Kabupaten Majalengka, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Ibukotanya adalah Majalengka. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan
di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta
Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas
sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Majalengka.
Kantor Bupati terletak di Pendopo, selatan dari Alun-alun Majalengka
berdekatan dengan Masjid Agung Al Imam.
Melacak jejak Kerajaan (Ketumenggungan) Talaga, juga sejarah Kabupaten
Majalengka dan (sebelumnya) Kabupaten Maja. Tadinya masih ragu-ragu
dengan keberadaan Kabupaten Maja dan Sindangkasih versus Majalengka.
Dengan pelacakan itu, yakin seyakin-yakinnya (berdasarkan fakta sejarah)
apa yang saya gali benar adanya, yakni bahwa Kabupaten Majalengka baru
ada sejak adanya Kabupaten Maja (1819). Perubahan Kabupaten Maja menjadi
Kabupaten Majalengka (1840) sekaligus pula mengukuhkan keyakinan tidak
ada perubahan nama Kerajaan Sindangkasih menjadi Kerajaan Majalengka
(zaman Pangeran Muhammad). Juga bahwa kota Majalengka baru ada sejak ibu
kota Kabupaten Maja dipindahkan dari Maja ke bagian wilayah
Sindangkasih, serempak dengan penamaan wilayah Sindangkasih tersebut
(khusus yang jadi ibu kota) dengan nama Majalengka seperti nama
kabupatennya.
Nama “maja lengka” berasal dari nama kuno yang dipakai (sinonim) untuk
menyebut “maja pahit” atau “maja langu.” Maja lengka artinya maja pahit,
buah maja yang pahit, karena ada juga buah maja yang manis (maja legi).
Lengkit (leng dalam lengkap) artinya sama dengan pahit atau langu. Maja
yang pahit itu berenuk (Crescentia cujete). Maja yang manis (maja legi
atau maja batu atau Aegle marmelos) bisa dimakan dijadikan sirup, maja
yang pahit (berenuk) tidak bisa dimakan, tapi biasa digunakan untuk obat
malaria (sebelum kina ditemukan Junghuhn).
Dalam bahasa Sansekerta buah maja itu disebut “bilva”, sementara pahit
disebut “tikta” (lihat kamus Inggris-Sansekerta online). Kata “bilva”
itu berubah jadi “wilwa” dalam tuturan Indonesia-Jawa; majapahit =
wilwatikta. Bilva= bael = buah dari Bengali, India. Bilva (bael) sendiri
itu maja legi (buah maja yang manis).
Zaman Kerajaan Talaga
Hasil temuan dan audiensi dengan berbagai tokoh termasuk keluarga
keturunan Talaga yang tersebar di berbagai tempat di Jawa Barat serta
barang-barang bersejarah yang tersimpan di Museum Talaga, Majalengka
tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Talaga di masa silam.
Kerajaan Talaga hingga saat ini belum dapat dipastikan letak
keratonnya,berdiri dimana dan pertama kali dimana di bangunnya, masih
belum jelas. Akan tetapi dari sebuah hikayat yang diperoleh penulis,
kerajaan ini dibangun oleh Prabu Batara Gunung Picung putra Prabu Darma
Rehe, saudara dekat Prabu Angga Larang yang mendirikan Kerajaan
Pajajaran dan terkenal dengan nama Prabu Munding Sari.
Anda yang terlahir di abad ini tentu tidak akan mengenal Prabu Batara
Gunung Picung,baik itu untuk mengabdi maupun hanya sekedar berguru
kepandaian kepadanya. Tapi bila anda penasaran, berjalanlah sekitar 1 km
ke arah selatan kota Talaga. Anda akan menjumpai sebuah bukit berbatu
dengan nama Gunung Picung. Di gunung ini terdapat beberapa
makam,diantaranya makam Prabu Batara Gunung Picung yang berputrakan
Sunan Cungkilak
Lalu Sunan Cungkilak berputrakan Sunan Benda dan bercucukan Sunan
Ponggang Sang Romahyang . Selanjutnya penerus Kerajaan Talaga
setelah Sunan Ponggang Sang Romahyang dipegang putranya bernama Prabu
Darma Suci yang berputra Begawan Resi Garasiang dan Prabu Darma Suci 2
atau lebih dikenal Sunan Talaga Manggung.
Prabu Darma Suci 2 menampuk pimpinan kerajaan sekitar abad ke 13,karena
kakaknya Begawan Garasiang lebih memilih menjadi seorang pandita
daripada menjadi raja. Hingga saat ini di belahan selatan kota
Majalengka, Jawa Barat di kaki Gunung Ciremai terdapat sebuah dusun
bernama Dusun Garasiang Desa Giri Mulaya Kecamatan Banjaran.
Resi Garasiang dikaruniai seorang putri bernama Ratu Mayang Karuna. Ia
menikah dengan putra tua Prabu Munding Sari yaitu Prabu Guru Gantangan
atau dengan nama lain Prabu Mundingsari Ageung.
Dari hasil perkawinannya itu dikarunia seorang anak laki-laki, Raden
Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Pucuk Umum Talaga
Sementara Prabu Darma Suci 2, adik kandung Resi Garasiang berputrakan
Raden Panglurah dan Nyi Mas Simbar Kancana, orang-orang kerajaan Galuh
lebih senang menyebutnya Nyai mas Ratu Patuakan.
Di sekitar puncak Gunung Ciremai, tepatnya di kawasan Pegunungan
Gegerhalang terdapat beberapa makam yang belum dikenal, namun di kawasan
tersebut terkesan ada tanda - tanda bekas kehidupan di masa silam.
Terutama di kawasan Gunung Pucuk antar lain terdapat nama Prabu Pucuk
Umum. Wilayah ini berada di sebelah timur Situ Sangiang atau belahan
selatan Gunung Ciremai perbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan.
Terhadap situs ini, pemerintah belum melakukan pendataan apalagi
peneletian. Padahal, sangat diperlukan untuk mengungkap tentang
keberadaan Kerajaan Talaga yang merupakan leluhur warga Majalengka. Di
samping itu, juga merupakan aset budaya negara yang perlu dibuka dan
dilestarikan.
Pemerintahan Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut
masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, beliau adalah putera V,
juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal
dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing,
Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan
Majalengka.Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang
dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu.Pada masa
pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat
sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah
Cakrabuana.Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong
yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah
Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2
windu.Raja berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak - Sunan Benda -
Sunan Gombang - Ratu Panggongsong Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu
Mayang Karuna Akhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu
Darma Suci.
Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini
Agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama beliau dikenal
di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera.
Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu
tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu
merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang
masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas
atau Baju Besi.Pada abad XIIX Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2
orang putera yakni:- Bagawan Garasiang - Sunan Talaga Manggung
Pemerintahan Sunan Talaga Manggung
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,.namun beliau
sangat mementingkan Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama
kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak
banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini selain kepindahan
beliau dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Pemerintahan Sunan Talaga Manggung
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang
karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau
terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian
rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun
kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan
Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Beliau berputera
dua, yaitu :- Raden Pangrurah - Ratu Simbarkencana Raja wafat akibat
penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama
Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga
Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak beberapa lama
kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk
hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur.Dengan
meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah
dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan
dianugrahi 8 orang putera diantaranya yang terkenal sekali putera
pertama Sunan Parung.
Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam
menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari
Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke
suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung
Buniasih.Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh puteranya
Sunan Parung.
Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang
penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan
Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah
Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung mempunyai puteri tunggal
bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.
Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan
Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden
Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umum.Pada masa
pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak
rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu
Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam
berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja,
Rajagaluh dan Majalengka.Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang
memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun
Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum
adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau
yang bernama Raden Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu
Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang
merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada
masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat
perdagangan di sebelah Selatan.
Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu
Sunyalarang) melahirkan 6 orang putera yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan
Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem Panuntun - Dalem Panaekan Akhir
abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.Beliau sebelum
wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah
kekuasaannya, seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk
pemerintahan di Walagsuji;Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja;Dalem
Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di
Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan beliau banyak
yang menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari
Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak,
nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ
Sangiang Kecamatan Talaga.
Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk
Agama Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk
Agama Islam.Beliau berputera 6 orang, yaitu :- Dalem Cageur - Dalem
Kulanata - Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya - Ratu Putri -
Dalem Wangsa Goparana Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya
Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi
dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager.Dalem Wangsa Goparana
pindah ke Sagalaherang Subang. kelak keturunan beliau ada yang menjabat
sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan
Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi beliau digantikan oleh
puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga.
Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan
Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah
dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari
Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6
orang anak yaitu - Dipati Suwarga-Mangunjaya - Jaya Wirya - Dipati
Kusumayuda - Mangun Nagara - Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah
dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran
Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran
Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan
berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati Wiranata- Pangeran
Secadilaga atau pangeran Haji Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan
oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya
Pangeran SecanataEyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon
mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962;
pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut
pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka.
Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari
rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga
berupa pistol dan meriam.
Kerajaan Hindu Terakhir di Majalengka
Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3
Km dari kota Majalengka ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut
Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan
Walangsungsang, kesemuanya telah masuk agama Islam. Adanya ratu di
daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya di daerah
Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna
yang waktu itu memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga,
ratu mendengar bahwa daerah tersebut sudah masuk Islam. Sehingga
mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di Sindangkasih,
dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih,
Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya
juga Pengairan dari Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur.
Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem
Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa
akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan
isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi
Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih
masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon.
Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan
Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih
menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama
Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti
tahun 1490.
Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka
Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya
memeluk Agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka.
Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan
masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh
penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul
Jalil dan Dalem Penuntun Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang
lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari,
Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata,
Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di
Bantarujeg dan masih banyak lagi.
Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah
menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan
Ratu II atau Sunan Girilaya.
Pengaruh Sultan Agung Mataram Abad XVII
Tahun 1628 Tumenggung Bahureksa diperintahkan oleh Sultan Agung untuk
menyerang Batavia. Dengan bantuan pasukan-pasukan dari daerah-daerah
manapun masalah logistiknya, juga pendirian logi-logi banyak didirikan
di Jatiwangi, Jatitujuh dan Ligung.
Besar pengaruhnya Mataram terhadap daerah Majalengka, dimana pula banyak
orang Mataram yang tidak sempat lagi ke asalnya, dan akhirnya menetap
di Majalengka.
Abad ke-XVII merupakan juga bagian dari pada peristiwa pertempuran
Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah
Priangan. Hal ini perlu diketahui bahwa wilayah Priangan akan diserahkan
kepada V.O.C. (tahun 1677). Pasukan Rangga Gempol mundur ke Indramayu
dan Majalengka. Hubungan sejarah Sumedang yang menyatakan bahwa Geusan
Ulun merupakan penurun para Bupati Sumedang. Majalengka waktu itu masuk
kekuasaan Sunan Girilaya, katanya menyerahkan daerah Majalengka kepada
Sunan tersebut sebagai pengganti Putri Harisbaya yang dibawa lari dari
Keraton Cirebon ke Sumedang. Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram
kepada V.O.C. maka otomatis Majalengka masuk Daerah V.O.C.
Masa Penjajahan Belanda dan Penghapusan Kekuasaan Bupati Abad XVIII
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda, pada
tahun 1706 pemerintah kolonial menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai
Gubernur untuk seluruh Priangan. Olehnya para Bupati diberikan wewenang
untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan
upeti kepada pemerintah Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja,
Rajagaluh, Lemahsugih berakibat banyak rakyat jatuh kelaparan.
Majalengka pada Abad XIX
Tidak saja tanam paksa kopi, Pemerintah Hindia Belanda pun memaksa
rakyat untuk menanam lada, tebu dan lain-lain tanaman yang laku di
pasaran Eropa untuk pemerintah Kolonial tersebut. Berakibat fatal
bertambah berat beban rakyat, sengsara maupun kelaparan terjadi
dimana-mana.
Tahun 1805 pemberontakan Bagus Rangin dari Bantarjati menentang Belanda,
pertempuran pecah dengan sengitnya di daerah Pangumbahan. Kekuatan
10.000 orang dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda.±Bagus Rangin 12
Juli 1812 sebagai Pahlawan Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala
di Kali Cimanuk dekat Karangsambung. Waktu itu Gubernur Hindia Belanda
Henrck Wiesel (tahun 1804-1808) kemudian dilanjutkan Herman Willem
Daendels (tahun 1808-1811) dan tahun 1811-1816 kemudian Thomas ST,
Raffles.
Pemerintah Baru di Majalengka
Dengan bisluit Gubernur Jendral tanggal 5 Januari tahun 1819 berdirilah
Keresidenan Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Raja Cola, Bangawan Wetan,
Maja dan Kuningan. Selanjutnya Kabupaten Maja atau Kabupaten
Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah
mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala
Daerah.
RIWAYAT MAJALENGKA SEPANJANG CERITERA
Di bawah ini diutarakan secara singkat beberapa ceritera tentang riwayat
asal mula terjadinya “Majalengka”, pendirinya, serta makna atau kata
“Majalengka” itu sendiri.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah
dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”.
Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki
arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is
everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula
“Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau
sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja
memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang
luhur bagi kelanjutan keturunannya.
Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
POHON “MAJA” JADI “LANTARAN”
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah
suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa
terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar
kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti
serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu
tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang
mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan
sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang
aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”.
Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih
Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.
Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang
pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah
sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari
pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke
arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu
jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya
lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit
mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah
“Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi
jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).
Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang
Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN
GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat
hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang
agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN
MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna
ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas
menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya
bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi
pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal”
telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.
Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk
agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan
Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan
pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang
sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat
itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi
diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang
diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran
Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja
tidak ada”.
Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat
akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran
Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu
kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya
(Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan
berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi
Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama
Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah
untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk
menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung
rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang
tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan
buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi
Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan
bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi
Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap
“angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih”
dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.
Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini
menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir
kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya,
dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan
menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang
mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten
Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng
Badori.
Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak
penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke
daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka
itu.
Yang terpenting diantaranya ialah: Embah Haji Salamodin, berasal dari
Mataram yang diutus oleh Sunan Gunung Jati supaya menyebarkan agama
Islam dan mendirikan Pesantren. Tempatnya di Babakanjawa dan dimakamkan
di sini, Putera Sultan Agung, berasal dari Mataram salah seorang murid
Sunan Gunung Jati yang mendapat gelar Dalem Panungtun/Panungtung, karena
pada ketika itu berakhirlah riwayat Budha di Majalengka, dan karena
beliaulah yang menuntunnya ke ajaran agama Islam. Dimakamkan di
Girilawungan, Embah Wiranggalaksana, berasal dari Tubang dimakamkan di
Samojaopat, Majalengka-kulon.
Ceritera “ngahiangnya” Nyi Rambutkasih ini demikian mendalamnya sehingga
merupakan “legenda” bagi rakyat asli Majalengka, dan terhadap
kesaktiannya seta “masih adanya” itu merupakan suatu mythos, suatu
kepercayaan yang masih melekat dengan kuatnya.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang
“kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu
dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang
Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya
orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang
menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.
Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat,
bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya
tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti
akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika
tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka.
Wallohu, alam bisawab.
INGAT AKAN ASAL PERMULAN PENCEGAH PERANG SAUDARA
Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha,
konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan
Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN
UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama
Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di
suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah
hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti
gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.
Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran
agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah
kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka
akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa
mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan
bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka
berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu,
tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada
manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
“”LANGKAH” SITI ARMILAH
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah
melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di
kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk
agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya
Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan
Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula
menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang
disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat
suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta
di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah
diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak
Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai
nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah
tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti
dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat
berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang
menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan
Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang
mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang
ditujunya”. Wallahualam
.
ANTARA “ADA DAN TIADA”
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain
lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah
barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan
Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap
mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari
penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah
Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang
merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan
Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk
menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka
Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan
patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di
daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug
dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara
hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan
tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan
berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi
Majalengka. Wallahualam.
NEGARA “TENGAH”
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi
hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu.
Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut
“Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya
Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan
Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan
nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari
segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah
antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah
kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran),
Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa
dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan
Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal
termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar
biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai
paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang
meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan
mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun
berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk
menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran,
karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum,
semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin
mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi
yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan
bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak
ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas
daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun
dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang
memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan
keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara
antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk
memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya
daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat
merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan
dan kemakmuran yang turun-temurun.
Keadaan alam Kota Majalengka
Geologi
Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan,
terdapat beberapa batuan dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162
Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies seluas 13.716 Ha (13,39%),
Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%), Undiferentionet
Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies,
seluas 3.870 Ha (3,22%), Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene
seluas 78 Ha (0,006%), Old Quartenary Volkanik Product seluas 10.283 Ha
(8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten Majalengka ada beberapa macam,
secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik, Grumosol,
Aluvial, Regosol, Mediteran, dan asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut
memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kesuburan tanah dalam
menunjang keberhasilan sektor pertanian.
Morfologi
Keadaan morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan
daerah lainnya, dengan distribusi sebagai berikut :
Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan Kadipaten,
Panyingkiran, Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh,
Kertajati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding dan Palasah. Kemiringan
tanah di daerah ini antara 5%-8% dengan ketinggian antara 20-100 m di
atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar
beberapa perbukitan rendah dengan kemiringan antara 15%-25%.
Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan
Sukahaji sebelah Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka.
Kemiringan tanah di daerah ini berkisar antara 15-40%, dengan
ketinggian 300-700 m dpl.
Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai,
sebagian kecil Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Talaga, sebagian Kecamatan
Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, Bantarujeg dan Lemahsugih dan
Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan di daerah ini berkisar
25%-40% dengan ketinggian antara 400-2000 m di atas permukaan laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar