Kesultanan Kotawaringin merupakan satu-satunya kesultanan yang tercatat
pernah berdiri di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Kesultanan ini
mempunyai hubungan yang erat dengan Kesultanan Banjar di Kalimantan
Selatan karena pendiri dari Kesultanan Kotawaringin merupakan keturunan
dari Sultan Banjar ke-4, Sultan Musta’in Billah. Kesultanan yang sempat
dihapuskan sebagai suatu wilayah yang independen pada pasca kemrdekaan
ini kini dibangkitkan kembali. Pada tanggal 16 Mei 2010, bertempat di
Istana Kuning, zuriat Kesultanan Kotawaringin mengangkat Pangeran Ratu
Alidin Sukma Alamsyah sebagai sultan ke-15 Kesultanan Kotawaringin.
Sejarah
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang
Kesultanan Banjar) dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi
Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengahyang menurut catatan
istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun
1615 atau 1530.dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan
Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap pertama kalinya Kotawaringin
diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin
(Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663
dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa
Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakankeadipatian
yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda
dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu
negaradependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan
Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam
bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian
Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit.
Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka
merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung
(Minangkabau).
Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung
menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan
Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar.
Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran
(Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa
Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran
Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuahkadipaten,
yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala
pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh
Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati
Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua
desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga
sungai Jelai.
Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar
(Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten
Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu
bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur
Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta
daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala
suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeriMatan dan Lawai atau
Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran
sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan
Kotawaringin.[12] Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah
kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan
Sukadana.
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota
Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara
(Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura,
wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan
ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok
(Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut
Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi
taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663,
sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak
JanggalaRajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang
menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang
besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya
disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa
negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat
Banjar disebutkan sebagai salah satutanah yang di bawah angin (negeri di
sebelah barat) yang telah ditaklukan.
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai
penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah
mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang
dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyangsuku Dayak yang
tinggal di hulu-hulusungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin
debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursiemas.
Selepas itu dua orang menteri dariBanjarmasin bernama Majan Laut
danTongara Mandi telah datang dari Tabanio(Laut Darat/Tanah Laut) ke
Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula
membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat
perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke
Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai
ke daerah kuala Kotawaringin dimana dia sebagai pendiri Kotawaringin
Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia kemudian meninggalkan tempat ini
karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru,
lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah
kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum
Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat
adipati Kotawaring bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga
sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin
Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati
Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri
Sakai/Kepala DaerahKahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah
telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul
(adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk
dan Andin Hayu.
Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang
dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede
membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih
suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka
mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu
dekat Pandau.
Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke
anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah
menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka
melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar
menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang
tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin
tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang
besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan
membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka
menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk
cantau (senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak
yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di
sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh
karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan
kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada
suku-suku Dayak dan tetap tergantung padaKesultanan Banjarmasin (Marhum
Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede,
tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum
Panembahan (Sultan Banjar IV).
Kedatangannya disertaiPutri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam
di Kahayan,Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh
dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma
sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi
dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu
tempat tersebut dinamakan Pembuangartinya tempat yang terbuang atau
tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai
Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampungPandau dan membuat
perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat
setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan
Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar
yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang
Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua
disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian
tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede
mengiktirafkan dia sebagai raja dan dia sendiri menjabat sebagai
mangkubumi.
Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan
dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri
Bunkudan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan
Sukadana/Tanjungpura Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa
(Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar
disebut Raden Saradewa yang telah meminang puteri Pangeran Dipati
Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda
dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh
Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan
di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan
(Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi
mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena
sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak
sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam
di Kotawaringin.
Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa
pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian
tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian
dinamaiRaden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad
Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari
tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum
Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa
Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan
dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran
Dipati Kasuma Mandura).
Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung),
abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota
Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan
desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai
(sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin
sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin
sebenarnya tidak bersemayam didalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit
besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin
memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan
seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai
Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai
Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (=
maju).
Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta
Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja
Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa
pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang
juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan
dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi
pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di
Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang
ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan
Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada
hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16
Mei1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh
seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera
yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakanRatu Amas. Oleh sebab sudah
tua dia menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan
berangkat pulang ke Banjarmasin karena dia berduka atas mangkatnya
kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar(1638-1645),
Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantikkeponakannya
Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan
Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya
Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II
(kelakSultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota
Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di
Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatanmangkubumi dalam
pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan
abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian
mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain
ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian
ia meninggal dunia tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan
Suriansyah, Banjarmasin.
Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Mudaputera dari Pangeran Panghulu telah
membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi
raja ini,Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke
negeri Matandan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan
sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan
Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari
taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian
besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai.
Dia juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran
Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Dia
telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawanSultan
Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah
raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan
pemerintah Hindia Belanda. Dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam
peperangan melawanMatan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima
meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar
menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia
Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan
Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.
Asal-usul Kesultanan Kotawaringin
Kesultanan Kotawaringin merupakan satu-satunya kesultanan yang tercatat
pernah berdiri di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut fakta
sejarah, sejarah berdirinya Kesultanan Kotawaringin tidak bisa
dilepaskan dari Kesultanan Banjar yang berlokasi di Kalimantan Selatan.
Salah satu fakta sejarah ditunjukan dalam buku Mengenal Kabupaten
Kotawaringin Barat karangan J.U. Lontaan dan G.M. Sanusi. Dalam buku
tersebut, Lontaan dan Sanusi menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin
didirikan oleh Pangeran Anta Kasuma yang merupakan salah satu keturunan
dari Sultan Banjar, Sultan Musta’in Billah.Dari fakta ini dapat
disimpulkan bahwa sejak awal berdiri, Kesultanan Kotawaringin telah
menjadi bagian dari Kesultanan Banjar.
Masih menurut buku yang sama, awal mula pendirian Kesultanan
Kotawaringin dimulai dari perseteruan yang melanda Kesultanan Banjar
seputar perebutan kekuasaan antara Pangeran Adipati Tuha dan Pangeran
Anta Kasuma. Pangeran Adipati Tuha yang notabene adalah kakak dari
Pangeran Anta Kasuma akhirnya memenangkan perebutan tahta yang
mengantarkannya menduduki singgasana Kesultanan Banjar. Sedangkan sang
adik, Pangeran Anta Kasuma, memilih untuk meninggalkan Kesultanan Banjar
guna mencari wilayah baru. Sikap sang adik direstui oleh Pangeran
Adipati Tuha karena kebetulan sesuai dengan politik luar negeri
kesultanan kala itu yang sedang dalam masa perluasan wilayah kekuasaan.
Akhirnya rombongan Pangeran Anta Kasuma berangkat menuju wilayah baru.
Perjalanan rombongan Pangeran Anta Kasuma sampai di daerah yang bernama
Rantau Pulut. Perjalanan diteruskan dan sampai di hulu Sungai Arut,
daerah Pandau. Di hulu Sungai Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma
bertemu dengan penduduk lokal, yaitu kumpulan dari sembilan kelompok
suku yang berbeda, antara lain Suku Dayak Gambu, Arut, dan Anom pimpinan
Demang Petinggi di Umpang. Pada awal pertemuan, rombongan Pangeran Anta
Kasuma hampir bentrok dengan Suku Dayak Arut, namun jalan damai dengan
cara perundingan akhirnya lebih dipilih. Lewat jalan perundingan
tersebut, Pangeran Anta Kasuma mengikat sumpah darah dengan Suku Dayak
Arut yang ditandai dengan sebuah prasasti yang disebut Batu Patahan
atau Panti Darah Janji Samaya Prasasti ini sampai sekarang masih bisa
dijumpai.
Setelah berjumpa dengan Suku Dayak Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma
melanjutkan perjalanan hingga sampai di daerah Tanjung Pangkalan Batu
(Kotawaringin Lama). Di tempat ini rombongan mendirikan lanting (rumah
apung dari kayu). Setelah bermukim cukup lama, Pengeran Anta Kasuma
mendapatkan karunia seorang putri yang diberi nama Puteri Lanting.
Di Tanjung Pangkalan Batu (Kotawaringin Lama), Pangeran Anta Kasuma
mencoba untuk mendirikan permukiman hingga berkembang menjadi bentuk
kerajaan. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Kotawaringin.
Sehubungan dengan bentuk kerajaan yang masih terpengaruh oleh Islam,
karena cikal bakal pendirian Kerajaan Kotawaringin dilakukan oleh
keturunan dari Sultan Musta’in Billah yang memeluk agama Islam, maka
mulai dari awal berdiri Kerajaan Kotawaringin telah lazim disebut dengan
nama Kesultanan Kotawaringin.
Terdapat beberapa versi seputar tahun berdirinya Kesultanan
Kotawaringin. Menurut Prof. Slamet Muljana, Kesultanan Kotawaringin
merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Hal ini dituliskan dalam Kitab
Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca pada pupuh XII dan XIV. Penguasaan
atas Kesultanan Kotawaringin terjadi ketika Kerajaan Majapahit yang
dipimpin oleh Hayam Wuruk (1351-1389 M) Indikasi kuat masuknya pengaruh
Majapahit ke dalam sistem pemerintahan Kesultanan Kotawaringin adalah
pengangkatan kepala-kepala suku menjadi menteri kesultanan atas
inisiatif dari Kerajaan Majapahit.
Versi berikutnya adalah tulisan yang terdapat dipermakaman para Sultan
Kotawaringin yang berlokasi di Tanjung Pangkalan Batu (Kotawaringin
Lama). Tulisan tersebut ditulis oleh Kyai Gede, Mangkubumi pertama di
Kesultanan Kotawaringin. Di dalam tulisan tersebut, Kyai Gede menyatakan
bahwa Kesultanan Kotawaringin berdiri pada tahun 1598. Versi ketiga
disampaikan oleh J.U. Lontaan dan G.M. Sanusi. Menurut pernyataan yang
ditulis dalam buku Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat ini, Kesultanan
Kotawaringin berdiri pada tahun 1679.
Dilihat dari ketiga versi tersebut, terdapat satu fakta yang tidak dapat
dipungkiri bahwa berdirinya Kesultanan Kotawaringin merupakan akibat
dari perseteruan yang melanda Kesultanan Banjar seputar perebutan tahta
antara Pangeran Adipati Tuha dengan Pangeran Anta Kasuma pada masa
pemerintahan Sultan Musta’in Billah (1595 – 1620). Dari usia
pemerintahan Sultan Musta’in Billah di Kesultanan Banjar dapat
disimpulkan bahwa Kesultanan Kotawaringin harus berdiri pada babak akhir
pemerintahan Sultan Musta’in Billah atau pasca pemerintahan Sultan
Musta’in Billah. Dilihat dari fakta ini, angka tahun yang cukup logis
untuk menunjukan tentang masa berdirinya Kesultanan Kotawaringin adalah
awal abad ke-17 (1600-an).
Analisa selanjutnya merupakan hasil dari argumen ketiga versi di atas.
Slamet Muljana menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin merupakan bagian
dari Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1351-1389
M). Pernyataan Slamet Muljana tersebut berlandaskan kekuatan literatur
yang diambil dari Kitab Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca pada pupuh
XII dan XIV. Pada kenyataannya, dalam Negarakrtagama pupuh XII dan XIV
tidak disebutkan tentang penguasaan Kesultanan atau Kerajaan
Kotawaringin, melainkan disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit menguasai
suatu daerah bernama Kotawaringin (bukan kesultanan). Besar kemungkinan
yang dimaksud dengan Kotawaringin dalam Negarakrtagamaadalah suatu
wilayah yang dulunya merupakan cikal bakal dari Kesultanan Kotawaringin
yang kala itu masih dihuni oleh suku Dayak Arut. Kerajaan Majapahit yang
menaklukan wilayah ini (Kotawaringin) kemudian menanamkan pengaruh
hingga pada masa berdirinya Kesultanan Kotawaringin.
Versi kedua adalah tulisan Kyai Gede yang tertera di permakaman para
Sultan Kotawaringin di Kotawaringin Lama yang menyebutkan tentang
berdirinya Kesultanan Kotawaringin pada tahun 1598. Melihat angka tahun
ini (1598) dengan waktu bertahtanya Sultan Musta’in Billah (1595)
terdapat suatu bagian yang kurang logis. Pangeran Anta Kasuma tidak
mungkin mendirikan kesultanan/ kerajaan baru selepas 3 tahun pasca
ditabalkannya Sultan Musta’in Billah di Kesultanan Banjar. Selanjutnya,
Perseteruan antara Pangeran Adipati Tuha dengan Pangeran Anta Kasuma
juga tidak mungkin jika terjadi di awal pemerintahan Sultan Musta’in
Billah.
Kemungkinan terdekat jika dilihat dari tulisan Kyai Gede adalah
penjelasan bahwa sebelum Pangeran Anta Kasuma datang di Kotawaringin
Lama, di sana telah bermukim Kyai Gede yang merupakan seorang ulama yang
diduga berasal dari Kesultanan Demak di Jawa. Kyai Gede atau Abdul
Qadir Assegaf telah menjalin hubungan yang harmonis dengan orang-orang
Dayak tanpa berusaha mengubah keyakinan orang Dayak dari Kaharingan ke
agama Islam.
Ketika Pangeran Anta Kasuma datang ke Kotawaringin Lama, Kyai Gede
merasakan ada kesepahaman dalam bidang agama di antara keduanya.
Terlebih lagi kepala suku Dayak Arut juga telah mengikat janji Sumpah
Patahan dengan Pangeran Anta Kasuma sebagai ujud pengakuan atas
kepemimpinan Pangeran Anta Kasuma. Sikap pemimpin Dayak Arut diwakilkan
kepada Kyai Gede yang kebetulan mempunyai dua buah kelebihan, yaitu
kesamaan persepsi tentang agama dan kedekatan dengan pimpinan Dayak
Arut. Jadilah Kyai Gede sebagai mangkubumi pertama di Kesultanan
Kotawaringin.
Versi ketiga adalah argumen dari JU Lontaan dan Sanusi yang menyebutkan
bahwa Kesultanan Kotawaringin telah berdiri pada tahun 1679. Melihat
angka tahun ini (1679) dengan bertahtanya Sultan Musta’in Billah
(1595-1620) terdapat selisih waktu sekitar 59 tahun. Angka ini (59
tahun) dirasa kurang logis untuk menunjukan tentang rentang waktu yang
dibutuhkan Pangeran Anta Kasuma dalam mendirikan Kesultanan
Kotawaringin. Analisa yang lebih logis adalah kemungkinan bahwa
sebenarnya Kesultanan Kotawaringin telah berdiri sebelum tahun 1679.
Hanya saja Lontaan dan Sanusi tidak melihat bahwa Kesultanan
Kotawaringin tersebut telah sesuai untuk disebut sebagai suatu bentuk
kesultanan atau kerajaan. Baru ketika Kesultanan Kotawaringin telah
mempunyai landasan hukum dan pemerintahan yang jelas dengan adanya Kitab
Kanun Kuntara pada masa pemerintahan Pangeran Anta Kasuma, Lontaan dan
Sanusi sepakat untuk menyebut Kotawaringin telah sesuai untuk
dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesultanan atau kerajaan.
Kesultanan Kotawaringin dari Masa ke Masa
Sultan pertama Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Anta Kasuma
bergelar Ratu Bagawan Kotawaringin. Beliau memerintah dengan dibantu
Mangkubumi Kyai Gede. Pada masa pemerintahan Ratu Bagawan Kotawaringin,
sang sultan telah menetapkan batas wilayah kekuasaan dan membuat
undang-undang yang dikenal dengan nama Kanun Kuntara. Batas wilayah
sangat diperlukan sebagai legitimasi penguasaan atas suatu wilayah.
Sedangkan undang-undang Kanun Kuntara digunakan untuk mengelola dan
menjalankan roda pemerintahan sekaligus sebagai hukum negara.
Pada masa pemerintahan Ratu Bagawan, beliau membangun Dalem Luhur atau
Istana Luhur. Selain membangun keraton, sang sultan juga membangun
Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati, Perdipati (rumah
panglima perang) Gadong Asam, Pa’agungan (gudang untuk menyimpan
peralatan perang yang terdiri dari senjata dan pusaka), membangun surau
untuk keperluan ibadah, dan paseban sebagai tempat bagi para bawahan dan
rakyat untuk menghadap sultan. Pembanguan yang dilakukann oleh Ratu
Bagawan semata-mata bertujuan untuk meletakan fondasi tata pemerintahan
yang akan diwariskan kepada generasi setelahnya.
Pemerintahan Ratu Bagawan Kotawaringin berakhir dengan ditandai
peralihan tahta kepada putranya yang bernama Pangeran Mas Adipati. Pada
masa awal pemerintahan Pangeran Mas Adipati, beliau masih didampingi
oleh Mangkubumi Kyai Gede. Tetapi di tengah-tengah menjalankan tugasnya
sebagai mangkubumi, Kyai Gede meninggal dunia. Sebagai pengganti jabatan
mangkubumi di Kesultanan Kotawaringin, Pangeran Mas Adipati mengangkat
Dipati Ganding.
Pengganti Pangeran Mas Adipati adalah puteranya yang bernama Pangeran
Panembahan Anum. Dalam menjalankan pemerintahan, beliau didampingi oleh
Mangkubumi Dipati Gading. Selama hidup, Pangeran Panembahan Anum
dikaruniai dua orang putra. Putra tertua yang bernama Pangeran Prabu
akhirnya diangkat sebagai sultan untuk menggantikan kedudukan Pangeran
Panembahan Anum.
Pangeran Prabu mempunyai 3 orang putera. Ketika telah selesai memimpin
Kesultanan Kotawaringin, beliau mewariskan tampuk kepemimpinan kepada
putera tertuanya yang bernama Pangeran Dipati Tuha. Setelah wafat,
Pangeran Dipati Tuha digantikan oleh puteranya yang bernama Pangeran
Panghulu Pangganti Pangeran Penghulu adalah puteranya yang bernama
Pangeran Ratu Bagawan. Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Bagawan,
beliau membangun Masjid Jami Kotawaringin. Masjid ini dibangun karena
surau yang telah dibangun pada masa Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu
Bagawan Kotawaringin telah rusak. Pada masa inilah Kesultanan
Kotawaringin mencapai puncak kejayaannya.
Pangeran Ratu Bagawan membawa Kesultanan Kotawaringin ke puncak
kejayaan. Sultan ke-7 ini menempatkan perdagangan sebagai tulang
punggung perekonomian Kesultanan Kotawaringin. Pertanian dan hasil bumi
yang melimpah dijadikan sebagai komoditi perdagangan. Bahkan hasil
kerajinan yang diproduksi oleh penduduk Kesultanan Kotawaringin laku di
pasaran mancanegara. Kemajuan di sektor perekonomian tampaknya juga
memacu perkawinan antarsuku dan menjadi magnet bagi para pendatang baru
untuk bermukim di wilayah Kesultanan Kotawaringin.
Perpindahan Pusat pemerintahan
Masa keemasan Kesultaan Kotawaringin tak berlangsung lama. Bersamaan
dengan situasi di mana kesultanan mencapai titik tertinggi di bidang
perekonomian, muncul kebijakan baru dari negara induk, yaitu Kesultanan
Banjar untuk menyerahkan Kesultanan Kotawaringin di bawah penguasaan
Belanda. Penyerahan Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda merupakan
konsekuensi yang harus dilakukan oleh Kesultanan Banjar semasa
pemerintahan Sultan Tahmidillah II. Konsekuensi ini merupakan bagian
dari kompensasi yang diberikan kepada Belanda karena telah membantu
dalam peperangan melawan Pangeran Amir. Selain kompensasi berupa lada,
emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio,
Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas, dalam perjanjian pada tanggal 13
Agustus 1787, Kesultanan Banjar juga menyerahkan sebagian wilayahnya
yang meliputi daerah pantai Timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir,
Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin dengan
lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari Desa
Tatas.
Peralihan penguasaan Kesultanan Kotawaringin ternyata berdampak sangat
besar. Pengalihan ini terutama berimbas pada sektor perekonomian dan
pemerintahan. Penguasaan (monopoli) perdagangan yang sebelumnya dipegang
oleh Kesultanan Kotawaringin, kini diambil alih oleh Belanda. Contoh
nyata dari pengambil-alihan perdagangan tersebut adalah berpindahnya
monopoli perdagangan garam yang sebelumnya dipegang oleh Kesultanan
Kotawaringin, kini beralih ke tangan Belanda. Peralihan tesebut membuat
pendapatan yang diterima Kesultanan Kotawaringin menjadi berkurang.
Di sisi lain, dalam sektor pemerintahan, Kesultanan Kotawaringin yang
sebelumnya “berkiblat” kepada Kesultanan Banjar kini beralih ke
Pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan Kotawaringin kini harus
mengikatkan diri dengan Pemerintah Hindia Belanda melalui
penandatanganan perjanjian untuk mengelola sumber daya alam di wilayah
Kesultanan Kotawaringin. Hal ini dikukuhkan dengan peraturan dari
Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin
tidak lagi melaporkan pertanggungjawaban kepada Kesultanan Banjar
melainkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda yang diwakilkan kepada
seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.
Perpindahan kekuasaan kemudian juga diikuti dengan perpindahan pusat
pemerintahan. Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar yang sebelumnya
berlokasi di Kotawaringin Lama berpindah ke Sukabuni Indra Sakti atau
dikenal dengan nama Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun) Kejadian ini terjadi
ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Imanuddin pada
tahun 1814. Besar kemungkinan perpindahan pusat pemerintahan tersebut
juga dilandasi oleh faktor pengalihan kekuasaan.
Kemunduran
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemunduran Kesultanan
Kotawaringin. Pertama, penguasaan atas Kesultanan Kotawaringin yang
sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diserahkan kepada
Pemerintah Hindia Belanda. Kedua, perpecahan di pihak keluarga
Kesultanan Kotawaringin. Imbas dari penyerahan kekuasaan tersebut,
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan monopoli perdagangan
(garam) sekaligus “memancing di air keruh” atas perselisihan yang
menimbulkan konflik di pihak keluarga kesultanan. Inilah masalah klasik
yang melanda berbagai kerajaan di nusantara di akhir masa kekuasaan.
Perpindahan kekuasaan atas Kesultanan Kotawaringin dari Kesultanan
Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemicu pertama
kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Penyebab utama adalah merosotnya
sektor perdagangan yang diakibatkan oleh pengalihan penguasaan monopoli,
dari Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda. Bahkan pada tanggal 13
Agustus 1900, Kesultanan Kotawaringin menyerahkan monopoli perdagangan
garam kepada Belanda. Pengalihan monopoli perdagangan membuat keuangan
Belanda semakin kuat, tetapi di sisi lain Kesultanan Kotawaringin
beserta rakyat sangat menggantungkan perekonomian terhadap Belanda.
Kekuasaan Belanda yang sangat besar ini kemudian dipergunakan untuk
terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya
sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata.
Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke
Pangkalan Bun kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan
ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala
bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang
demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota
kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari
Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian
anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bun.
Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah
oleh sultan ke-12, Pangeran Paku Sukma Negara. Perselisihan bermula
ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti.
Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus
tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanudin (sultan ke-9)
Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah
naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.
Pengaruh yang sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam
urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di
Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Ketika proklamasi telah berkumandang dan Belanda mulai
hengkang dari Kesultanan Kotawaringin, rakyat Kotawaringin menyatakan
sikap yang bulat untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sikap rakyat ternyata mendapat sambutan yang sama dari penguasa
Kesultanan Kotawaringin.
Bergabung dengan Republik Indonesia
Ketika kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945,
Kesultanan Kotawaringin secara tegas menyatakan diri untuk masuk ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia. Sikap ini dikemukakan
secara langsung oleh sultan ke-14, yaitu Pangeran Ratu Anom Alamsyah.
Sikap ini menimbulkan konsekuensi di pihak Kesultanan Kotawaringin,
yaitu wilayah kesultanan dilebur ke dalam satu kesatuan Negara Republik
Indonesia. Konsekuensi tersebut berimbas pada perubahan bentuk
kesultanan menjadi swapraja (setingkat dengan kawedanan).
Menurut Lontaan dan Sanusi, pada tanggal 20 Oktober 1948 telah terbentuk
semacam dewan perwakilan rakyat yang secara bulat mendukung dileburnya
Kesultanan Kotawaringin ke dalam wilayah Republik Indonesia. Di pihak
lain, pihak Kesultanan Kotawaringin juga mempunyai sikap yang senada,
yaitu siap berdiri di belakang republik yang baru berdiri. Sikap ini
didasari atas sepakterjang pihak Kesultanan Kotawaringin yang telah
setia untuk terus mengobarkan api perlawanan terhadap Belanda pada masa
revolusi fisik. Bantuan dari Kesultanan Kotawaringin berupa 300 pucuk
senapan dan beberapa meriam membuktikan bahwa Kesultanan Kotawaringin
secara tegas berada di belakang Republik Indonesia.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI,17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.
Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu
Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan
Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah
istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.
Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah
pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian
wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang
menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah
otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan
dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
Kabupaten Kotawaringin Barat
Kabupaten Lamandau
Kabupaten Sukamara
Kebangkitan
Kesultanan Kotawaringin dihapus sebagai suatu wilayah independen ketika
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Wilayah Kesultanan
Kotawaringin dijadikan salah satu daerah administratif setingkat dengan
status sebagai daerah swapraja. Secara resmi, Swapraja Kotawaringin
menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 1 Mei 1950, meskipun
sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukan ke kabupaten
Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang
No. 22 Tahun 1948. Mulai dari perubahan status dari kesultanan menjadi
swaparaja tersebut, Kesultanan Kotawaringin secara administratif menjadi
salah satu bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II memegang tampuk kekuasaan sebagai
penguasa daerah swapraja sampai tahun 1975. Pasca pemerintahan beliau,
zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengurus seorang
pengurus harian bernama Pangeran Muasyidin Syah. Jabatan ini disandang
oleh Pangeran Muasyidin Syah hingga tahun 2010. Pangeran Muasyidin Syah
merupakan adik dari Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, sultan ke-13
Kesultanan Kotawaringin.
Perubahan terjadi pada bulan Mei 2010. Kala itu muncul ide untuk
mengangkat kembali peranan seorang sultan sebagai penguasa tertinggi di
Kesultanan Kotawaringin. Tetapi peran sultan yang ada sekarang berbeda
dengan peran sultan ketika masih menjadi daerah sendiri sebelum dilebur
menjadi satu kesatuan di bawah Pemerintah republik Indonesia. Peran yang
dimainkan oleh sultan sekarang sebatas sebagai simbol budaya.
Ide untuk kembali mengangkat seorang simbol kemudian mendapatkan
momentum ketika zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk
mengangkat Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah sebagai sultan ke-15
Kesultanan Kotawaringin. Penobatan dilaksanakan di Istana Kuning, pada
hari Minggu, 16 Mei 2010. Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah merupakan
putra tertua dari Sultan XIV Kotawaringin, Pangeran Ratu Sukma Alamsyah
Silsilah
Berikut ini adalah silsilah para sultan di Kesultanan Kotawaringin.
Pangeran Adipati Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan
Pangeran Mas Adipati
Panembahan Kota Waringin
Pangeran Prabu/ Panembahan Derut
Pangeran Adipati Muda
Pangeran Panghulu
Pangeran Ratu Bagawan
Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha
Pangeran Imanudin/ Pangeran Ratu Anom
Pangeran Akhmad Hermansyah
Pangeran Ratu Anom Alamsyah I
Pangeran Ratu Sukma Negara
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah
Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (meninggal pada tahun 1975)
@Pangeran Muasyidin Syah (pengurus harian)
angeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (2010-sekarang)
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin pada awalnya hanya
sebatas pengaturan dari sultan dan mangkubumi kepada para kepala adat
setempat. Namun seiring dengan dibuatnya Undang-Undang Kanun Kuntara,
sistem pemerintahan mengalami pengaturan yang lebih terstruktur dengan
pembagian wilayah dan kepala daerah setempat. Undang-Undang Kanun
Kuntara mengatur tentang pembagian wilayah yang dikepalai oleh seorang
menteri, seperti Menteri Kumai, Menteri Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun),
Menteri Jelai, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari pembagian
tersebut, tugas antara sultan, mangkubumi, dan menteri telah terstruktur
dengan jelas secara organisatoris. Hal ini menunjukan bahwa sistem
pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin telah cukup maju karena memiliki
pedoman yang jelas, yaitu Undang-Undang Kanun Kuntara.
Sistem pemerintahan juga mengatur tentang kewajiban Kesultanan
Kotawaringin sebagai negara bawahan untuk setia kepada negara induk
yakni Kesultanan Banjar. Hal ini telah dimulai sejak sultan pertama,
Ratu Begawan Kotawaringin sampai dengan Ratu Begawan. Ketika Kesultanan
Kotawaringin diperintah oleh Ratu Begawan, terjadi perpindahan pusat
pemerintahan dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun. Selain itu terjadi
pula pengalihan kekuasaan dari Kesultanan Banjar kepada Belanda. Pada
kasus pengalihan kekuasaan, sejak dialihkan dari Kesultanan Banjar
kepada Belanda, sultan di Kesultanan Kotawaringin secara administratif
kini tidak lagi bertanggungjawab kepada Kesultanan Banjar melainkan
kepada Belanda. Setiap sultan harus mempertanggungjawabkan (melaporkan)
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan kepada seorang
kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.
Pada masa pasca kemerdekaan, status Kesultanan Kotawaringin berubah dari
kerajaan yang independen menjadi salah satu bagian dari wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk swapraja atau kawedanan.
Secara resmi, daerah swapraja Kotawaringin masuk ke dalam wilayah
Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1950, meskipun sebenarnya Swapraja
Kotawaringin telah dimasukan ke Kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal
27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948. Status
ini kemudian berkembang menjadi bentuk Kabupaten Daerah Tingkat II
Kotawaringin Barat. Daerah ini ditetapkan sebagai daerah otonom dengan
Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Anta Kasuma gelar Ratu Bengawan
Kotawaringin, Kesultanan Kotawaringin telah menetapkan batas-batas
wilayah kekuasaannya. Batas-batas tersebut meliputi:
Di sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarun Pruya (Kerajaan Sintang di wilayah Provinsi Kalimantan Barat).
Di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Mendawai di wilayah Kalimantan Tengah
Di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa
Di sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Simbar (Kerajaan Matan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat)
Ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Ratu Sukma
Alamsyah, wilayah kekuasaan bertambah luas akibat dari politik perluasan
wilayah sehingga mencakup wilayah-wilayah:
Di Kampung Mendawai (wilayah di sebelah timur) dibuka permukiman baru
untuk penduduk Mendawai yang selama ini bermukim di Sungai Karang Anyar,
sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama Sungai Bulin.
Di Kampung Raja dibuka permukiman baru untuk penduduk Kampung Raja yang
sebelumnya banyak bermukim di perladangan, sehingga tempat tersebut
dikenal dengan nama kampung Sungai Bu’un atau Kampung Baru yang kini
termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Baru.
Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai (di depan simpang Mendawai), dibuka
permukiman baru untuk orang-orang yang berasal dari Pulau Jawa. Tempat
ini sekarang termasuk ke dalam wilayah kelurahan Sidorejo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar