Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang
terletak tidak begitu jauh dari Kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi
kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah
ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari
nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya
kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan
Adat Istiadat Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan disebutkan bahwa
Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara
Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat
mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang
meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau,
sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Babai Cinga.
Masa Awal Kerajaan Sanggau
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu
dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih
Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang
berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya,
kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai
Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam
terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih
salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai
Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku
Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu
Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat
menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat
berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi
dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah,
rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan
perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih
Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan
rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang
menurunkan raja-raja Sekadau.
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante
memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai
Sekayam. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang
dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan
perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang
kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante
sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan
pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah
peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang
dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap
di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian
sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual
adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji
untuk batu-batu yang disucikan tersebut.
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan
leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M,
yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau
yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga
etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa,
menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi
Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum
sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya untuk mendapatkan
peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini.
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan
pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama
Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara
Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya
dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan,
Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi
menuju ke daerah Semboja dan Segarong.
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat.
Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak
belum diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang
perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama
Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau.
Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan
pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang
terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya,
Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal atau
Abdurrahman, keturunan Kyai Serang dari Banten . Meski Nurul Kamal
diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan
Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak
Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang
perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura
(1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang
Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan
penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era
pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan
kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja
Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan
darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja
Kerajaan Sintang.
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang
Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada
era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan
(Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama
Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun,
beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan
telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud
untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan Matan. Melalui berbagai
perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang
Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga
Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita.
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan
Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang
Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari
saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan
sepupunya yang bernama Abang Guneng.
Eksistensi Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi
Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658
hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi
Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten
Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena
kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak
laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar
Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan
gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa
pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan
demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau,
sesuai dengan pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang
ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak
keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang
Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan
Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang
oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara
Kuning, dan Dara Hijau.
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan
Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang
Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola
pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan
Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini
saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad
Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar
Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar
Ade, diangkat sebagai penasehat kesultanan sekaligus membawahi daerah
perairan atau kawasan pesisir laut.
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan
Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan
Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta
pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya,
permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad
Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus
mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada
tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan
Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena
sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada
kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan
Abang Sebilang Hari.
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan
suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan
Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan
Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak
juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat)
untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah
laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai
pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran
Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana
Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan
Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan
pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan
Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran
Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih
tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak
mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak
saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas
wilayahnya. Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah
Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas.
Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah
Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau
Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta
Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh
Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya,
Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin)
yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa
pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin
hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan.
Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja
Sekada. Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara
Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini,
Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah
Pontianak.
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau
beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari
Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara
berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin,
yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai
tahun 1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas
pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun
1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis Bassilius dalam surat
kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai dalam tulisan
berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”,
disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan
Sanggau ke Kampung Kantuk.
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan
Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade
Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu
disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum
cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau
Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil
dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad
Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan
batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan
Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir
II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan
Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda
disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau.
Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan
menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan
Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan
pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,.
Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari
Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara
(1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau
mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat,
memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai
perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau dengan
Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak
mengenai penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang
ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge
(1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan
Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku
Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai
Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau).
Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada
Belanda.
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun
1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan
Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai
tahun 1915. Pemangku tahta Kesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran
Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran
Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah beliau
dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk ke dalam
setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan
Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin
Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III
Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti
Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa
pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau,
dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan
selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian
dibunuh oleh tentara Jepang. Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku
Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban
Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau. Ade Marhaban
Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi
ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak
pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan
Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944.
Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat
Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di
Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan
Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun,
pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang
Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa
lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di
Kesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya
yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di
wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer
bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari
singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad
Taufik Surya Negara sebagai penggantinya. Panembahan Gusti Mohammad
Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan
hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka
Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau
yang terakhir. Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima
pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah
Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan
Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu
kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada
tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski
tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat
semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara
dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh
beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari
Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari
Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin
Silsilah
Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau
yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul
Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat” dan tulisan
bertajuk “Kesultanan Sanggau” karya A. Roffi Faturrahman, et.al. (tt)
yang terhimpun dalam buku Istana-istana di Kalimantan Barat adalah
sebagai berikut:
Dara Nante (1310 M).
Dakkudak.
Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).
Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M).
Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).
Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915).
Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).
Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945).
Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara (2009).
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika
didirikan pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan
aturan dan hukum-hukum adat setempat. Pejabat sementara pengganti Dara
Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan
Kerajaan Sanggau dengan baik. Dakkudak tidak mampu menjalankan
undang-undang adat dengan semestinya. Ketidakmampuan ini membuat
Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan Sanggau.
Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas
Ratna (1485-1528 M). Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan
Sanggau mulai diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan
berdasarkan garis darah. Dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas
Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal. Hal yang sama juga
berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan
meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna. Pengelolaan pemerintahan
Kerajaan Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu oleh sang suami
yang bernama Abang Awal.
Sejak masa kepemimpinan Dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu
dipimpin oleh kaum pria dari waktu ke waktu. Dalam melaksanakan
pemerintahannya, biasanya Raja atau Sultan Sanggau dibantu oleh
penasehat kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade. Bahkan, sejumlah
orang yang pernah menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi
penguasa Sanggau, beberapa di antaranya adalah Panembahan Ratu Surya
Negara (1722-1741 M) yang mengambil-alih tahta Sultan Akhmad Kamaruddin
(1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) yang
menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828). Para pemegang jabatan
Ade pada umumnya adalah saudara kandung dari pemimpin Kesultanan Sanggau
yang tengah berkuasa.
Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar
Sultan Zainuddin (1722-1741 M), terjadi perubahan dalam aturan suksesi
Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan
Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad
Kamaruddin dan Sultan Zainuddin, keduanya adalah putera dari Sultan
Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara
(1658-1690 M). Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang
berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan
Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak
keturunan Sultan Zainuddin. Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti
ini terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit
pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan
masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.
Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang
didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda
mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang
dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga
memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin
oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan
Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu Suria Igama. Pembentukan
Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur
dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang
penuh Sultan Sanggau.
Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang
berlaku di Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34
pasal ditambah menjadi 70 pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan
bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau,
tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang
ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris,
wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan
khatib, dan bilal (muadzin) masjid.
Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan
Sanggau. Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi
kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal
ini. Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya
Negara (1808-1915), sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku
Negara (1876-1908). Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah
satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda.
Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat Sanggau
terus terjadi sampai tahun 1941.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia
pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah
tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan berubah bentuk menjadi swapraja. Sejak tanggal 2
Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota
Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan
Barat. Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya
pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau,
meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat
semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya
Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau
Wilayah Kekuasaan
Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310,
Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat
pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah
kekuasaannya. Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di
Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam. Kemudian, pada era pemerintahan
Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan
Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara
Sungai Sekayam. Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang
bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan
Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga
1690 M. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat
pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi
Kota Sanggau.
Menurut laporan Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28
September 2004 yang terangkai dalam tulisan berseri dengan judul
“Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa
Sultan Ayub Paku Negara (1823-1828) memindahkan pusat pemerintahan
Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk. Sementara Lontaan (1975)
menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II
(1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara
Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang
telah dibuat tersebut kini belum dapat dilacak lagi.
Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan
Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing
dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang
pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan
sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di
antaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan
sejumlah daerah lainnya.
Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda
dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa
sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau
yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau
merupakan kelanjutan dari Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten
Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan
berada di bagian utara Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau
berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Kabupaten
Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur
dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar