Kabupaten Indragiri merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Riau yang
berbatasan dengan propinsi Jambi, SUmatra Barat dan Selat Berhala.
keadaan tanahnya berawa-rawa, dan di bagian timur berbukit=bukit. daerah
Indragiri dialiri sebuah sungai berhulu di Danau Singkarak. hulu
sungainya dinamakan batang Ombilin, kemudian batang tengahnya dinamakan
batang Kuantan. kedua sungai tersebut nyaris bermuara kesungai bernama
sungai Indragiri. Adapun daerah yang dianggap daerah cikal bakal
kerajaan Indragiri adalah daerah keritang.
Ada yang berpendapat bahwa keritang berasal dari kata "akar Itang", di
ubah menjadi "akaritang". selanjutnya disebut "Keritang". Itang adalah
jenis tumbuhan yang banyak terdapat disepanjang anak sungai Gangsal.
sedangkan pendapat lain mengatakan, nama "Keritang" diambil dari nama
siput Kitang yang banyak di hulu sungai. didaerah Keritang ini lah
dianggap sebagai cikal bakal tempat berdiri kerajaan Indragiri.
Kerajaan Inderagiri merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah
berdiri, sekarang dengan wilayahnya berada padaKabupaten Indragiri
Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, Indonesia.
Sebelumnya kerajaan ini merupakan bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung
dan sekaligus sebagai kawasan pelabuhan. Kemudian kerajaan ini
diperebutkan oleh Kesultanan Jambi, Kesultanan Siak, dan Kesultanan
Aceh.
Cikal-bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan Kerajaan Keritang. Nama Keritang diperkirakan berasal dari
istilah “akar itang” yang diucapkan dengan lafal “keritang”. Sementara
Itang adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang
anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di sepanjang tebing-tebing
sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, ibu kota Kecamatan
Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain pemaknaan di
atas, ada pula yang menyebut bahwa nama Keritang identik dengan istilah
“Kitang”, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal.
Asal-muasal Kerajaan Kelintang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwjaya
yang berpusat di Palembang. Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya
mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain dari Kerajaan
Cola (India) yang menyerbu dari arah utara dan kemudian ekspedisi
Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo
yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut
lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah
terpecah-pecah. Salah satunya kerajaan yang menjadi pecahan Sriwijaya
adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri.
Sama seperti Sriwijaya, Keritang adalah kerajaan yang bercorak Buddha.
Dari Keritang ke Indragiri
Berdasarkan catatan dalam kitab Negarakrtagama karya Mpu Prapanca, nama
Indragiri disebut dengan nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di
wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka diperkirakan
bahwa Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan
Indragiri. Mengenai nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli sejarah dari
Eropa yang pernah menyebutnya. Kamus A Malay-English Dictionary yang
disusun Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama
Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri
diartikan sebagai Indra‘s Mountain: an East Coast Sumatra Sultanate on a
river of the same name atau “Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu kesultanan
di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai yang bernama sama (nama kerajaan
dan sungai adalah sama, yaitu Indragiri)”.
Dalam Nieuw Malaeisch-Nedelandsch Woordenboek – Met Arabisch Karakter,
kamus susunan Hillebrads Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun
1892, nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai
Timur Pulau Sumatra dan nama sungai yang mengaliri kerajaan itu. Ada
pula yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
“Indra” yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang
tinggi atau negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri
Mahligai.
Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang
(1298-1337) yang berturut-turut dilanjutkan oleh Naja Singa I
(1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2 kemudian Raja Merlang II
(1400-1473). Pada era berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke
wilayah kerajaan ini. Raja yang selanjutnya, yakni Nara Singa II (1473-
1508) diketahui telah memeluk agama Islam. Nara Singa II, Raja Keritang
yang ke-4, mendirikan Kesultanan Indragiri sejak tahun 1508 dan berkuasa
hingga tahun 1532 sebagai sultan pertama Indragiri.
Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit.
Seiring Islam masuk ke nusantara, wilayah Keritang dikendalikan oleh
Kesultanan Malaka. Ketika masih di bawah kuasa Majapahit, Raja Merlang
diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan
tetapi, setelah Keritang dikuasai Kesultanan Malaka, Raja Merlang tidak
diperbolehkan lagi tetap menetap di Keritang, melainkan dibawa ke
Malaka. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Malaka karena dengan
demikian Keritang lebih mudah diawasi.
Dominasi Malaka terhadap Keritang semakin kuat ketika Raja Merlang
dikawinkan dengan Putri Bakal, anak perempuan Sultan Mansyur Syah,
pemimpin Kesultanan Malaka. Ikatan perkawinan itu, di samping
mengokohkan kedudukan Sultan Malaka di daerah jajahan, dilakukan juga
dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di Malaka. Dari
perkawinan dengan Putri Malaka itu, Raja Merlang memperoleh putra yang
diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan
Kesultanan Malaka. Ketika Kesultanan Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud
Syah I (1488-1511), Nara Singa diambil menantu oleh Sultan. Ketika Nara
Singa dinobatkan sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan
tinggal di Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja penerus
tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga
kemudian Nara Singa II (1473- 1508).
Selama keluarga Kerajaan Keritang berada di Malaka, pemerintahan
dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning, serta beberapa
pejabat Kerajaan Keritang lainnya. Meski pemerintahan Kerajaan Keritang
dapat tetap berjalan, namun seringkali terjadi perselisihan antara Datuk
Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah terpelik yang terjadi di
antara kedua menteri itu adalah soal agama yang merembet ke ranah
politik. Datuk Temenggung Kuning telah memeluk agama Islam, sementara
Datuk Patih masih menganut kepercayaan lama. Persoalannya adalah,
apabila ada orang yang berada di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam,
maka orang itu dipersilahkan untuk pindah ke daerah yang dipimpin Datuk
Temenggung Kuning. Akibatnya, semakin lama orang-orang yang berada di
bawah kekuasaan Datuk Patih kian berkurang karena semakin banyak pula
orang yang memeluk Islam.
Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan
yang tidak adil dari orang-orang Malaka terhadap rakyat Keritang,
membuat Nara Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke
kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan bersama istri tercintanya,
Nara Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke Keritang. Nara Singa II
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun rencana dengan
para pengikutnya. Ketika sudah berhasil meninggalkan Malaka,
terdengarlah kabar bahwa Nara Singa II diculik. Kabar penculikan ini
sengaja dihembuskan sebagai bagian dari taktik agar Nara Singa II dapat
melepaskan diri dari Malaka.
Selanjutnya, Nara Singa II bersama para pengikutnya memindahkan pusat
kerajaan dari Keritang ke Pekantua, tidak jauh dari Sungai Indragiri.
Perpindahan tersebut terkait dengan kepercayaan bahwa suatu tempat yang
telah ditinggalkan tidak baik untuk dijadikan pusat pemerintahan.
Keritang merupakan kota yang diambil-alih Malaka sebagai daerah jajahan,
maka menurut keyakinan magic religious, kota atau kraton yang telah
dikalahkan itu harus ditinggalkan. Nara Singa II akhirnya dinobatkan
menjadi pemimpin di Pekantua dan inilah tanda bahwa Kesultanan Indragiri
telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan Indragiri, gelar untuk
Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah
Johan. Gelar ini menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan menebar
pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.
Pada era pemerintahan Sultan Indragiri pertama ini, ibu kota kerajaan
dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang dikenal juga dengan nama Kota
Lama, yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara Pekantua
dengan Kota Lama kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat.
Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut disebabkan
karena kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis dan
ancaman gerombolan perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu
pemindahan itu namun yang jelas, waktu pemindahan itu paling lambat
dilakukan pada 1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan
Alauddin Iskandar Syah Johan atau Nara Singa II meninggal dunia dan
dimakamkan di Kota Lama. Pada 1765, pusat pemerintahan Kesultanan
Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja Pura atau Japura.
Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim
(1784-1815), Sultan Indragiri ke-15, ibu kota Indragiri pindah ke
Rengat. Beberapa peneliti menduga, selain adanya tekanan dari kolonialis
Belanda, pemindahan ibu kota Kesultanan Indragiri dari Japura ke Rengat
juga dikarenakan tersedianya biaya untuk pembangunan istana baru yang
lebih megah.
Sultan pertama Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai
akhir hayatnya yakni tahun 1532. Setelah itu, pucuk pimpinan Kesultanan
Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah
Johan, yaitu Sultan Indragiri ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah
(1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan Mohammadsyah
(1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri yang ke-3, hingga
Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era pemerintahan pemimpin
ke-4 Kesultanan Indragiri inilah kaum imperialis Eropa datang dan
lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.
Kesultanan Indragiri pada Era Kolonial Belanda
Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda
Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada
saat itu, Kerajaan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah
II sedang menghadapi sejumlah peperangan, antara lain dengan Portugis
dan Aceh serta Patani. Kerajaan Johor-Riau kemudian mengajak Belanda
bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.
Sebagai strategi untuk meluaskan pengaruh dan jejaring niaganya di Selat
Malaka, kompeni Belanda mendirikan loji di Indragiri pada 1615. Sultan
Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri
saat itu mengizinkan aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan
harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di Indragiri. Namun, harapan
Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena
adanya persaingan dari pedagang-pedagang Cina, Portugis, dan Inggris.
Sementara Belanda sendiri kurang mampu berkonsentrasi menangani
perdagangannya di Indragiri karena sedang memusatkan perhatiannya untuk
Batavia. Akibatnya, pada 1622 kantor dagang atau loji Belanda di
Indragiri terpaksa ditutup.
Karena kerjasama dengan Belanda tidak berjalan lagi, Indragiri
mengalihkan jalinan niaganya ke Minangkabau. Namun, hubungan itu
menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pasalnya, hasil
lada dan emas dari Minangkabau yang sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku
Pariaman, dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah pengaruh Aceh,
menjadi berkurang. Karena merasa tersaingi dalam perdagangan, Aceh
Darussalam menyerang Indragiri dan Johor pada 1623. Selain itu, Aceh
juga menyerbu wilayah lainnya yang dianggap merugikan perdagangannya.
Penyerangan Aceh ke Indragiri, Aru, Pahang, Kedah, Perak, dan Johor
dilakukan dalam waktu yang berdekatan.
Tujuan utama penyerbuan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk
memutuskan hubungan perdagangan lada antara Kesultanan Indragiri dengan
Minangkabau. Ketika akhirnya Aceh Darussalam dapat mewujudkan tujuannya
itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke
Indragiri tiap bulan menurun drastis. Bagi daerah-daerah yang tunduk di
bawah kekuasaan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa
Kesultanan Aceh Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada
sebagai upeti, sedangkan sisanya harus dijual sesuai dengan harga yang
ditetapkan Aceh.
Karena perdagangan yang semakin terdesak akibat pendudukan Aceh
Darussalam, Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan kembali dengan
Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat kepada Antonio van
Dieman, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, pada 1641. Dalam suratnya,
Sultan Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka
kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah beberapa kali berusaha,
keinginan Sultan Jamaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan
van Wesenhage, utusan Belanda dari Batavia, ke Indragiri.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Jamaluddin Sulemansyah
(1658-1669) sebagai Sultan Indragiri ke-5, disepakati perjanjian dengan
Belanda tentang hubungan perdagangan antara kedua belah pihak.
Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah dan
Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama Renovatie van het
Contract van 27 October 1664, sesuai dengan tanggal penandatanganan
hasil perundingan.
Isi dari perjanjian itu antara lain:
(1) Belanda diberi hak memonopoli dalam perdagangan lada; dan
(2) Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang milik Belanda dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali
kantor dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada 1679, kantor
dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di bawah
pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu,
kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut kembali ditutup.
Hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Indragiri pada era
pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengalami pasang surut, kendati
kerugian lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan Indragiri. Misalnya
ketika Indragiri di bawah pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815),
Belanda mulai campur tangan dalam urusan internal kerajaan dengan
mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah
dari Hilir hingga Japura.
Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang terakhir, Sultan Mahmudsyah
(1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri sebagai kerajaan yang
berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak menghadapi
tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat Indragiri
mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali acara
dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam
dakwah tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang terkait
dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hukum yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial.
Bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum
berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang
berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu
reaksi rakyat Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah bersikap
dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan
sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan
secara rahasia untuk membicarakan hal tersebut.
Selanjutnya, kaum pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan
sikap Sultan terhadap kemerdekaan Indonesia. Sultan menjawab tegas bahwa
Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi kemerdekaan dan
merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan bahwa
Kesultanan Indragiri siap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir
dan kini sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa yang tuan-tuan
perbuat saya sangat mendukung.” Bahkan, Sultan Mahmudsyah menyarankan
agar bendera Merah Putih segera dikibarkan di Indragiri. Dengan demikian
jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan
Mahmudsyah sangat berkomitmen terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Silsilah Raja-Raja
Berikut silsilah raja/sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan
Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan buku Sejarah Kesultanan
Indragiri (1994), karya Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer Muhammad, dan
Isjoni Ishaq:
1- Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), Raja Keritang ke-1.
2- Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2.
3- Raja Merlang II (1400-1473).
4- Nara Singa II (1473-1508), Raja Keritang ke-4 yang kemudian
mendirikan Kesultanan Indragiri atau Raja Indragiri ke-1 dengan gelar
Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532).
5- Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan Indragiri ke-2.
6- Raja Ahmad atau Sultan Mohammadsyah (1557-1599), Sultan Indragiri ke-3.
7- Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4.
8- Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669), Sultan Indragiri ke-5.
9- Sultan jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan Indragiri ke-6.
10- Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan Indragiri ke-7.
11- Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan Indragiri ke-8.
12- Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri ke-9.
13- Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri ke-10.
14- Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan Indragiri ke-11.
15- Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri ke-12.
16- Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765), Sultan Indragiri ke-13.
17- Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784), Sultan Indragiri ke-14.
18- Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15.
19- Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16.
20- Raja Umar atau Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838), Sultan Indragiri ke-17.
21- Raja Said atau Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan Indragiri ke-18.
22- Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877), Sultan Indragiri ke-19.
23- Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883), Sultan Indragiri ke-20.
24- Tengku Isa atau Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903), Sultan Indragiri ke-21.
25- Tengku Mahmud atau Sultan Mahmudsyah (1912-1963), Sultan Indragiri ke-22.
Sistem Pemerintahan
Kesultanan Indragiri memiliki sistem pemerintahan khas yang dibangun
oleh orang-orang Melayu secara turun-temurun. Model pemerintahan yang
berlaku di dalam Kesultanan Indragiri yang bercirikan Islam telah
memperkuat pertumbuhan dan perkembangan budaya Melayu. Upacara-upacara
keagamaan di Indragiri tidak bisa dilepaskan dari Islam dan
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sistem pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Indragiri mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam menjalankan pemerintahannya,
pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Indragiri, Nara Singa II atau
Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan, didampingi
bendahara kerajaan bernama Tun Ali dan diberi gelar “Raja di Balai”.
Posisi bendahara kerajaan pada masa itu adalah jabatan yang prestisius
karena hanya orang terdekat dan yang paling dipercaya oleh Sultan
sajalah yang bisa menduduki posisi ini.
Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan masih memiliki sejumlah hamba setia,
antara lain Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning serta beberapa
orang lainnya. Selama Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan berada di
Malaka karena tidak diperkenankan tinggal di Indragiri oleh Sultan
Malaka, pemerintahan di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri
dijalankan oleh hamba-hamba setia tersebut.
Sistem pemerintahan yang mulai terkonsep sejak masa pemerintahan Sultan
Alauddin Iskandar Syah Johan ditingkatkan dan disempurnakan menjadi
Undang-Undang Kesultanan pada rezim Sultan Hasanuddin (1735-1765).
Undang-Undang Kesultanan Indragiri itu meliputi Undang-Undang Adat
Kerajaan Indragiri, Peradilan Adat Kerajaan, Panji-Panji Raja, serta
Menteri Kerajaan.
Undang-Undang Kesultanan Indragiri diuraikan sebagai berikut:
Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga Undang-Undang Adat, yang terdiri dari Beraja nan Berdua, meliputi:
(1) Yang Dipertuan Besar Sultan;
(2) Yang Dipertuan Muda, dan
Berdatuk nan Berdua yang meliputi:
(1) Datuk Temenggung;
(2) Datuk Bendahara.
Menteri nan Delapan, yaitu Menteri-menteri Kesultanan Indragiri atau
sebagai Pembantu Datuk Bendahara, berjumlah delapan orang, antara lain:
Sri Paduka, Bentara, Bentara Luar, Bentara Dalam, Majalela, Panglima
Dalam, Sida-Sida, dan Panglima Muda.
Tiga Datuk di Rantau, meliputi Orang-Orang Kaya sebagai berikut: Orang
Kaya Setia Kumara di Lala, Orang Kaya Setia Perkasa di Kelayang, serta
Orang Kaya Setia Perdana di Kota Baru.
Penghulu nan Tiga Lorong, terdiri atas
(1) Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir;
(2) Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir; dan
(3) Dana Lela, di Pematang.
Kepala Pucuk Rantau, mencakup
(1) Tun Tahir di Lubuk Ramo;
(2) Datuk Bendahara di sebelah kanan; serta
(3) Datuk Temenggung di sebelah kiri
Selain itu, terdapat juga Peradilan Adat Kesultanan Indragiri yang
mengurusi hukum pidana maupun perdata. Peradilan Adat Kesultanan
Indragiri meliputi dua mahkamah. Pertama adalah Mahkamah Besar, dengan
keanggotaan yang terdiri dari Yang Dipertuan Muda, Datuk Bendahara, dan
beberapa anggota lain yang dipilih oleh Sultan Indragiri. Setiap
keputusan Mahkamah Besar disampaikan oleh Datuk Bendahara kepada Sultan
Indragiri.
Mahkamah kedua adalah Mahkamah Kecil yang mencakup wilayah di desa-desa
di bawah kendali seorang Penghulu. Pada perkembangannya, Mahkamah Kecil
ini kemudian dikepalai oleh Amir atau Camat pada masa sekarang. Di
samping itu ada pula Hukum Pidana Adat yang dikuasai Raja dan Orang
Banyak, serta Hukum Perdata mengenai Hukum Salo (damai), pengaduan
tentang kerugian, dan batas putusan Penghulu.
Wilayah Kekuasaan
Sultan Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar
Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa
daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat
Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di
Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di
pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat
lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raka di Rantau
yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan
sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu
Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.
Pada masa Sultan Hasanuddin (1735-1765), terdapat pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri, meliputi:
(1) Daerah Cenaku, terdiri atas 3 daerah perbatinan, meliputi Pungkil, Pulau Serojan, dan Sanglap;
(2) Daerah Gangsal, terdiri dari Nan Tua Riye Belimbing, Riye Tanjung, dan Pemuncak di Rantau Langsat;
(3) Daerah Tiga Balai, terdiri dari Dian Cacar, Parit, dan Perigi;
(4) Daerah Batin nan Enam Suku, meliputi Igal, Mandah, Pelanduk, Bantaian, Pulau Palas, serta Batang Tuaka;
(5) Daerah Kuantan, mencakup Cerenti Tanah Kerajaan, Ujung Tanah Minangkabau, dan Kerajaan Tua Gadis.
Tanggal 27 September 1938, disepakatilah Tractaat van Vrindchaap
(perjanjian perdamaian dan persahabatan) antara Kesultanan Indragiri
dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menghasilkan keputusan
bahwa Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur (semacam daerah otonomi)
dan berdasarkan ketentuan tersebut akan ditempatkan seorang controlleur
(pengawas dari pemerintah kolonial) wilayah Indragiri Hilir yang
membawahi 6 daerah yang berupa wilayah keamiran, yaitu antara lain: Amir
Tembilahan di Tembilahan, Amir Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir
Tempuling di Sungai Salak, Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah,
Amir Enok di Enok, serta Amir Reteh di Kotabaru.
Sejak 31 Maret 1942, tentara Jepang berhasil masuk Indragiri melalui
Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2 April 1942 Jepang menerima
penyerahan tanpa syarat dari pihak Belanda atas Indragiri. Pada masa
pendudukan Jepang ini, Indragiri Hilir dikepalai oleh seorang Cun Cho
yang berkedudukan di Tembilahan dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu: Ku
Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho
Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho Mandah. Sebelum tentara Jepang mendarat
di Indragiri, telah dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang dipelopori
oleh Ibnu Abbas. Pemerintahan Jepang di Indragiri bertahan sampai bulan
Oktober 1945, yakni lebih kurang selama 3,5 tahun.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri (Hulu dan Hilir)
masih menjadi satu kabupaten. Indragiri terdiri atas 3 kawedanan, yaitu
Kawedanan Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan, Kawedanan
Indragiri Hulu beribu kota Rengat, dan Kawedanan Indragiri Hilir beribu
kota Tembilahan. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1965 tanggal 14 Juni 1965, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49,
Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten
Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir)
sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Riau terhitung tanggal 20
November 1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar