berhasil maka Seri Sultan akan mengangkat
Penghulu-Penghulu di daerah tersebut dan selanjutnya Seri Sultan
memerintahkan kepada Penghulu-Penghulu tersebut untuk menyerahkan hasil
dari daerah tersebut setiap tahun kepada Kompeni Belanda dengan
perincian sebagai berikut :
Berau, 20 pikul sarang burung dan 20 pikul lilin.
Kutai, 20 pikul sarang burung dan 40 pikul lilin.
Pasir, 40 tahil emas halus dan 20 pikul sarang burung, serta 20 pikul lilin
Sanggau, 40 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
Sintang, 60 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
Lawai, 200 tahil emas halus, dan 20 pikul sarang burung
Sultan Adam
Pada masa Sultan Adam dari Banjar dibuat perjanjian dengan Belanda yang
di antara pasalnya menyerahkan vazal-vazal Banjar termasuk negeri Berau
dan daerah-daerah lain di Kalimantan kepada Hindia Belanda. Perjanjian
itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di
Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Perjanjian
inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan
Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian
tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah
Hindia Belanda dan menjadi sebuahLeenstaat, atau negeri pinjaman.
Silsilah Raja Berau
Berikut ini adalah daftar raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Berau sejak awal berdirinya hingga masa keruntuhannya:
Aji Raden Soerja Nata Kasoema dan Aji Poetari Paramaisoeri (1400-1432).
Aji Nikullam (1432-1461).
Aji Nikutak (1461-1492).
Aji Nigindang (1492-1530).
Aji Panjang Ruma (1530-1557).
Aji Temanggung Barani (1557-1589).
Aji Surya Raja (1589-1623).
Aji Surga Balindung (1623-1644).
Aji Dilayas (1644-1673).
Aji Pangeran Tua (1673-1700).
Aji Pangeran Dipati (1700-1731).
Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767).
Sultan Amiril Mukminin (1767-1779).
Sultan Muhammad Zaenal Abidin (1779-1800)
Sistem Pemerintahan Berau
Sebelum bergabung menjadi Kerajaan Berau, di wilayah sekitar Sungai
Berau sudah terdapat beberapa pemerintahan kecil yang disebut banua atau
kampung. Masing-masing dari pemerintahan kecil di Berau sebenarnya
sudah memiliki kelengkapan untuk menjadi sebuah negara atau kerajaan.
Mereka mempunyai pemimpin, rakyat, wilayah kekuasaan, dan pengakuan dari
luar wilayah mereka. Setiap banua dipimpin oleh seorang kepala adat
atau kepala suku sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin adat
dan pemimpin agama.
Setelah negeri-negeri kecil tersebut berhimpun dan menjadi satu dalam
kesatuan Kerajaan Berau, maka dibentuklah semacam dewan kerajaan yang
anggotanya terdiri atas wakil dari masing-masing pemerintahan kecil yang
menggabungkan diri untuk membentuk Kerajaan Berau tersebut. Dewan
kerajaan ini mempunyai wewenang dalam mempengaruhi beberapa kebijakan
kerajaan, terutama ketika suksesi pemilihan raja, keputusan untuk
berperang, dan lain sebagainya. Meski demikian, raja yang telah terpilih
setelah melalui sidang dewan kerajaan tetap sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi.
Wilayah Kekuasaan
Kerajaan Berau terbentuk berkat bergabungnya tujuh daerah pemerintahan
yang semula berdiri sendiri-sendiri menjadi satu kesatuan wilayah, yakni
antara lain Nagri Marancang, Nagri Kuran, Nagri Bulalung, Nagri
Sawakung, Nagri Pantai, Kampung Bunyut, dan Kampung Lati. Oleh karena
itu, wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh Kerajaan Berau pada masa
awalnya juga merupakan gabungan dari keseluruhan wilayah yang dimiliki
oleh masing-masing negeri yang kemudian bersatu tersebut.
Adapun nama-nama tempat yang akhirnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan
Berau antara lain Sungai Lati, Kuran, Muara Baru, Bulalung Karantigau,
Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata
Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam,
dan Kinabatangan. Berikutnya adalah daerah Passut, Bandang, Maras, Ulu
Kelay, Buyung-buyung, Semurut, Tabalar, Karang Bassar, Balikkukup,
Mataha, Kaniiungan, Talisatan, Dumaring, Batu Putih, Tallauk Sumbang,
dan Maubar.
Selain itu, masih ada juga Pulau Bira-Biraan Batu Baukir (terletak di
Tanjung Mangkalihat) dan Gunung Bariun, serta daerah Rantau Petung,
Parisau, Sata, Samburakat, Birang, Malinau, dan Si Agung. Pada
perkembangannya kemudian, seperti yang ditulis oleh Mohammad Yamin dalam
bukunya yang berjudul Tanah Air (1922), wilayah yang dikuasai oleh
Kerajaan Berau semakin bertambah luas karena berhasil menaklukkan
beberapa kerajaan, antara lain yaitu Kerajaan Bulungan,Kerajaan Tidung,
dan Kerajaan Sabah.
Rumusan Mohammad Yamin di atas didukung oleh sejarawan dari Belanda H.
J. Grizen dengan mengatakan, “Pada zaman dahulu, beberapa kepala
pemerintahan di daerah Kalimantan Utara berasal dari Berau sebelum Berau
terpecah menjadi dua kerajaan. Bulungan dan Tidung termasuk
wilayahnya.” Bahkan, Grizen juga menambahkan bahwa wilayah Kerajaan Alas
dan Kerajaan Tungku yang kemudian menjadi daerah pendudukan Inggris
pernah menjadi daerah taklukan Kerajaan Berau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar